Kementrian Lembaga: Kejagung

  • BREAKING NEWS: Crazy Rich Surabaya Budi Said Divonis 15 Tahun Penjara & Uang Pengganti Rp 35 Miliar – Halaman all

    BREAKING NEWS: Crazy Rich Surabaya Budi Said Divonis 15 Tahun Penjara & Uang Pengganti Rp 35 Miliar – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Terdakwa sekaligus crazy rich Surabaya, Budi Said menjalani sidang vonis kasus rekayasa jual beli emas PT Antam Tbk hari ini Jumat (27/12/2024). 

    Di persidangan PN Tipikor Jakarta Pusat, dalam amar putusannya majelis menyatakan terdakwa Budi Said terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

    Tak hanya itu crazy rich Surabaya tersebut juga dinyatakan secara bersama-sama melakukan tindak pidana pencucian uang.

    Atas perbuatannya majelis hakim menghukum Budi Said dengan pidana 15 tahun penjara. 

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Said dengan pidana penjara selama 15 tahun tahun,  dengan denda Rp1 miliar. Apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6  bulan,” kata hakim ketua Tony Irfan di persidangan dalam amar putusannya. 

    Kemudian majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan dengan membayar uang pengganti kepada negara Rp 35 miliar. 

    “Membebankan terdakwa membayar uang pengganti kepada negara sebesar 58,841 kg emas antam atau setara dengan nilai Rp 35.526.893.372,99. Sebagai pengganti atas kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa,” jelas majelis hakim. 

    Divonis Lebih Rendah dari Tuntutan JPU

    Sebelumnya pada sidang tuntutan, Jumat (13/12/2024), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Budi Said terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat tindak pidana korupsi. Serta tindak pidana pencucian uang.

    Atas hal itu jaksa menuntut Budi Said dengan hukuman 16 tahun penjara dalam kasus rekayasa jual beli emas PT Antam.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Budi Said oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun tahun. Dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan di rutan,” ungkap jaksa di persidangan.

    Terdakwa sekaligus crazy rich Surabaya, Budi Said mengklaim dirinya merupakan korban penipuan penjualan emas PT Antam. (TRIBUNNEWS)

    Tak hanya itu jaksa di persidangan juga menuntut Budi Said denda Rp 1 miliar serta membayar uang pengganti kepada negara.

    “Uang pengganti kepada negara sebesar 58,135 kg emas antam atau setara dengan nilai Rp 35.078.291.000. Serta 1136 kg emas antam atau setara dengan nilai Rp 1.073.786.839.584 berdasarkan harga pokok produksi emas antam per Desember 2023 sebagaimana perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP,” tegas jaksa. 

    Didakwa Rugikan Negara Rp 1,1 Triliun

    Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mendakwa Crazy Rich Surabaya, Budi Said Didakwa Rugikan Negara Rp 1,1 Triliun.

    Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mendakwa Crazy Rich Surabaya, Budi Said atas dugaan korupsi pembelian emas PT Antam sebanyak 7 ton lebih.

    Dakwaan itu dibacakan jaksa penuntut umum dalam persidangan perdana Budi Said di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

    Pembelian emas dalam jumlah besar dilakukan Budi Said ke Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 PT Antam pada Maret 2018 sampai dengan Juni 2022.

    Menurut jaksa, pembelian emas dilakukan Budi Said dengan cara ber kongkalikong dengan Eksi Anggraeni selaku broker dan beberapa oknum pegawai PT Antam yakni Kepala BELM Surabaya 01 Antam bernama Endang Kumoro, General Trading Manufacturing and Service Senior Officer bernama Ahmad Purwanto, dan tenaga administrasi BELM Surabaya 01 Antam bernama Misdianto.

    Dari kongkalikong itu, kemudian disepakati pembelian di bawah harga resmi dan tidak sesuai prosedur Antam.

    “Terdakwa Budi Said bersama-sama dengan Eksi Anggraeni, Endang Kumoro, Ahmad Purwanto dan Misdianto melakukan transaksi jual beli emas Antam pada Butik Emas Logam Mulia Surabaya 01 dibawah harga resmi emas Antam yang tidak sesuai prosedur penetapan harga emas dan prosedur penjualan emas PT Antam Tbk,” kata jaksa penuntut umum saat membacakan dakwaan Budi Said.

    Total ada dua kali pembelian emas yang dilakukan Budi Said.

    Pertama, pembelian emas sebanyak 100 kilogram ke BELM Surabaya 01.

    Namun saat itu BELM Surabaya tidak memiliki stok tersebut, sehingga meminta bantuan stok dari Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) Pulo Gadung PT Antam.

    Harga yang dibayarkan Budi Said untuk 100 kilogram emas Rp 25.251.979.000 (dua puluh lima miliar lebih). Padahal, harga tersebut seharusnya berlaku untuk 41,865 kilogram emas.

    “Sehingga terdakwa BUDI SAID telah mendapatkan selisih lebih emas Antam seberat 58,135 kilogram yang tidak ada pembayarannya oleh terdakwa,” kata jaksa.

    Kemudian pembelian kedua, Budi Said membeli 7,071 ton emas kepada BELM Surabaya 01 Antam.

    Saat itu dia membayar Rp 3.593.672.055.000 (tiga triliun lebih) untuk 7.071 kilogram atau 7 ton lebih emas Antam. Namun dia baru menerima 5.935 kilogram.

    Kekurangan emas yang diterimanya itu, sebanyak 1.136 kilogram atau 1,13 ton kemudian diprotes oleh Budi Said.

    “Terdakwa Budi Said secara sepihak menyatakan terdapat kekurangan serah emas oleh PT Antam dengan cara memperhitungkan keseluruhan pembayaran emas yang telah dilakukan oleh terdakwa Budi Said sebesar Rp 3.593.672.055.000 untuk 7.071 kilogram namun yang diterima oleh terdakwa Budi Said baru seberat 5.935 kilogram, sehingga terdapat kekurangan serah emas kepada Terdakwa Budi Said sebanyak 1.136 kilogram,” ujar jaksa.

    Rupanya dalam pembelian 7 ton lebih emas Antam tersebut, ada perbedaan persepsi harga antara Budi Said dengan pihak Antam.

    Dari pihak Budi Said saat itu mengaku telah menyepakati dengan BELM Surabaya harga Rp 505.000.000 (lima ratus juta lebih) untuk per kilogram emas. Harga tersebut ternyata lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan Antam.

    “Bahwa sesuai data resmi PT Antam Tbk dalam harga harian emas PT Antam sepanjang tahun 2018 tidak ada harga emas sebesar Rp 505.000.000 per kg sebagaimana diakul terdakwa sebagai kesepakatan harga transaksi,” ujar jaksa.

    Adapun berdasarkan penghitungan harga standar Antam, uang Rp 3,5 triliun yang dibayarkan Budi Said semestinya berlaku untuk 5,9 ton lebih emas.

    “Sehingga tidak terdapat kekurangan serah Emas PT Antam kepada terdakwa Budi Said dengan total 1.136 kilogram,” katanya.

    Akibat perbuatannya ini, negara melalui PT Antam disebut-sebut merugi hingga Rp 1,1 triliun.

    Dari pembelian pertama, perbuatan Budi Said bersama pihak broker dan BELM Surabaya disebut merugikan negara hingga Rp 92.257.257.820 (sembilan puluh dua miliar lebih).

    “Kerugian keuangan negara sebesar kekurangan fisik emas antam di BELM Surabaya 01 sebanyak 152,80 kilogram atau senilai Rp 92.257.257.820 atau setidak-tidaknya dalam jumlah tersebut,” kata jaksa penuntut umum.

    Kemudian dari pembelian kedua, negara disebut-sebut telah merugi hingga Rp 1.073.786.839.584 (satu triliun lebih).

    “Kerugian keuangan negara sebesar 1.136 kilogram emas atau setara dengan Rp 1.073.786.839.584,” ujar jaksa.

    Dengan demikian, Budi Said dalam perkara ini dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana

    Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana

    Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan, pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh koruptor.
    Ketentuan itu diatur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
    Ini disampaikan Peneliti ICW Diky Anandya menanggapi pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang menilai pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa diberikan melalui denda damai.
    “Sudah jelas sebetulnya kalau kita mengacu dalam Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, di sana disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara itu tidak menghapus tindak pidana sama sekali,” kata Diky saat dihubungi, Jumat (27/12/2024).
    Diky mengatakan, Undang-Undang tentang Kejaksaan juga tak bisa dijadikan dasar pengampunan terhadap koruptor.
    “Sekalipun itu diatur dalam undang-undang yang sifatnya dalam tanda petik formil, di UU Kejaksaan tentu itu tidak bisa menjadi dasar untuk memberikan pemaafan terhadap terpidana atau terdakwa kasus korupsi,” ujarnya.
    Diky menilai, pernyataan pemerintah terkait denda damai koruptor tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pemidanaan untuk memberikan efek jera.
    Padahal, kata dia, tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan lantaran hukuman penjara belum memberikan efek jera.
    “Itulah yang kemudian perlu dan penting untuk diformulasikan terkait dengan pemidanaan yang berjalan secara pararel, artinya pidana badan masih tetap jalan dan dimaksimalkan dengan pemulihan aset negara,” ucap dia.
    Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai.
    Dia menjelaskan, kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran Undang-Undang tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
    Adapun pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
    Menurut Supratman, usulan pemberian amnesti itu sudah diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah pengampunan terhadap beberapa kategori narapidana.
    “Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Crazy Rich Budi Said Hadapi Vonis atas Kasus Korupsi Emas Antam Hari Ini

    Crazy Rich Budi Said Hadapi Vonis atas Kasus Korupsi Emas Antam Hari Ini

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengusaha yang dijuluki crazy rich Surabaya Budi Said menjalani sidang vonis dalam kasus korupsi rekayasa jual beli emas PT Antam di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).

    Dikutip dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sidang Budi Said dengan agenda pembacaan putusan dari majelis hakim itu dijadwalkan berlangsung pada pukul 10.00 WIB di Ruangan Kusuma Atmadja.

    Sebelumnya Budi Said dituntut 16 tahun penjara dalam kasus korupsi emas PT Antam. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1,08 triliun kepada negara.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Said dengan pidana penjara selama 16 tahun, dikurangi waktu yang telah dijalani dalam tahanan sementara, dan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan di rutan,” ucap jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2024).

    Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Budi Said dengan pidana denda sebesar Rp 1 miliar. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka Budi Said harus menjalani hukuman kurungan selama 6 bulan.

    Jaksa juga menuntut agar Budi Said membayar uang pengganti dengan dua komponen. Pertama, untuk emas seberat 58,135 kilogram (kg), setara dengan Rp 35 miliar, berdasarkan kelebihan emas yang diterima Budi Said saat membeli emas di BELM Surabaya 01 Antam.

    Kedua, untuk emas seberat 1,136 ton (atau 1.136 kg), yang setara dengan Rp 1,07 triliun, berdasarkan gugatan perdata Budi Said terkait kekurangan serah emas dalam transaksinya dengan PT Antam.

    Budi Said diwajibkan membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan hukum tetap. Apabila tidak mampu membayar, jaksa akan menyita aset Budi Said untuk menutupi kewajibannya.

    Jika Budi Said tidak memiliki aset yang mencukupi, ia dapat dikenakan tambahan hukuman penjara selama delapan tahun.

    Budi Said menyatakan Budi Said terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam transaksi emas di PT Antam secara bersama-sama. 

    Jaksa juga menuntut Budi Said dengan tindak pidana pencucian uang, berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

    Jaksa mencatat sejumlah hal yang memberatkan tuntutan terhadap Budi Said, antara lain merugikan keuangan negara senilai Rp 1,1 triliun lebih. Budi Said juga terlibat dalam pencucian uang dan tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas korupsi. 

    Namun, ada beberapa hal yang meringankan, seperti belum pernah dihukum sebelumnya dan sikap sopan selama persidangan.

  • Mahfud MD Kritik Omongan Menteri Hukum soal Wacana Denda Damai Ampuni Koruptor: Salah Beneran

    Mahfud MD Kritik Omongan Menteri Hukum soal Wacana Denda Damai Ampuni Koruptor: Salah Beneran

    loading…

    Mahfud MD turut menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang membuka wacana denda damai bagi para koruptor. Foto/Achmad Al Fiqri

    JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD turut menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang membuka wacana denda damai bagi para koruptor. Menurutnya, masalah tindak pidana korupsi (tipikor) tak bisa diselesaikan secara damai.

    Untuk itu, Mahfud menilai, wacana denda dama yang digulirkan Supratman adalah salah. “Saya kira bukan salah kaprah, salah beneran (wacana denda damai untuk koruptor). Kalau salah kaprah itu biasanya sudah dilakukan, terbiasa meskipun salah. Ini belum pernah dilakukan kok. Mana ada korupsi diselesaikan secara damai,” ujar Mahfud saat ditemui di Kantor MMD Initiative, Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).

    Bila wacana denda damai itu diterapkan, Mahfud menilai, hal itu merupakan bentuk korupsi yakni kolusi. Menurutnya, peradilan denda damai itu membuat rentan para aparat penegak hukum terjerat kolusi.

    “Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai. Dan itu sudah sering terjadi kan. Diselesaikan diam-diam antar penegak hukum, penegak hukumnya yang ditangkap. Kalau diselesaikan diam-diam. Kan banyak tuh yang terjadi,” kata Mahfud.

    “Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama aja,” tandasnya.

    Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas membuka wacana agar para koruptor bisa diberikan denda damai selain pengampunan dari Presiden. Menurutnya, kewenangan denda damai itu dimiliki oleh Kejaksaan Agung lantaran Undang-undang tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.

    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan (memberi pengampunan kepada koruptor) karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman dalam keterangan tertulis, Senin (23/12/2024).

    (rca)

  • Polemik Vonis 6,5 Tahun Penjara Harvey Moeis, Apakah Setimpal?

    Polemik Vonis 6,5 Tahun Penjara Harvey Moeis, Apakah Setimpal?

    Bisnis.com, JAKARTA — Putusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat yang hanya memvonis suami Sandra Dewi, Harvey Moeis, 6,5 tahun penjara di kasus korupsi timah memantik kontroversi.

    Salah satu pihak yang menyoroti kasus itu adalah Mahfud MD. Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan alias Menkopolhukam itu menilai hukuman 6,5 tahun penjara tidak setimpal. Apalagi, hakim tidak menampik mengenai kerugian negara senilai Rp300 triliun.

    “Harvey Moeis didakwa melakukan korupsi dan TPPU yang merugikan keuangan negara Rp 300 Triliun. Dakwaannya konkret ‘merugikan keuangan negara’, bukan potensi ‘merugikan perekonomian negara’,” ujarnya di akun Instagram, Kamis (26/12/2024).

    Di lain sisi, eks Ketua MK ini juga mengaku heran terhadap tuntutan JPU terhadap Harvey hanya meminta untuk dipidana selama 12 bulan dengan uang pengganti Rp210 miliar.

    “Akhirnya hakim memutus dengan hukuman penjara 6,5 tahun dan denda serta pengembalian uang negara yang totalnya hanya Rp 211 Miliar,” tambahnya.

    Apalagi, kata Mahfud, dengan uang pengganti yang dibebankan itu masih sangat jauh dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

    Oleh karenanya, Mahfud MD menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan untuk Harvey Moeis masih belum sesuai. 

    “Selain hukuman penjaranya ringan, yang menyesakkan adalah dari dakwaan merugikan keuangan negara Rp 300 Triliun tapi jatuh vonisnya hanya 211 Miliar, atau, sekitar 0,007% saja dari dakwaan kerugian keuangan negara,” pungkasnya.

    Vonis Harvey Moeis

    Sebelumnya, Harvey Moeis yang merupakan suami artis Sandra Dewi hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

    Vonis majelis hakim Tipikor tersebut lebih rendah atau setengahnya dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut 12 tahun hukuman penjara.

    Selain diganjar hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, terdakwa Harvey Moeis juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan subsider satu tahun pidana.

    Kejagung Pikir-pikir

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan untuk saat ini pihaknya masih dalam masa pikir-pikir terkait dengan upaya banding terhadap vonis Harvey Moeis.

    “Saat ini JPU masih menggunakan masa pikir-pikirnya 7 hari setelah putusan ya,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (26/12/2024).

    Namun demikian, dia memastikan bahwa pihaknya bakal segera menentukan keputusan banding vonis Harvey dan Suparta setelah melewati masa pikir-pikir tersebut.

    “Setelah itu bagaimana sikapnya nanti kita update,” pungkasnya.

  • 9
                    
                        Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu…
                        Nasional

    9 Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu… Nasional

    Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam)
    Mahfud
    MD menyebut, menyelesaikan korupsi melalui cara damai justru menjadi korupsi baru, yakni kolusi.
    Menurut Mahfud, undang-undang terkait pemberantasan korupsi maupun hukum acara pidana di Indonesia tidak membenarkan penyelesaian korupsi dengan
    denda damai
    .
    Wacana ini sebelumnya dilontarkan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, saat berbicara mengenai pengampunan atau amnesti bagi narapidana, termasuk koruptor. 
    Melansir
    Antara
    , Andi mengungkapkan bahwa pengampunan kepada koruptor bisa dimungkinkan tanpa lewat presiden. Sebab, menurutnya, Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberikan ruang kepada jaksa agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara yang dihadapi mereka.
    “Mana ada korupsi diselesaikan secara damai. Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai,” kata Mahfud saat ditemui awak media di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2024).
    Mahfud pun menuturkan, praktik kolusi semacam itu sudah sering dilakukan. Misalnya, aparat penegak hukum dan pelaku, melakukan pemufakatan jahat untuk mengkondisikan agar kasus korupsi tidak diproses atau diadili diam-diam.
    Ketika kasus itu diketahui dan dibongkar oleh lembaga atau aparat penegak hukum yang lain, maka terjadilah perkara rasuah yang baru.
    “Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama saja,” ujar Mahfud.
    Mahfud memahami keinginan pemerintah yang ingin memaafkan koruptor dengan tujuan untuk memulihkan aset negara.
    Hal ini selaras dengan United Nations Convention against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pemulihan aset.
    Namun, tindakan itu tidak bisa dilakukan dengan cara memaafkan secara diam-diam atau melalui mekanisme denda damai.
    “Silakan asset recovery itu. Tetapi yang termudah agar tidak terjadi diam-diam penyelesaiannya,” ujar Mahfud.
    Mahfud mengatakan, pada tahun 2001 ketika ia menjadi Menteri Kehakiman, ia mengusulkan untuk memaafkan koruptor namun dilakukan secara terbuka.
    Usulan itu kemudian ia tulis ulang dalam bukunya yang terbit pada 2003 dengan judul Setahun Bersama Gus Dur. Mekanisme pengampunan secara terbuka ini sebelumnya telah diterapkan di Afrika.
    Ia lantas mempertanyakan siapa pihak yang bertanggung jawab ketika pengampunan dilakukan secara diam-diam, siapa yang menerima laporan pengakuan koruptor, dan apakah pihak terkait bersedia namanya diumumkan ke publik.
    “Dan salah kalau mengatakan undang-undang untuk mengembalikan aset itu tidak ada jalannya. Kalau mau, kalau mau ya, Undang-Undang Perampasan Aset,” ujar Mahfud.
    “Diberlakukan saja Undang-Undang Perampasan Aset (tapi harus) yang sudah disetujui DPR sama Pemerintah dulu, tapi lalu (saat ini) macet di DPR. Itu saja diundangkan,” tambahnya.
    Pada kesempatan tersebut, Mahfud juga menjelaskan bahwa mekanisme denda damai tidak bisa diterapkan untuk mengampuni koruptor sebagaimana disampaikan Menteri Supratman.
    Mahfud menuturkan, mekanisme denda damai diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
    Dalam ketentuan itu disebutkan, Jaksa Agung berwenang pada kondisi tertentu memberikan pengampunan melalui denda damai namun terbatas pada tindak pidana ekonomi.
    Adapun tindak pidana ekonomi hanya menyangkut perpajakan, kepabeanan, dan bea cukai.
    “Hanya itu yang boleh. Kalau korupsi lain enggak boleh. Enggak pernah ada,” tutur Mahfud.
    Hal yang sama juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar. Denda damai tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi.
    Denda damai hanya bisa diterapkan untuk menangani tindak pidana ekonomi yang merugikan keuangan negara.
    “Klasternya beda, kalau denda damai itu hanya untuk undang-undang sektoral. Karena itu adalah turunan dari Pasal 1 Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi,” kata Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
    Pada kesempatan tersebut, Mahfud mengaku heran dengan menteri hukum di Kabinet Merah Putih.
    Mereka dinilai gemar mencari dalil atau pasal untuk membenarkan wacana yang digelontorkan, meskipun salah.
    Terkait
    transfer of prisoners
    atau pemulangan terpidana asing ke negara asalnya, misalnya. Menurutnya, menteri terkait mencari-cari pembenaran, yang salah satunya dengan menyebut bahwa pemindahan terpidana cuma persoalan tactical arrangement.
    “Saya heran ya, menteri terkait dengan hukum itu sukanya mencari dalil atau pasal pembenar terhadap apa yang disampaikan oleh presiden,” ujar Mahfud.
    Hal yang sama, menurutnya, juga dilakukan Menteri Supratman ketika pemerintah menyampaikan keinginan mengampuni koruptor.
    Menteri Hukum kemudian mencari dalil pembenar dengan menyebut pengampunan bisa dilakukan melalui denda damai yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan RI.
    Padahal, kata Mahfud, sudah jelas undang-undang itu mengatur denda damai hanya untuk tindak pidana ekonomi.
    “Oleh sebab itu, menyongsong tahun baru ini, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran,” tutur Mahfud.
    “Itu bahaya nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan itu tidak bagus cara kita bernegara,” tambahnya.
    Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI Pujiyono Suwadi mengusulkan, agar koruptor mengembalikan kerugian negara berlipat, bila wacana denda damai hendak diterapkan.
    Artinya, kata Pujiyono, pelaku harus mengembalikan uang korupsi dalam jumlah berkali-kali lipat.
    “Kalau denda damai itu diproses dan kasus diberhentikan tanpa pengadilan, pelaku korupsi harus mengembalikan uang dengan jumlah berlipat,” kata Pujiyono kepada
    Kompas.com
    , Kamis.
    “Untuk kasus pajak dan bea cukai ada pengembalian empat kali lipat. Ini juga harus menjadi rujukan bagi pelaku korupsi, jangan hanya mengembalikan sebesar kerugian negara,” jelasnya.
    Menurutnya, pengembalian uang negara lebih penting, daripada sekedar pidana badan. Ia pun mencontohkan kasus korupsi dengan kerugian besar dalam perkara asuransi Jiwasraya dan Asabri, yang kerugiannya belum pulih meski hukumannya berat.
    “Tepuk tangan untuk hukuman berat, tapi substansi pengembalian kerugian negara tidak tercapai,” kata Pujiyono.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahfud MD Kritisi Vonis Harvey Moeis: Tidak Setimpal!

    Mahfud MD Kritisi Vonis Harvey Moeis: Tidak Setimpal!

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Menkopolhukam Mahfud MD menilai vonis terdakwa Harvey Moeis masih belum setimpal dengan perbuatannya dalam kasus korupsi timah.

    Dia juga menyatakan bahwa vonis tersebut belum adil jika dibandingkan dengan kerugian negara dari kasus megakorupsi yang mencapai Rp300 triliun itu.

    Terlebih, menurutnya, dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) kerugian negara ratusan triliun itu bukan lagi potensial lost, tetapi sudah riil.

    “Harvey Moeis didakwa melakukan korupsi dan TPPU yang merugikan keuangan negara Rp 300 Triliun. Dakwaannya konkret ‘merugikan keuangan negara’, bukan potensi ‘merugikan perekonomian negara’,” ujarnya di akun Instagram, Kamis (26/12/2024).

    Di lain sisi, eks Ketua MK ini juga mengaku heran terhadap tuntutan JPU terhadap Harvey hanya meminta untuk dipidana selama 12 bulan dengan uang pengganti Rp210 miliar.

    “Akhirnya hakim memutus dengan hukuman penjara 6,5 tahun dan denda serta pengembalian uang negara yang totalnya hanya Rp 211 Miliar,” tambahnya.

    Apalagi, kata Mahfud, dengan uang pengganti yang dibebankan itu masih sangat jauh dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

    Oleh karenanya, Mahfud MD menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan untuk Harvey Moeis masih belum sesuai. 

    “Selain hukuman penjaranya ringan, yang menyesakkan adalah dari dakwaan merugikan keuangan negara Rp 300 Triliun tapi jatuh vonisnya hanya 211 Miliar, atau, sekitar 0,007% saja dari dakwaan kerugian keuangan negara,” pungkasnya.

    Vonis Harvey Moeis

    Sebelumnya, Harvey Moeis yang merupakan suami artis Sandra Dewi hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

    Vonis majelis hakim Tipikor tersebut lebih rendah atau setengahnya dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut 12 tahun hukuman penjara.

    Selain diganjar hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, terdakwa Harvey Moeis juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan subsider satu tahun pidana.

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan untuk saat ini pihaknya masih dalam masa pikir-pikir terkait dengan upaya banding terhadap vonis Harvey Moeis.

    “Saat ini JPU masih menggunakan masa pikir-pikirnya 7 hari setelah putusan ya,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (26/12/2024).

    Namun demikian, dia memastikan bahwa pihaknya bakal segera menentukan keputusan banding vonis Harvey dan Suparta setelah melewati masa pikir-pikir tersebut.

    “Setelah itu bagaimana sikapnya nanti kita update,” pungkasnya.

  • Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana

    Pukat UGM: Tindak Pidana Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Denda Damai

    Pukat UGM: Tindak Pidana Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Denda Damai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM)
    Zaenur Rohman
    mengatakan, tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan dengan
    denda damai
    .
    Ia menyebutkan, denda damai hanya bisa diperuntukkan untuk tindak pidana ekonomi.
    “Tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan dengan denda damai. Mengapa? Karena denda damai itu khusus untuk tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955,” kata Zaenur saat dihubungi, Kamis (26/12/2024).
    Zaenur menuturkan, secara teori, tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan ekonomi.
    Namun, dalam aturan perundang-undangan, hanya tindak pidana ekonomi yang diatur secara khusus mengenai denda damai.
    “Sehingga tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan menggunakan denda damai,” ujar dia.
    Lebih lanjut, Zaenur menilai pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas terkait denda damai untuk tindak pidana korupsi belum didasari dengan kajian yang matang.
    “Sayang sekali. Artinya ini usulan yang masih sangat mentah,” ucap Zaenur.
    Sebelumnya, Supratman menyatakan, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, juga bisa diberikan melalui denda damai.
    Dia menjelaskan bahwa kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) karena Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
    Seperti diketahui, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
    “Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Harvey Moeis Divonis 6,5 Tahun Penjara, Jaksa Masih Pikir-pikir

    Harvey Moeis Divonis 6,5 Tahun Penjara, Jaksa Masih Pikir-pikir

    loading…

    Suami Sandra Dewi, Harvey Moeis divonis hukuman 6,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi timah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Foto/Arif Julianto

    JAKARTA – Suami Sandra Dewi, Harvey Moeis divonis hukuman 6,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi timah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Merespons itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) masih pikir-pikir.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar menuturkan JPU masih menggunakan waktu untuk berpikir terkait pengajuan banding. “Saat ini JPU masih menggunakan masa pikir-pikirnya 7 hari setelah putusan ya,” kata Harli Siregar saat dikonfirmasi, Kamis (26/12/2024).

    Untuk bagaimana sikap jaksa selanjutnya, Harli menyampaikan nantinya akan menginformasikan hal tersebut. “Setelah itu bagaimana sikapnya nanti kita update,” jelas dia.

    Sebelumnya, Harvey Moeis, suami aktris Sandra Dewi divonis 6,5 tahun tahun penjara oleh majelis hakim majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang pembacaan putusan, Senin (23/12/2024). Vonis dijatuhkan terkait kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah, Senin (23/12/2024).

    Vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut 12 tahun penjara. Dalam perkara ini, Harvey selaku perwakilan dari PT Refined Bangka Tin (RBT).

    Sebelumnya, JPU menuntut Harvey Moeis terdakwa kasus dugaan korupsi dan TPPU dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah PT Timah 12 tahun penjara.

    Tuntutan dibacakan JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024). Selain itu, Harvey Moeis juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar dan membebankan uang pengganti sebesar Rp210 miliar kepada Harvey Moeis.

    “Menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 12 tahun,” kata Jaksa penuntut umum membacakan surat tuntutan, Senin (9/12/2024).

    (rca)

  • Tidak ada WNI di Pesawat Azerbaijan yang Jatuh di Kazakhstan

    Tidak ada WNI di Pesawat Azerbaijan yang Jatuh di Kazakhstan

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengonfirmasi bahwa tidak ada warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi penumpang dalam pesawat Azerbaijan Airlines (AZAL) yang jatuh di dekat Kota Aktau, Kazakhstan.

    “Hingga saat ini tidak ada informasi penumpang WNI dalam pesawat Azerbaijan Airline yg jatuh di Kazakhstan kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu RI Judha Nugraha mengutip Antara, Kamis (26/12).

    Pesawat Embraer 190 milik Azerbaijan Airlines yang membawa 69 orang dari Grozny, Rusia, tersebut, dilaporkan jatuh tiga kilometer dari Bandara Aktau, demikian menurut Kementerian Keadaan Darurat Kazakhstan.

    Pihak Azerbaijan Airlines menyatakan bahwa pesawat tersebut diduga jatuh karena bertabrakan dengan sekawanan burung saat mengudara.

    “Menyusul jatuhnya pesawat milik Azerbaijan Airlines di Aktau, Kejaksaan Agung Azerbaijan telah memulai penyelidikan pidana berdasarkan pasal 262.3 dan 314.3 (KUHP Azerbaijan),” demikian pernyataan kejaksaan Azerbaijan.

    Kejaksaan Azerbaijan turut menyebut bahwa departemen penyelidikannya telah diinstruksikan untuk memulai penyelidikan awal.

    Berbeda dengan pihak maskapai, media Rusia melaporkan bahwa pesawat tidak dapat mendarat di Grozny karena serangan drone Ukraina. Pilot kemudian mengalihkan penerbangan ke Kota Makhachkala, tetapi kondisi kabut memaksa pilot meminta izin mendarat di Aktau.

    Sementara itu, Kepala Pusat Penanggulangan Disinformasi Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina Andriy Kovalenko menyampaikan di Telegram bahwa pesawat tersebut diduga ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara Rusia.

    Sementara itu, dari 69 penumpang pesawat Azerbaijan Airlines yang jatuh tersebut, 42 di antaranya adalah WN Azerbaijan, sementara 16 lainnya WN Rusia, enam WN Kazakhstan, dan tiga lainnya merupakan WN Kyrgyzstan.

    Pusat kedaruratan kementerian tersebut juga menyatakan, 29 penumpang selamat dari kecelakaan tersebut dan telah dievakuasi ke rumah sakit.

    (tim/DAL)