Kejagung Periksa 12 Saksi Suap Hakim, Sopir Djuyamto hingga Direktur Jak TV
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kejaksaan Agung memeriksa 12 orang saksi kasus vonis lepas (ontslag) terdakwa perkara ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), terdiri dari sopir hakim hingga direktur perusahaan media.
“Senin 21 April 2025, Kejaksaan Agung melalui Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memeriksa 12 orang saksi terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi suap dan/atau gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” tulis Kepala Pusat Penerangan Hukum, Harli Siregar, dalam siaran persnya, Senin (21/4/2025) malam.
Berikut adalah inisial 12 orang saksi tersebut:
1. ED selaku Driver Tersangka DJU.
2. AAND selaku Mitra Justicia Kuasa Hukum Minyak Goreng.
3. JS selaku Mitra Justicia Kuasa Hukum Minyak Goreng.
4. SN selaku Kameraman JAK TV.
5. TB selaku Direktur Pemberitaan JAK TV.
6. IWN selaku Kameraman JAK TV.
7. RYN selaku Kameraman JAK TV.
8. SMR selaku Direktur Operasional JAK TV.
9. RL selaku Mitra Justicia Kuasa Hukum Minyak Goreng.
10. FS selaku Staf AALF.
11. MBHA selaku Head Corporate Legal PT Wilmar.
12. VA selaku Staf AALF.
“Adapun 12 orang saksi diperiksa terkait dengan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi suap dan/atau gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas nama tersangka WG dkk,” tulis Harli Siregar.
WG adalah Wahyu Gunawan, panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang kini menjadi tersangka. Inisial DJU adalah hakim Djuyamto.
Pemeriksaan saksi-saksi ini dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara kasus
suap hakim
tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Kejagung
-
/data/photo/2025/03/14/67d3d20cf00a6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kejagung Periksa 12 Saksi Suap Hakim, Sopir Djuyamto hingga Direktur Jak TV Nasional 21 April 2025
-

Banyak Kasus Korupsi Era Jokowi Terbongkar di Pemerintahan Prabowo, Pengamat: Bukti Ketidakbecusan!
GELORA.CO – Kejaksaan Agung getol mengungkap kasus korupsi yang terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Tercatat sejumlah kasus kakap seperti korupsi BTS, Pertamina, Jiwasraya hingga CPO di Kemendag berhasil terbongkar di era Prabowo Subianto.
Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman menilai jika kasus korupsi di era pemerintahan Jokowi terjadi akibat buruknya tata kelola.
“Terungkapnya banyak kasus korupsi era pemerintah Jokowi saat ini menunjukan tata kelola pemerintahan era Jokowi sangat buruk berhasil diungkap oleh Pemerintahan Prabowo Subianto,” katanya, Senin 21 April 2025.
Ia memberi contoh Kasus BTS, Jiwasraya, Gula Timah, PGN, CPO di Kemendag, Pertamina (Patra Niaga, Kilang dan Pertamina Internasional Shipping) dan lain lain. CERi berharap agar KPK dan Kejaksaan Agung serius mengusut kasus-kasus tersebut.
“Sudah sepatutnya Kejaksaan Agung dan KPK harus mengungkap semua pihak yang terlibat,” ucapnya.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) juga merasa heran menyusul sulitnya membongkar kasus korupsi era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
“Kenapa korupsi era Jokowi seperti dana CSR BI ini baru bisa dibongkar di era Prabowo?” tanya Peneliti Formappi, Lucius Karus.
Lucius menilai bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi masalah yang sistemik.
Sebab kasus korupsi melibatkan lebih dari sekadar individu, tetapi juga lembaga-lembaga yang seharusnya berfungsi untuk mengawasi dan memberantas praktik tersebut.
Menurutnya, korupsi yang “melembaga” ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak kasus korupsi. Seperti dana CSR BI yang baru bisa terungkap setelah perubahan kepemimpinan.
“Karena sistemik atau melembaga, korupsi era Jokowi pasti susah terbongkar pada waktu itu. Bagaimana bisa terbongkar jika korupsinya menyebar juga ke lembaga yang seharusnya bertugas untuk membongkar adanya penyelewengan,” kata dia.
Lucius menambahkan bahwa sistem yang saling melindungi di antara lembaga-lembaga tersebut membuat korupsi menjadi rahasia bersama, bahkan menghalangi upaya pengungkapan oleh instansi yang seharusnya bertugas melakukan pengawasan.
Ia pun mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki peran penting dalam pemberantasan korupsi. Namun sejak era Jokowi, KPK terjebak dalam pusaran sistemik tersebut.
“Kalau KPK bekerja serius, dia harus mampu menjadi lembaga yang independen, tidak tunduk pada selera atau kepentingan penguasa. Kalau KPK independen, maka ada harapan lembaga itu bisa membongkar praktek korupsi yang sistemik itu,” tegasnya.
Lucius juga mengingatkan bahwa jika praktik saling melindungi antar lembaga masih terus berlangsung, maka praktik korupsi yang sama mungkin akan terus berulang, bahkan hingga pemerintahan berikutnya.
“Kalau praktik saking melindungi antar lembaga masih terus terjadi, maka praktik korupsi era Jokowi akan terulang di era sekarang. Yang dilakukan sekarang mungkin ngga akan kebongkar juga sampai rezim baru berkuasa nanti,” pungkasnya.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5143041/original/062327100_1740483316-IMG-20250225-WA0040.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kejagung Dalami Motif Hakim Djuyamto Titip Tas ke Satpam PN Jaksel Sebelum Ditahan – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) masih mendalami motif tersangka Djuyamto (DJU) selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menitipkan sebuah tas kepada Satpam PN Jaksel sebelum ditahan, terkait kasus suap vonis lepas perkara minyak goreng.
“Perlu saya sampaikan bahwa penyidik juga sudah melakukan pemeriksaan terhadap security yang dimaksud. Nah, tetapi yang bersangkutan hanya dititipin, jadi yang bersangkutan juga tidak tahu apa menjadi motif dari penitipan itu,” tutur Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada wartawan, Senin (21/4/2025).
Menurut Harli, satpam tersebut menyerahkan secara sukarela tas yang dititipkan oleh tersangka Djuyamto kepada penyidik dan kemudian dibuatkan berita acara penyitaan barang tersebut.
“Nah barangkali memang kita harus melakukan pemeriksaan terhadap DJU, apa yang menjadi motif sehingga harus menyampaikan tas yang berisi sejumlah uang itu misalnya. Apakah memang supaya diantar ke penyidik atau ada motif lain misalnya,” jelas dia.
Secara rinci, di dalam tas tersebut berisikan dua unit handphone, uang Rp40 juta dengan pecahan Rp100 ribu, dan Rp8.750.000 dengan pecahan Rp50.000. Kemudian mata uang asing yaitu dolar Singapura sebanyak 39 lembar dengan nilai 1.000 SGD dan sebuah cincin berbatu permata hijau. Sejauh ini, belum ada pemeriksaan perihal temuan tersebut terhadap tersangka Djuyamto.
“Nah, kan ini yang bersangkutan yang memahami, sedangkan security itu hanya menyatakan bahwa saya dititipin oleh yang bersangkutan, dan diserahkan ke penyidik sehingga penyidik melakukan penyitaan,” Harli menandaskan.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) membenarkan tersangka Djuyamto (DJU) selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sempat menitipkan sebuah tas kepada Satpam PN Jaksel sebelum ditahan terkait kasus suap vonis lepas perkara minyak goreng. Ternyata, tas tersebut berisikan uang dolar Singapura atau SGD.
“Benar, tapi baru kemarin siang (Rabu, 16 April 2025) diserahkan oleh Satpam yang ditutupi dua HP dan uang dolar Singapura 37 lembar kalau tidak salah,” tutur Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar saat dikonfirmasi, Kamis (17/4/2025).
“Jadi bukan sehari sebelumnya (diserahkan setelah ditangkap),” sambungnya.
-

Aliran Dana Korupsi hingga Judi 2024 Capai Rp1.459 Triliun, Sahroni: Balikin Duitnya Semaksimal Mungkin!
loading…
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengaku miris melihat negara rugi besar akibat tindak korupsi. Foto/Dok SindoNews
JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) mengungkapkan total transaksi aliran dana dugaan korupsi selama 2024 mencapai Rp984 triliun. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana pada Jumat (18/4/2025) mengatakan bahwa nilai transaksi dugaan tindak pidana secara keseluruhan mencapai Rp1.459 triliun, termasuk di bidang perpajakan, perjudian, dan narkotika.
Merespons itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengaku miris melihat negara rugi besar akibat tindak korupsi. Dari situ, politikus Nasdem ini meminta agar semua lembaga penegak hukum bekerja sama memaksimalkan pengembalian kerugian negara.
“Ini angka yang sangat fantastis ya, hingga lebih dari Rp1,400 Triliun. Yang selalu jadi pertanyaan adalah, seberapa banyak kerugian akibat korupsi yang berhasil dikembalikan ke negara? Karena itu yang terpenting,” ujar Sahroni dalam keterangannya, Senin (21/4/2025).
Dia yakin kalau PPATK, Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Polri bekerja sama, mudah saja sebenarnya memaksimalkan pengembalian kerugian negara. “Karena PPATK bisa lacak aliran transaksi sampai detail, tinggal dikejar lalu sita saja uang atau aset hasil korupsi tersebut. Usahakan semaksimal mungkin,” tuturnya.
Kendati demikian, Sahroni turut mengapresiasi kinerja lembaga penegak hukum, yang menurutnya belakangan telah memaksimalkan pengembalian kerugian negara. “Arah penegakkan hukum untuk korupsi saat ini memang sudah membaik, pengembalian kerugian negara sudah menjadi fokus utama. Tapi ini masih perlu dimaksimalkan lagi,” ujarnya.
“Juga, aspek pencegahan dan pengawasan harus ditingkatkan secara beriringan. Tutup segala celah, digitalisasi seluruh transaksi di kementerian dan lembaga biar tidak ada anggaran yang bisa dikorupsi,” pungkasnya.
(rca)
-

Penegak Hukum Terlibat Korupsi Harus Dihukum Berat
loading…
Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap putusan perkara Pemberian Fasilitas Ekspor CPO dan turunannya. Foto/Dok.Kejagung/Ilustrasi/Maspuq Muin
JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir melihat perlunya hukuman berat untuk aparat penegak hukum yang terlibat suap kasus korupsi. Pasalnya, aparat aparat penegak hukum sudah merusak penegakan hukum perkara korupsi.
Hal itu dikatakannya menjawab pertanyaan tentang tuntutan hukuman berat yang harus dilakukan jaksa penuntut umum (JPU) yang menangangi perkara suap Rp60 miliar kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN).
Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap MAN karena diduga menerima suap Rp60 miliar saat menangani perkara CPO di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat. “Saya setuju (dituntut hukuman mati atau hukuman berat). Bukan hanya hakimnya, tapi semua penegak hukum,” kata Muzakir, Senin (21/4/2025).
Hukuman berat ini harus dijatuhkan kepada mereka. Sebab sebagai penegak hukum malah mereka yang merusak tatanan hukum sendiri. Sebagai orang yang harusnya memberantas korupsi malahan mereka yang melakukan korupsi.
Muzakir melihat perlunya ada revolusi terhadap mental para hakim dan penegak hukum. Para penegak hukum harus disumpah dan diminta mengembalikan semua harta hasil suap atau korupsinya. “Kalau tidak bersih disingkirkan saja,” katanya.
Dalam persoalan hukuman berat kasus korupsi, menurut Muzakir, harus dibedakan antara otak pelaku korupsi, dan orang-orang bawah yang hanya menjalankan tugas. Muzakir menilai, orang yang masuk penjara karena korupsi memang belum tentu bersalah.
Karena bisa saja kalangan bawah yang terjerat korupsi hanya menjalankan perintah dari atasannya. “Cuma ketiban sampur mereka harus menjalani hukuman. Sementara yang lain tidak diproses, karena penegakkan hukumnya yang diskriminatif,” kata dosen pengajar di UII Yogyakarta ini.
Dia berpendapat banyak kasus korupsi yang para otak korupsinya justru tidak diproses karena mereka memiliki bargaining politik. “Jadi sekarang itu penegakan hukum diskriminatif. Pasti ada yang dikorbankan. Pertanyaan saya apakah orang-orang seperti ini (anak buah,Red) harus dihukum mati?” imbuhnya.
Muzakir memandang bahwa seharusnya mereka yang dihukum mati atau dihukum berat adalah para pengambil kebijakan. Persoalannya, justru otak kasus justru banyak yang tidak diproses hukum. “Untuk dilakukan hukuman mati syaratnya penegakan hukum harus objektif, tidak boleh diskriminatif. Kasian mereka, orang-orang kecil ini yang jadi korban,” pungkasnya.
(rca)
-

Kejagung serahkan lahan sawit aset kasus korupsi PT Duta Palma ke Kementerian BUMN
Senin, 10 Maret 2025 12:30 WIB
Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) menunjukkan dokumen Penyerahan 221 ribu hektar lahan sawit disaksikan Menteri pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (tengah) di Danareksa Tower, Jakarta, Senin (10/3/2025). Kejagung menyerahkan lahan sawit aset kasus korupsi PT Duta Palma seluas 221 ribu hektar kepada Kementerian BUMN dalam rangka optimalisasi lahan untuk ketahanan pangan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/Spt.
Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) berbincang bersama Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (tengah) dan Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) sebelum menandatangani dokumen perjanjian penyerahan 221 ribu hektar lahan sawit di Danareksa Tower, Jakarta, Senin (10/3/2025). Kejagung menyerahkan lahan sawit aset kasus korupsi PT Duta Palma seluas 221 ribu hektar kepada Kementerian BUMN dalam rangka optimalisasi lahan untuk ketahanan pangan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/Spt.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4968845/original/042465900_1728915618-20241014-Deretan_Calon_Menteri-HER_18.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kata Menko Yusril soal Hakim Jadi Tersangka Suap Vonis Lepas Kasus Minyak Goreng – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Menteri Koordinator (Menko) Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra sempat menanggapi kasus suap vonis lepas korupsi minyak goreng yang menjerat empat hakim sebagai tersangka.
“Iya kalau ditahan sih tetap saja diproses hukum ya, tergantung pada apakah ada bukti atau tidak,” tutur Yusril di Istana Negara, Jakarta, dikutip Sabtu (19/4/2025).
Yusril menyatakan, seluruh proses hukum kasus korupsi akan berjalan sebagaimana mestinya, meski menjerat hakim pengadilan. Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) juga terus mendalami temuan alat bukti dan keterangan saksi.
“Prosesnya berjalan normal. Jadi siapapun yang sebenarnya dilakukan penahanan oleh kejaksaan itu dilakukan dengan penyelidikan, dan penyidikan, tapi dilihat perkembangannya, apakah cukup bukti atau tidak,” kata Yusril.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tersangka baru di kasus vonis lepas perkara korupsi minyak goreng, yakni Muhammad Syafei (MSY) selaku pejabat hukum Wilmar Group.
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengungkap, peran Muhammad Syafei baru terungkap setelah penyidik melakukan pemeriksaan terhadap lima saksi berinisial MBDH, MS, STF, WG, dan Muhammad Syafei sendiri.
“Bermula dari pertemuan antara tersangka AR dengan tersangka WG. Pada saat itu tersangka WG menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus, jika tidak putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum,” tutur Harli di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025).
Dalam pertemuan tersebut, tersangka Wahyu Gunawan (WG) selaku Panitera Muda Perdata pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) juga menanyakan kesiapan dana dari pihak korporasi terdakwa. Tersangka Ariyanto (AR) selaku advokat yang mendampingi perusahaan itu belum dapat menjawab dan harus mengonfirmasi terlebih dahulu ke kliennya.
Informasi dari Ariyanto kemudian diteruskan ke tersangka Marcella Santoso (MS) selaku advokat, yang lantas bertemu dengan Muhammad Syafei di sebuah rumah makan di kawasan Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, tersangka Marcella Santoso menyampaikan potensi bantuan tersangka Wahyu Gunawan dalam mengurus perkara tersebut.
“Tersangka WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya. Mendapati informasi tersebut MSY menyampaikan bahwa sudah ada tim yang mengurusnya,” jelas Harli.


