Kementrian Lembaga: Kejaksaan Agung

  • Kejagung Telusuri Aliran Dana Rp 60 Miliar dalam Kasus Suap Ekspor CPO

    Kejagung Telusuri Aliran Dana Rp 60 Miliar dalam Kasus Suap Ekspor CPO

    Jakarta, Beritasatu.com — Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menelusuri dugaan aliran dana sebesar Rp 60 miliar dari pengacara Ariyanto Bakri (AR) dalam kasus suap terkait putusan perkara ekspor crude palm oil (CPO). Kasus suap ekspor CPO ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk aparat peradilan.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa pihaknya masih menyelidiki secara mendalam untuk memastikan asal dana tersebut.

    “Apakah dana itu murni berasal dari AR atau ada pihak lain yang terlibat, itu yang sedang didalami oleh penyidik,” ujar Harli kepada wartawan, Selasa (15/4/2025).

    Menurut keterangan sementara, uang tersebut diduga berasal dari Ariyanto Bakri dan diserahkan oleh Wahyu Gunawan (WG) kepada pihak-pihak lain, termasuk Djumyanto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom.

    “WG menyatakan telah menyerahkan Rp 60 miliar kepada MAN karena menerima dana dari AR. Bahkan informasinya awalnya hanya Rp 20 miliar, tetapi MAN menyebutkannya menjadi tiga kali lipat,” kata Harli terkait kasus suap ekspor CPO ini.

    Harli menambahkan, para tersangka akan terus diperiksa guna mendalami lebih lanjut aliran dana yang mencurigakan tersebut. Kejagung juga membuka kemungkinan untuk memanggil saksi-saksi baru.

    “Keterangan dari para tersangka sangat penting untuk memastikan ke mana saja uang tersebut mengalir,” lanjutnya.

    Dalam kasus ekspor CPO ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Marcella Santoso (MS), Ariyanto Bakri (AR) pengacara, Wahyu Gunawan (WG), panitera muda PN Jakarta Utara, Djumyanto (hakim), Agam Syarif Baharudin (hakim), dan Ali Muhtarom (hakim).

    Kasus suap ekspor CPO ini menjadi sorotan publik karena menyoroti dugaan korupsi di sektor peradilan dan tata niaga ekspor sawit yang menjadi salah satu komoditas utama Indonesia.

  • Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan Nasional 15 April 2025

    Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota
    Komisi III
    DPR Hinca Panjaitan mengatakan, empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (
    CPO
    ) menandakan banyaknya hakim yang mempunyai naluri berdagang.
    Ia melihat, banyak hakim saat ini yang melihat keadilan dapat menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.
    “Pada realitasnya banyak hakim yang berkompromi dengan naluri dagang. Akhirnya, keadilan jadi komoditas, seolah bisa dijual dan dibeli. Menurut saya, suap terjadi karena pelaku melihat manfaat ekonomi yang melebihi risiko,” ujar Hinca lewat keterangan tertulisnya, Selasa (15/4/2025).
    Hinca mengatakan, suap terhadap hakim dapat disebabkan dua hal, yakni kekosongan moralitas atau longgarnya pengawasan
    Secara khusus, Hinca menyoroti pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial (KY) di lingkungan peradilan yang ia beri nilai nol besar.
    “Sudah saatnya kita mengevaluasi kelembagaan Komisi Yudisial, atau pahitnya kita bubarkan saja. Kalau Komisi Yudisial tak mampu memantau hakim, buat apa dipertahankan? Lebih jujur rasanya kita mengakui bahwa mereka gagal,” ujar Hinca.
    Di samping itu, ia juga menanggapi wacana dinaikkannya gaji hakim untuk mencegah terjadinya praktik suap.
    Menurutnya, praktik suap tetap dapat terjadi di lingkungan peradilan dengan caranya tersendiri.
    “Maka godaan suap akan tetap menemukan jalannya. Kita bisa menambah angka pendapatan setinggi langit, tetapi bila peluang lolos dari hukuman lebih menggoda, akhirnya transaksi hitam menjadi pilihan rasional,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO untuk tiga perusahaan besar pada Minggu (13/4/2025) malam.
    Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat. Lalu hakim PN Jakarta Selatan,
    Djuyamto
    (DJU).
    Kejagung menduga ketiga tersangka menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
    Muhammad Arif Nuryanta
    (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu onslag atau putusan lepas.
    Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menjelaskan, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto pertama kali menerima suap dari Arif sebesar Rp 4,5 miliar yang dibagi rata untuk ketiganya.
    Suap senilai Rp 4,5 miliar diberikan Arif dengan pesan agar perkara ekspor CPO diatasi.
    “Uang bila dirupiahkan Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukkan ke dalam goodie bag. Kemudian setelah keluar dari ruangan uang tadi dibagi kepada tiga orang, yaitu masing-masing ASB sendiri, kepada AM, dan juga kepada DJU,” ujar Qohar dalam konferensi persnya, Senin (14/4/2025) dini hari.
    Selanjutnya uang suap tahap kedua diberikan Arif kepada hakim Djuyamto. Uang suap diberikan dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai Rp 18 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kepercayaan Publik Tertinggi, Kejagung Dinilai Sukses Berkat Kepemimpinan yang Kuat – Halaman all

    Kepercayaan Publik Tertinggi, Kejagung Dinilai Sukses Berkat Kepemimpinan yang Kuat – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) kini menjadi lembaga penegak hukum paling dipercaya publik menurut survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI). 

    Tingkat kepercayaan terhadap Kejagung mencapai 75 persen, mengungguli Mahkamah Konstitusi (72 persen), KPK (68%), pengadilan (66%), dan Polri (65%).

    Menurut mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Maruarar Siahaan, kunci keberhasilan Kejagung terletak pada kepemimpinan (leadership) yang efektif, bukan semata karena perbedaan kualitas sumber daya manusia. 

    Ia menilai, kualitas penyidik di kejaksaan dan kepolisian sebenarnya relatif setara.

    Selain itu, bisa jadi capaian ini karena masyarakat melihat hasil kinerja Kejagung dalam mengungkap kasus-kasus besar. 

    Tapi belum tentu secara nasional kejaksaan di tingkat daerah kinerjanya sebagus Kejagung.

    Jika di kepolisian maupun kejaksaan ada pembinaan yang sama, menurut Maruarar, bisa saja akan menghasilkan kualitas yang tidak jauh berbeda. 

    “Tapi bahwasanya ada capaian secara individual dari pimpinan instansi yang bisa membangun itu, bisa jadi [hasilnya] akan seperti [capaian] kejaksaan. Tapi secara rata kualitas penyidik kejaksaan dan kepolisian tidak berbeda jauh,” kata Maruarar dalam keterangannya, Selasa (15/4/2025).

    Dengan demikian, lanjutnya, apa yang menjadi capaian kejaksaan saat ini, bukan berarti ada kesenjangan kualitas personel antara lembaga penegak hukum. 

    “Tapi, bisa jadi karena leadership. Kalau leadershipnya disamakan kualitas akan bisa dilihat hasil jangka panjangnya akan bisa dilihat performa dari jajaran lembaga kepolisian maupun kejaksaan secara nasional akan seperti apa,” kata Maruarar.

    Ia menambahkan, keberhasilan Kejagung tidak lantas mencerminkan bahwa kualitas personel kejaksaan lebih unggul dari institusi lain. 

    Tapi lebih kepada bagaimana seorang pemimpin mampu membina, menggerakkan, dan memaksimalkan potensi yang ada.

    Namun, Maruarar juga mengingatkan bahwa kinerja Kejagung di pusat belum tentu sama dengan kejaksaan di daerah. 

    “Penilaian publik bisa jadi karena melihat gebrakan besar di pusat. Tapi ini perlu didorong merata sampai ke daerah,” ujarnya.

    Ia berharap keberhasilan Kejagung bisa menjadi contoh bagaimana peran pemimpin yang visioner dan tegas bisa membawa perubahan besar dalam sebuah institusi.

    “Kalau leadership-nya setara, bukan tidak mungkin kejaksaan dan kepolisian bisa sama-sama bersinar,” kata Maruarar.

  • Berlaku 5 Hari Lagi, Prabowo Ternyata Belum Teken UU TNI

    Berlaku 5 Hari Lagi, Prabowo Ternyata Belum Teken UU TNI

    Bisnis.com, JAKARTA — Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan berlaku lima hari lagi, atau 20 April 2025. Revisi UU tersebut sebelumnya sudah disahkan oleh DPR sejak 20 Maret 2025 lalu. 

    Sebagaimana diketahui, RUU yang telah disahkan oleh DPR akan berlaku sejak ditandatangani oleh Presiden dalam kurun waktu 30 hari setelah dibawa ke sidang paripurna. Apabila belum ditandatangani setelah 30 hari, maka UU dimaksud otomatis sah dan wajib diundangkan. 

    UU TNI disahkan oleh DPR pada 20 Maret 2025 lalu. Namun, hingga saat ini, UU tersebut belum kunjung ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto. Berdasarkan informasi di JDIH Sekretariat Negara (Setneg), draf UU TNI final yang berlaku pun belum diunggah sampai dengan saat ini.

    Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, UU TNI bukan satu-satunya payung hukum yang belum ditandatangani Prabowo. Dia mengatakan bahwa banyak produk hukum yang harus diteken oleh Kepala Negara. 

    “Kan bukan hanya satu, itu kan banyak undang-undang semua yang mau ditandatangani Presiden, itu kan banyak ya. Bukan hanya satu, jadi ya tentu berdasarkan, nanti ditanyakan ke Setneg ya,” ungkapnya kepada wartawan saat ditemui di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Supratman pun mengaku tak masalah apabila pada akhirnya nanti UU TNI sah dengan sendirinya pada 20 April 2025. Namun, dia memastikan Prabowo akan menandatangani UU tersebut sebagaimana proses seperti biasa. 

    Politisi Partai Gerindra itu menilai, Prabowo belum menandatangani UU TNI mengingat jadwalnya yang padat. 

    “Semua pasti prosesnya normal. Karena itu tinggal menunggu waktu, apalagi jadwal beliau kan kita tidak tahu,” tuturnya. 

    Di sisi lain, Supratman turut memastikan tidak ada isi UU TNI yang berubah dari draf versi paripurna. Dia menyoroti kekhawatiran publik soal potensi UU TNI yang baru akan mendorong kembalinya dwifungsi TNI seperti pemerintahan Orde Baru. 

    Mantan Ketua Baleg DPR itu menuturkan, perubahan pada UU TNI baru hanya terletak pada penambahan dua tugas TNI di luar tugas pokoknya setelah 12 pos jabatan yang sudah ada. 

    “Yakni yang ada di Mahkamah Agung karena ada Hakim Militer dan ada Kamar Pidana Militernya, juga di Kejaksaan Agung yang kebetulan memang sudah sebelum Pak Presiden Prabowo [menjabat, red] juga, Jaksa Agung Pidana Militer kan sudah ada. Dan itu memberi legitimasinya terhadapnya,” terangnya. 

    Untuk diketahui, revisi UU TNI sebelumnya dibahas oleh Komisi I DPR. Penolakan besar-besaran dari publik berbentuk demo di sejumlah daerah mewarnai proses pembahasan, pengesahan bahkan setelah UU itu dibawa ke paripurna DPR. 

  • 4 Hakim Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Korupsi CPO, Ini Sosoknya!

    4 Hakim Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Korupsi CPO, Ini Sosoknya!

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan empat orang hakim sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait vonis lepas dalam perkara korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng yang disidangkan di pengadilan negeri Jakarta Pusat.

    Selain para hakim, kasus ini juga menyeret tiga perusahaan besar yang diduga terlibat dalam praktik korupsi tersebut, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Berikut profil keempat hakim yang menjadi tersangka:

    Hakim Tersangka Kasus Korupsi CPO

    1. Muhammad Arif Nuryanta

    Muhammad Arif Nuryanta merupakan aparatur sipil negara di lingkungan Mahkamah Agung dengan pangkat pembina utama muda golongan IV/C. Berdasarkan informasi dari situs resmi pengadilan negeri Jakarta Selatan, Arif saat ini menjabat sebagai ketua pengadilan negeri Jakarta Selatan sejak dilantik pada 6 November 2024.

    Arif dikenal memiliki perjalanan karier yang panjang di dunia peradilan. Ia pernah dipercaya sebagai ketua PN Bangkinang pada 2016, lalu melanjutkan kiprahnya sebagai hakim di PN Banjarbaru, ketua PN Tebing Tinggi.

    Selain itu, ia juga pernah menjabat ketua PN Purwokerto, hakim PN Jakarta Selatan, ketua PN Pekanbaru, hingga menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat sebelum akhirnya menjadi ketua PN Jakarta Selatan.

    2. Djuyamto

    Djuyamto saat ini bertugas sebagai hakim tingkat pertama di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Ia lahir di Sukoharjo pada 18 Desember 1967 dan merupakan lulusan ilmu hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo tahun 1992.

    Gelar magister diperolehnya pada 2020, dan pada tahun-tahun berikutnya ia meraih gelar doktor dari fakultas hukum di kampus yang sama.

    Djuyamto mengawali kariernya sebagai hakim di PN Tanjungpandan tahun 2002. Ia juga pernah bertugas di PN Temanggung dan pengadilan negeri Karawang.

    Tahun 2013, ia menjabat sebagai hakim yustisial dan panitera pengganti di Mahkamah Agung. Kariernya berlanjut sebagai ketua PN Dompu di NTB, lalu pindah ke Pengadilan Tinggi Bandung, dan sejak 2019 menjadi hakim di PN Jakarta.

    3. Agam Syarief Baharuddin

    Agam merupakan salah satu hakim dalam perkara korupsi minyak goreng di PN Jakarta Pusat. Lulusan sarjana hukum dari Universitas Syiah Kuala ini meraih gelar magister hukum dari Universitas Sebelas Maret pada 2009.

    Ia memulai karier sebagai hakim di PN Sukoharjo pada 2009. Pada 2017, Agam diangkat menjadi ketua PN Demak dan menjabat selama lima tahun. Pada 2021, ia dimutasi ke PN Jakarta Timur sebagai hakim.

    4. Ali Muhtarom

    Ali Muhtarom adalah hakim ad hoc tindak pidana korupsi di PN Jakarta Pusat. Ia lahir pada 35 Agustus 1972 dan memulai kariernya sebagai hakim adhoc di PN Kupang pada 2017. Pada 2020, ia dipindahkan ke PN Jakarta Pusat dan bertugas hingga saat ini.

    Namanya menjadi sorotan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap vonis lepas terkait perkara korupsi minyak goreng yang tengah bergulir.

    Jerat Hukum

    Ali Muhtarom, Agam Syarief Baharuddin, dan Djuyamto dijerat dengan Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf b, juncto Pasal 6 ayat (2), juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sementara itu, kasus korupsi Arif Nuryanta dijerat dengan pasal yang lebih kompleks, yakni Pasal 12 huruf c, juncto Pasal 12 huruf b, juncto Pasal 6 ayat 2, juncto Pasal 12 huruf a, juncto Pasal 5 ayat 2, juncto Pasal 11, juncto Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Kejagung Telusuri Sumber Dana Suap Rp60 Miliar ke Ketua PN Jaksel

    Kejagung Telusuri Sumber Dana Suap Rp60 Miliar ke Ketua PN Jaksel

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telusuri sumber dana suap dari perkara pengurusan vonis lepas kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng korporasi.

    Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar mengatakan bahwa uang suap Rp60 miliar memang berasal dari pengacara sekaligus tersangka Aryanto (AR). Namun, dia mengatakan tidak menutup kemungkinan bahwa uang suap itu tersebut berasal dari pihak lain.

    “Memang secara logika hukumnya kan apakah ini murni dari AR atau dari pihak lain, nah nanti itulah yang terus didalami oleh penyidik,” ujar Harli di Kejagung, Selasa (15/4/2025).

    Dia menambahkan sejauh ini pihaknya masih mempelajari setiap temuan yang ada. Misalnya, barang bukti elektronik hingga aset yang telah disita penyidik.

    Salah satu upaya pendalaman barang bukti itu dilakukan dengan mengklarifikasi seluruh pihak termasuk tersangka dalam kasus suap tiga hakim di PN Jakarta Pusat ini.

    “Dokumen ini kan akan terus dipelajari, kemudian ketika ada perkembangan dan perlu dilakukan pendalaman dan ini tentu kan harus dimintai keterangan, diperiksa,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, kasus ini bermula saat majelis hakim yang dipimpin Djuyamto memberikan vonis lepas terhadap tiga grup korporasi yang terjerat dalam kasus korupsi ekspor CPO.

    Tiga grup atau korporasi tersebut, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas. Vonis lepas atau onslag itu telah menolak tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta agar ketiga grup korporasi dibebankan denda dan uang pengganti sekitar Rp17,7 triliun.

    Adapun, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini. Perinciannya, Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta (MAN); Panitera Muda Perdata pada PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG).

    Selanjutnya, dua pengacara atau advokat bernama Marcella Santoso (MR) dan Aryanto (AR). Teranyar, tiga hakim mulai dari Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom (AM) turut jadi tersangka.

  • Kejagung Dalami Suap Vonis CPO, 14 Saksi Diperiksa!

    Kejagung Dalami Suap Vonis CPO, 14 Saksi Diperiksa!

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) semakin intensif mendalami dugaan praktik suap dalam penanganan vonis perkara ekspor crude palm oil (kasus vonis CPO). Upaya pemberantasan mafia CPO ini terus bergulir dengan pemeriksaan sejumlah pihak, termasuk aparat penegak hukum. Hingga saat ini, sebanyak 14 orang telah dimintai keterangan sebagai saksi dalam penyidikan kasus vonis CPO tersebut.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengungkapkan, dari 14 saksi yang telah diperiksa, tujuh di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap vonis CPO ini.

    Ketujuh tersangka tersebut terdiri dari tiga pengacara, yaitu Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Marcella Santoso (MS), dan Ariyanto (AR).

    Selain itu, satu panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara bernama Wahyu Gunawan (WG), serta tiga hakim yang terdiri dari Djumyanto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom, juga turut menjadi tersangka dalam kasus suap vonis CPO yang melibatkan ekspor CPO ini.

    “Sebagaimana kita ketahui, Kejaksaan Agung telah memeriksa sedikitnya 14 saksi, di mana tujuh orang di antaranya telah berstatus tersangka,” jelas Harli Siregar kepada awak media, Selasa (15/4/2025).

    Lebih lanjut, Harli Siregar menambahkan, proses pemeriksaan terhadap para tersangka masih terus berjalan. Salah satunya adalah Wahyu Gunawan, yang kembali menjalani pemeriksaan pada hari ini untuk mendalami keterlibatannya dalam kasus vonis CPO ini.

    “Penyidik saat ini terus melakukan pendalaman terhadap keterangan yang diberikan oleh para tersangka dan saksi. Setiap informasi yang diperoleh akan dicocokkan untuk memperkuat alat bukti dalam kasus suap vonis CPO ini,” lanjutnya.

    Mengenai kemungkinan pemanggilan pihak-pihak dari perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di sektor CPO, seperti Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group, Harli Siregar menyatakan hal tersebut belum dilakukan. Saat ini, tim penyidik masih memfokuskan diri pada pemeriksaan saksi dan tersangka yang telah ada dalam kasus vonis CPO ini.

    “Penyidik saat ini masih fokus pada pendalaman keterangan dari para saksi maupun tersangka,” pungkas Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar terkait perkembangan kasus dugaan suap perkara CPO yang tengah menjadi sorotan.

  • Ketua PN Jaksel Tersangkut Kasus Suap, Sahroni: Lembaga Peradilan Perlu Direformasi

    Ketua PN Jaksel Tersangkut Kasus Suap, Sahroni: Lembaga Peradilan Perlu Direformasi

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni mendorong adanya reformasi lembaga peradilan secara menyeluruh.

    Hal ini dia ungkapkan guna merespons kasus dugaan suap mencapai Rp60 miliar yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta (MAN) dalam kasus ekspor minyak goreng tiga korporasi.

    “Sudah saatnya lembaga kehakiman direformasi secara keseluruhan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Selasa (15/4/2025).

    Selain itu, legislator NasDem ini juga mendesak agar semua pihak yang terlibat ditindak tegas. Komisi III DPR, katanya, akan mendukung instansi penegak hukum dalam memberantas mafia peradilan.

    “Saya minta kejaksaan untuk jerat semua yang terlibat, pidanakan, dan jangan ragu untuk ungkap semua. Kami di Komisi III akan back up penuh,” tegasnya.

    Sahroni, sapaan akrabnya, mengaku miris dengan kasus suap tersebut. Menurutnya, kasus ini sangatlah merusak lembaga peradilan.

    Lebih jauh, dia meminta supaya Mahkamah Agung (MA) memperketat pengawasan internal dengan maksud untuk menindak hakim-hakim nakal.

    “Buat mekanisme untuk memastikan tidak ada aliran-aliran dana mencurigakan, apalagi antar hakim. Tidak menutup kemungkinan uang haram dari suap ini juga mengalir ke pejabat yang lebih tinggi, seperti kasus Zarof Ricar kemarin. Jadi ada komplotannya,” terangnya.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap perkara korupsi mafia minyak goreng yang menyeret tiga korporasi.

    Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan pihaknya telah memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkan Arif sebagai tersangka. Selain Arif, pengacara berinisial MS dan AN, serta WG selaku panitera muda perdata pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    Qohar menegaskan bahwa pada intinya mereka berempat diduga bersekongkol dalam kepengurusan perkara pemberian fasilitas ekspor minyak goreng. Kemudian, dia menyampaikan bahwa pihaknya akan menahan para tersangka ditahan untuk kepentingan penyidikan selama 20 hari ke depan.

    Teranyar, dalam kasus ini telah ditetapkan tujuh tersangka mulai dari Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta (MAN); Panitera Muda Perdata pada PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG).

    Kemudian, dua pengacara atau advokat bernama Marcella Santoso (MR) dan Aryanto (AR). Selain itu, tiga hakim mulai dari Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharudin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM).

  • Ahmad Sahroni Desak Reformasi Total Lembaga Peradilan Usai Kasus Suap Hakim Ekspor CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Ahmad Sahroni Desak Reformasi Total Lembaga Peradilan Usai Kasus Suap Hakim Ekspor CPO Nasional 15 April 2025

    Ahmad Sahroni Desak Reformasi Total Lembaga Peradilan Usai Kasus Suap Hakim Ekspor CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mendorong
    reformasi lembaga peradilan
    secara menyeluruh usai empat hakim terlibat kasus dugaan suap dalam mengatur perkara kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau
    crude palm oil
    (CPO).
    Hakim yang menjadi tersangka pertama yang ditetapkan adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    “Sudah saatnya lembaga kehakiman direformasi secara keseluruhan,” kata Sahroni melalui keterangan tertulis, Selasa (15/4/2025).
    Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR RI itu juga mendesak pihak yang terlibat ditindak tegas.
    Ia menyampaikan, Komisi III bakal mendukung instansi penegak hukum memberantas mafia peradilan.
    Pasalnya, ia mengaku miris dengan kasus suap yang melibatkan empat hakim menjadi tersangka tersebut yang berpotensi merusak lembaga peradilan.
    “Saya miris sekali melihat carut marut lembaga kehakiman kita yang ramai diisi kasus korupsi. Keberadaan mafia peradilan ini sudah sangat merusak,” tuturnya.
    Tak cuma itu, ia meminta Mahkamah Agung (MA) memperketat pengawasan internal untuk menindak hakim-hakim nakal.
    Salah satunya dengan membuat mekanisme untuk memastikan tidak ada aliran dana yang mencurigakan, utamanya di antara para hakim.
    “Tidak menutup kemungkinan uang haram dari suap ini juga mengalir ke pejabat yang lebih tinggi, seperti kasus Zarof Ricar kemarin. Jadi ada komplotannya,” sebut Sahroni.
    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanta, bersama tiga hakim lainnya sebagai tersangka dalam kasus suap vonis untuk Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
    Ketiga hakim itu adalah majelis hakim yang menangani sidang perkara CPO di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Uang suap diduga mengalir melalui pengacara dan pejabat pengadilan.
    Pada saat kasus itu terjadi, Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Membuka Kotak Pandora Mafia Kasus: Ronald Tannur ke Suap Migor

    Membuka Kotak Pandora Mafia Kasus: Ronald Tannur ke Suap Migor

    Bisnis.com, JAKARTA — Hukum di Indonesia tengah menjadi sorotan usai terungkapnya kembali mafia kasus yang melibatkan hakim hingga perangkat pengadilan.

    Pengungkapan itu bermula saat terendusnya suap pada vonis bebas Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan Dini Sera Afrianti di PN Surabaya oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Kala itu, tiga hakim PN Surabaya menyatakan bahwa Ronald Tannur tidak terbukti bersalah atas kematian Dini. Oleh sebab itu, Ronald Tannur bebas atas segala tuntutannya pada Rabu (24/7/2024).

    Selang tiga bulan kemudian, Kejagung mengumumkan bahwa tiga hakim yang memutus perkara Ronald Tannur itu menjadi tersangka.

    Sebab, usut punya usut ketiganya telah menerima suap dari pengacara Ronald Tannur Lisa Rachmat sekitar Rp4,6 miliar.

    Uang tersebut bersumber dari Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja yang ingin menggunakan segala cara agar anaknya tidak perlu mendekam di balik jeruji besi.

    Tak hanya hakim dan pengacara, kasus ini melibatkan juga mantan Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono.

    Perannya sederhana, Rudi hanya menyiapkan Erintuah Damanik untuk menjadi hakim majelis di persidangan Ronald Tannur.

    Selain itu, publik juga kembali dihebohkan atas keterlibatan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar. Dia ini dikenal publik sebagai makelar kasus. 

    Tak main-main, saat Zarof menjadi tersangka. Terungkap bahwa Zarof telah “bermain kasus” sejak 2012 hingga 2022. Tentunya, tak sedikit imbalan yang diterima Zarof saat menjadi makelar kasus.

    Dalam periode sekitar 10 tahun itu, Zarof didakwa telah menerima gratifikasi sebesar Rp915 miliar dan emas logam mulia sebesar 51 kg dari pihak yang berperkara. Kini, Zarof masih menjalani persidangan di PN Tipikor.

    Suap Kasus Ekspor CPO 

    Belum genap setahun publik dihebohkan dengan kasus Ronald Tannur, peradilan hukum di Indonesia kembali tercoreng pada Sabtu (12/4/2025).

    Kala itu, Kejagung menggelar konferensi pers untuk mengumumkan kasus suap yang melibatkan perangkat pengadilan.

    Awalnya, Korps Adhyaksa menetapkan Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta; Panitera PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan; serta dua pengacara Marcella Santoso dan Aryanto menjadi tersangka.

    Mereka diduga bermain-main dalam kasus pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng yang menyeret tiga grup korporasi, seperti Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

    Pada intinya, kasus suap ini telah membuahkan vonis lepas atau onslag terhadap perkara minyak goreng tersebut.

    Alhasil, ketiga grup korporasi itu bebas dari tuntutan pembayaran denda hingga beban uang pengganti sebesar Rp17,7 triliun.

    Selang satu hari selanjutnya, Kejagung kembali menetapkan tersangka terhadap tiga hakim mulai dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin (ASB), Ali Muhtarom (AM).

    Secara total, uang dugaan suap yang diberikan mencapai Rp60 miliar dalam bentuk dolar Amerika melalui Wahyu Gunawan.

    Jumlah itu merupakan permintaan dari Arif yang saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala PN Jakarta Pusat.

    Uang puluhan miliar itu kemudian dibagi-bagi kepada Djuyamto Cs dengan total Rp22,5 miliar.

    Sementara itu, Wahyu mendapatkan jatah USD 50.000 sebagai jasa penghubung antara Aryanto dengan Arif.

    Usut punya usut, kasus ini terungkap saat penyidik Kejagung menemukan alat bukti elektronik atas perkara vonis bebas Ronald Tannur di PN Surabaya.

    Hal itu diungkapkan oleh Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar. Dia menyampaikan bahwa nama tersangka sekaligus advokat Marcella Santoso disinggung dalam barang bukti elektronik yang ditemukan penyidik.

    “Ketika dalam penanganan perkara di Surabaya, ada juga informasi soal itu. Soal nama MS itu dari barang bukti elektronik,” ujarnya di Kejagung, Sabtu (12/4/2025) malam.

    Hakim Djuyamto Cs Diberhentikan 

    Buntut dari kasus ini, MA telah memberhentikan sementara hakim dan panitera yang terlibat dalam kasus dugaan suap vonis perkara ekspor minyak goreng (migor) yang menyeret beberapa korporasi di PN Jakarta Pusat.

    Juru Bicara MA Yanto menyampaikan pihaknya telah bersurat ke Presiden Prabowo Subianto agar hakim dan panitera diberhentikan sementara.

    “Hakim dan panitera yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan akan diberhentikan sementara,” ujarnya di MA, Senin (14/4/2025).

    Dia menambahkan keputusan pemberhentian sementara itu lantaran kasus suap yang menjerat hakim dan panitera itu masih belum inkrah.

    Dengan demikian, apabila nantinya tersangka hakim Djuyamto Dkk itu telah berkekuatan hukum tetap, maka seluruh hakim dan panitera yang menjadi tersangka bakal diberhentikan permanen.

    Di samping itu, MA juga bakal memberlakukan Smart Majelis untuk penunjukan hakim secara otomatis menggunakan sistem robot atau artificial intelligent (AI). 

    Menurut Yanto penunjukan majelis hakim dengan AI itu diterapkan agar mencegah potensi adanya “permainan” atau suap pada proses hukum.

    Adapun, sistem otomatis itu sudah diterapkan pada penunjukan majelis hakim di tingkat MA. Sementara itu, pada tingkat pengadilan negeri dan tinggi masih berproses.

    “Kalau di MA sudah mulai ya sudah dimulai smart majelis. Jadi sudah mesin yang menentukan. Tapi, ini ternyata dari Rapim sudah akan dilakukan seluruh Indonesia Melalui robotik di Smart Majelis,” pungkasnya.

    Di lain sisi, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi menyatakan bahwa untuk saat ini sistem tersebut belum dapat diterapkan ke seluruh pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. Sebab, terkendala dari sistem.

    “Sedangkan mengenai kapan sistem ini akan diberlakukan, kita harus membangun dulu aplikasinya ya. Butuh waktu untuk memproses pesan dari pimpinan tersebut,” tutur Sobandi.