Kementrian Lembaga: Kadin

  • Celah Industri Manufaktur Tumbuh Meski Dibayangi Kontraksi 3 Bulan Beruntun

    Celah Industri Manufaktur Tumbuh Meski Dibayangi Kontraksi 3 Bulan Beruntun

    Bisnis.com, JAKARTA — Industri manufaktur dinilai masih memiliki peluang untuk tumbuh positif ditengah bayang-bayang tekanan kebijakan tarif Trump hingga kondisi geopolitik. 

    Kendati tak dipungkiri, purchasing managers index (PMI) manufaktur pada Mei 2025 kembali terkontraksi di level 46,9 atau turun dari bulan sebelumnya 47,4. Kontraksi indeks produktivitas ini menurun sejak 3 bulan terakhir. 

    Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad menilai laju kontraksi produktivitas industri manufaktur tiga bulan beruntun disebabkan kondisi industri dan pasar dalam negeri yang tidak kondusif. 

    “PMI kita dalam tiga bulan terakir dibawah 50 artinya industri ini menggambarkan domestiknya punya problem yang jauh lebih besar dibandingkan kondisi eksternal,” kata Tauhid dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025, Rabu (2/7/2025).

    Bahkan, dia menilai dampak dari situasi daya beli masyarakat yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan efek kebijakan tarif. Pihaknya mendorong pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola dan daya saing industri pengolahan dalam negeri.

    Tauhid juga menuturkan permintaan domestik saat ini relatif melemah ketimbang internasional. Kebijakan tarif Trump memang sempat memberikan dampak terhadap ekspor nonmigas yang menurun, tetapi kini mulai kembali normal. 

    “Namun, tetap diperlukan diversifikasi pasar, produk, jalur rantai pasok, relokasi industri hingga diversifikasi sumber energi megurangi ketidakpastian global dan domestik,” ujarnya. 

    Lebih lanjut, dia menerangkan industri manufaktur nasional juga masih dapat bertahan mengingat tarif yang dikenakan terhadap Indonesia sebesar 32% atau lebih rendah dibandingkan dengan China, Vietnam, dan lainnya. 

    Optimisme industri juga masih terlihat dari impor bahan baku/penolong yang naik 3,65% (year-on-year/yoy) menjadi US$69,40 miliar pada Januari-Mei 2025 dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya US$66,96 miliar.

    Tak hanya itu, impor barang modal juga mengalami kenaikan 17,67% menjadi US$18,82 miliar pada Januari-Mei 2025 atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu senilai US$15,99 miliar. Hal ini masih menunjukkan tingkat kepercayaan untuk aktivitas industri. 

    Lebih lanjut, Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin mengatakan penurunan PMI hingga ke level 46,9 menunjukkan permintaan barang manufaktur yang terus menurun dan perlu segera ditangani. 

    “Jangan sampai hal ini terjadi terus menerus sampai ke kuartal berikutnya akibatnya nanti pertumbuhan ekonomi yang diinginkan tidak bisa tercapai, kalau tidak diantisipasi dengan berbagai kebijakan ini akan sulit dan dampaknya kalau produktivitas turun maka akibatnya PHK,” tuturnya. 

    Di sisi lain, dia juga mendorong pemerintah untuk kembali mengevaluasi penggunaan anggaran atau belanja negara ke arah yang lebih produktif dan berdampak besar bagi ekonomi. 

    “Belanja aggaran yang bisa menghasilkan efek domino dibanding belanja barang yang hanya penyusutan tidak menghasilkan apa-apa, akibatnya ekonomi kita tidak akan tumbuh,” pungkasnya. 

  • Deregulasi Impor Bisa Redam Tekanan Tarif Trump? Ini Kata Kadin

    Deregulasi Impor Bisa Redam Tekanan Tarif Trump? Ini Kata Kadin

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai langkah pemerintah melakukan deregulasi kebijakan dan ketentuan impor tak serta-merta dapat meredam dampak tekanan kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. 

    Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, hal tersebut lantaran pelonggaran impor lebih ditujukan untuk memperlancar pasokan bahan baku industri dalam negeri. 

    “Secara langsung, tidak. Deregulasi impor tidak serta-merta meredam tekanan tarif dari AS karena sifatnya lebih menyentuh sisi input domestik,” kata Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perindustrian Saleh Husin kepada Bisnis, Senin (30/6/2025).

    Namun, Saleh tak memungkiri kebijakan pelonggaran impor secara tidak langsung bisa memperkuat daya saing ekspor produk Indonesia. Menurutnya, jika pelaku industri mendapat bahan baku lebih murah dan cepat, maka harga dan kualitas produk ekspor bisa lebih kompetitif.

    Dia menekankan bahwa strategi merespons tekanan tarif dari AS harus lebih komprehensif, mencakup perundingan bilateral, diversifikasi pasar ekspor, dan percepatan implementasi perjanjian perdagangan bebas dengan mitra lain seperti Uni Eropa agar Indonesia tidak terlalu bergantung kepada pasar AS.

    Terlepas dari kebijakan tarif Trump, Saleh menuturkan bahwa deregulasi ketentuan impor secara umum sejalan dengan kebutuhan sektor riil, terutama sektor industri pengolahan yang sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku dan barang modal.

    Terlebih, Saleh mengungkap pelaku industri menghadapi tantangan berupa kelangkaan pasokan, keterlambatan logistik, dan tingginya harga input dalam beberapa tahun terakhir.

    “Dengan pelonggaran aturan impor, kelancaran pasok bisa lebih terjamin, yang pada gilirannya mendukung produktivitas dan kontinuitas operasional,” ujarnya.

    Selain itu, Saleh menilai deregulasi ini berpotensi menggairahkan dunia usaha karena dapat menurunkan biaya produksi, mempercepat proses bisnis, dan memberikan fleksibilitas bagi pelaku industri dalam memilih sumber bahan baku dan barang modal.

    “Namun, kepastian regulasi dan konsistensi kebijakan sangat penting. Dunia usaha perlu kejelasan jangka menengah-panjang tentang kebijakan ini,” imbuhnya.

    Menurutnya, jika ada kepastian dan transparansi, maka investasi baru dan perluasan usaha bisa terdorong lebih cepat.

    Di samping itu, Kadin juga mengingatkan bahwa kebijakan ini tetap harus dibarengi dengan langkah mitigasi bagi industri dalam negeri, agar tidak terdisrupsi oleh masuknya barang impor yang sejenis.

    Untuk diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) resmi mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 (Permendag 8/2024) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dengan menerbitkan sembilan Permendag baru berbasis klaster. Pencabutan regulasi ini seiring dengan adanya deregulasi kebijakan dan ketentuan impor.

    Kemendag menerbitkan Permendag Nomor 16–24 Tahun 2025. Adapun, Permendag baru ini mulai berlaku dalam 2 bulan ke depan.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan, Kemendag akan membagi Permendag berdasarkan klaster untuk memudahkan jika terjadi perubahan ke depan.

    “Permendag ini kami bagi berdasarkan klaster untuk memudahkan apabila nanti terjadi perubahan karena Permendag sifatnya dinamis dan kita harus cepat mengikuti perubahan yang ada,” terang Budi dalam konferensi pers Deregulasi Kebijakan Impor dan Deregulasi Kemudahan Berusaha di kantor Kemendag, Jakarta, Senin (30/6/2025).

    Pertama, Kemendag menerbitkan Permendag Nomor 16 Tahun 2025 (Permendag 16/2025) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Permendag Nol. 16/2025 ini akan mengatur Ketentuan Umum Impor.

    Selanjutnya, Kemendag membagi Permendag berdasarkan klaster sektor atau komoditas. Pembagian Permendag per klaster bertujuan untuk memudahkan regulasi ke depan.

    “Jadi ini [Permendag] per klaster untuk memudahkan apabila nanti kita ada perubahan-perubahan berikutnya,” terangnya. 

    Perinciannya, pertama, Permendag Nomor 17 Tahun 2025 (Permendag 17/2025) yang mengatur tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.

    Kedua, Permendag Nomor 18 Tahun 2025 (Permendag 18/2025) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Pertanian dan Peternakan. Ketiga, Permendag Nomor 19 Tahun 2025 (Permendag 19/2025) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Garam dan Komoditas Perikanan.

    Keempat, Kemendag juga menerbitkan Permendag Nomor 20 Tahun 2025 (Permendag 20/2025) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Bahan Kimia, Bahan Berbahaya, dan Bahan Tambang. Kelima, Permendag Nomor 21 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Elektronik dan Telematika.

    Keenam, Permendag Nomor 22 Tahun 2025 (Permendag 22/2025) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu. Ketujuh, Permendag Nomor 23 Tahun 2025 (Permendag 23/2025) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Konsumsi.

    Kedelapan, Permendag Nomor 24 Tahun 2025 (Permendag 24/2025) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Dalam Keadaan Tidak Baru dan Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun.

    Selain itu, Kemendag juga memutuskan sebanyak 10 komoditas atau 482 HS dilakukan relaksasi terkait deregulasi kebijakan dan ketentuan impor. Salah satu komoditas yang direlaksasi adalah food tray untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Untuk food tray, komoditas ini masuk ke dalam produk penunjang program nasional. Sebelumnya, food tray harus mengantongi persetujuan impor (PI) berupa peraturan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kini, food tray sudah tidak ada lagi larangan dan pembatasan (lartas).

    Dalam hal pengaturan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan pakaian jadi, Kemendag memasukkan pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi ke dalam kebijakan dan pengaturan impor baru.

    “Sekarang ada perubahan menjadi PI, kemudian juga ditambah pertimbangan teknis dari kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan juga ada LS [laporan surveyor],” pungkasnya.

  • Ekspor Mebel dan Kerajinan RI ke AS Terancam, Pengusaha Minta Ini ke Pemerintah – Page 3

    Ekspor Mebel dan Kerajinan RI ke AS Terancam, Pengusaha Minta Ini ke Pemerintah – Page 3

     

    Liputan6.com, Jakarta Menjelang diberlakukannya kebijakan tarif baru oleh Amerika Serikat pada 9 Juli 2025, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menyerukan langkah strategis bersama pemerintah untuk memperjuangkan tarif preferensial bagi ekspor produk mebel dan kerajinan asal Indonesia.

    Isu tarif ini telah dibahas secara intensif bersama Ketua Umum KADIN Indonesia, Anindya Bakrie, dan jajaran pengurus inti KADIN Pusat. KADIN menunjukkan komitmen tinggi terhadap penguatan daya saing ekspor nasional, dan HIMKI sepenuhnya mendukung upaya sinergis ini sebagai bagian dari perjuangan bersama dunia usaha.

    Ekspor mebel dan kerajinan Indonesia ke pasar AS saat ini mencapai USD 1,33 miliar, atau sekitar 54% dari total ekspor sektor ini. Industri ini menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja—baik langsung maupun tidak langsung—dan memiliki potensi besar menjadi pusat produksi global, asalkan didukung oleh tarif ekspor yang kompetitif.

    Peluang dan Risiko Tarif Ekspor Baru

    Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, menegaskan bahwa penetapan tarif yang lebih rendah dibanding negara pesaing seperti Vietnam dan Malaysia akan membuka peluang strategis bagi Indonesia.

    “Dengan dukungan kebijakan tarif yang tepat, Indonesia bisa menarik investasi global, menciptakan 5 hingga 6 juta lapangan kerja baru—baik langsung maupun tidak langsung—dan meningkatkan ekspor mebel-kerajinan menjadi USD 6 miliar dalam lima tahun ke depan,” ujarnya dikutip Selasa (1/7/2025).

    Sebaliknya, apabila tarif ekspor Indonesia lebih tinggi dari negara pesaing, akan terjadi penurunan permintaan yang signifikan dari para buyer. Hal ini berisiko menyebabkan kehilangan momentum pertumbuhan dan berkurangnya peluang untuk menjadikan Indonesia sebagai hub produksi dunia.

     

  • 6 Juta Orang Bergantung pada Industri Rokok, Bamsoet Serukan Kebijakan Berbasis Data

    6 Juta Orang Bergantung pada Industri Rokok, Bamsoet Serukan Kebijakan Berbasis Data

    MAGELANG – Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia dan Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menegaskan bahwa industri rokok masih menjadi pilar penting dalam menopang perekonomian nasional. Hal ini disampaikan saat mengunjungi pabrik rokok merek HS milik pengusaha muda Muhammad Suryo yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah.

    Menurutnya, meskipun dihadapkan pada semakin ketatnya regulasi dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak kesehatan akibat merokok, sektor rokok tetap memberi kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara dan penciptaan lapangan kerja.

    “Lebih dari 6 juta orang bergantung pada industri rokok, mulai dari petani, buruh pabrik, hingga pedagang. Sektor ini punya dampak besar terhadap kesejahteraan banyak keluarga di Indonesia,” ujar Bamsoet dalam kunjungannya, Minggu, 29 Juni.

    Rokok HS sendiri merupakan produk legal yang tengah berkembang pesat di pasaran, dengan beberapa varian seperti HS Original, HS Slim, dan HS Click yang memiliki cita rasa buah-buahan. Produk ini diklaim berkontribusi dalam menekan peredaran rokok ilegal sekaligus mendukung perekonomian daerah.

    Bambang Soesatyo yang juga Ketua MPR RI ke-15 dan mantan Ketua DPR RI menambahkan bahwa berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) pada 2024 mencapai lebih dari Rp232 triliun atau sekitar 9–10 persen dari total pendapatan negara. Dana ini turut digunakan untuk program-program publik seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui skema Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).

    Di sisi tenaga kerja, industri rokok juga menyerap jutaan orang di berbagai lini. Di pabrik, terutama yang berskala kecil dan menengah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ribuan buruh pelinting masih menjadi tulang punggung produksi. Sementara di hulu, petani tembakau dan cengkeh menggantungkan hidup mereka pada keberlanjutan sektor ini. Distribusi, logistik, dan pedagang eceran juga menjadi bagian dari rantai ekonomi yang terbangun dari industri ini.

    Namun, tantangan yang dihadapi tidak ringan. Kenaikan tarif cukai rokok pada 2024 sebesar rata-rata 10 persen berisiko mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal. Sepanjang 2023, Bea Cukai mencatat lebih dari 600 juta batang rokok ilegal berhasil digagalkan, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp820 miliar. Tanpa pengawasan ketat, produsen legal bisa semakin tertekan, sementara pasar gelap justru tumbuh.

    Selain itu, tekanan dari kampanye global anti tembakau dan regulasi nasional yang semakin ketat, seperti wacana revisi PP 109/2012 tentang pembatasan iklan dan promosi rokok, juga menambah beban bagi pelaku industri.

    Jika kebijakan ini tidak disertai dengan kajian dampak ekonomi yang menyeluruh, maka sektor padat karya dan pelaku UMKM yang tergantung pada distribusi rokok bisa terdampak.

    “Kita butuh kebijakan yang tidak hanya tegas, tapi juga adil dan berbasis data. Tujuannya tidak sekadar mengendalikan konsumsi rokok, tapi juga menjaga kesinambungan ekonomi, fiskal, dan perlindungan terhadap masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor ini,” pungkas Bamsoet.

  • Alasan Prabowo Alihkan Proyek Infrastruktur ke Swasta: Terlalu Banyak Bocor!

    Alasan Prabowo Alihkan Proyek Infrastruktur ke Swasta: Terlalu Banyak Bocor!

    Jakarta

    Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di awal 2025 menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 yang mengatur efisiensi belanja negara. Penerapan kebijakan tersebut salah satunya untuk meminimalisir kebocoran-kebocoran untuk hal-hal yang kurang tepat sasaran.

    Tenaga Ahli Utama Bidang Ekonomi, Kantor Komunikasi Kepresidenan, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan bahwa salah satu titik kebocoran paling banyak terjadi di proyek-proyek infrastruktur. Persoalan ini sebelumnya disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.

    “Selama ini Pak Presiden juga sudah melihat bahwa salah satu sumber kebocoran itu adalah melalui proyek-proyek infrastruktur. Makanya infrastruktur itu diberikan ke swasta,” ujar Fithra dalam acara diskusi tentang stimulus ekonomi, di Toety Heraty Museum Cemara 6 Gallery, Jakarta, Sabtu (28/6/2025).

    Fithra menekankan, bukan berarti pemerintah tidak lagi fokus pada pembangunan infrastruktur. Namun kini, proyek-proyek pembangunan mayoritasnya didorong untuk bisa dikerjasamakan dengan pihak swasta.

    Menurutnya, kepercayaan pembangunan infrastruktur diberikan kepada para perusahaan swasta dengan melihat bahwa para kontraktor ini punya pengalaman panjang serta perhitungan tersendiri sehingga tidak asal menghabiskan anggaran.

    “Saya dulu bekerja di PT SMI, itu ketika ada proposal feasibility studies (FS) dari daerah, kita lihat, wah ini harus diberesin lagi nih, hitung-hitungan efisibilitas dampak ekonomi, dan sebagainya,” ujar dia.

    “Jadi memang ada banyak sekali inefficiency kalau semuanya dikerjakan oleh pemerintah, makanya perlu ada kolaborasi. Makanya perlu ada penganggaran yang lebih efisien,” sambungnya.

    Selaras dengan itu, Inpres 1/2025 lahir untuk membantu merealokasikan anggaran dari sektor yang tidak produktif ke sektor yang produktif. Selain anggaran infrastruktur, ia juga menyinggung tentang temuan dana alokasi untuk Alat Tulis Kantor (ATK) yang mencapai Rp 44 triliun.

    “Di awal tahun Pak Presiden bersama Bu Sri Mulyani melihat sampai satuan sembilan, dicek kok ada ATK sampai Rp 44 triliun, kok dikumpulan setiap kementerian ada 44 triliun, ini buat apa? Akhirnya dibalikkan lagi ke kaedah Undang-Undang No. 17 tahun 2003, keuangan negara yang the money you need to have the function. Money full of function,” katanya.

    Sebagai informasi, sebelumnya Presiden Prabowo Subianto menyatakan untuk mempercayakan sebagian besar proyek pembangunan infrastruktur kepada pihak swasta. Menurutnya, swasta bisa lebih efisien menggarap proyek terkait didukung pengalaman yang lebih mumpuni.

    “Infrastruktur akan sebagian besar diserahkan ke swasta untuk membangun. Swasta lebih efisien, swasta lebih inovatif, swasta lebih pengalaman saudara-saudara sekalian!,” kata Prabowo saat Penutupan Munas Konsolidasi Persatuan KADIN Indonesia di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (16/1/2025).

    Selaras dengan hal ini, Prabowo pun juga menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menginstruksikan untuk menghentikan proyek-proyek infrastruktur. Proyek tetap lanjut, namun ia mengubah skemanya dengan lebih mengandalkan swasta.

    “Saya ingin berikan peran besar kepada swasta, ada yang katakan saya hentikan proyek infrastruktur, tidak benar! Saya tidak menghentikan, saya mengubah!” tegasnya.

    Dengan demikian, ke depannya proyek-proyek seperti jalan tol, pelabuhan, hingga bandara, akan ia serahkan kepada pihak swasta untuk menggarapnya. Hal ini berarti, nantinya pembangunan tidak hanya bergantung pada APBN, dan skema seperti Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) akan digencarkan.

    (shc/fdl)

  • Job Fair Dianggap Solusi Instan, Pakar Ketenagakerjaan IPB University Ingatkan Desain Strategis dan Inklusif

    Job Fair Dianggap Solusi Instan, Pakar Ketenagakerjaan IPB University Ingatkan Desain Strategis dan Inklusif

    PIKIRAN RAKYAT – Job fair atau bursa kerja kerap dianggap solusi instan dalam menjawab tantangan pengangguran. 

    Namun, dosen Ekonomi Ketenagakerjaan IPB University, Dr Tanti Novianti, menilai job fair tidak akan berdampak nyata jika tanpa desain yang strategis, inklusif, dan terintegrasi dengan program ketenagakerjaan yang lebih luas.

    Dr Tanti mengatakan, selama ini job fair atau bursa kerja menjadi salah satu strategi pemerintah untuk mempertemukan pencari kerja dengan pemberi kerja. Kegiatan ini umumnya rutin digelar oleh dinas tenaga kerja daerah, bekerjasama dengan kampus, maupun pihak swasta sebagai ajang rekrutmen massal.

    Tujuan utama job fair adalah menjembatani ketidakseimbangan informasi antara pencari kerja dan perusahaan, sehingga perusahaan dapat menemukan kandidat sesuai kebutuhan. 

    Dari sisi pencari kerja, mereka bisa mendapatkan lowongan sesuai kualifikasi mereka. Dengan demikian, secara ideal, sebuah job fair dirancang sebagai solusi mismatch tenaga kerja.

    Namun di lapangan, job fair kerap kali hanya menjadi tempat menampung surplus pencari kerja daripada benar-benar menjawab kekurangan tenaga kerja di industri. 

    “Job fair lebih kepada solusi jangka pendek, bukan obat mujarab pengangguran,” ujar Dr Tanti.

    Ia mengusulkan agar job fair bersifat tematik, berfokus pada industri tertentu, bisa menjadi solusi. Dari sisi desain acara, job fair nasional sering tidak memiliki fokus sektor atau kualifikasi yang jelas, sehingga profil pelamar yang datang tidak sesuai kebutuhan industri.

    “Karena itu, desain penyelenggaraan job fair harus berbasis data, baik dari sisi pasar kerja maupun profil penganggur,” tambahnya.

    Dr Tanti yang saat ini menjadi Wakil Dekan Bidang Sumberdaya, Kerjasama, dan Pengembangan Sekolah Bisnis IPB University menjelaskan, job fair tidak akan menyelesaikan masalah pengangguran tanpa dibarengi penciptaan investasi dan peluang kerja baru. 

    Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi kuat antara pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, dan perguruan tinggi.

    Dalam perencanaan strategis, kata Dr Tanti, penyelenggaraan job fair harus melihat jauh ke depan, bukan sekadar formalitas. Perencanaan harus mempertimbangkan analisis kebutuhan, simplifikasi birokrasi, dan integrasi dengan pelatihan vokasi hingga kebijakan investasi tenaga kerja.

    Dari segi pelaksanaan, job fair harus inklusif dan produktif bagi semua pihak. Kehadiran fasilitas seperti wawancara on-site, konseling karier, dan talkshow inspiratif menjadi nilai tambah. 

    Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas juga penting, termasuk adanya kurasi lowongan kerja yang nyata dan sesuai kebutuhan industri.

    Keterlibatan industri sejak tahap perencanaan dianggap kunci penting. Pemerintah disarankan bermitra dengan asosiasi seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta mengoptimalkan regulasi seperti wajib lapor lowongan kerja.

    “Peluang kerja sebaiknya masuk dalam sistem bursa kerja nasional,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, job fair seharusnya tidak berdiri sendiri, tetapi mesti terintegrasi dengan pelatihan tenaga kerja berbasis kebutuhan industri. 

    Dr Tanti mencontohkan model dual-track di Jerman dan pelatihan intensif di perusahaan-perusahaan Jepang sebagai praktik baik yang bisa ditiru.

    Pemanfaatan teknologi turut menjadi perhatian utama. Platform digital dan penggunaan big data serta AI matching mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan job fair. Teknologi juga memudahkan segmentasi peserta dan pengelolaan acara.

    Segmentasi peserta, menurut Dr Tanti, perlu diperjelas. Misalnya, untuk lulusan SMK dan fresh graduate yang angka penganggurannya tinggi, serta kelompok disabilitas yang membutuhkan akses dan lowongan kerja khusus.

    “Job fair idealnya menjadi pintu masuk ke pelatihan lanjutan dan pendampingan kerja, bukan hanya mengumpulkan lamaran,” katanya. (*)

  • Bank Tanah-Kadin Jajaki Kerja Sama, Penyediaan Tanah Dijamin Clean & Clear

    Bank Tanah-Kadin Jajaki Kerja Sama, Penyediaan Tanah Dijamin Clean & Clear

    Jakarta

    Badan Bank Tanah melakukan audiensi dengan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie di Menara Kadin, Selasa (24/6/2025). Keduanya membahas peluang kerja sama dalam optimalisasi tanah negara.

    Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja, mengatakan audiensi ini menjadi kesempatan yang baik dalam sinergi dunia usaha dengan Badan Bank Tanah, khususnya untuk mendukung Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo, serta mendukung para investor untuk berusaha.

    “Ini kesempatan yang sangat positif dengan Kadin di mana banyak sekali pengusaha, di mana setiap usaha butuh tanah, khususnya dalam mendukung Asta Cita Presiden (Prabowo) melalui program seperti rumah layak huni MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), MBG (makan bergizi gratis), tempat pelatihan dan lain sebagainya,” kata Parman dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (25/6/2025).

    Parman mengatakan, pihaknya memberikan jaminan kepastian hukum tidak hanya kepada masyarakat yang menjadi subjek reforma agraria, tetapi juga bagi para investor. Badan Bank Tanah menjamin tanah yang diberikan kepada pengusaha sudah berstatus clean and clear.

    “Karena di republik ini yang susah adalah pembebasan lahan yang tentunya penuh dengan ketidakpastian hukum. Salah satu tugas kita adalah melakukan pengamanan, pemeliharaan, pengendalian baik secara aspek fisik dan yuridis, baik di dalam dan di luar pengadilan,” ujarnya.

    Sementara itu, Ketua Umum Kadin Anindya Bakrie menyampaikan, tanah yang dikelola oleh Badan Bank Tanah dapat diharmonisasikan dengan program percepatan (quick wins) milik Kadin, seperti MBG melalui penyediaan SPPG, rumah layak huni bagi masyarakat, pengiriman tenaga kerja migran, dan cek kesehatan gratis.

    “MBG dan rumah layak huni adalah beberapa yang dapat dijajaki kerja sama dengan Badan Bank Tanah. Program quick wins Kadin sejalan dengan upaya kami dalam mendukung program pemerintah,” kata Anindya.

    Anindya juga mengapresiasi terobosan pemerintah melalui Badan Bank Tanah dengan program tanah nol rupiah untuk kepentingan sosial.

    “Ini luar biasa terobosan pemerintah dan tentu kami dari dunia usaha ingin bekerja sama bukan saja pemerintah yang progresif tetapi juga yang menginginkan keadilan sosial kami sambut baik,” kata dia.

    Badan Bank Tanah saat ini memiliki aset persediaan tanah seluas 33.116 Ha di seluruh Indonesia. Aset tersebut telah dimanfaatkan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria.

    Beberapa peran strategis Badan Bank Tanah telah diwujudkan dalam bentuk penyediaan tanah untuk perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Kendal dan Brebes, Jawa Tengah; Lahan Bandara VVIP IKN, jalan tol IKN seksi 5B dan reforma agraria di atas HPL Badan Bank Tanah di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur; pemanfaatan lahan oleh badan hukum swasta baik dari skala mikro sampai dengan skala makro.

    (shc/kil)

  • Iran-Israel Gencatan Senjata, Kadin Wanti-wanti Industri RI Tetap Siaga

    Iran-Israel Gencatan Senjata, Kadin Wanti-wanti Industri RI Tetap Siaga

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia masih mewaspadai konflik Iran-Israel yang dinilai berisiko besar terhadap stabilitas rantai pasok global, meskipun saat ini kedua negara dikabarkan telah sepakat gencatan senjata. 

    Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (KADIN) Indonesia Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, ketegangan geopolitik yang terjadi saat ini dapat meningkatkan volatilitas harga minyak dan gas dunia hingga ketidakpastian pasar. 

    “Konflik ini juga berpotensi mengganggu arus logistik internasional, khususnya rute-rute pelayaran utama,” ujar Saleh kepada Bisnis, dikutip Rabu (25/6/2025). 

    Dalam hal ini, dia menyoroti ancaman penutupan selat Hormuz, kendati Iran telah membatalkan langkah tersebut saat ini. Wilayah Teluk itu merupakan jalur utama perdagangan minyak global, di mana sekitar 20 juta barel minyak serta 20% LNG global melewati jalur ini setiap harinya. 

    Saleh juga mengkhawatirkan ketidakpastian pasar yang memengaruhi keputusan investasi, terutama pada sektor industri yang bergantung pada bahan baku impor.

    “Industri dalam negeri, seperti industri petrokimia dan logam, sangat terdampak karena sebagian besar bahan baku masih tergantung impor,” tuturnya. 

    Meski kondisi perang saat ini telah mereda, industri manufaktur, pelayaran maupun sektor energi tetap harus bersiap. Pasalnya, masih terdapat potensi keterlambatan pasokan bahan baku karena terganggunya rute pelayaran dan peningkatan biaya logistik.

    “Hambatan logistik sangat nyata karena banyak perusahaan pelayaran internasional mengalihkan jalur pengiriman untuk menghindari kawasan konflik sehingga waktu tempuh bertambah dan biaya pengapalan meningkat,” tuturnya. 

    Bahkan, dia menyebut, biaya asuransi maritim naik signifikan, terutama untuk kapal yang melewati zona merah (high-risk area). Semula tarif 0,125% menjadi rata-rata 0,2% dari nilai kapal untuk zona Teluk dan sekitar 0,7% untuk rute Red Sea/Israel.

    Belum lagi, kenaikan harga energi yang sempat melonjak dan berdampak langsung pada biaya transportasi logistik internasional dan domestik. 

    “Tarif sewa kapal tanker VLCC ke Jepang naik 20%, biaya spot container naik 55% dari Shanghai ke Jebel Ali,” ujarnya. 

    Kadin mendorong pelaku usaha untuk melakukan diversifikasi negara asal impor (misal dari kawasan Asia Tenggara atau Afrika), penguatan substitusi bahan baku dalam negeri, meskipun ini butuh waktu dan insentif, serta kolaborasi antar industri dengan membentuk sistem logistik bersama untuk menjamin ketersediaan bahan baku strategis.

    Tak hanya itu, pihaknya juga meminta pemerintah untuk memberikan dukungan berupa insentif impor bahan baku strategis, jaga stabilitas logistik, dan fasilitasi akses pembiayaan.

    Dalam jangka panjang, pemerintah juga perlu mempercepat hilirisasi industri, membangun cadangan bahan baku strategis, dan perluasan kerja sama perdagangan non-tradisional.

  • Pengusaha Ingatkan Lonjakan Harga Minyak Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

    Pengusaha Ingatkan Lonjakan Harga Minyak Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

    Jakarta

    Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan sektor logistik nasional harus bersiap menghadapi dampak berantai dari eskalasi ketegangan di Timur Tengah, terutama terhadap jalur pelayaran internasional yang krusial seperti Selat Hormuz.

    “Perang ini tidak hanya berdampak pada kawasan Timur Tengah, tapi bisa memicu disrupsi besar pada rantai pasok global, termasuk Indonesia, terutama yang terkait dengan minyak, bahan baku industri, serta rute pelayaran internasional,” kata Ketua Umum ALFI Akbar Djohan dalam keterangan tertulis, Rabu (25/6/2025).

    Sebagaimana diketahui, konflik antara Israel dan Iran meluas hingga melibatkan Amerika Serikat (AS). Ketegangan militer di kawasan penghasil dan penyalur minyak dunia itu disebut dapat memperparah tekanan terhadap biaya logistik internasional, termasuk pengangkutan barang ke dan dari Indonesia.

    Akbar menyebut sebagian besar kapal niaga global melewati kawasan tersebut dan jika terganggu akan berdampak pada waktu tempuh, rute alternatif yang lebih jauh, serta harga bahan bakar.

    “Lonjakan harga minyak sudah pasti akan memicu kenaikan biaya logistik. Selain itu, risiko keterlambatan pengiriman juga makin tinggi. Ini perlu disikapi serius oleh seluruh pelaku usaha dan pemerintah,” ucap dia.

    Menurut Akbar, logistik merupakan urat nadi perdagangan nasional dan internasional sehingga gangguan terhadap jalur logistik global harus diantisipasi dengan cepat. Ia menilai perlu ada upaya mitigasi risiko dari pemerintah agar sektor logistik nasional tetap berjalan efisien dan tidak terjebak dalam krisis berlarut.

    “Kita tidak bisa menunggu situasi semakin memburuk. Pemerintah perlu merumuskan skenario darurat logistik, termasuk memperkuat jalur distribusi domestik dan mendorong diversifikasi rute ekspor-impor,” sambung Akbar.

    ALFI juga mendorong pemerintah agar mempercepat transformasi digital dalam sistem logistik nasional. Menurutnya digitalisasi tidak hanya akan meningkatkan efisiensi, melainkan juga mempermudah koordinasi dan pemantauan distribusi barang di tengah situasi global yang dinamis.

    “Dengan digitalisasi dan sistem informasi logistik yang terintegrasi, kita bisa lebih tanggap dalam merespons disrupsi yang terjadi, baik karena faktor geopolitik, iklim, maupun ekonomi,” tegas Akbar.

    Selain itu, Akbar berharap pemerintah dapat memperkuat koordinasi lintas kementerian dan lembaga, khususnya antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kadin serta ALFI untuk menyiapkan langkah-langkah antisipatif yang komprehensif.

    “Pemerintah harus duduk bersama pelaku industri logistik dan menyusun roadmap respons krisis. Kita tidak boleh reaktif, tapi harus siap dengan berbagai skenario,” tambah Akbar.

    Di sisi lain, Akbar juga menekankan pentingnya memperluas pasar ekspor ke negara-negara yang tidak terdampak langsung oleh konflik, serta meningkatkan ketahanan logistik domestik agar tidak terlalu tergantung pada satu kawasan atau satu jalur pelayaran.

    “Kita harus menjadikan krisis ini sebagai momentum memperkuat struktur logistik nasional, baik dari sisi infrastruktur, sumber daya manusia, maupun kebijakan. Diversifikasi pasar dan rute sangat penting agar kita tidak rentan,” lanjut Akbar.

    Akbar pun mengingatkan sektor logistik bukan sekadar alat angkut barang, melainkan elemen strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, dukungan kebijakan dan insentif dari pemerintah sangat dibutuhkan, terutama bagi pelaku logistik kecil dan menengah yang rentan terkena dampak.

    “Dukungan insentif fiskal dan regulasi yang fleksibel bisa menjadi bantalan agar sektor ini tetap tumbuh, bahkan dalam kondisi penuh ketidakpastian,” kata Akbar.

    (aid/ara)

  • Usulan Pengembang soal Rencana Rumah Subsidi Diperkecil

    Usulan Pengembang soal Rencana Rumah Subsidi Diperkecil

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah pelaku usaha properti menilai rencana rumah subsidi yang diperkecil bertujuan menjawab tantangan keterbatasan lahan dan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terutama di wilayah perkotaan.

    Dalam draf perubahan Keputusan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Tahun 2025, disebutkan bahwa rumah subsidi nantinya dapat dibangun di atas lahan seluas minimal 25m², dengan luas bangunan mulai dari 18 m². Sebelumnya, dalam aturan lama, batas minimum luas tanah ditetapkan 60 m² dan bangunan minimal 21 m².

    Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Pedesaan Thomas Jusman mengatakan bahwa penambahan opsi rumah subsidi berukuran kecil perlu dipahami sebagai alternatif, bukan pengganti tipe yang sudah ada.

    “Ini adalah pilihan tambahan, bukan pengganti rumah tipe 36. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara luas agar tidak muncul kesalahpahaman,” ujar Thomas, dikutip Senin (23/6/2025).

    Menurut dia, keberadaan rumah subsidi berukuran kecil menjadi krusial di kawasan perkotaan, tempat harga lahan cenderung tinggi dan ketersediaannya terbatas. Thomas juga menekankan bahwa meskipun ukuran diperkecil, standar kelayakan hunian harus tetap merujuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI).

    Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himpera) Endang Kawidjaja menilai bahwa revisi ukuran rumah subsidi akan memperluas pilihan bagi masyarakat MBR. Dengan adanya variasi tipe, masyarakat dapat memilih rumah sesuai dengan kemampuan finansial mereka.

    “Luas tanah 25 m² dan bangunan 18 m² bisa menjadi solusi untuk tanah-tanah sempit yang sebelumnya tak terpakai karena tidak memenuhi kriteria rumah subsidi,” katanya.

    Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menyarankan agar rumah subsidi berukuran kecil difokuskan pada radius 20 kilometer dari pusat kota. Dia menyebut segmen ini cocok untuk generasi muda atau pasangan baru yang belum memiliki anak.

    “Rumah subsidi mungil ini bisa menjadi hunian pertama yang terjangkau di lokasi strategis,” ujarnya.

    Direktur PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) Budiarsa Sastrawinata menyebut bahwa menyesuaikan ukuran rumah subsidi adalah upaya realistis di tengah tingginya harga tanah. Pengembang tetap bisa menjaga keterjangkauan tanpa menurunkan kualitas.

    “Aspek kelayakan dan fungsi tetap bisa terpenuhi meskipun rumah lebih kecil. Yang penting adalah efisiensi desain dan aksesibilitas,” kata Budiarsa.

    CEO Lippo Group James Riady mencontohkan proyek Hunian Warisan Bangsa (HWB) sebagai model penerapan rumah subsidi berukuran kecil. Dalam proyek tersebut, disediakan dua tipe unit, yakni tipe satu kamar tidur berukuran bangunan 14m² dan tipe dua kamar tidur berukuran 23,4m², masing-masing dibangun di atas tanah sekitar 25–26m².

    Meskipun mungil, rumah-rumah tersebut dirancang dengan mezzanine dan fasilitas lengkap, seperti ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga carport.

    “Hunian yang layak tidak selalu berarti luas. Dengan prinsip desain yang baik, rumah kecil pun bisa nyaman, aman, dan terjangkau,” ujar James.

    Program rumah subsidi berukuran kecil ini diharapkan dapat membuka akses kepemilikan rumah bagi lebih banyak kelompok masyarakat, terutama yang selama ini terpinggirkan oleh keterbatasan lahan dan tingginya harga rumah.