Kementrian Lembaga: Kejaksaan Agung

  • Kejagung Dalami Sumber Duit Suap Rp 60 M Selain Wilmar di Kasus Vonis Lepas

    Kejagung Dalami Sumber Duit Suap Rp 60 M Selain Wilmar di Kasus Vonis Lepas

    Jakarta

    Kejaksaan Agung (Kejagung) menyampaikan masih terus mendalami keterlibatan korporasi-korporasi dalam kasus suap Rp 60 miliar di balik vonis ontslag atau lepas terdakwa korporasi pada perkara korupsi minyak goreng. Saat ini baru terkuak duit pelicin itu berasal dari Head of Social Security and License Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY).

    “Jadi itulah yang saat ini sedang kami kembangkan ya,” kata Qohar dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025) malam. Qohar menjawab pertanyaan tentang apakah ada perusahaan lain selain Wilmar yang terlibat memberikan duit pelicin Rp 60 miliar itu.

    Qohar masih belum dapat menjelaskan lebih detail mengenai asal-usul suap. Dia menegaskan proses penyidikannya masih berjalan.

    “Penyidikan terus berjalan dengan waktu yang sangat cepat. Tiga hari penyidik sudah menetapkan 8 orang tersangka,” ucap dia.

    Karena itu, Qohar meminta masyarakat untuk bersabar menunggu kepastian lainnya terkait perkara itu. Dia berjanji akan menyampaikan perkembangan kasus secara terbuka.

    “Tentu pekerjaan yang sangat singkat dan tentu pekerjaan yang sangat cepat. Untuk itu saya minta para teman-teman bersabar, Setiap perkembangan pasti akan kami sampaikan,” kata Qohar.

    “Dari korporasi, sampai saat ini belum. Kan saya bilang Ini kan nanti dikembangkan terus ya. Baru tiga hari, harus sabar,” tutur Qohar.

    “Penyidik kita itu jumlahnya sangat terbatas. Yang ditangani sangat banyak. Teman-teman jurnalis minta semuanya cepat selesai. Berarti harus sabar ya, pasti akan kita sampaikan,” imbuh dia.

    Adapun kini total ada 8 tersangka dalam perkara ini. Berikut rinciannya:

    1.⁠ ⁠Muhammad Arif Nuryanto (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
    2.⁠ ⁠Djuyamto (DJU) selaku ketua majelis hakim
    3.⁠ ⁠Agam Syarif Baharudin (ASB) selaku anggota majelis hakim
    4.⁠ ⁠Ali Muhtarom (AM) selaku anggota majelis hakim
    5.⁠ ⁠Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera
    6.⁠ ⁠Marcella Santoso (MS) selaku pengacara
    7.⁠ ⁠Ariyanto Bakri (AR) selaku pengacara
    8. Muhammad Syafei (MSY) selaku Head of Social Security and License Wilmar Group

    Awalnya ada 3 korporasi yang sejatinya sedang diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group dalam perkara dugaan korupsi minyak goreng atau migor itu. Ketiganya memberikan kuasa pada Marcella dan Ariyanto. Secara mengejutkan, majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam, dan Ali menjatuhkan putusan ontslag atau lepas yang artinya bahwa perbuatan yang dilakukan 3 korporasi itu bukanlah tindak pidana.

    Dari pengusutan kejaksaan ditemukan adanya informasi dugaan suap di balik putusan itu. Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanto diketahui sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Waka PN Jakpus) yang memiliki wewenang menunjuk hakim yang mengadili perkara.

    Singkatnya terjadi kongkalikong antara pihak Marcella-Ariyanto dengan Muhammad Arif Nuryanto. Duit suap Rp 60 miliar mengalir ke Arif Nuryanto dan sebagian di antaranya dialirkan ke 3 majelis hakim. Sedangkan Wahyu Gunawan selaku panitera menjadi perantara suap.

    (ond/fca)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Jadi Tersangka Baru Kasus Suap Vonis Lepas CPO, Ini Peran Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei – Halaman all

    Jadi Tersangka Baru Kasus Suap Vonis Lepas CPO, Ini Peran Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei sebagai tersangka baru kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

    Usai ditetapkan sebagai tersangka, alhasil terungkap peran dari Syafei dalam kasus yang turut melibatkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Djuyamto dan kawan-kawan itu.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, Syafei diketahui berperan menyediakan uang kepada pengacara tiga korporasi CPO, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.

    Qohar mengatakan fakta itu diperoleh bermula dari adanya pertemuan antara Arianto dengan tersangka Wahyu Gunawan yang merupakan panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    Kata Qohar, Wahyu menyampaikan pada Arianto yang mengharuskan agar perkara minyak goreng atau CPO itu diurus.

    “Jika tidak, putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan Penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Selasa (15/4/2025).

    Masih dalam pertemuan tersebut, Wahyu lanjut Qohar juga menyampaikan pada Arianto untuk segera menyiapkan biaya kepengurusan perkara tersebut.

    Atas permintaan dari Wahyu itu, Arianto lantas menyampaikan hasil pertemuannya kepada Marcella Santoso yang kemudian ditindaklanjuti dengan bertemu Syafei.

    Qohar menjelaskan, pertemuan antara Marcella dan Syafei terjadi di rumah makan Daun Muda di Jalan Walter Mongonsidi, Jakarta Selatan.

    “MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh dari AR dimana saat itu WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” jelas Qohar.

    Setelah mendapat informasi dari Marcella, Syafei pun mengatakan bahwa telah dibentuk tim yang disiapkan untuk mengurus perkara tersebut.

    Selang dua pekan, Ariyanto kemudian kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan. Saat itu Wahyu menekankan pada Arianto agar perkara tersebut segera diurus.

    Usai memperoleh informasi itu, Arianto lantas kembali menyampaikannya kepada Marcella Santoso.

    “Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi,” ucapnya.

    “Dan saat itu MSY memberitahukan atau mengatakan bahwa biaya yang disediakan korporasi sebesar Rp 20 miliar,” katanya.

    Berdasarkan hasil pertemuan dengan Syafei, Marcella kemudian menggelar pertemuan dengan Arianto, Wahyu dan tersangka sekaligus mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta di Rumah Makan Layer Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

    Dalam pertemuan itu Arif Nuryanta mengultimatum Marcella dan Arianto bahwa perkara minyak goreng tersebut tidak bisa diputus bebas.

    “Tetapi bisa diputus Onslag dan yang bersangkutan dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryanta meminta agar uang Rp 20 miliar dikalikan jadi tiga sehingga jumlah totalnya Rp 60 miliar,” ujar Qohar.

    Setelah pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan menyampaikan lagi kepada Arianto untuk segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar seperti yang diminta Arif.

    Arianto kemudian menyampaikan kepada Marcella dan lalu dilanjutkan lagi kepada Syafei.Saat Marcella menghubungi Syafei, pegawai Wilmar Group itu pun menyanggupi dan akan menyiapkan uang tersebut dalam bentuk dollar Amerika Serikat (USD) atau Dollar Singapura (SGD).

    Syafei kemudian menghubungi Marcella dan menyatakan bahwa uang suap tersebut telah siap untuk diantar.

    “Selanjutnya MS memberikan nomor Hp AR ke MSY untuk pelaksanaan penyerahan. Setelah ada komunikasi antara AR dan MSY, kemudian AR bertemu dengan MSY diperkirakan SCBD dan selanjutnya MSY menyerahkan uang tersebut kepada AR,” jelasnya.

    KASUS SUAP – Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025). Ia menyampaikan pihaknya kembali menetapkan satu orang tersangka baru dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. (Tangkap layar kanal YouTube KEJAKSAAN RI)

    Usai menerima uang dari Syafei, Arianto langsung mengantarkannya ke rumah Wahyu Gunawan di Cluster Ebonny Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

    Setelah menerima uang, Wahyu lantas menyerahkannya kepada Arif Nuryanta dan ia mendapat jatah sebesar 50.000 USD atau setara Rp 800 juta (kurs rupiah saat ini).

    “Kemudian berdasarkan keterangan saksi dan dokumen baik yang diperoleh hari ini maupun dua hari lalu, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY dimana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” jelas Qohar.

    Untuk informasi, Kejaksaan Agung sebelumnya telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Ketujuh orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin. 

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. 

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut.

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut. 

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya. 

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan. 

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya. 

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs. 

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

  • Kejagung Ungkap Sumber Suap Rp 60 M ke Ketua PN Jaksel hingga Hakim Kasus Migor

    Kejagung Ungkap Sumber Suap Rp 60 M ke Ketua PN Jaksel hingga Hakim Kasus Migor

    Jakarta

    Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap asal-usul duit sogokan Rp 60 miliar ke hakim di balik vonis ontslag atau lepas terhadap terdakwa korporasi perkara korupsi minyak goreng. Belakangan diungkap uang itu berasal dari seseorang berinisial MSY.

    Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menyebut pihaknya telah menetapkan MSY atau Muhammad Syafei selaku Head of Social Security and License Wilmar Group sebagai tersangka baru dalam perkara itu. Dengan penetapan itu, total ada delapan tersangka yang dijerat Kejagung dalam skandal suap itu.

    “Penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup, sehingga pada malam ini menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY. Dimana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” kata Qohar dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025) malam.

    Qohar menyebut dugaan suap tersebut berawal saat pertemuan antara Ariyanto (AR) selaku pengacara dari terdakwa korporasi kasus korupsi bahan baku minyak goreng dengan panitera bernama Wahyu Gunawan (WG) di. Keduanya juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

    Dalam pertemuan itu, Wahyu menyampaikan kepada Ariyanto bahwa perkara yang tengah berproses di PN Tipikor Jakpus itu harus diurus. Jika tidak, maka putusan yang dijatuhkan bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa.

    “Dalam pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan juga menyampaikan agar AR selaku pihak korporasi untuk menyiapkan biaya kepengurusannya,” ungkap Qohar.

    Mendapat informasi itu, Marcella kemudian bertemu dengan Syafei guna menyampaikan informasi biaya pengurusan perkara tersebut. Syafei menyanggupinya.

    Hanya saja, kala itu dia menyampaikan bahwa biaya yang disediakan pihak korporasi hanya Rp 20 miliar. Menindaklanjuti hal itu, Wahyu bersama Ariyanto melakukan pertemuan dengan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN).

    “Dalam hal ini, MAN atau Muhammad Arif Nuryantah meminta agar uang Rp 20 miliar dikalikan tiga, sehingga jumlahnya Rp 60 miliar,” jelas Qohar.

    Setelah pertemuan tersebut, Wahyu menyampaikan kepada Ariyanto agar segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar tersebut. Permintaan itu diteruskan kepada Marcella yang kemudian menghubungi Syafei.

    Qohar menyebut bahwa Syafei menyanggupi permintaan Rp 60 miliar itu dan langsung menyiapkan uangnya dalam bentuk pecahan mata uang asing.

    Tak lama, Syafei menghubungi Marcella dan mengatakan bahwa uang yang diminta telah disiapkan. Dia juga menanyakan kemana uang tersebut harus diantar.

    Marcella kemudian mengarahkan Syafei kepada Ariyanto. Hingga akhirnya keduanya bertemu di kawasan SCBD, Jakarta Selatan dalam rangka penyerahan uang Rp 60 miliar.

    Uang senilai Rp 60 miliar itu kemudian diantarkan Ariyanto ke rumah panitera Wahyu Gunawan di kawasan Jakarta Utara. Oleh Wahyu uang tersebut langsung diserahkan kepada Arif.

    “Saat penyerahan uang tersebut, Arif memberikan uang kepada Wahyu Gunawan sebanyak USD 50 ribu (setara Rp 839,9 juta),” terang dia.

    Kini, Syafei (MSY) langsung ditahan di Rumah Tahanan Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan. Atas perbuatannya, Syafei dijerat Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sebanyak tujuh tersangka dalam skandal suap vonis lepas kasus migor. Ketujuh tersangka terdiri dari empat hakim, satu panitera dan dua pengacara. Berikut daftarnya:

    1.⁠ ⁠Muhammad Arif Nuryanto (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
    2.⁠ ⁠Djuyamto (DJU) selaku ketua majelis hakim
    3.⁠ ⁠Agam Syarif Baharudin (ASB) selaku anggota majelis hakim
    4.⁠ ⁠Ali Muhtarom (AM) selaku anggota majelis hakim
    5.⁠ ⁠Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera
    6.⁠ ⁠Marcella Santoso (MS) selaku pengacara
    7.⁠ ⁠Ariyanto Bakri (AR) selaku pengacara

    Awalnya ada 3 korporasi yang sejatinya sedang diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group dalam perkara dugaan korupsi minyak goreng atau migor itu. Ketiganya memberikan kuasa pada Marcella dan Ariyanto. Secara mengejutkan, majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam, dan Ali menjatuhkan putusan ontslag atau lepas yang artinya bahwa perbuatan yang dilakukan 3 korporasi itu bukanlah tindak pidana.

    Dari pengusutan kejaksaan ditemukan adanya informasi dugaan suap di balik putusan itu. Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanto diketahui sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Waka PN Jakpus) yang memiliki wewenang menunjuk hakim yang mengadili perkara.

    Singkatnya terjadi kongkalikong antara pihak Marcella-Ariyanto dengan Muhammad Arif Nuryanto. Duit suap Rp 60 miliar mengalir ke Arif Nuryanto dan sebagian di antaranya dialirkan ke 3 majelis hakim. Sedangkan Wahyu Gunawan selaku panitera menjadi perantara suap.

    (ond/fca)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap awal mula kasus suap vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi CPO yang menyeret hakim pengadilan terjadi.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu sebagai Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat bertemu dengan pengacara terdakwa yang kini juga tersangka kasus suap, yakni Ariyanto.

    Dalam pertemuan itu, Wahyu mengancam putusan perkara ini bisa dihukum maksimal, bahkan lebih jika tidak memberikan uang.

    “Di mana pada saat itu Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus jika tidak putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    “Dalam pertemuan tersebut Wahyu Gunawan juga menyampaikan agar Ariyanto yang dalam hal ini selaku penasihat korporasi untuk menyiapkan biaya pengurusannya,” sambungnya.

    Atas permintaan itu, Ariyanto pun menghubungi rekannya, Marcella Santoso. Selanjurnya, Marcella bertemu Muhammad Syafei atau MSY yang merupakan tim Legal PT Wilmar Group sebagai terdakwa korporasi.

    Pertemuan itu dilakukan di sebuah rumah makan, yakni Daun Muda Soulfood by Peresthu – Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan untuk membahas permintaan tersebut. Namun, Syafei berdalih sudah ada yang mengurus.

    “Sekitar 2 minggu kemudian, AR dihubungi oleh WG. Pada saat itu WG menyampaikan kembali agar perkara ini segera diurus. Setelah mendapat info tersebut kemudian AR menyampaikan kembali kepada MS. Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi,” tuturnya.

    Awalnya, Syafei menyebut perusahaan hanya menyanggupi membayar Rp20 miliar.

    Setelahnya, Ariyanto bertemu dengan Wahyu dan Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

    “Dalam pertemuan tersebut Muhammad Arif Nuryanta mengatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas. Ini sebagai permintaan yang pertama tadi kepada WG dan ini jawabannya,” tuturnya.

    “Tetapi bisa diputus onslag dan ybs dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryantah meminta agar uang Rp20 miliar itu dikali 3 sehingga jumlahnya total Rp60 miliar,” imbuhnya.

    Singkat cerita, Syafei menyanggupi permintaan Rp60 miliar tersebut dan uangnya akan diserahkan ke Wahyu di rumahnya di Cluster Eboni Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

    Setelahnya, uang itu diserahkan kepada Arif dan Wahyu mendapat komisi perantara sebesar 50.000 USD.

    Dalam kasus ini, Syafei pun ditetapkan sebagai tersangka. Dia pun menjadi tersangka ke-8 dalam perkara ini.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Ketujuh orang itu, yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat.

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut.

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut.

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya.

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan.

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya.

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs.

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

     

  • Bertambah 1 Lagi, Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi CPO Jadi 8 Orang

    Bertambah 1 Lagi, Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi CPO Jadi 8 Orang

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan satu tersangka baru dalam kasus suap terkait vonis lepas korporasi terdakwa korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Total tersangka saat ini sudah delapan orang.

    Sosok tersangka baru yang diumumkan Kejagung malam ini, adalah Muhammad Syafei (MSY) yang merupakan social security legal Wilmar Group.

    “Berdasarkan keterangan saksi dan dokumen, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Qohar mengatakan MSY langsung ditahan di Rumah Tahanan Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan terhitung hari ini untuk kebutuhan penyidikan.

    Dalam perkara ini, MSY berperan sebagai pihak yang menyiapkan dana sebesar Rp 60 miliar untuk menyuap hakim agar memvonis bebas terdakwa kasus korupsi ekspor CPO.

    Ada tiga perusahaan yang terlibat dalam kasus korupsi ekspor CPO, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Ketiga perusahaan itu divonis lepas oleh majelis hakim pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    Belakangan terungkap hakim yang memvonis lepas ketiga terdakwa korporasi yang terlibat korupsi CPO itu diduga menerima suap Rp 60 miliar.

    Kejagung sejauh ini sudah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor CPO. Selain Muhammad Syafei, tujuh 

    tersangka lain, adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara Wahyu Gunawan, kuasa hukum korporasi Marcella Santoso, dan Ariyanto Bakri. 

    Kemudian tiga tersangka lagi merupakan majelis hakim yang memvonis lepas tiga terdakwa korporasi yang melakukan korupsi dalam ekspor CPO, yakni Djuyamto (ketua majelis hakim), Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom.

  • Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    BREAKING NEWS: Kejagung Tambah 1 Tersangka Suap Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan satu orang tersangka baru dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik Jampidsus Kejagung menemukan alat bukti yang cukup

    Adapun tersangka baru ini, yakni Head and Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY).

    “Sehingga malam ini, menetapkan 1 orang tersangka atas nama MSY di mana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Adapun pasal yang disangkakan kepada yang bersangkutan yaitu melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a, juncto Pasal 5 Ayat 1, juncto Pasal 13, juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat 1 di Tap UU Hukum Pidana.

    “Terhadap tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan, terhitung mulai hari ini di rutan Salemba Cabang Kejagung RI,” ucapnya.

    Untuk informasi, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Ketujuh orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin. 

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. 

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut. 

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut. 

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya. 

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan. 

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya. 

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs. 

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

  • Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3 Nasional 15 April 2025

    Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut, tersangka kasus dugaan suap, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) menjanjikan perkara ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar bisa diputus lepas atau
    ontslag
    .
    Pasalnya, Arif yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) menyatakan bahwa tiga perkara tersebut tidak bisa diputus bebas.
    Hal itu terungkap dalam pernyataan terbaru Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar.
    Qohar mengungkapkan, keputusan onslag itu dijanjikan Arif saat bertemu dengan tersangka Ariyato (AR) yang merupakan advokat korporasi, dan tersangka Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera muda perdata PN Jakpus.
    “Kemudian, AR, WG, dan MAN bertemu di Kelapa Gading dan dalam pertemuan tersebut MAN menyatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas. Tetapi, bisa diputus onslag,” kata Qohar dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (15/4/2025).
    Kemudian, Qohar menyebut, Arif meminta uang yang disiapkan untuk pengurusan perkara tersebut dikalikan tiga.
    Sebelumnya, pihak korporasi disebut menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar untuk mengurus perkara ekspor CPO tersebut di PN Jakpus.
    “Yang bersangkutan atau MAN meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga jumlahnya total Rp 60 miliar,” ujar Qohar.
    Lebih lanjut, Qohar menjelaskan bahwa pihak korporasi menyetujui permintaan tersebut. Lalu, melalui AR, uang tersebut diantar ke rumah tersangka WG.
    Selanjutnya, oleh WG uang tersebut diserahkan kepada Arif.
    “Saat penyerahan tersebut, MAN memberikan uang kepada WG sebanyak 50.000 dollar Amerika Serikat (AS),” kata Qohar.
    Sebelumnya, Kejagung menduga bahwa uang suap senilai Rp 60 miliar itu diberikan kepada Arif untuk menentukan susunan majelis hakim sekaligus memastikan putusan menyebutkan para korporasi dinyatakan bukan suatu tindak pidana.
    Kemudian, Qohar mengatakan bahwa Arif memberikan sebesar Rp 22,5 miliar kepada tiga hakim agar putusan perkara tiga korporasi besar itu
    ontslag
    atau putusan lepas.
    Ketiga hakim itu adalah Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto.
    Diketahui, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto adalah hakim tersebut yang menangani tiga perkara terkait ekspor CPO dengan terdakwa korporasi yang tergabung dalam PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
    Dalam putusan tiga perkara, majelis hakim yang diketuai oleh Djuyamto menyatakan bahwa para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer maupun subsider penuntut umum.
    Akan tetapi, perbuatan itu dinilai bukan merupakan suatu tindak pidana. Sehingga, para terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum atau
    ontslag
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas Nasional 15 April 2025

    Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) menggeledah sejumlah tempat terkait
    kasus suap hakim
    Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam
    kasus ekspor CPO
    minyak goreng. Dari penggeledahan, Kejagung menyita mobil mewah hingga sepeda Brompton.
    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan hasil penggeledahan ini dalam jumpa pers di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025) malam.
    “Tim penyidik jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus RI telah melakukan penggeledahan pada 3 tempat di 2 provinsi,” kata Abdul Qohar.
    Dia menjelaskan, timnya telah menemukan sejumlah barang bukti dari penggeledahan di 3 tempat-2 provinsi itu. Barang itu berupa dokumen hingga kendaraan.
    “Tim menemukan barang bukti berupa dokumen, kemudian telah melakukan penyitaan untuk 2 unit mobil Mercedes Benz, 1 mobil merek Honda CRV, dan 4 sepeda Bromptom,” kata Abdul Qohar.
    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ada empat hakim yang menjadi tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO untuk tiga perusahaan. Mereka adalah:
    1. Muhammad Arif Nuryanta (MAN)

    2. Agam Syarif Baharuddin (ASB)

    3. Ali Muhtarom (AM)

    4. Djuyamto (DJU)
    Kejagung menduga ketiga tersangka itu menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu
    ontslag
    atau putusan lepas.
    Abdul Qohar menjelaskan, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto pertama kali menerima suap dari Arif sebesar Rp 4,5 miliar yang dibagi rata untuk ketiganya.
    Selanjutnya uang suap tahap kedua diberikan Arif kepada hakim Djuyamto. Uang suap diberikan dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai Rp 18 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Kirim Surpres ke DPR, Revisi KUHAP Segera Dibahas Pemerintah Cs

    Prabowo Kirim Surpres ke DPR, Revisi KUHAP Segera Dibahas Pemerintah Cs

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan menggelar rapat koordinasi untuk menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP. 

    Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah mengirimkan surat presiden (surpres) kepada pimpinan DPR mengenai wakil pemerintah yang akan membahas revisi KUHAP. 

    Menyusul surpres itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, rapat koordinasi akan segera digelar bersama dengan Menteri Sekretaris Negara, Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung serta Polri. 

    “Jadi DIM-nya itu di Kementerian Hukum, kami lagi akan melakukan rapat koordinasi dengan Mahkamah Agung, kemudian Mensesneg, kemudian Kejaksaan Agung, Kepolisian untuk meminta masukan dalam rangka penyusunan,” ungkapnya saat ditemui di kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Selasa (15/4/2025). 

    Supratman mengaku sudah melihat sejumlah aturan yang dimuat dalam draf revisi KUHAP. Dia menyebut revisi lebih banyak ditujukan untuk perlindungan hak asasi manusia (HAM) para pihak berperkara hukum, dalam hal ini tersangka. 

    Sementara itu, tupoksi antara penegak hukum yakni Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan dinilai tidak banyak berubah. Supratman bahkan mengaku perubahan pada aspek tersebut hampir tidak ada. 

    “Hampir enggak ada [perubahan, red]. Dan yang terakhir menyangkut soal pengaturan, ya supaya memberi kepastian hukum, yakni restorative justice. Jadi itu yang banyak yang muncul. Yang lain enggak ada,” paparnya. 

    Adapun, Ketua DPR Puan Maharani menyebut pembahasan revisi KUHAP baru akan dilaksanakan setelah pembukaan masa sidang tanggal 17 April 2025 mendatang. Saat ini, DPR masih dalam masa reses. Dia mengaku belum ada pembahasan formal mengenai revisi KUHAP sejauh ini di DPR. 

    “Kami baru akan masuk dalam sidang yang akan datang nanti tanggal 17. Jadi sidangnya belum mulai. Ini belum masuk masa sidang. Semuanya masih dalam rangka libur lebaran dan masa reses,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/4/2025).

    Namun demikian, Komisi III DPR sudah mulai menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan perwakilan masyarakat guna menjaring masukan untuk revisi KUHAP. 

    Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan DPR supaya tidak terburu-buru dalam membahas revisi KUHAP. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menekankan bahwa parlemen perlu hati-hati dalam membahas revisi KUHAP karena menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. 

    Dia mencontohkan banyak sekali kejadian sehari-hari yang masyarakat alami seperti salah penangkapan tersangka, bahkan hingga ada penyiksaan dan orang meninggal dalam tahanan. 

    “Jadi kami ingatkan agar pembahasan tidak terburu-buru, perlahan-lahan, dan tidak seolah ditargetkan akan selesai misalnya bulan Mei atau bulan Juni,” katanya seusai memenuhi undangan informasi dari Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/4/2025).

    Di sisi lain, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyebut revisi KUHAP yang akan dibahas ini merupakan pertama kalinya dalam 44 tahun. Revisi itu sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan mulai berlaku pada awal 2026. 

    Pria yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menuturkan, perbaikan pada KUHAP yang akan dibahas parlemen bakal menyesuaikan KUHP baru. KUHAP baru disebut bakal menyesuaikan nilai-nilai restoratif, restitutif dan rehabilitatif yang ada pada KUHP baru. Terdapat sejumlah garis besar perbaikan yang akan tertuang pada revisi KUHAP tersebut. 

    Beberapa aspek yang akan menjadi poin revisi adalag pencegahan kekerasan dalam proses penyidikan, penguatan peran advokat, memaksimalkan keadilan restoratif, perlindungan hak-hak kelompok rentan pada proses hukum serta penambahan syarat penahanan. 

    “Ya, intinya nih, KUHAP baru tidak mengubah kewenangan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana,” ujar Habiburokhman di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/3/2025). 

  • Perusahaan Surya Darmadi Raup Rp 2,2 Triliun Hasil Korupsi, Uangnya Dipakai Beli Helikopter hingga Kapal
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Perusahaan Surya Darmadi Raup Rp 2,2 Triliun Hasil Korupsi, Uangnya Dipakai Beli Helikopter hingga Kapal Nasional 15 April 2025

    Perusahaan Surya Darmadi Raup Rp 2,2 Triliun Hasil Korupsi, Uangnya Dipakai Beli Helikopter hingga Kapal
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Tujuh perusahaan di bawah payung PT Duta Palma Group milik taipan
    Surya Darmadi
    didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsi penyerobotan lahan kawasan hutan di Riau.
    Jaksa penuntut umum dari
    Kejaksaan Agung
    dalam surat dakwaannya menyebut, lima dari tujuh perusahaan, yakni PT Palma Satu, PT Seberida Subur, PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, dan PT Kencana Amal Tani, diduga melakukan korupsi penyerobotan lahan di Riau.
    “Dari kegiatan usaha ilegal tersebut telah memperoleh keuntungan antara lain sebesar Rp 2.238.274.248.234 yang merupakan hasil tindak pidana korupsi,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2025).
    Menurut jaksa, sejak 2016 hingga 2022, kelima perusahaan tersebut mentransfer uang yang diduga diperoleh dari korupsi ke perusahaan holding perkebunan milik Surya Darmadi, PT Darmex Plantation.
    Perusahaan holding itu kemudian menempatkan dana dalam bentuk pembagian dividen, pembayaran utang pemegang saham, dan penyetoran modal.
    PT Darmex Plantation juga mentransfer dana ke perusahaan Surya Darmadi lainnya, PT Asset Pacific, PT Monterado Mas, PT Alfa Ledo, dan ke perusahaan-perusahaan lainnya.
    Dalam uraian jaksa, aliran dana ke PT Asset Pacific bahkan mencapai Rp 1,945 triliun.
    Uang itu kemudian digunakan untuk membeli berbagai hal, termasuk dividen untuk Surya Darmadi.
    “Pada bulan Juli 2024 terdapat dividen terdakwa I PT Darmex Plantations kepada Surya Darmadi sebesar Rp 499.999.666.667 (Rp 499,9 miliar),” ujar jaksa.
    Uang hasil korupsi itu juga diduga digunakan untuk beralih menjadi perusahaan
    trading crude palm oil
    (CPO) atau minyak mentah di Singapura, yakni Waxbill Pte Ltd dan Palm Bridge Pte Ltd.
    Selain itu, uang juga digunakan untuk membeli perusahaan properti di Australia bernama Asset Pacific Pty Ltd dan Palma Pacific Pte Ltd.
    Selain itu, uang juga digunakan untuk membeli apartemen, rumah susun, lahan, dan lainnya.
    Kemudian, uang juga digunakan untuk membeli kapal tongkang, sejumlah kapal Royal Palma (untuk menarik tongkang), tug boat, dan helikopter.
    “PT Dabi Air Nusantara merupakan perusahaan penerbangan yang 25 persen sahamnya dalam bentuk helikopter milik Surya Darmadi,” tutur jaksa.
    Karena perbuatan tersebut, ketujuh perusahaan Surya Darmadi didakwa melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 juncto Pasal 7 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.