Kementrian Lembaga: Jaksa Agung

  • KPK Sebut Permintaan Singapura soal Affidavit untuk Ekstradisi Buron Paulus Tannos Hal Baru

    KPK Sebut Permintaan Singapura soal Affidavit untuk Ekstradisi Buron Paulus Tannos Hal Baru

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya membereskan dokumen tambahan yang diminta otoritas Singapura untuk mengekstradisi buronan kasus korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik (e-KTP), Paulus Tannos. Harapannya, berkas itu bisa selesai sebelum 30 April mendatang.

    “Penyidik akan mengupayakan memenuhi permintaan tambahan yang dalam hal ini merupakan affidavit pada pihak Singapura dalam rentang waktu yang diberikan. Jadi akan mengupayakan untuk dipenuhi,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika kepada wartawan yang dikutip pada Kamis, 17 April.

    Tessa menjelaskan affidavit tersebut berisi pernyataan tertulis tersumpah. Tapi, dia tidak bisa membeberkan isi lebih lengkapnya.

    Hanya saja, permintaan affidavit menjadi barang baru. Sebab, Tessa bilang, hukum di Indonesia tidak pernah memberlakukan dokumen ini.

    “Indonesia tidak mengenal affidavit, kalau di Singapura mengenal affidavit dan mereka butuh itu,” tegasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengatakan otoritas Singapura butuh dokumen tambahan untuk memulangkan Paulus Tannos. Permintaan ini sedang dilakukan Tim Otoritas Pusat dan Hukum Internasional (OPHI) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) yang terus berkoordinasi dengan KPK.

    “Insyaallah dalam sebelum 30 April ini, dokumen tersebut akan segera dikirim. OPHI dalam hal ini setiap saat berkomunikasi dengan KPK,” kata Supratman kepada wartawan di kantornya, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 15 April.

    “Dokumennya seperti apa, tanyakan ke KPK,” sambung Supratman.

    Adapun Paulus Tannos yang merupakan Direktur Utama PT Sandipala Arthapura akhirnya ditangkap otoritas Singapura setelah masuk daftar pencarian orang sejak 2021. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.

    Ketika itu dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama tiga orang lainnya, yakni Isnu Edhi Wijaya selaku mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI); anggota DPR RI 2014-2019 Miryam S Haryani; dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.

     

    Dalam pemulangan lewat proses ekstradisi sejumlah berkas yang dibutuhkan di antaranya surat permintaan dari Menteri Hukum; sertifikat legalisasi; identitas; resume hingga surat dari Jaksa Agung. Seluruhnya sudah dipenuhi baik oleh Kementerian Hukum, KPK maupun Kejaksaan Agung.

  • Kasus Pagar Laut Tangerang Tak Jelas, Mahfud MD Dorong Kejagung Ambil Alih dari Polisi

    Kasus Pagar Laut Tangerang Tak Jelas, Mahfud MD Dorong Kejagung Ambil Alih dari Polisi

    loading…

    Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) mengambil alih penanganan kasus pagar laut Tangerang dari Polri yang berkasnya tak kunjung selesai. FOTO/DOK.SindoNews

    JAKARTA – Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menyoroti perkembangan penanganan kasus pagar laut Tangerang yang hingga kini berkasnya itu tak kunjung selesai. Bahkan, kepolisian dan Kejagung saling lempar berkas berkaitan ada tidaknya dugaan korupsi di kasus pagar laut tersebut.

    “Kasus pagar laut itu dari sudut apa pun indikasi korupsinya kuat karena tak mungkin ada sebuah sertifikat, ratusan sertifikat dikeluarkan tanpa ada pejabat yang meneliti. Nah kalau sudah meneliti kok sampai keluar ratusan pasti kolusi, pasti kolusi. Kalau satu gitu iya itu keliru, tapi ini ratusan dan yang dijadikan tersangka hanya seorang lurah dari 16 kelurahan, ndak masuk akal, masa seorang lurah bisa mengatur 16 kelurahan lainnya,” kata Mahfud MD secara daring, Kamis (17/4/2025).

    Menurutnya, kasus pagar laut Tangerang memiliki indikasi korupsi yang kuat. Hanya dalam perkembangannya kasus tersebut malah terjadi saling lempar antara kepolisian dengan Kejagung. Polisi menyatakan kasus pagar laut itu bukan perkara korupsi, hanya pemalsuan yang dilakukan seorang Lurah Kohod.

    “Jaksa Agung mengatakan enggak itu korupsi, dikembalikan kasus ini, sehingga sekarang ini, kasus yang besar ini sekarang tak jelas nasibnya. Polisi sesudah dikembalikan bilang lagi, oh sesudah kami teliti sesuai permintaan Kejaksaan Agung tetap tak diketemukan unsur korupsinya, dikembalikan lagi ke Kejaksaan Agung bahwa itu tetap bukan kasus korupsi,” tuturnya.

    Mahfud menjelaskan, sebagaimana pernyataan polisi beberapa hari lalu, polisi menyebutkan kasus pagar laut itu bukan perkara korupsi karena tak ada kerugian negara. Sejatinya, dalam penanganan kasus pagar laut, dia melihat adanya kekeliruan lantaran kasus tersebut masuk dalam kasus korupsi.

    “Nah ini salah total, korupsi itu kerugian negara itu hanya 1 unsur dari 7 jenis korupsi. Tujuh jenis utama korupsi itu, yang pertama definisi korupsi itu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melanggar hukum. Itu sudah pasti ada kan, ada perusahaan yang disebut, ada Lurah Kohodnya yang berkolusi dengan cara melawan hukum dan menimbulkan kerugian negara, itu korupsi yang menggunakan APBN, kerugian negara,” katanya.

    “Nah kalau suap ndak usah pakai kerugian negara. Saudara tahu Pak Hakim Muhtarom di penjara, ndak ada kerugian sama sekali karena dia hanya menerima suap. Ada yang banyak sekarang masuk penjara karena gratifikasi itu ndak ada kerugian negara, dia hanya mendapat, kalau suap tolong dibuatkan ini, ini uangnya, ndak pakai APBN uangnya, ndak merugikan negara,” kata Mahfud MD lagi.

    Mantan Menko Polhukam itu menjabarkan, sejatinya masih ada 7 jenis korupsi lain yang menyatakan tak perlu adanya kerugian negara. Contohnya perbuatan melawan hukum dengan menggunakan jabatan yang berakibat pada keuangan, bukan hanya keuangan negara.

  • Bareskrim Tak Ikuti Petunjuk Jaksa Usut Korupsi Pagar Laut Tangerang, MAKI: Ngeyel!
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 April 2025

    Bareskrim Tak Ikuti Petunjuk Jaksa Usut Korupsi Pagar Laut Tangerang, MAKI: Ngeyel! Nasional 17 April 2025

    Bareskrim Tak Ikuti Petunjuk Jaksa Usut Korupsi Pagar Laut Tangerang, MAKI: Ngeyel!
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Masyarakat Anti
    Korupsi
    Indonesia (
    MAKI
    ) menyayangkan langkah Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum)
    Bareskrim
    Polri yang terkesan “ngeyel” tidak mengikuti petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam mengusut kasus pagar laut di Tangerang.
    “Sebenarnya sangat disayangkan Dittipidum dalam tanda kutip ngeyel dari petunjuk jaksa. Mestinya dipatuhi saja kan enak,” ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat dihubungi
    Kompas.com
    , Rabu (16/4/2025).
    Boyamin mengatakan, petunjuk jaksa yang meminta Polri untuk mengusut kasus pagar laut di Tangerang ke arah pidana khusus, yaitu
    korupsi
    , seharusnya bisa dipatuhi oleh Dittipidum.
    “Ini kan malah meringankan kerja Dittipidum. Langsung atas petunjuk jaksa itu, berkas diserahkan ke Kortas Tipikor karena Kortas Tipikor juga sudah menangani perkara pagar laut itu menjadi perkara korupsi,” lanjut Boyamin.
    Ia mengatakan, jika berkas perkara ini tidak segera disidangkan, justru Bareskrim Polri yang akan dirugikan.
    Boyamin mengingatkan, kerja penyidik terbatas pada masa tahanan tersangka dan jika berkas tidak kunjung selesai, penahanan bisa ditangguhkan.
    “Kalau ini masing-masing masih kekeh, itu akhirnya nanti yang rugi adalah Dittipidum. Dalam bentuk nanti masa penahanan tersangka itu habis, kan hanya dua bulan,” katanya.
    Diberitakan, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara dugaan pemalsuan surat lahan pagar laut di Tangerang kepada Bareskrim Polri.
    Penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) mengatakan, penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri tidak memenuhi petunjuk yang diserahkan oleh Kejaksaan Agung.
    “Mengingat petunjuk kita tidak dipenuhi, akhirnya kemarin tetap kita kembalikan,” ujar Direktur A Jampidum Nanang Ibrahim Soleh, saat ditemui di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (16/4/2025).
    Nanang mengatakan, kasus pagar laut di Tangerang memiliki indikasi kuat telah terjadi tindak pidana korupsi sehingga patut diselidiki dengan unsur tersebut.
    “Bahwa petunjuk kita bahwa perkara tersebut adalah perkara tindak pidana korupsi. Sekali lagi, perkara tindak pidana korupsi. Karena menyangkut di situ ada suap, ada pemalsuannya juga ada, penyalahgunaan kewenangan juga ada semua,” kata Nanang.
    Nanang pun menyinggung Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan, jika di dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lain untuk mempercepat penyelesaiannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jaksa Agung Mutasi 6 Kajati Baru, Ada Eks Dirdik Jampidsus Kuntadi

    Jaksa Agung Mutasi 6 Kajati Baru, Ada Eks Dirdik Jampidsus Kuntadi

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa Agung (JA) Burhanuddin telah mengangkat 6 jaksa untuk menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) di sejumlah wilayah Indonesia.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum atau Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar mengatakan salah satu jaksa yang mendapatkan promosi yaitu Kuntadi selaku Kejati Lampung menjadi Kajati Jawa Timur.

    “Salah satunya, dulu Pak Kuntadi yang direktur penyidikan dan sekarang Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung menjadi kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur,” ujarnya di Kejagung, dikutip Kamis (17/4/2025).

    Selain Kuntadi, Harli menyampaikan bahwa JA juga telah menunjuk lima Kajati baru lainnya mulai dari Aceh, Bengkulu, Yogyakarta hingga Kalimantan Barat.

    Di samping itu, menurutnya, promosi atau mutasi ini merupakan hal yang wajar di lingkungan kejaksaan, karena sebagai bentuk penyegaran organisasi.

    “Jadi, beberapa waktu yang lalu, beberapa kepala kejaksaan tinggi itu sudah memasuki usia fungsional 60 tahun. Jadi tentu harus ada pergantian,” pungkasnya.

    Berikut 6 kajati baru yang ditunjuk JA Burhanuddin:

    1. Kajati Kalimantan Barat, Ahelya Abustam 

    2. Kajati D.I Yogyakarta, Riono Budisantoso

    3. Kajati Bengkulu, Victor Antonius Saragih Sidabutar

    4. Kajati Aceh, Yudi Triadi 

    5. Kajati Jawa Timur, Kuntadi

    6. Kajati Lampung, Danang Suryo Wibowo

  • Balas Dendam, Trump Tuduh Jaksa Agung New York Lakukan Penipuan Catatan Aset

    Balas Dendam, Trump Tuduh Jaksa Agung New York Lakukan Penipuan Catatan Aset

    Jakarta

    Badan Keuangan Perumahan Federal Amerika Serikat (AS) meminta penyelidikan pidana terhadap Jaksa Agung New York Letitia James dengan tuduhan dugaan penipuan. James dituduh melakukan pemalsuan catatan terkait properti yang dimilikinya di Virginia dan New York.

    Penyelidikan ini seakan-akan balas dendam Trump kepada James. Hubungan Trump dan James diketahui tidak baik, apalagi sejak James menggugat Trump secara perdata dengan dugaan penipuan yang menjerat Trump dan anak-anaknya pada sekitar Oktober 2023.

    Sebelumnya gugatan James itu disampaikan ketika Trump sudah tidak lagi menjadi Presiden AS dan posisinya digantikan oleh Joe Biden. Trump saat itu dituduh telah meraup lebih dari USD 100 juta (Rp 1,5 triliun) dari penipuan yang dilakukan terkait aset-aset real estate-nya.

    Dalam gugatannya, James menuntut denda setidaknya sebesar US$ 250 juta, larangan permanen terhadap Trump dan kedua putranya, Donald Trump Jr dan Eric Trump, untuk menjalankan bisnis di New York, serta larangan real estate komersial selama lima tahun terhadap Trump dan perusahaannya, Trump Organization. Gugatan James ini sampai membuat Trump menghadiri sidang di Pengadilan New York.

    Seakan balas dendam, kini saat Trump kembali menjadi orang nomor 1 di AS, Trump menggugat balik Letitia. Trump dan sekutunya dilaporkan secara teratur menyerang James selama persidangan di New York.

    Dilansir AFP, Kamis (17/4/2025), Media AS melaporkan Badan Keuangan Perumahan Federal telah meminta Departemen Kehakiman untuk menyelidiki James, dengan tuduhan bahwa ia “telah memalsukan catatan” terkait dengan properti yang dimilikinya di Virginia dan New York untuk mendapatkan persyaratan pinjaman yang lebih baik.

    “Jaksa Agung James setiap hari fokus melindungi warga New York, terutama karena pemerintahan ini menjadikan pemerintah federal sebagai senjata untuk melawan aturan hukum dan Konstitusi,” kata kantornya dalam sebuah pernyataan.

    Sementara itu, Badan Perumahan maupun Departemen Kehakiman tidak memberikan komentar terkait tuduhan Trump itu. Badan Perumahan hanya menjelaskan sebagaimana pemberitaan di media.

    “Berdasarkan laporan media, Ibu Letitia James telah, dalam beberapa kasus, memalsukan dokumen bank dan catatan properti untuk memperoleh bantuan dan pinjaman yang didukung pemerintah serta persyaratan pinjaman yang lebih menguntungkan,” tulis badan perumahan tersebut dalam surat rujukannya, yang sebagian dimuat di media AS.

    Untuk diketahui, dalam gugatan perdata James, Trump dinyatakan bertanggung jawab atas penipuan dengan berkonspirasi untuk mengubah kekayaan bersihnya guna memperoleh persyaratan pinjaman dan asuransi yang lebih baik. Trump dan putra-putranya diperintahkan untuk membayar USD 454 juta.

    Setelah menjabat sebagai Presiden AS, Trump telah berulang kali bersumpah untuk membalas dendam kepada orang-orang yang menurutnya telah berbuat salah kepadanya selama dan setelah masa jabatan pertamanya 2017-2021.

    Masa jabatan keduanya telah menyebabkan staf FBI dan Departemen Kehakiman yang terlibat dalam kasus pidana terhadap Trump, dipecat, di antara tindakan pembalasan lainnya.

    (zap/yld)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 April 2025

    Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas Nasional 17 April 2025

    Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    DALAM
    lanskap pemberantasan korupsi di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) adalah simbol. Simbol harapan, integritas, dan perlawanan terhadap kebusukan kekuasaan.
    Namun, simbol hanya hidup jika ia terus dipelihara dalam jarak dari kekuasaan itu sendiri. Ketika jarak itu lenyap, maka runtuh pula kepercayaan publik yang menjadi pondasi utama keberadaan KPK.
    Masuknya Ketua KPK, Setyo Budiyanto, ke dalam struktur Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI
    Danantara
    ), adalah kabar buruk bagi demokrasi, lebih-lebih bagi agenda antikorupsi.
    Sebab di sanalah pengawas formal ikut duduk di meja kuasa, dan batas etik pun tergilas logika kekuasaan.
    KPK melalui juru bicaranya berusaha menjelaskan bahwa keikutsertaan Ketua KPK adalah representasi institusi, bukan pribadi.
    Penjelasan itu tampak normatif dan steril. Publik bukan sedang membahas legalitas formal, melainkan integritas moral.
    Dalam praktiknya, KPK tidak pernah lepas dari wajah-wajah yang memimpinnya. Ketua KPK adalah simbol politik etik institusional. Ketika simbol itu bergabung dalam struktur pengelola kekayaan negara, yang diawasi justru kehilangan pengawasan.
    Lebih runyam lagi, Ketua KPK tidak sendirian. Di dalam struktur itu juga duduk Ketua BPK, Kepala PPATK, Kepala BPKP, Jaksa Agung, dan Kapolri.
    Maka lengkap sudah: seluruh simpul utama pengawasan dan penegakan hukum negara duduk dalam satu struktur yang sama dengan objek yang semestinya mereka awasi.
    Inilah ironi pengawasan dalam rezim modern. Dalam bayang-bayang
    good governance
    , pengawasan dilebur ke dalam kuasa.
    Dalam balutan akuntabilitas, pengawas disulap jadi kolega. Sementara publik, yang selama ini menggantungkan harapan pada institusi seperti KPK, hanya bisa menyaksikan pergeseran ini dengan getir.
    Masuknya Ketua KPK dalam struktur Danantara bukan sekadar soal formalisme jabatan. Ini adalah titik balik dalam sejarah relasi antara lembaga pengawas dan kekuasaan yang diawasinya.
    KPK sejak awal didesain sebagai lembaga ad hoc, independen, dan bebas dari intervensi politik serta konflik kepentingan. Bahkan pada masa-masa awal pascareformasi, prinsip “jaga jarak dengan kekuasaan” menjadi mantra etik yang dijaga ketat.
    Namun kini, KPK bukan saja tak menjaga jarak, ia justru mengambil tempat di lingkaran dalam. Di sinilah letak soal utamanya: potensi konflik kepentingan tak lagi potensial, melainkan faktual.
    Kita tentu ingat bagaimana sejarah Indonesia mencatat upaya sistematis pelemahan KPK sejak revisi UU No. 30 Tahun 2002 menjadi UU No. 19 Tahun 2019.
    Perubahan itu telah menempatkan KPK sebagai bagian dari cabang eksekutif, tunduk pada presiden melalui Dewan Pengawas, dan terbelenggu dalam tata birokrasi yang kaku.
    Kini, setelah nyaris tak bertaji dalam penindakan, KPK malah aktif menempatkan diri dalam pusaran kekuasaan.
    Pertanyaannya sederhana: bagaimana publik dapat memercayai KPK mengusut kasus korupsi dalam tubuh Danantara jika ketua KPK adalah bagian dari struktur pengawas lembaga tersebut?
    Bagaimana prinsip kehati-hatian dan independensi ditegakkan jika batas antara pengawasan dan keterlibatan menjadi kabur?
    Tidak ada yang salah dengan tujuan Danantara: mengelola dana investasi negara untuk kemakmuran rakyat. Namun, pengelolaan dana jumbo selalu membuka celah korupsi.
    Dan ketika pengelolaan itu tidak diawasi secara independen, maka lubang hitam penyalahgunaan akan tumbuh lebar.
    Pengawasan tidak cukup dijalankan dari dalam. Ia butuh jarak, tegas, dan bebas dari komitmen loyalitas.
    Masuknya pengawas dalam ruang kuasa justru mengaburkan peran dan memperbesar ruang kompromi. Yang terjadi kemudian bukan pengawasan, melainkan normalisasi kekuasaan tanpa kritik.
    Zaenur Rohman, peneliti PUKAT UGM, menyebut bahwa struktur dan tugas Komite Pengawasan Danantara tidak transparan. Tidak ada kejelasan soal bagaimana keputusan dibuat, bagaimana independensi dijaga, dan bagaimana mekanisme koreksi internal dibentuk.
    Artinya, keterlibatan KPK dalam struktur itu bukan hanya berisiko secara etik, tetapi juga secara prosedural dan substantif.
    Dalam konteks itu, KPK tak lagi bisa berdalih. Ia tak bisa berlindung di balik retorika representasi kelembagaan, karena sesungguhnya ia tengah menggali liang kubur bagi integritasnya sendiri.
    Dalam bahasa yang lebih keras, publik bisa saja menyimpulkan: KPK tak lagi menjadi bagian dari solusi, melainkan bagian dari sistem yang hendak dipertahankan kekuasaannya.
    Publik tentu tak berharap KPK menjadi musuh negara. Namun, yang diharapkan adalah KPK tetap menjadi musuh korupsi.
    Untuk itu, ia harus menjaga jarak dari kekuasaan, sebab kekuasaanlah ruang paling rawan bagi praktik korupsi. Ketika lembaga antikorupsi justru memeluk kekuasaan, maka tak ada lagi yang menjaga pagar dari dalam.
    Kita sedang menyaksikan pergeseran besar dalam peta etika kelembagaan. KPK tidak lagi berdiri sebagai institusi yang merepresentasikan keberanian moral dalam melawan korupsi.
    Ia kini lebih mirip seperti lembaga birokratis yang jinak, mengikuti irama kekuasaan yang sedang dominan.
    Masyarakat sipil harus bersuara. Lembaga pengawas tidak boleh larut dalam sistem yang diawasi.
    Pemisahan peran bukan soal ego institusional, tapi soal akuntabilitas demokratis. KPK harus segera menarik diri dari struktur Danantara jika ingin memulihkan kembali kepercayaan publik.
    Kita tak bisa terus-menerus membenarkan langkah keliru dengan dalih formalitas hukum. Etika publik adalah pijakan utama dalam pemberantasan korupsi. Ia tak bisa dinegosiasikan, apalagi dikompromikan demi kenyamanan politik atau keterlibatan struktural.
    Kini, saat pengawas duduk di meja kuasa, publik mesti bertanya: siapa yang akan mengawasi pengawas? Siapa yang akan menegakkan etika, jika institusi penjaga etika justru memilih jadi bagian dari kuasa?
    KPK bisa saja bertahan secara legal. Tapi tanpa legitimasi moral, keberadaannya hanya akan menjadi simbol kosong.
    Kita tak butuh KPK yang sekadar ada, kita butuh KPK yang bekerja dan menjaga jarak. Sebab hanya dengan jarak, pengawasan bisa tajam. Hanya dengan integritas, kepercayaan bisa tumbuh.
    Dan hanya dengan kepercayaan publik, KPK bisa kembali jadi harapan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Ungkap Motor Royal Enfield Ridwan Kamil Diduga Dibeli dari Hasil Korupsi  – Halaman all

    KPK Ungkap Motor Royal Enfield Ridwan Kamil Diduga Dibeli dari Hasil Korupsi  – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menungkap alasan motor Royal Enfield Classic 500 milik mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil alias RK, disita penyidik.

    Motor jenis cruiser seharga Rp78 juta itu disita penyidik KPK karena diduga bersumber dari hasil tindak pidana korupsi dana iklan bank BUMD. 

    Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto menjelaskan, penyitaan sebuah kendaraan dilakukan karena penyidik menilai kendaraan tersebut merupakan bagian dari proses korupsi yang disidik

    “KPK menyita sebuah kendaraan ya, kendaraan itu tentunya bisa jadi kendaraan tersebut menjadi bagian dari proses korupsi yang terjadi,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (16/4/2025).

    “Apakah itu dalam sarana sebagai sarana atau juga kendaraan tersebut merupakan kendaraan yang dibeli menggunakan hasil dari tindak pidana,” imbuhnya.

    Tessa menjelaskan lagi, bahwa kendaraan yang disita bisa juga merupakan bagian dari cara KPK ingin melakukan pemulihan aset (asset recovery).

    Untuk lebih jelasnya, lanjut Tessa, maksud penyidik menyita Royal Enfield Classic 500 milik Ridwan Kamil akan dibuka dalam persidangan.

    “Atau bisa juga penyitaan aset kendaraan tersebut, tidak terbatas hanya kendaraan maupun aset-aset lainnya, disita sebagai bagian dari upaya asset recovery yang nanti akan berujung kepada uang pengganti. Itu juga bisa,” katanya.

    Tessa menambahkan bahwa untuk saat ini motor gede (moge) tersebut belum dipindahkan ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Rampasan (Rupbasan), Cawang, Jakarta Timur.

    Moge itu masih berada dalam penguasaan Ridwan Kamil dengan status pinjam pakai.

    “Posisi kendaraan yang dilakukan penyitaan masih dipinjampakaikan kepada yang bersangkutan. Jadi belum ada pergeseran ke Rupbasan,” ujar Tessa.

    Tessa belum memberi petunjuk kapan moge itu dipindahkan ke Rupbasan. Ia hanya mengatakan kalau moge yang masih dalam penguasaan Ridwan Kamil itu tidak boleh diubah bentuk atau dijual.

    Apabila hal tersebut terjadi, maka ada kaitannya dengan Pasal 21 terkait perintangan penyidikan.

    “Dalam hal ini kaitannya adalah baik itu Pasal 21 bisa masuk menghalangi penyidikan maupun dari sisi nilainya bisa dimintakan untuk diganti, tentunya sesuai dengan nilai pada saat kendaraan itu disita,” kata Tessa.

    Dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) Ridwan Kamil, disebutkan Royal Enfield Classic 500 itu buatan tahun 2017.

    Moge itu memiliki harga Rp78 juta.

    Rumah Ridwan Kamil di kawasan Ciumbuleuit, Kota Bandung digeledah KPK pada Senin, 10 Maret 2025. Penggeledahan berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan korupsi dana iklan bank milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

    Selain motor, tim penyidik KPK turut mengamankan sejumlah dokumen yang ditengarai berkaitan dengan perkara.

    Lima Tersangka Korupsi Iklan Bank BUMD

    GEDUNG KPK – Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Kuningan Persada Kav. 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (30/9/2021). Pihak KPK kini tengah menelaah laporan dugaan korupsi Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah, yang dilaporkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Anti Korupsi (KSST).  (Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama)

    KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana iklan bank BUMD 2021-2023 yang merugikan negara Rp222 miliar.

    Kelimanya yakni mantan Direktur Utama bank, Yuddy Renaldi (YR); Pimpinan Divisi Corporate Secretary bank, Widi Hartono (WH); Pengendali PT Antedja Muliatama (AM) dan Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), Ikin Asikin Dulmanan (IAD); Pengendali PT BSC Advertising dan PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), Suhendrik (SUH); dan Pengendali PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB), R. Sophan Jaya Kusuma (RSJK).

    KPK menduga ada perbuatan melawan hukum dalam pengadaan penempatan iklan ke sejumlah media massa yang mengakibatkan negara merugi hingga Rp222 miliar.

    Yuddy Renaldi cs disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

    Kelima tersangka belum ditahan KPK. Tetapi komisi antikorupsi telah mencegah Yuddy Renaldi cs bepergian ke luar negeri.

  • Kejagung Sebut Bareskrim Tidak Ikuti Petunjuk untuk Usut Korupsi Pagar Laut Tangerang 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 April 2025

    Kejagung Sebut Bareskrim Tidak Ikuti Petunjuk untuk Usut Korupsi Pagar Laut Tangerang Nasional 16 April 2025

    Kejagung Sebut Bareskrim Tidak Ikuti Petunjuk untuk Usut Korupsi Pagar Laut Tangerang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Kejaksaan Agung
    menyebutkan,
    Bareskrim Polri
    tidak mengikuti sama sekali petunjuk yang diberikan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) agar
    kasus pagar laut
    di Tangerang diusut hingga ke kasus dugaan tindak pidana korupsi.
    “Jadi, berkas perkara yang kita terima, itu tidak ada perubahan dari berkas perkara yang awal. Tidak ada satu pun petunjuk yang dipenuhi,” ujar Ketua Tim Peneliti Berkas Jaksa P16 Jampidum, Sunarwan saat konferensi pers di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (16/4/2025).
    Sunarwan mengatakan, berdasarkan berkas yang dilimpahkan kembali Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri pada 10 April 2025, tidak ada penambahan dari berkas yang awalnya telah dikembalikan Kejaksaan Agung pada 25 Maret 2025.
    Padahal, Dirtipidum Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro sempat mengatakan kalau pihaknya sudah berdiskusi dengan pihak dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mengaku tidak ada kerugian negara dalam kasus yang tengah diselidiki ini.
    “Tidak ada di dalam berkas perkara itu yang saksi dari BPK, dari mana, tidak ada,” lanjut Sunarwan.
    Dalam berkas yang dilimpahkan Bareskrim hanya terdapat penjelasan atau pendapat dari ahli KUHP, bukan ahli untuk menjelaskan perkara korupsi.
    Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar juga menyinggung Pasal 110 ayat 2 KUHAP yang menekankan pentingnya suatu berkas untuk dilengkapi sesuai petunjuk dari penuntut umum.
    “Berdasarkan ketentuan Pasal 110 itu, berkas perkara yang dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik itu dengan petunjuk untuk dilengkapi. Jadi, saya kira tidak perlu harus diperdebatkan,” kata Harli dalam kesempatan yang sama.
    Harli menyinggung beban pembuktian perkara ada pada penuntut umum, sehingga kasus pagar laut di Tangerang ini sepatutnya dilengkapi hingga dugaan tindak pidana korupsi.
    Pasalnya, setelah membaca berkas dari Bareskrim, jaksa penuntut umum mengendus adanya tindak pidana korupsi dalam kasus ini.
    “Karena jaksa penuntut umum setelah membaca, mempelajari, meneliti berkas perkara yang diserahkan, setidaknya, satu, ada indikasi penerimaan suap atau gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 atau Pasal 12 Undang-Undang Tipikor,” kata Harli.
    Untuk itu, Kejagung mengembalikan lagi berkas pagar laut di Tangerang ini ke Bareskrim Polri, tepatnya pada 14 April 2025 lalu.
    Diberitakan, Bareskrim Polri telah mengirimkan kembali berkas perkara kasus dugaan pemalsuan surat izin di lahan pagar laut di Tangerang.
    Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan, pihaknya yakin bahwa kasus ini masih berfokus pada dugaan pemalsuan surat, bukan tindak pidana korupsi.
    “Dari penyidik Polri, khususnya melihat bahwa tindak pidana pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam rumusan pasal 263 KUHP menurut penyidik, berkas yang kami kirimkan itu sudah terpenuhi unsur secara formal maupun materiil. Artinya, kita sudah hari ini kembalikan dengan alasan-alasan yang tadi kami sampaikan,” ujar Djuhandhani saat konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri, Kamis (10/4/2025).
    Djuhandhani mengatakan, setelah menerima petunjuk dari berkas P19 yang diberikan oleh Kejaksaan Agung, penyidik segera melakukan sejumlah pemeriksaan dan meminta keterangan dari sejumlah ahli, terutama untuk memeriksa ada tidaknya unsur korupsi dalam kasus yang tengah diselidiki.
    Penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum telah berdiskusi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mencari tahu ada tidaknya kerugian negara dalam kasus pagar laut di Tangerang.
    “Dari teman-teman BPK, kita diskusikan, kira-kira ini ada kerugian negara di mana ya. Mereka belum bisa menjelaskan adanya kerugian negara,” lanjutnya.
    Ada tidaknya kerugian negara ini penting karena menjadi salah satu unsur penentu suatu kasus disebut sebagai kasus korupsi atau bukan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Paling Dipercaya Publik, Kejagung Rawan dari Serangan Balik Koruptor

    Paling Dipercaya Publik, Kejagung Rawan dari Serangan Balik Koruptor

    loading…

    Agresifnya Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam pemberantasan korupsi membuat Korps Adhyaksa ini rawan mendapat serangan balik dari para koruptor. Foto/Dok SindoNews

    JAKARTA – Agresifnya Kejaksaan Agung ( Kejagung ) dalam pemberantasan korupsi membuat Korps Adhyaksa ini rawan mendapat serangan balik dari para koruptor. Hal itu dikatakan oleh Guru Besar Universitas Lampung Prof Hieronymus Soerjatisnanta menanggapi survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan Kejagung sebagai lembaga hukum yang paling dipercaya publik.

    Kejagung mendapatkan tingkat kepercayaan publik sebesar 75 persen. Kemudian selanjutnya Mahkamah Konstitusi (MK) 72 persen, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 68 persen, pengadilan 66 persen, dan Polri 65 persen.

    Dosen yang biasa disapa Tisnanta ini menjelaskan, prestasi Kejagung dalam mengungkap perkara-perkara besar, baik dari sisi kerugian negara maupun berani menyasar pejabat tinggi negara, membuatnya rawan mendapatkan serangan balik.

    “Ketika kewenangan kejaksaan dihabisi, jaksa tidak boleh melakukan penyidikan, tidak boleh meminta penyidikan tambahan, tidak bisa mengambil alih perkara, ini bentuk perlawanan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan kejaksaan,” ujar Tisnanta, Rabu (16/4/2025).

    Tisnanta menambahkan, prestasi Kejagung dalam pemberantasan korupsi, faktor utamanya bukan karena faktor sistem hukum pidana di Indonesia. Prestasi Kejagung lebih disebabkan karena faktor kepemimpinan.

    “Seperti lebih pada kerja aktor-aktornya, seperti Jaksa Agung, Jampidsus, maupun Direktur Penyidikannya. Ketika itu nanti orangnya berganti sepertinya hasilnya (kinerja Kejagung) juga akan berbeda,” kata dosen pengajar di Fakultas Hukum Unila ini.

    Dengan demikian, kata Tisnanta, prestasi Kejagung dalam beberapa tahun ini, bukan dari sistem peradilan pidana di Indonesia. “Tetapi lebih karena political will dari kepemimpinan di lembaga Kejaksaan Agung,” imbuhnya.

    Dia melanjutkan, sayangnya tidak mungkin para pimpinan di Kejagung akan ada di sana selamanya. Sehingga jika nanti ada pergantian Jaksa Agung maka akan tergantung juga pada political will presiden. “Kalau presiden memiliki komitmen pemberantasan korupsi, itu nanti Jaksa Agung akan mengikuti,” jelas dia.

    Adapun mengenai survei LSI yang juga menemukan adanya keinginan publik agar kewenangan lembaga hukum lain disamakan dengan kewenangan polisi, Tistanta mengaku mendukung gagasan itu. “Saya mendukung itu, cuma problemnya ada potensi (yang harus diperhatikan). Misalnya polisi tidak punya kewenangan melakukan penyadapan, seperti yang dimiliki Kejaksaan dan KPK,” ujarnya.

    “Kalau polisi dimiliki kewenangan penyadapan itu potensial terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Penyadapan itu kewenangan luar biasa yang harusnya digunakan untuk penanganan kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme,” pungkasnya.

    (rca)

  • Jaksa Agung Tunjuk Kuntadi untuk Pimpin Kejati Jatim

    Jaksa Agung Tunjuk Kuntadi untuk Pimpin Kejati Jatim

    Surabaya (beritajatim.com) – Kuntadi resmi ditunjuk Jaksa Agung Burhanuddin sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur (Jatim) menggantikan Prof (HCUA) Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA, CSSL, yang telah memasuki masa purna tugas.

    Penunjukan ini tertuang dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 130 tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia.

    “Mutasi atau promosi adalah hal yang wajar bagi jaksa. Sebagai jaksa kita harus siap dimutasikan setiap saat untuk pengayaan penugasan yang baru,” ujar Kuntadi dikutip antara.

    Berikut Profil Lengkap Kajati Jatim Baru: Dr. Kuntadi, SH, MH

    Dr. Kuntadi merupakan sosok jaksa senior dengan rekam jejak mengesankan dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi. Berikut profil lengkapnya

    Lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 4 Januari 1970

    – Menyelesaikan pendidikan doktoral (Doktor Ilmu Hukum) dari Universitas Jenderal Soedirman
    – Memegang gelar Magister Hukum (MH) dan Sarjana Hukum (SH)

    Jabatan Terakhir:

    – Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung sejak 29 Agustus 2024
    – Selama memimpin Kejati Lampung, dikenal sebagai pimpinan yang tegas dalam menangani kasus korupsi dan reformasi birokrasi

    Pengalaman Strategis:

    – Memiliki pengalaman panjang di berbagai posisi strategis di lingkungan Kejaksaan Agung
    – Pernah menjabat sebagai Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
    – Terlibat aktif dalam pemberantasan jaringan korupsi lintas daerah

    Reputasi Profesional:

    – Dikenal sebagai jaksa berintegritas dengan pendekatan progresif dalam penegakan hukum
    – Memiliki spesialisasi dalam hukum pidana dan anti korupsi

    Proses serah terima jabatan direncanakan akan dilaksanakan dalam waktu dekat di Surabaya. Dr. Kuntadi dijadwalkan akan dilantik secara resmi oleh Jaksa Agung pada 23 April 20025 di Kejaksaan Agung RI. [uci/aje]