Kementrian Lembaga: Kejagung

  • 4
                    
                        Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka
                        Nasional

    4 Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka Nasional

    Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    PENGADILAN
    adalah panggung terakhir keadilan. Di sanalah nasib rakyat dan negara diputuskan dalam nama hukum.
    Namun, bagaimana jika panggung itu sendiri telah ternoda? Ketika hakim tak lagi menjunjung keadilan, tetapi menjadi bagian dari skenario kejahatan, maka pengadilan kehilangan rohnya.
    Itulah yang terjadi dalam skandal suap yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Penetapan tersangka terhadap Muhammad Arif oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan suap Rp 60 miliar adalah ironi hukum yang mengoyak nurani publik.
    Seorang yang seharusnya menjaga keadilan justru terjerembab dalam jebakan kekuasaan dan uang.
    Bersama tiga tersangka lain—panitera muda Wahyu Gunawan serta dua advokat, Marcella Santoso dan Ariyanto—mereka diduga merekayasa vonis untuk membebaskan tiga korporasi raksasa dalam perkara ekspor crude palm oil (CPO).
    Vonis “lepas” untuk Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah putusan hukum yang berdampak pada integritas sistem peradilan, penegakan hukum antikorupsi, dan tentu saja kepercayaan publik.
    Uang suap yang mengalir diyakini menjadi pelumas atas keputusan tersebut. Maka, ruang sidang yang seharusnya suci berubah menjadi meja transaksi. Dan majelis hakim bukan lagi pembawa keadilan, melainkan bagian dari jaringan kejahatan.
    Hakim adalah simbol tertinggi moralitas dalam sistem hukum. Namun, skandal ini menyuguhkan kenyataan pahit bahwa palu keadilan bisa diarahkan oleh kekuasaan uang.
    Uang tak hanya merusak integritas individu, tetapi juga meruntuhkan institusi. Ketika hakim menjadi broker putusan, maka habis sudah daya magis hukum.
    Fakta yang diungkap Kejaksaan Agung mencengangkan: uang miliaran ditemukan dalam berbagai mata uang, dan barang-barang mewah seperti Ferrari, Nissan GT-R, Mercedes-Benz dan Lexus ditemukan dalam penggeledahan.
    Semua ini menunjukkan betapa dalamnya korupsi mengakar, bahkan di lembaga yang konon adalah benteng terakhir pencari keadilan.
    Skandal ini adalah puncak gunung es. Ia mencerminkan masalah struktural dalam sistem peradilan kita: mulai dari lemahnya pengawasan internal, budaya impunitas, hingga tidak adanya mekanisme pencegahan yang efektif.
    Yang lebih menyesakkan, lembaga setingkat Mahkamah Agung tampak selalu terlambat, baik dalam merespons, mengawasi, maupun menegakkan disiplin.
    Ketika kekuasaan kehakiman sudah bisa dibeli, maka konsep negara hukum hanya tinggal slogan.
    Korupsi di lingkungan peradilan adalah bentuk tertinggi pengkhianatan terhadap konstitusi dan mandat rakyat. Ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga pembangkangan terhadap keadaban.
    Vonis yang bisa dinegosiasikan artinya keadilan hanya tersedia bagi yang mampu membayar. Maka, rakyat kecil akan selalu kalah.
    Sementara korporasi besar, dengan dana dan koneksi, bisa keluar dari ruang sidang tanpa luka. Tak heran jika publik makin sinis terhadap hukum. Di negeri ini, hukum seperti barang lelang: siapa yang menawar lebih tinggi, dia menang.
    Perkara korupsi ekspor CPO adalah tragedi ganda. Negara tidak hanya dirugikan secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan politik.
    Ketika negara berusaha mengejar kerugian melalui jalur hukum, jalur itu justru dibajak oleh hakim sendiri. Inilah bentuk sabotase internal terhadap upaya pemberantasan korupsi.
    Kita tidak bisa hanya menyalahkan individu. Harus ada pertanggungjawaban kelembagaan. Di mana Mahkamah Agung ketika moralitas hakimnya jatuh? Apa yang dilakukan Komisi Yudisial untuk memastikan calon hakim adalah orang-orang berintegritas? Kasus ini harus menjadi titik balik.
    Sudah saatnya pengawasan yudisial diperkuat. Mahkamah Agung tidak bisa lagi hanya mengandalkan sistem rotasi dan mutasi.
    Harus ada sistem deteksi dini, pengawasan berbasis kinerja, audit gaya hidup, dan pelibatan publik dalam pemantauan peradilan.
    Komisi Yudisial perlu diberikan kewenangan lebih dalam menindak dan menilai hakim, bukan sekadar menerima laporan masyarakat.
    Kasus ini adalah peluang sekaligus peringatan. Jika negara benar-benar ingin memulihkan kepercayaan publik, maka harus dilakukan bersih-bersih total.
    Tidak hanya memecat dan menuntut pelaku, tapi juga membenahi sistem. Kita butuh reformasi peradilan gelombang baru: yang tidak hanya berbicara teknis, tapi juga etis dan filosofis.
    Pendidikan hukum harus memasukkan integritas sebagai kurikulum utama. Rekrutmen hakim harus lebih selektif dan terbuka. Dan di atas semuanya, harus ada keteladanan dari pimpinan lembaga peradilan.
    Kita tidak bisa terus menerus membiarkan hukum dijadikan komoditas. Negara ini tidak boleh tunduk pada jaringan mafia hukum yang tumbuh dari dalam lembaga yudikatif itu sendiri.
    Jika tidak ada langkah serius, maka krisis kepercayaan publik akan menjadi krisis legitimasi hukum.
    Kita sudah terlalu sering mendengar janji reformasi hukum. Namun, kasus demi kasus menunjukkan bahwa janji tinggal janji.
    Padahal hukum bukan sekadar norma, ia adalah harapan. Ketika harapan itu dipermainkan oleh mereka yang seharusnya menjaganya, maka rakyat hanya akan melihat hukum sebagai lelucon mahal.
    Skandal ini bukan hanya tentang Ketua PN Jakarta Selatan yang berubah status dari hakim menjadi tersangka. Ini tentang seluruh ekosistem hukum yang sedang sakit. Tentang kegagalan institusi dalam menciptakan tembok integritas.
    Dan tentang rakyat yang lelah, karena setiap palu dipukul, yang terdengar hanya gema uang, bukan gema keadilan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3 Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO Ditahan

    3 Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO Ditahan

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus suap terkait vonis lepas korupsi ekspor minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) oleh tiga perusahaan besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. 

    Ketiga tersangka, adalah Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom merupakan hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, serta Djuyamto, hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka langsung ditahan.

    “Berdasarkan alat bukti yang cukup, dimana penyidik memeriksa tujuh orang saksi, maka pada pukul 11.30 WIB kami telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar dalam konferensi pers di lobi Kartika Gedung Kejagung, Jakarta, Minggu (13/4/2025) malam.

    Qohar menjelaskan ketiga tersangka merupakan majelis hakim yang memvonis lepas tiga perusahaan dari dakwaan korupsi ekspor CPO.

    Dari hasil penyelidikan ditemukan mereka menerima uang suap dalam jumlah miliaran rupiah melalui Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat.

    Uang tersebut, lanjut Qohar, berasal dari tersangka Ariyanto, pengacara yang mewakili korporasi yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi ekspor CPO.

    “Ketiga hakim itu mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut, yaitu agar perkara tersebut diputus ontslag (vonis lepas),” jelasnya.

    Kejagung langsung menahan ketiga hakim tersangka suap vonis lepas korupsi CPO tersebut di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.

    Dengan tambahan tiga tersangka ini, jumlah tersangka dalam kasus dugaan suap vonis lepas korupsi ekspor CPO menjadi tujuh orang.

    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan empat tersangka lainnya, yaitu panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, advokat Marcella Santoso dan Ariyanto, serta mantan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta.

    Putusan ontslag (vonis lepas) tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025. 

    Ketua majelis hakim Djuyamto bersama hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharuddin menyatakan para terdakwa dari PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh jaksa.

    Namun demikian, majelis hakim memutus bahwa perbuatan tersebut tidak tergolong sebagai tindak pidana (ontslag van alle rechtsvervolging), sehingga para terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. 

    Majelis hakim juga memerintahkan memulihkan hak, kedudukan,  harkat, dan martabat para terdakwa korupsi ekspor CPO.

  • Profil Djuyamto: Dulu Hakim Kasus Novel dan Hasto, Kini Tersangka Suap
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 April 2025

    Profil Djuyamto: Dulu Hakim Kasus Novel dan Hasto, Kini Tersangka Suap Nasional 14 April 2025

    Profil Djuyamto: Dulu Hakim Kasus Novel dan Hasto, Kini Tersangka Suap
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim
    Djuyamto
    ditetapkan sebagai tersangka kasus suap vonis lepas kasus ekspor crude palm oil (CPO) di tiga perusahaan yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
    Djuyamto bersama Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) selaku hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, diduga menerima suap sebesar Rp 22,5 miliar. 
    Pada saat itu, ketiganya merupakan majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO. 
    Uang tersebut diserahkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), sebanyak dua kali. Tujuannya, agar ketiga hakim memutuskan perkara CPO onslag atau putusan lepas.
    Muhammad Arif Nuryanta awalnya menyerahkan uang Rp 4,5 kepada ketiga hakim. Lalu pada September-Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan uang senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto (DJU).
    Djuyamto membagi uang tersebut dengan Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) yang diserahkan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat.
    “Untuk ASB menerima uang dollar AS dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar, DJU menerima uang dollar AS jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AM menerima uang berupa dollar AS jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar saat konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Sabtu (12/4/2025) malam.
    Lalu siapakah Djuyamto? Berikut profilnya:
    Djuyamto lahir di Sukoharjo pada 18 Desember 1967. Dia menuntaskan studi S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo (UNS). Gelar doktornya juga diperoleh di Fakultas Humum UNS.
    Berdasarkan situs resmi PN Jakarata Selatan, Djuyamto merupakan hakim dengan jabatan Pembina Utama Muda (IV/c).
    Sebelumnya, ia pernah bertugas di sejumlah tempat seperti PN Tanjungpandan, PN Temanggung, PN Karawang, PN Dompu, PN Bekasi, PN Jakarta Utara. 
    Dia juga masuk dalam kepengurusan Ikatan Hakim Indonesia sebagai Sekretaris Bidang Advokasi. 
    Harta kekayaan Djuyamto berdasarkan LHKPN di KPK sebesar Rp 2,9 miliar. 
    Djuyamto tercatat menjadi hakim ketua dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan pada tahun 2019.
    Dalam sidang yang dipimpin Djuyamto itu menyatakan terdakwa penyiraman air keras Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette, divonis dua tahun penjara.
    Sementara terdakwa lainnya yakni Ronny Bugis dijatuhkan vonis 1,5 tahun penjara.
    Selain itu, Djuyamto juga tercatat pernah menjadi Hakim anggota dalam kasus obstruction of justice perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang saat itu turut menyita perhatian publik.
    Djuyamto menjadi hakim anggota untuk menyidangkan 3 terdakwa, yakni Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Pol Agus Nurpatria, dan AKBP Arif Rahman Arifin.
    Beberapa waktu lalu, Djuyamto menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan yang diajukan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
    Hasto Kristiyanto
    .
    Diketahui, Hasto menggugat KPK lantaran ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dan perintangan penyidikan dalam perkara eks calon anggota legislatif dari PDI-P, Harun Masiku.
    Dalam putusannya, Djuyamto tidak menerima gugatan praperadilan yang diajukan Hasto.
    “Mengadili, mengabulkan eksepsi dari termohon, menyatakan permohonan pemohon kabur atau tidak jelas,” kata Hakim Djuyamto dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025).
    “Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak diterima,” kata Djuyamto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Djuyamto Terima Suap Paling Banyak dari 2 Hakim Lain Kasus Vonis Lepas Perkara CPO, Capai Rp 7,5 M – Halaman all

    Djuyamto Terima Suap Paling Banyak dari 2 Hakim Lain Kasus Vonis Lepas Perkara CPO, Capai Rp 7,5 M – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Djuyamto, Hakim Pengadilan Jakarta Selatan ditetapkan bersama dua hakim lainnya menjadi tersangka dalam kasus suap pemberi vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).

    Dia terbukti menerima aliran dana suap untuk pengurusan perkara saat ditunjuk menjadi Ketua Majelis Hakim perkara tersebut oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta yang kini menjabat Ketua PN Jakarta Selatan.

    Total sekitar Rp 22,5 miliar dari Rp 60 miliar yang diberikan pengacara tersangka korporasi dalam perkara tersebut melalui Arif kepada Djuyamto dan dua hakim lain yakni Ali Muhtarom sebagai Hakim AdHoc dan Agam Syarif Baharudin sebagai Hakim Anggota.

    “Saat itu yang bersangkutan (Arif) menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus kemudian menunjuk majelis hakim yang terdiri dari DJU sebagai ketua majelis, kemudian AM adalah hakim adhoc dan ASB sebagai anggota majelis,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar di kantornya, Senin (14/4/2025).

    SUAP VONIS LEPAS – Hakim Djuyamto setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap untuk vonis onslag atau lepas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. Djuyamto diketahui menjadi Ketua Majelis Hakim yang memvonis lepas tersangka korporasi di kasus tersebut. (Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti)

    Arif yang kini juga sudah ditetapkan sebagai tersangka awalnya memberikan uang sebesar Rp 4,5 miliar ke Djuyamto cs untuk membaca berkas perkara. 

    Uang itu dibagi rata sehingga per orang mendapat Rp 1,5 miliar.

    Tahap selanjutnya, Arif kembali memberikan uang Rp 18 miliar kepada Djuyamto cs pada September hingga Oktober 2024 dengan tujuan agar sidang yang mereka pimpin dikondisikan agar berujung vonis onslag atau lepas.

    “ASB menerima uang dollar dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar, kemudian DJU menerima uang dollar jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AL menerima uang berupa dollar Amerika jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar,” ujarnya.

    Sehingga, dalam pembagian uang suap ini, Djuyamto mendapat bagian terbanyak yakni sekitar Rp 7,5 miliar untuk pengurusan kasus tersebut.

    Untuk informasi, dalam perkara suap vonis onslag ini, Kejagung sendiri awalnya menetapkan empat orang sebagai tersangka.

    Empat tersangka tersebut adalah:

    MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
    WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara
    Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat.

    “Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.

    Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.

    “Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN)  diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah,” ujar Abdul Qohar.

    “Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, dimana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG,” imbuhnya.

    Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu. 

    Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp 17 triliun.

    Dalam perjalanannya, Kejagung juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka. Ketiganya merupakan majelis hakim yang memberikan vonis onslag dalam perkara tersebut, yakni:

    Djuyamto sebagai Ketua Majelis Hakim
    Ali Muhtarom sebagai Hakim AdHoc
    Agam Syarif Baharudin sebagai Hakim Anggota

  • Kejagung Periksa 2 Anggota Hakim Terkait Kasus Vonis Mafia Minyak Goreng

    Kejagung Periksa 2 Anggota Hakim Terkait Kasus Vonis Mafia Minyak Goreng

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa dua anggota majelis hakim sebagai saksi dalam perkara kasus dugaan suap perkara korupsi mafia minyak goreng yang menyeret tiga korporasi. 

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, keduanya diperiksa sedari pagi oleh penydik Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung.

    Adapun, kedua anggota majelis hakim tersebut adalah Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom.

    “Sejak tadi pagi penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap dua saksi yang merupakan tim dari majelis hakim yang menangani perkara terkait dengan korporasi,” kata Harli di Kejagung, Minggu (13/4/2025).

    Harli menyebut, keduanya sampai saat ini masih dalam pemeriksaan intensif oleh penyidik Jampidsus Kejagung.

    Selain dua orang tersebut, Harli menjelaskan pihaknya masih akan memeriksa satu hakim lagi yang saat ini masih dalam upaya penjemputan.

    “Dan satu orang lagi, ini sedang kita lakukan upaya penjemputan,” ujarnya.

    Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap perkara korupsi mafia minyak goreng yang menyeret tiga korporasi.

    Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan pihaknya telah memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkan Arif sebagai tersangka.

    Selain Arif, pengacara berinisial MS dan AN, serta WG selaku panitera muda perdata pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    “Keempat orang [tersangka] itu adalah selaku panitera muda perdata pada PN Jakut, tersangka MS yang bersangkutan merupakan advokat, AN juga sebagai advokat. Terakhir MAN, yang bersangkutan saat ini menjabat selaku ketua PN Jakarta Selatan,” ujarnya di Kejagung, Sabtu (12/4/2025).

    Qohar menegaskan bahwa pada intinya mereka berempat diduga bersekongkol dalam kepengurusan perkara pemberian fasilitas ekspor minyak goreng.

    Kemudian, Qohar menyampaikan bahwa pihaknya akan menahan para tersangka ditahan untuk kepentingan penyidikan selama 20 hari ke depan.

    WG ditahan di Rutan Kelas I Cabang Rutan KPK. MS dan Arif di Rutan Salemba Kejagung dan AN di Rutan Salemba Cabang Kejari Jaksel.

    “Pemberian ini dalam rangka pengurusan agar majelis Hakim dalam perkara itu memberi putusan onslag, jadi perkara tidak terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana,” pungkasnya.

  • 3 Hakim Pemberi Vonis Lepas Korupsi Migor Berompi Tahanan

    3 Hakim Pemberi Vonis Lepas Korupsi Migor Berompi Tahanan

    Tiga hakim PN Jakpus pemberi vonis lepas kepada terdakwa korporasi dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap oleh Kejaksaan Agung RI. Ketiganya yakni hakim Agam Syarif Baharudin (ASB), hakim Ali Muhtarom (AM) dan hakim Djuyamto (DJU).

  • Kejagung Sita 21 Motor dari Rumah Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 April 2025

    Kejagung Sita 21 Motor dari Rumah Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO Nasional 14 April 2025

    Kejagung Sita 21 Motor dari Rumah Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sebanyak 21 unit sepeda motor dan 7 sepeda dari berbagai merek disita
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) dari rumah tersangka suap vonis lepas kasus
    ekspor crude palm oil
    (CPO), Ariyanto Bahri (AR).
    Selain itu, penyidik juga menyita 1 unit mobil merek Toyota Land Cruiser dan 2 unit mobil merek Land Rover.
    “Kemudian 21 unit sepeda motor, ini di sebelah kanan saya banyak motor besar ya, dan 7 sepeda, juga ini disita dari rumah Ariyanto Bahri (kuasa hukum korporasi),” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025).
    Selain puluhan motor dan sepeda, Kejagung juga menyita 10 lembar pecahan 100 dollar Singapura. Lalu 74 lembar pecahan 50 dollar Singapura. 
    “Uang tersebut telah disita di rumah Ariyanto Bahri yang tersangkutan juga sudah ditetapkan sebagai bersangka satu hari yang lalu,” ungkapnya. 
    Selain AR, Kejagung juga telah menetapkan enam tersangka lainnya terkait kasus suap vonis lepas ekspor CPO terhadap tiga perusahaan yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
    Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), 
    Muhammad Arif Nuryanta
    ; Panitera Muda Perdata Jakarta Utara berinisial WG; dan Kuasa Hukum Korporasi Marcella Santoso. 
    Kemudian, Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, serta hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
    Kejaksaan menduga Muhammad Arif Nuryanta menerima suap Rp 60 miliar. Sementara tiga hakim yakni Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM) dan Djuyamto (DJU) diduga menerima uang suap Rp 22,5 miliar. 
    Suap tersebut diberikan agar majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO divonis lepas. 
    Vonis lepas merupakan putusn hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.
    Atas tindakannya, Arif alias MAN disangkakan Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
    Tindak Pidana Korupsi
    sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    WG disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    MS dan AR disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 13 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara, tiga hakim yakni Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM) dan Djuyamto (DJU) disangkakan melanggar Pasal 12C juncto 12B juncto 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Telusuri Aset 3 Hakim Pemberi Vonis Lepas di Kasus Korupsi Migor

    Kejagung Telusuri Aset 3 Hakim Pemberi Vonis Lepas di Kasus Korupsi Migor

    Jakarta

    Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal menelusuri aset tiga hakim yang menerima suap untuk memberikan vonis lepas kepada terdakwa korporasi korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng. Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, penelusuran aset akan dilakukan terhadap tiga hakim yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

    Diketahui, ketiga hakim penerima suap itu yakni hakim Agam Syarif Baharudin (ASB), hakim Ali Muhtarom (AM) dan hakim Djuyamto (DJU).

    “Untuk penelusuran aset kepada 3 tersangka yang telah ditetapkan pada malam hari ini, juga sama, masih terus berlanjut,” kata Qohar di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (14/4/2025).

    Menurut Qohar, penyidik Jampidsus Kejagung terus bergerak dalam mengungkap kasus dugaan suap itu. Dia mengatakan penyidik juga telah menggeledah sejumlah rumah terkait kasus dugaan suap.

    “Tadi saya sampaikan, ada beberapa tempat rumah digeledah, namun tidak sampai di situ saja, penyidik bahkan malam ini masih bergerak, seperti apa hasilnya? Kami sampaikan dalam waktu lain,” jelasnya.

    Sebelumnya diberitakan, Kejagung menjelaskan pembagian uang suap kepada tiga hakim tersebut. Mulanya, hakim Agam Syarif Baharudin menerima uang senilai Rp 4,5 miliar dari Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

    Kemudian, Arif menyerahkan lagi sejumlah uang untuk ketiga hakim itu pada September 2024. Uang yang diberikan dalam bentuk dolar Amerika.

    Jika dirupiahkan, uang yang dibawa Arif senilai Rp 18 miliar. Uang tersebut diserahkan kepada hakim Djuyamto.

    Ketiga hakim itu, jelas Qohar, mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut agar perkara diputus onslag alias divonis lepas.

    (isa/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Jadi Tersangka, 3 Hakim PN Jakpus Terima Rp 22,5 M Terkait Kasus Vonis Lepas Korporasi Ekspor CPO – Halaman all

    Jadi Tersangka, 3 Hakim PN Jakpus Terima Rp 22,5 M Terkait Kasus Vonis Lepas Korporasi Ekspor CPO – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disebut menerima uang senilai Rp 22,5 miliar dalam kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag terhadap tiga terdakwa korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO). 

    Adapun ketiga hakim yang kini berstatus tersangka itu yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharudin selaku hakim anggota dan Ali Muhtarom sebagai hakim AdHoc.  

    Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) Abdul Qohar mengatakan total uang tersebut diterima para tersangka sebanyak dua tahap. 

    Pertama para tersangka menerima uang dalam bentuk dollar sebesar Rp 4,5 miliar. 

    Uang tersebut diberikan oleh tersangka Muhammad Arif Nuryanta Wakil Ketua PN Jakarta Pusat di mana asal uangnya bersumber dari advokat Ariyanto Bahri. 

    “Setelah terbit surat penetapan sidang, Muhammad Arif Nuryanta memanggil DJU selaku ketua majelis dan ASB selaku anggota. Lalu Muhammad Arif Nuryanta memberikan uang dollar bila dikurskan ke dalam rupiah Rp 4,5 miliar,” kata Qohar dalam jumpa pers, Senin (14/4/2024) dini hari. 

    “Di mana uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara dan Muhammad Arif Nuryanta menyampaikan kepada dua orang tersebut agar perkara diatensi,” jelasnya. 

    Setelah menerima uang dari Arif, Agam dikatakan Qohar memasukkannya ke dalam goody bag yang kemudian dibagikan untuk dirinya, Djuyamto dan Ali secara merata. 

    Lebih jauh dijelaskan Qohar, pada medio September atau Oktober 2024, Arif Nuryanta kembali menyerahkan uang kepada Djuyamto sebesar Rp 18 miliar. 

    Uang miliaran itu selanjutnya dibagikan lagi oleh Djuyamto kepada Agam dan Ali di depan Bank BRI wilayah Pasar Baru, Jakarta Pusat. 

    “Dengan porsi pembagian sebagai berikut, ASB menerima sebesar uang dollar jika dirupiahkan sebesar Rp 4,5 miliar, kemudian DJU menerima uang dollar atau jika dirupiahkan sebesar Rp 6 miliar, dan AL menerima uang berupa dollar Amerika jika dirupiahkan setara Rp 5 miliar,” kata Qohar. 

    Alhasil jika ditotalkan uang yang diterima oleh ketiga tersangka terkait kepengurusan perkara ini senilai Rp 22,5 miliar. 

    Untuk informasi, dalam perkara suap vonis onslag ini, Kejagung sendiri awalnya menetapkan empat orang sebagai tersangka. 

    Empat tersangka tersebut adalah MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat. 

    Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam. 

    Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya. 

    “Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN)  diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah,” ujar Abdul Qohar. 

    “Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, di mana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG,” imbuhnya. 

    Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu. Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp17 triliun. 

    Dalam perjalanannya, Kejagung juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka. Ketiganya merupakan majelis hakim yang memberikan vonis onslag dalam perkara tersebut. 

    Ketiganya yakni Djuyamto sebagai Ketua Majelis Hakim, Ali Muhtarom sebagai Hakim AdHoc dan Agam Syarif Baharudin sebagai Hakim Anggota. (*)

  • Tiga Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO Langsung Ditahan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 April 2025

    Tiga Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO Langsung Ditahan Nasional 14 April 2025

    Tiga Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO Langsung Ditahan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Tiga hakim
    langsung ditahan
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) usai ditetapkan ebagai tersangka suap vonis lepas kasus fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) terhadap tiga perusahaan. 
    Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) selaku hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, serta Djuyamto (DJU) selaku hakim Pengadilan Jakarta Selatan.
    Ketiganya ditahan selama 20 hari di Rutan Salemba cabang Kejagung. 
    “Ketiga tersangka tersebut dilakukan
    penahanan
    di Rutan Salemba, cabang Kejaksaan Agung Republik Indonesia selama 20 hari,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025).
    Kejaksaan Agung menduga ketiga tersangka menerima uang suap yang diserahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN).
    Tujuannya, agar ketiga hakim memutuskan perkara CPO korporasi besar menjadi onslag atau putusan lepas.
    Uang suap sebesar Rp 22,5 miliar dibagikan sebanyak dua kali. Pertama, sebesar 4,5 miliar di ruangan Muhammad Arif Nuryanta.
    “Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukkan ke dalam goodie bag. Kemudian setelah keluar dari ruangan yang tadi dibagi kepada tiga orang, yaitu masing-masing ASB sendiri, kepada AL yang keduanya sebagai hakim anggota, dan juga kepada DJU sebagai ketua majelis hakim dalam persidangan perkara dimaksud,” katanya. 
    Lalu pada September-Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) menyerahkan uang senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto (DJU).
    Djuyamto membagi uang tersebut dengan Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) yang diserahkan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat.
    “Untuk ASB menerima uang dollar AS dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar, DJU menerima uang dollar AS jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AM menerima uang berupa dollar AS jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar,” ujarnya.
    Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 c juncto 12B juncto 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.