Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga: Enggak Malu Ambil Uang Hasil Keringat Rakyat?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Putra (35), warga Kebagusan, Jakarta Selatan mempertanyakan moral para tersangka yang terlibat kasus dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga.
“Memangnya tidak malu mengambil uang dari hasil keringat rakyat? Giliran sudah jadi tersangka, muka kalian malah lesu,” ujar Putra dengan kesal saat dihubungi
Kompas.com,
Rabu (26/2/2025).
Sebagai pengguna Pertamax selama bertahun-tahun, menurut Putra, kasus pengoplosan ini mencerminkan betapa parahnya kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini.
Oleh karena itu, Putra menyarankan agar pemerintah pusat bekerja lebih ekstra. Sebab, tanggung jawab sepenuhnya ada di pundak pemerintah.
“Kasihan masyarakat mulu yang dirugikan. Kaum atas malah ketawa-ketiwi,” kata dia.
Sementara, Rizky Widyanto (28), warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan sudah tujuh tahun menggunakan Pertamax untuk motor Honda PCX miliknya.
Alasannya, dia ingin membantu negara dengan tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Pertalite. Namun, Rizky kecewa begitu mengetahui dugaan pengoplosan Pertalite jadi Pertamax.
Niat baiknya menggunakan bahan bakar berkualitas justru dikhianati oleh para tersangka dalam kasus tersebut yang memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan rakyat.
“Niatnya mau sadar diri enggak pakai subsidi, bantu negara, eh enggak tahunya begini,” keluh Rizky.
Rizky pun merasa rugi menggunakan Pertamax sejak 2018 lalu. Padahal, dalam satu pekan dia mengeluarkan uang senilai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 untuk mengisi bahan bakar.
“Niatnya (juga) biar lebih enak dan kencang saja nih motor, pakai Pertamax. Eh enggak tahunya sugesti doang,” kata Rizky.
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Melansir keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “diblending” atau dioplos menjadi Pertamax. Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).
“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
Dalam perkara ini, ada enam tersangka lain yang turut ditetapkan. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Lalu, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Kejagung
-
/data/photo/2019/04/15/96065825.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga: Enggak Malu Ambil Uang Hasil Keringat Rakyat? Megapolitan 26 Februari 2025
-

Surat Dakwaan Tuntas, Tom Lembong Segera Disidang
Jakarta –
Berkas perkara mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong di kasus dugaan korupsi impor gula akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tom Lembong akan segera disidang.
Hal itu disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar. Selain Tom, Mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) Charles Sitorus yang juga merupakan tersangka pada kasus tersebut juga dilimpahkan hari ini.
“Hari ini kami sampaikan kepada media bahwa jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) akan melimpahkan ke Pengadilan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam importasi gula atas nama TTL dan CS,” kata Harli kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (26/2/2025).
“Kami sekarang sedang berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan proses pelimpahannya ke Pengadilan Tipikor,” lanjutnya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan uang pengganti yang akan dibebankan terhadap Tom Lembong dalam kasus itu, Harli menyebut perihal itu harus melihat pada poin-poin yang didakwakan jaksa terhadap Tom.
“Karena ini kan masih berproses. Misalnya, apakah JPU mendakwakan yang bersangkutan menerima sesuatu? Nah ini kan harus dikonteks lagi, diverifikasi,” ucap Harli.
“Ini susahnya. Misalnya di dalam surat dakwaan, dia ada menerima sesuatu, misalnya. Berarti kan harus ada kewajiban terhadap pembayaran uang pengganti. Tapi bahwa kemarin pengembalian itu sudah memenuhi uang penggantinya, kerugiannya seluruhnya, mungkin itu bisa ditaksirkan seperti itu. Makanya harus kita lihat dulu surat dakwaannya seperti apa,” jelasnya.
Mengenai itu, kata dia, akan berproses sampai adanya putusan hakim dalam perkara itu. Karena itu, pihaknya masih akan menunggu putusan pengadilan atas perkara itu berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Oh iya dong, sampai putusan itu inkrah, karena kan itu yang saya sebutkan tadi. Kalau ternyata jaksa penuntut umum misalnya membuat dalam surat dakwaannya bahwa yang bersangkutan menerima atau menikmati, sekian misalnya,” ucap Harli kembali menerangkan.
“Kita kan belum lihat surat dakwaannya. Nah ini diverifikasi ternyata benar. Berarti kan beban itu kan tetap ada. Tetapi karena pengembaliannya misalnya sudah penuh, maka kan nggak perlu. Itu yang dimaksudkan kemarin,” pungkas dia.
Sebagai informasi, dalam kasus ini, Tom Lembong dan Charles Sitorus telah ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian Kejagung kembali menetapkan 9 tersangka lainnya. Sehingga total tersangka kasus impor gula menjadi 11 orang.
Tom juga sempat mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan. Namun, gugatan praperadilan Tom ditolak Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Artinya status tersangka Tom Lembong sudah sah dan sesuai aturan hukum.
Perbuatan Tom Lembong dkk diduga telah merugikan keuangan negara hingga Rp 578 miliar. Atas perbuatannya, Tom Lembong dkk dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
(yld/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu
-
/data/photo/2024/12/04/675060d0c2364.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Kejagung Minta Publik Tak Khawatir, BBM yang Beredar Bukan Hasil Oplosan Nasional
Kejagung Minta Publik Tak Khawatir, BBM yang Beredar Bukan Hasil Oplosan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kejaksaan Agung (
Kejagung
) menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dengan modus mengoplos bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite menjadi Pertamax terjadi pada 2018-2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar memastikan, BBM yang beredar di masyarakat saat ini bukanlah hasil oplosan dan tidak ada kaitannya dengan kasus yang sedang diusut.
“Jadi, jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah minyak yang digunakan sekarang itu adalah minyak oplosan. Nah, itu enggak tepat,” ujar Harli Siregar saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025).
Harli menjelaskan, berdasarkan hasil temuan sementara, Direktur Utama PT
PertaminaPatra Niaga
Riva Siahaan membeli dan membayar minyak RON 92.
Namun, minyak yang datang justru jenis RON 90 dan 88.
“Fakta hukum yang sudah selesai (peristiwanya) bahwa RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga itu melakukan pembayaran terhadap pembelian minyak yang RON 92, berdasarkan
price list
-nya. Padahal, yang datang itu adalah RON 88 atau 90,” lanjut Harli.
Saat ini, penyidik juga masih mendalami apakah minyak RON 88 dan RON 90 ini, pada tahun 2018-2023, langsung didistribusikan kepada masyarakat atau tidak.
“Kami kan harus mengkaji berdasarkan bantuan ahli. Misalnya, kalau yang datang RON 90, RON 90 itu kan Pertalite. Nah, apakah Pertalite ini juga sewaktu diimpor langsung didistribusi?” kata Harli.
Diberitakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga telah terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Dilansir dari keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-
blend
atau dioplos menjadi Pertamax.
Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah, kemudian dilakukan
blending
di Storage/Depo untuk menjadi RON 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir pada Selasa (25/2/2025).
“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, empat di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau
subholding
Pertamina.
Keempatnya adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).
Sedangkan tiga broker yang menjadi tersangka adalah MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2023/12/31/65912c6220e91.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga: Niat Sadar Diri Tak Pakai Subsidi, Ternyata Negara Begini Megapolitan 26 Februari 2025
Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga: Niat Sadar Diri Tak Pakai Subsidi, Ternyata Negara Begini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Rizky Widyanto (28), warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sudah tujuh tahun menggunakan Pertamax untuk motor Honda PCX miliknya.
Alasannya, dia ingin membantu negara dengan tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Pertalite.
Namun, Rizky kecewa begitu mengetahui dugaan pengoplosan Pertalite jadi Pertamax dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga.
“Niatnya mau sadar diri enggak pakai subsidi, bantu negara, eh enggak tahunya begini,” keluh Rizky saat dihubungi
Kompas.com,
Rabu (26/2/2025).
Rizky pun merasa rugi menggunakan Pertamax sejak 2018. Padahal, dalam satu pekan dia mengeluarkan uang senilai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 untuk mengisi bahan bakar.
“Niatnya (juga) biar lebih enak dan kencang saja nih motor, pakai Pertamax. Eh enggak tahunya sugesti doang,” kata Rizky.
Senada dengan itu, warga Kebagusan, Jakarta Selatan, bernama Putra (35) yang sehari-hari menggunakan Pertamax juga merasa rugi.
Sebab, ia sengaja mengisi BBM Pertamax dengan harga lebih mahal dengan harapan motornya lebih gesit dan mesin awet.
“Ini motor diajak jalan kayak kakek umur 80 tahun ke atas, napasnya berat. Marah sih enggak, kecewa juga enggak perlu,” kata Putra.
“Karena apa yang terjadi hari ini di negara kita cukup menggambarkan separah apa masalah-masalah yang ada di Tanah Air tercinta,” tambah dia.
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Melansir keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “diblending” atau dioplos menjadi Pertamax. Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).
“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
Dalam perkara ini, ada enam tersangka lain yang turut ditetapkan. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Lalu, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kejagung Sita Dokumen dan Uang Rp857 Juta di Rumah Riza Chalid!
Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita uang tunai Rp857 juta dalam penggeledahan di rumah saudagar minyak Riza Chalid, Jakarta Selatan.
Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar mengatakan uang tunai itu terdiri dari pecahan US$1.500 dan Rp833 juta.
“Ada uang tunai sebanyak Rp833 juta dan 1.500 USD [disita penyidik Kejagung],” ujarnya di Kejagung, Rabu (26/2/2025).
Dia menambahkan, penyidik juga telah melakukan penyitaan terhadap sejumlah dokumen yang berada di dalam 34 odner atau tempat penyimpanan dokumen.
Kemudian, 89 bundel dokumen dan dua perangkat komputer atau CPU. Terkait hal ini, Harli menyatakan bahwa pihaknya bakal melakukan analisis terhadap sejumlah temuan penggeledahan itu.
“Ini sedang dikaji [apakah] ada informasi-informasi yang terkait dengan aktivitas dari dugaan tindak pidana yang disangkakan terkait dengan importasi dan seterusnya,” tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi pada Selasa (25/2/2/2025) sekitar 18.15 WIB nampak rumah Riza Chalid itu bertingkat tiga.
Terlihat, rumah tersebut sudah dilakukan penyegelan mulai dari jendela hingga pintu masuk di basement. Adapun, penyidik Jampidsus Kejagung dengan seragam hitam terlihat keluar masuk rumah mewah milik saudagar minyak tersebut.
Selain itu, sejumlah mobil milik penyidik juga nampak terparkir di basement rumah tersebut. Setidaknya, parkiran mobil tersebut memuat sekitar 10 mobil.
Pada saat penggeledahan, penyidik Kejagung nampak didampingi oleh sejumlah aparat keamanan atau anggota TNI bersenjata.
Selain kediaman Riza di Jalan Jenggala Jakarta Selatan, penyidik Kejagung juga telah menggeledah ruangan yang berlokasi di Plaza Asia lantai 20. Di lokasi tersebut, penyidik Jampidsus telah menyita empat kardus yang berisi dokumen.
“Nah sedangkan di Plaza itu ditemukan 4 kardus surat-surat dokumen,” pungkas Harli.
-
/data/photo/2022/11/09/636b6886e3738.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 BPKN: Masyarakat Bisa Gugat Pertamina jika Benar Beli Pertamax tapi Dapat Pertalite yang Dioplos Nasional
BPKN: Masyarakat Bisa Gugat Pertamina jika Benar Beli Pertamax tapi Dapat Pertalite yang Dioplos
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengatakan, masyarakat Indonesia yang merupakan konsumen dari PT
Pertamina
bisa menggugat dan meminta ganti rugi jika
Pertamax
yang beredar terbukti adalah
Pertalite
hasil oplosan.
Hal ini berkaitan dengan temuan dan dugaan sementara dari Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan
korupsi tata kelola minyak mentah
dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
“Konsumen atau masyarakat berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada PT Pertamina melalui mekanisme gugatan yang telah diatur dalam perundang-undangan, salah satunya dapat secara bersama-sama karena mengalami kerugian yang sama,” ujar Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (26/2/2025).
Mufti menyampaikan, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pemerintah atau instansi terkait juga harus turut serta melakukan gugatan karena kerugian yang besar dan korban yang tidak sedikit.
Menurut dia, jika dugaan oplosan ini benar maka para tersangka telah meniadakan hak konsumen, yaitu hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi, dan jaminan yang dijanjikan.
“Konsumen dijanjikan RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih mahal, malah mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah,” kata Mufti.
Tak hanya itu, tindakan para tersangka diduga merampas hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
“Dalam kasus ini, diduga konsumen telah memperoleh informasi yang palsu dan menyesatkan karena label RON 92
pertamax
yang dibayarkan tetapi ternyata mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah,” ujarnya.
Untuk menindaklanjuti dugaan-dugaan tersebut, BPKN akan segera memanggil Direktur Utama Pertamina untuk meminta klarifikasi atas dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi.
Kemudian, BPKN juga akan segera melakukan uji sampling terhadap Pertamax yang tengah beredar di SPBU.
“BPKN bersama Pemerintah (Kementerian ESDM dan BUMN) akan membentuk tim kerja bersama yang melibatkan stakeholder terkait untuk melakukan mitigasi, penyuluhan informasi kepada masyarakat dan aktivasi mekanisme pengaduan konsumen bagi yang mengalami kendala akibat kejadian ini,” kata Mufti.
Diberitakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga telah terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite dalam konstruksi kasus dugaan korupsi
tata kelola minyak mentah
dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Dilansir dari keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-
blend
atau dioplos di depo/storage menjadi Pertamax.
Pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan
blending
di
storage
/depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir pada Selasa (25/2/2025).
“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
Kejagung diketahui telah menetapkan tujuh tersangka atas kasus tersebut, di mana empat di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina.
Keempatnya yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).
Sedangkan tiga broker yang menjadi tersangka yakni MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pertamina Bantah Oplos BBM Pertamax, Ini Penjelasannya – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pertamina merespons terkait pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertalite menjadi Pertamax.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari, mengatakan, tidak ada pengoplosan BBM Pertamax, di mana kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujar Heppy, dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).
Menurutnya, treatment yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat.
Selain itu juga ada injeksi additive yang berfungsi untuk meningkatkan performance produk Pertamax.
“Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” jelas Heppy.
Pertamina Patra Niaga melakukan prosedur dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan Quality Control (QC).
Distribusi BBM Pertamina juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
“Kami menaati prosedur untuk memastikan kualitas dan dalam distribusinya juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Migas,” tutur Heppy.
Heppy melanjutkan, Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) periode 2018 – 2023.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menuturkan praktik lancung yang dilakukan oleh Riva ialah membeli pertalite kemudian dioplos (blending) menjadi pertamax.
“Modus termasuk yang saya katakan RON 90 (Pertalite) tetapi dibayar (harga) RON 92 (Pertamax) kemudian diblending, dioplos, dicampur,” katanya saat konferensi pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2025).
Adapun pengoplosan ini terjadi dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga.
Pengoplosan itu dilakukan di depo padahal hal itu tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan ketentuan yang ada.
Qohar berjanji akan buka-bukaan nantinya terkait model pengoplosan setelah proses penyidikan rampung.
“Pasti kita tidak akan tertutup, semua kita buka, semua kita sampaikan kepada teman-teman wartawan untuk diakses kepada masyarakat,” paparnya.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5142332/original/027913900_1740446723-IMG-20250225-WA0002.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Warganet Ngamuk Beli Pertamax Dapat Pertalite, Imbas Kasus Korupsi Pertamina – Page 3
Isu mengenai dugaan oplosan Pertamax yang beredar belakangan ini telah dibantah oleh PT Pertamina (Persero). PT Pertamina (Persero) menegaskan bahwa tidak ada pencampuran bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dengan Pertalite. Perusahaan juga memastikan bahwa Pertamax yang beredar di masyarakat sudah memenuhi standar spesifikasi yang ditetapkan.
Bantahan Pertamina Soal Isu Oplosan BBMVice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa narasi terkait oplosan Pertamax dan Pertalite tidak sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung. Pernyataan ini disampaikan saat ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Fadjar, terjadi kesalahpahaman dalam memahami pemaparan yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung. Ia menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan bukanlah pencampuran Pertalite menjadi Pertamax, melainkan terkait dengan proses pembelian BBM jenis RON 90 dan RON 92.
Perbedaan RON 90 (Pertalite) dan RON 92 (Pertamax)
Sebagai informasi, RON 90 adalah bahan bakar dengan angka oktan 90 yang dikenal sebagai Pertalite, sementara RON 92 merupakan Pertamax.
Fadjar menegaskan bahwa Pertamax yang dijual kepada masyarakat telah melalui pengujian dan memenuhi standar spesifikasi yang berlaku.
Pemeriksaan terhadap spesifikasi BBM dilakukan oleh Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Kami memastikan bahwa produk yang beredar di masyarakat sesuai dengan spesifikasinya masing-masing,” tegasnya dikutip dari ANTARA, Selasa (25/2/2025).

