Kementrian Lembaga: Kejagung

  • Merasa Dizalimi dalam Kasus Korupsi Timah, Helena Lim: Saya Dijadikan Talenan oleh JPU

    Merasa Dizalimi dalam Kasus Korupsi Timah, Helena Lim: Saya Dijadikan Talenan oleh JPU

    ERA.id – Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim membantah jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menyebut bahwa QSE adalah alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter.

    “Saya menyatakan penolakan keras,” kata Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dikutip Antara, Jumat (13/12/2024).

    Transaksi pembelian valuta asing oleh terdakwa Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya, kata dia, bukan transaksi fiktif dan juga bukan merupakan tindakan bantuan alat pengumpulan dana, melainkan transaksi pembelian valuta asing.

    Diungkapkan pula bahwa valuta asing yang dibeli oleh para terdakwa pun sudah diterima dengan lengkap dan sudah diakui oleh mereka. Helena menegaskan bahwa keuntungannya kurang lebih sama dengan keuntungan jasa money changer atau penukaran uang lainnya.

    “Tidak ada suatu keuntungan lebih sehingga dapat dianggap sebagai dasar argumentasi bahwa saya dan/atau PT QSE berperan sebagai alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter,” tegasnya.

    Dalam kesempatan tersebut, Helena mengakui sudah melakukan kelalaian administrasi sebelum mengenal Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya. Meskipun demikian, dia mengaku tidak ada urusan dan tidak mau tahu urusan smelter Harvey dengan PT Timah Tbk.

    “Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh jaksa penuntut umum. Hanya karena saya seorang figur publik, dijadikan chopping board, talenan oleh jaksa penuntut umum,” kata Helena.

    Pada hari Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

    JPU menilai Helena melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.

    Selain pidana penjara, JPU turut menuntut agar majelis hakim menghukum Helena dengan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

    Helena juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah dilakukan penyitaan.

    Dalam kasus korupsi timah, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.

    Uang korupsi itu diduga berasal dari biaya pengamanan alat processing atau pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

    Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

    Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.

    Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan negara senilai total Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

  • Helena Lim Curhat, Julukan Crazy Rich yang Dulu Dibanggakan Kini Menamparnya

    Helena Lim Curhat, Julukan Crazy Rich yang Dulu Dibanggakan Kini Menamparnya

    ERA.id – Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim menyampaikan bahwa stigma Crazy Rich PIK dimanfaatkan dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum.

    “Perkara ini memanfaatkan hiperbola dunia showbiz agar muncul kenyinyiran, bahkan kebencian masyarakat terhadap stigma Crazy Rich PIK untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum,” ucap Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis kemarin.

    Helena mengatakan bahwa seorang crazy rich yang menjadi terdakwa korupsi, berikut dengan citra bahwa orang tersebut kaya dari uang rakyat, menjadi drama favorit para warganet.

    Drama tersebut, kata dia, membuat Helena dan keluarganya merasa terluka, dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

    Padahal, Helena mengaku sempat bangga dengan jargon Crazy Rich PIK yang disematkan pada dirinya. Menurut dia, pemberian julukan tersebut merupakan apresiasi dari warganet atas hasil kerja kerasnya.

    “Namun, ternyata, Yang Mulia, harga sebuah popularitas itu sangat mahal. Mahal sekali. Saya membayarnya dengan harga diri saya,” ucap Helena.

    Pada hari Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

    JPU menilai Helena melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.

    Selain pidana penjara, JPU turut menuntut agar majelis hakim menghukum Helena dengan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

    Helena juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah dilakukan penyitaan.

    Dalam kasus korupsi timah, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.

    Uang korupsi itu diduga berasal dari biaya pengamanan alat processing atau pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

    Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

    Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.

    Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan negara senilai total Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

  • Kejagung Periksa Ipar hingga Adik Lisa Rahmat, Jadi Saksi Pemufakatan Jahat Kasus Ronald Tannur

    Kejagung Periksa Ipar hingga Adik Lisa Rahmat, Jadi Saksi Pemufakatan Jahat Kasus Ronald Tannur

    ERA.id – Kejaksaan Agung memeriksa anggota keluarga tersangka Lisa Rahmat (LR), pengacara Ronald Tannur, sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan pemufakatan jahat berupa suap.

    “Tim jaksa penyidik Jampidsus memeriksa SA selaku ipar tersangka LR dan DR selaku adik kandung tersangka LR,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar, dikutip Antara, Jumat (13/12/2024).

    Harli menjelaskan bahwa dua orang saksi itu diperiksa dalam penyidikan atas nama tersangka Zarof Ricar (ZR) dan Lisa Rahmat.

    “Pemeriksaan saksi ini untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara tersebut,” ucapnya.

    Sebelumnya, Zarof Ricar dan Lisa Rahmat ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi suap dalam penanganan perkara untuk putusan kasasi Ronald Tannur.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan bahwa kasus dugaan pemufakatan jahat tersebut dilakukan Lisa Rahmat selaku pengacara Ronald Tannur bersama tersangka Zarof Ricar yang merupakan mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung.

    “LR meminta ZR agar mengupayakan hakim agung pada Mahkamah Agung tetap menyatakan Ronald Tannur tidak bersalah dalam keputusan kasasinya,” ujar Qohar.

    Lisa menjanjikan uang sebesar Rp5 miliar untuk tiga hakim agung berinisial S, A, dan S, sedangkan Zarof dijanjikan upah sebesar Rp1 miliar atas jasanya. Akan tetapi, kata Qohar, uang tersebut belum diberikan oleh Zarof kepada tiga hakim agung tersebut.

    Sementara itu, tim pemeriksa Mahkamah Agung menemukan fakta bahwa Zarof Ricar pernah bertemu dengan Hakim Agung Soesilo (S) selaku ketua majelis yang menangani perkara kasasi dimaksud.

    Menurut tim pemeriksa, Zarof Ricar bertemu secara singkat dengan Hakim Agung Soesilo pada acara pengukuhan guru besar honoris causa di Universitas Negeri Makassar tanggal 27 September 2024 dan sempat menyinggung soal kasasi Ronald Tannur, tetapi Soesilo tidak menanggapi Zarof.

    Pertemuan tersebut terjadi tanpa direncanakan. Zarof Ricar dan Soesilo disebut bertemu di dalam lift.

  • Yusril Pastikan Mary Jane Diserahkan ke Pemerintah Filipina Sebelum Natal

    Yusril Pastikan Mary Jane Diserahkan ke Pemerintah Filipina Sebelum Natal

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebut terpidana hukuman mati kasus narkotika Mary Jane Veloso akan dikembalikan ke negara asalnya yakni Filipina pada sekitar 20 Desember 2024. 

    Yusril menyebut, pemerintah sudah menargetkan pengembalian Mary Jane ke pemerintah Filipina dilakukan sebelum Natal, yang jatuh pada 25 Desember. Hal itu diungkapnya usai menghadiri rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/12/2024). 

    “Insyaallah sekitar 20 Desember,” kata Yusril kepada wartawan, dikutip Sabtu (14/12/2024). 

    Mantan Menteri Kehakiman era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri itu mengatakan, pemerintah RI dan Filipina sudah menyetujui teknis pemulangan Mary Jane. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kejaksaan Agung serta Polri dilibatkan dalam pembicaraan level teknis. 

    Kejaksaan Agung, khususnya, bakal menghapuskan nama terpidana kasus narkoba itu dari daftar eksekusi hukuman mati. Seperti diketahui, Mary Jane dijatuhi hukuman pidana mati di Indonesia. Artinya, dengan pengembaliannya ke Filipina, maka dia batal dieksekusi. 

    Dalam catatan Bisnis, Mary Jane Veloso ditangkap di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta karena kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin pada April 2010. Kemudian, Mary Jane divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta pada Oktober 2010.  

    Sebelum pelaksanaan eksekusi mati, Mary Jane telah melakukan berbagai upaya hukum agar terbebas dari vonis itu, termasuk dia juga melayangkan grasi dan ditolak oleh Presiden ke-7 Joko Widodo.  

    Pada 29 April 2015, Mary Jane lolos dieksekusi lantaran Presiden Filipina Benigno Aquino meminta agar pemerintah Indonesia menunda eksekusi mati Mary Jane. Pasalnya, orang yang merekrut Mary Jane untuk menyelundupkan narkoba ke Indonesia melalui Yogyakarta, yaitu Maria Kristina Sergio telah menyerahkan diri kepada polisi di Filipina.  

    Dengan demikian, kesaksian Mary Jane masih diperlukan untuk mengungkap kasus perdagangan manusia atau human trafficking kala itu.  

    Singkatnya, setelah hampir sembilan tahun negosiasi yang dilakukan pemerintah Filipina terhadap Indonesia, Mary Jane akhirnya dapat pulang ke negara asalnya.

  • Mahfud MD dan Tantangannya pada Komnas HAM

    Mahfud MD dan Tantangannya pada Komnas HAM

    JAKARTA – Segala tuntutan pengusutan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di masa lalu, harus segera diselesaikan agar tidak ada lagi pihak yang memanfaatkan sebagai komoditas politik. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD setelah dirinya menerima kunjungan dari utusan parlemen Selandia Baru.

    Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengatakan, saat melakukan pertemuan, dia memberikan penjelasan pada utusan parlemen Selandia Baru terkait pelanggaran HAM di Indonesia. Mahfud bilang, kasus pelanggaran hak asasi ini terbagi tiga yaitu, pelanggaran masa lalu, masa kini, dan masa depan.

    “(Pelanggaran) yang masa lalu sebenarnya selalu menjadi komoditas politik yang harus diselesaikan. Salah satu cara penyelesaiannya adalah non-yudisial,” kata Mahfud kepada wartawan di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa, 19 November.

    Cara non-yudisial seperti apa, Mahfud memang tak menjelaskan. Tapi, cara ini diambil karena menurutnya korban, pelaku, dan barang buktinya kini sudah tak ada lagi.

    Untuk membuktikan komitmennya melakukan penyelesaian kasus HAM, Mahfud kemudian menantang Komisi Nasional (Komnas) HAM untuk memberikan bukti terkait pelanggaran hak asasi di masa lalu. Termasuk pelanggaran HAM berat yang terjadi saat peristiwa tahun 1956.

    Menurutnya, selama ini Komnas HAM justru kerap tarik ulur dengan Kejaksaan Agung. Hal ini dinilai Mahfud, karena tiap Komnas HAM menyerahkan bukti pada Kejaksaan Agung dan bukti itu dikembalikan karena kurang lengkap, alih-alih melengkapi bukti pelanggaran, mereka tak memperbaikinya.

    “Jaksa Agung mengembalikan, ‘nih anda perbaiki’, lalu bukan perbaikan yang diberikan, tapi tanggapan. Sampai berkali-kali itu. Nah kita clear-kan saja itu,” ungkapnya.

    Sehingga, Mahfud meminta agar Komnas HAM bisa menunjukkan bukti yang kuat untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

    Bahkan, dia mengatakan, jika bukti dan data yang disampaikan sudah kuat maka bukan tak mungkin dirinya sendiri yang membawa ke pengadilan untuk penyelesaian kasus tersebut.

    “Saya kira Komnas HAM cukup dewasa untuk tahu. Kalau memang bisa, ayo, saya yang bawa ke pengadilan,” tegas dia.

    Sedangkan di Papua, Mahfud meminta agar pihak lain tak selalu mengaitkan tindakan represif yang ada di sana sebagai salah satu pelanggaran HAM. Sebab, yang terjadi bukan selalu soal pelanggaran hak asasi tapi penegakan hukum di wilayah Indonesia.

    Apalagi, penegakan hukum ini dirasa perlu mengingat ketika kerusuhan terjadi, peristiwa ini kerap ditunggangi oleh pihak separatis. “Kita punya UU juga keamanan dan ketertiban yang menjamin memberi hak kepada negara untuk melakukan langkah-langkah keamanan. Jadi bukan pelanggaran HAM,” ungkap dia.

    “Nah, yang saya katakan pelanggaran HAM di Papua itu terjadi secara horizontal. Kelompok dengan kelompok lainnya di tingkat rakyat sendiri, itu tidak bisa dibantah,” imbuhnya.

    Terkait pelanggaran hak asasi secara horizontal, Mahfud mengatakan hal itu sedang diupayakan oleh pemerintah agar bisa segera diselesaikan dan prosesnya masih berlangsung hingga saat ini.

    Mahfud, yang dilantik sebagai Menkopolhukam pada 20 Oktober 2019 ini, mengatakan dirinya mendapat mandat untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia khususnya pelanggaran berat masa lalu. Kata dia, mandat ini disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara usai pelantikan para menteri.

    Sebagai tindak lanjut, Mahfud bahkan mengatakan dia bakal menghidupkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi. Gagasan ini juga sudah disampaikan pada Presiden Joko Widodo.

    Komisi ini bukan barang baru sebenarnya. Karena sebelumnya, KKR pernah diundangkan dalam UU 27/2004. Namun di tahun 2006, perundangan ini dibatalkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Jimly Asshidiqie. Pembatalan ini disebabkan undang-undang ini dianggap tak memiliki konsistensi sehingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

  • Ledakan di Kantor Kejari Parepare, Barbuk Detonator yang Ditanam Atau Teror?

    Ledakan di Kantor Kejari Parepare, Barbuk Detonator yang Ditanam Atau Teror?

    JAKARTA – Selasa sore, 19 November, di wilayah Parepare, Sulawesi Selatan, terasa begitu tenang layaknya hari-hari sebelumnya. Namun, kondisi itu seketika berubah saat terdengar suara ledakan.

    Tanah bergetar dan beberapa kaca bangunan Kejaksaan Negeri (Kejari) Parepare pecah. Seluruh karyawan panik yang kemudian behamburan keluar gedung. Ledakan disebut terjadi di halaman belakang.

    Belum diketahui sumber ledakan tersebut. Meski, banyak yang mengira jika suara dentuman itu berasal dari bom. Mengingat belum lama ini telah terjadi aksi bom bunuh diri di Polrestabes Medan.

    “Benar terjadi ledakan, kita belum bisa duga ledakan dari mana. Kejadian sekitar pukul 14.45 WITA,” ucap Kadiv Humas Polri Irjen Pol Muhammad Iqbal di Jakarta, Selasa, 19 November.

    Untuk mengetahui sumber ledakan, polisi setempat dan tim penjinak bom (Jibom) telah diturunkan. Olah tempat kejadian perkara dan mencari petunjuk soal ledakan pun dilakukan.

    “Lapolres Parepare dan Jibom sedang lakukan olah TKP antisipasi ledakan susulan,” katanya

    Selain itu, dari catatan sementara tak ada korban jiwa atau pun luka-luka yang diakibatkan ledakan tersebut. “Sementara belum ada korban,” ucapnya singkat.

    Terpisah, Kasie Intel Kejari Parepare Amirudin mengatakan sumber ledakan berasal dari detonator aktif yang merupakan sisa barang bukti. Sebelumnya, alat pemicu itu telah dimusnahkan beberapa waktu.

    Dalam pemusnahan detonator itu dengan cara ditimbun dengan tanah lalu dicor dengan semen. Sehingga, kuat dugaan ledakan itu bersumber dari sisa barang bukti tersebut lantaran lokasi ledakan merupakan tempat pemusnahan barang sitaan tersebut.

    “Yang meledak itu adalah detonator yang masih aktif. Diduga seperti itu karena lokasi kejadiannya di tempat kita lakukan pemusnahan barang bukti detonator September lalu,” ujar Amiruddin.

    Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Mukri menduga jika ledakan dipicu dengan adanya kegiatan pembakaran sampah di sekitar loaksi. Sehingga, api pun memicu ledakan pada detonator yang telah ditimbun di dalam tanah.

    “Jadi ada tukang cleaning service yang bakar sampah di bak sampah Kejari Parepare, lalu bak sampah itu kebetulan jadi tempat lokasi pemusnahan barbuk (barang bukti) bom ikan. Jadi pas bakar sampah, rupanya kena itu barbuk,” kata Mukri. 

  • Banyak Negara Ajukan Pemindahan Narapidana, Pemerintah Perlu Hati-Hati Ambil Keputusan

    Banyak Negara Ajukan Pemindahan Narapidana, Pemerintah Perlu Hati-Hati Ambil Keputusan

    Banyak Negara Ajukan Pemindahan Narapidana, Pemerintah Perlu Hati-Hati Ambil Keputusan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi XIII
    DPR
    RI Pangeran Khairul Saleh mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait
    pemindahan narapidana
    di Indonesia ke negara asalnya atau
    transfer of prisoner
    .
    Sebab, saat ini mulai banyak negara yang meminta Indonesia melakukan transfer of prisoner, setelah keputusan memindahkan narapidana kasus narkoba Mary Jane Veloso ke negara asalnya, yakni Filipina.
    “Permintaan pemindahan narapidana oleh berbagai negara dapat menciptakan tantangan bagi penegakan hukum di Indonesia,” ujar Pangeran dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/12/2024).
    Menurut Pangeran, kehati-hatian sangat diperlukan karena dia khawatir pemindahan narapidana tanpa dasar hukum yang jelas, justru menimbulkan persoalan hukum baru di Indonesia.
    “Kami berharap Pemerintah lebih hati-hati dalam membuat keputusan. Jangan sampai menabrak konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi,” kata Pangeran.
    Selain itu, lanjut Pangeran, pemindahan narapidana ke negara asal tanpa alasan kuat juga dianggap dapat menimbulkan kecemburuan di masyarakat.
    Dia pun khawatir kondisi tersebut akan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, karena dianggap memiliki standar ganda dalam penegakan hukum.
    “Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini berpotensi memperburuk ketimpangan dalam sistem peradilan, dan mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi hukum,” kata Pangeran.
    “Jadi dapat mengurangi kepatuhan terhadap hukum itu sendiri. Ini dapat memicu peningkatan tindak kriminal dan konflik sosial,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto mengungkapkan, ada tiga negara yang menyampaikan permohonan pemindahan narapidana.
    “Dari Perancis satu, kemudian dari Australia ada lima, kemudian Filipina ada satu,” kata Agus Andrianto usai bertemu Jaksa Agung di kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (25/11/2024).
    Untuk diketahui, Prancis meminta Indonesia untuk memindahkan warga negaranya, Serge Atlaoui yang mendapat hukuman mati atas kasus narkoba.
    Sedangkan Australia meminta pemerintah Indonesia untuk pemindahan penahanan lima anggota Bali Nine yang merupakan warga negara mereka.
    Adapun
    Presiden Prabowo
    Subianto sudah menyatakan keinginannya agar proses pemindahan narapidana asal Australia yang tergabung dalam “Bali Nine” dapat dilakukan sebelum Hari Raya Natal 2024.
    Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (5/12/2024).
    “Transfer ‘Bali Nine’ hanya tinggal menunggu waktu. Presiden Prabowo Subianto mengatakan kepada saya jika memungkinkan kami bisa mentransfer mereka bulan Desember ini. Secara spesifik Pak Prabowo mengatakan kepada saya jika mungkin, sebelum Natal,” kata Yusril.
    Saat ini, lima anggota “Bali Nine” masih menjalani hukuman di penjara Indonesia, yaitu Matthew Norman, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Scott Rush, dan Martin Stephens.
    Mereka dihukum penjara seumur hidup sebagai bagian dari jaringan penyelundup 8,202 kilogram heroin dari Indonesia ke Australia melalui Bandara Ngurah Rai, Bali, tahun 2005.
    Dua anggota lainnya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dieksekusi oleh regu tembak pada tahun 2015, sementara Tan Duc Thanh Nguyen meninggal dalam tahanan karena sakit kanker pada tahun 2018.
    Renae Lawrence, salah satu anggota “Bali Nine”, dibebaskan setelah hukumannya diringankan.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Budi Said Dituntut 16 Tahun Penjara dan Bayar Uang Pengganti Rp 1,08 Triliun dalam Kasus Korupsi Emas Antam

    Budi Said Dituntut 16 Tahun Penjara dan Bayar Uang Pengganti Rp 1,08 Triliun dalam Kasus Korupsi Emas Antam

    Jakarta, Beritasatu.com – Budi Said yang dikenal sebagai crazy rich asal Surabaya, dituntut 16 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi terkait rekayasa jual beli emas di PT Antam. Selain itu, Budi Said juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1,08 triliun kepada negara.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Said dengan pidana penjara selama 16 tahun, dikurangi waktu yang telah dijalani dalam tahanan sementara, dan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan di rutan,” ucap jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2024).

    Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Budi Said dengan pidana denda sebesar Rp 1 miliar. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka Budi Said harus menjalani hukuman kurungan selama 6 bulan.

    Jaksa juga menuntut agar Budi Said membayar uang pengganti dengan dua komponen. Pertama, untuk emas seberat 58,135 kilogram (kg), setara dengan Rp 35 miliar, berdasarkan kelebihan emas yang diterima Budi Said saat membeli emas di BELM Surabaya 01 Antam.

    Kedua, untuk emas seberat 1,136 ton (atau 1.136 kg), yang setara dengan Rp 1,07 triliun, berdasarkan gugatan perdata Budi Said terkait kekurangan serah emas dalam transaksinya dengan PT Antam.

    Menurut jaksa, jumlah kerugian negara tersebut dihitung berdasarkan harga pokok produksi emas PT Antam pada Desember 2023, dengan perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    Budi Said diwajibkan membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan hukum tetap. Apabila tidak mampu membayar, jaksa akan menyita aset Budi Said untuk menutupi kewajibannya.

    Jika Budi Said tidak memiliki aset yang mencukupi, ia dapat dikenakan tambahan hukuman penjara selama 8 tahun.

    Dalam kasus korupsi terkait rekayasa jual beli emas di PT Antam, Budi Said dinilai jaksa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait transaksi emas di Antam secara bersama-sama. Jaksa juga menuntut Budi Said dengan tindak pidana pencucian uang, berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

    Jaksa mencatat sejumlah hal yang memberatkan tuntutan terhadap Budi Said, antara lain merugikan keuangan negara senilai Rp 1,1 triliun lebih. Budi Said juga terlibat dalam pencucian uang dan tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas korupsi. Namun, ada beberapa hal yang meringankan, seperti belum pernah dihukum sebelumnya dan sikap sopan selama persidangan.

    Dalam proses penyidikan, terungkap Budi Said melakukan transaksi dengan Eksi Anggraeni, seorang broker, dan beberapa pejabat di Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01. Transaksi dilakukan pada 2018 dengan harga yang jauh di bawah harga resmi Antam tanpa prosedur yang sesuai.

    Dalam kasus korupsi transaksi emas Antam, Budi Said yang membayar Rp 25,2 miliar seharusnya menerima emas seberat 41,865 kg. Namun, ia menerima 100 kg emas.

  • Budi Said Dituntut 16 Tahun Bui dan Uang Pengganti Rp1,108 Triliun di Kasus Korupsi Emas – Page 3

    Budi Said Dituntut 16 Tahun Bui dan Uang Pengganti Rp1,108 Triliun di Kasus Korupsi Emas – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Crazy rich Surabaya Budi Said dituntut 16 tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi rekayasa jual beli emas Antam. Dia juga wajib membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp1,108 triliun.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Said, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan di rutan,” ucap jaksa penuntut Kejaksaan Agung (Kejagung) membacakan amar tuntutannya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2024).

    Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Budi Said dengan pidana denda sebesar Rp1 milair. Jika tidak dibayar, maka diganti kurungan selama 6 bulan.

    Jaksa juga menjatuhkan beban uang pengganti kepada Budi Said yang terdiri dari dua bentuk dengan total Rp1,108 triliun.

    Pertama, untuk emas seberat 58,135 kilogram (kg) atau setara Rp35 miliar. Nilai ini berdasar kelebihan emas yang diterima Budi Said atas pembelian emasnya di BELM Surabaya 01 Antam.

    Kedua, untuk emas seberat 1.136 kg atau 1,1 ton setara Rp 1,07 triliun. Nilai ini merupakan dari adanya gugatan perdata Budi Said kepada Antam atas kekurangan serah emas yang diterimanya dari transaksinya dengan perusahaan pelat merah tersebut.

    Menurut jaksa, jumlah Rp 1,07 triliun itu berdasar harga pokok produksi emas antam per Desember 2023 sebagaimana perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Atau setidaknya setara dengan nilai emas pada saat pelaksanaan eksekusi dengan memperhitungkan adanya dana provisi yang dibekukan dalam laporan keuangan PT Antam Tbk per 30 Juni 2022 sebesar Rp 952,4 miliar atas dasar putusan Mahkamah Agung (MA),” beber jaksa, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

    Diberi Waktu Sebulan

    Seluruh uang pengganti itu harus dibayar Budi Said selama satu bulan setelah kasus hukumnya berkekuatan hukum tetap. Jika tidak diganti, maka jaksa bakal menyita sejumlah asetnya untuk menutupi uang pengganti.

    “Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 8 tahun,” lanjut jaksa.

    Dalam kasus ini jaksa meyakini, Budi Said telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait transaksi emas-emasnya di Antam yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut.

    Jaksa menganggap, perbuatan Budi telah melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUH Pidana sebagaimana dakwaan kesatu primer.

    “Dan melakukan tindak pidana pencucian uang dalam dakwaan komulatif kedua primer sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” ungkap jaksa.

    Hal Memberatkan dan Meringankan

    Sebelumnya, jaksa membacakan hal-hal memberatkan dan meringankan atas diri terdakwa sebagai pertimbangan tuntutannya.

    Hal-hal memberatkan, perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara pada PT Antam sebesar 152,80 kg emas atau setara dengan nilai Rp 92,2 miliar dan 1,1 ton emas Antam atau setara dengan nilai Rp 1 triliun lebih.

    Selain itu, Budi Said telah menggunakan hasil kejahatannya dengan melakukan tindak pidana pencucian uang, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelengaran negara yang bersih dan bebas dari korupsi, serta terdakwa menyangkal seluruh perbuatan pidana yang dilakukannya dan tidak menyesali kesalahannya.

    “Hal-hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa selama di persidangan bersikap sopan,” sambungnya.

     

  • Jaksa Agung Pertimbangkan Menghapus Program TP4 di Kejaksaan

    Jaksa Agung Pertimbangkan Menghapus Program TP4 di Kejaksaan

    JAKARTA – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap program-program Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah, dan Pembangunan (TP4) yang selama ini digerakkan kejaksaan dalam mengawal proyek pemerintah baik di pusat maupun daerah.

    Burhanuddin mengatakan, bila hasil evaluasi yang dilakukan pihaknya tersebut menyebutkan TP4 terbukti mengandung banyak potensi penyalahgunaan, maka TP4 bisa saja dibubarkan.

    “Kami akan evaluasi, kalau perlu saya bubarkan,” katanya, dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11).

    Awalnya, sejumlah komplain terkait TP4 itu muncul dalam rapat antara Komisi III DPR RI dan Kejaksaan Agung berserta Kejati seluruh Indonesia. Sejumlah anggota dewan menyayangkan adanya penyalahgunaan wewenang TP4 yang dilakukan oleh oknum Jaksa.

    Padahal, TP4 seharusnya digunakan untuk mengawal proyek pemerintah agar tak terjadi penyimpangan, baik di daerah dengan TP4 Daerah maupun TP4 di tingkat pusat.

    TP4 menjadi keweangan penuh Kejaksaan ini, dikhawatirkan oleh para anggota komisi III dapat memunculkan potensi penyelewengan.

    Terkait evaluasi sendiri, Baharuddin tak memberikan tenggat waktu secara spesifik. Meski begitu, ia berharap evaluasi dapat dilakukan secepatnya. Sehingga, muncul keputusan apakah TP4 ini akan dibubarkan atau dilanjutkan.

    “Kan nanti dievaluasi. Nanti apakah kita akan bubarkan (atau) diganti dengan program lain. Yang jelas ini program tadinya kan benar. Kemudian ada oknum-oknum tertentu yang menyalahgunakan,” tuturnya.