Kementrian Lembaga: Jaksa Agung

  • Detik-detik Penggeledahan Kamar Ali Mutharom di Jepara, Ditemukan Rp 5,5 M di Koper Dibungkus Karung

    Detik-detik Penggeledahan Kamar Ali Mutharom di Jepara, Ditemukan Rp 5,5 M di Koper Dibungkus Karung

    Detik-detik Penggeledahan Kamar Ali Mutharom di Jepara, Ditemukan Rp 5,5 M di Koper Dibungkus Karung

    TRIBUNJATENG.COM– Detik-detik penggeledahan kamar Ali Mutharom di Jepara, Jawa Tengah.

    Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan dan penyidik menemukan uang Rp 5,5 miliar yang disimpan dalam sebuah koper dibungkus karung.

    Dalam video yang diterima Tribunjateng.com, tampak beberapa orang penyidik memakai rompi melakukan penggeledahan di sebuah kamar.

    Awalnya, penyidik tampak berbincang dengan beberapa orang yang kemudian diketahui sebagai anggota keluarga Ali Mutharom .

    Tak lama kemudian, penyidik memasuki sebuah kamar dan mulai memeriksa area kolong tempat tidur.

    Di sana, seorang wanita terlihat membantu penyidik saat hendak mengambil sebuah benda yang diduga kuat sebagai barang bukti.

    Beberapa saat berselang, penyidik menarik keluar sebuah kardus berukuran cukup besar dari bawah tempat tidur.

    Setelah kardus tersebut dibuka, ditemukan sebuah koper hitam yang tersimpan di dalam karung berwarna putih.

    Ketika koper itu dibuka, terlihat tumpukan uang yang terbungkus rapi dalam dua lapisan plastik berwarna putih dan merah.

    Di waktu yang hampir bersamaan, terdengar suara salah satu petugas sedang berbicara melalui telepon, menyampaikan bahwa uang tersebut telah berhasil ditemukan.

    Uang di bawah kasur Ali Mutharom ()

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, penggeledahan itu dilakukan pihaknya pada Minggu (13/4/2025) lalu.

    Harli menjelaskan, saat penggeledahan, penyidik menemukan mata uang Dollar Amerika Serikat (USD) sebanyak 3.600 lembar atau 36 blok.

    “Jadi kalau kita setarakan di kisaran Rp 5,5 miliar ya,” kata Harli kepada wartawan, Rabu (23/5/2025).

    Lebih jauh ia menerangkan, awalnya saat melakukan penggeledahan di rumah itu, penyidik belum menemukan adanya uang miliaran tersebut.

    Namun disaat bersamaan, penyidik melakukan komunikasi dengan penyidik yang berada di Jakarta untuk menanyakan kepada Ali Mutharom yang saat itu tengah diperiksa di Kejagung.

    “Jadi ketika saudara AM diperiksa disini berkomunikasi dengan keluarga di sana akhirnya itu ditunjukkan dibuka diambil bahwa uang itu ada dibawah tempat tidur,” ucap Harli.

    Terkait hal ini, Harli belum bisa memastikan apakah uang itu sengaja disimpan oleh Ali dibawah kasur dengan tujuan menyembunyikan keberadaannya.

    Ia menduga bahwa uang tersebut hanya Ali Mutharom yang mengetahui sehingga pada saat penyidik lakukan pemggeledahan tidak ditemukan keberadaan uang tersebut.

    “Ya mungkin disimpan disana, tapi karena yang bersangkutan sudah disini kan waktu itu yang disana adalah keluarga ( Ali Mutharom ), nah bisa saja yang mengetahui itu yang bersangkutan. Jadi waktu penyidik kesana itu sepertinya tidak menemukan (barang bukti uang),” katanya.

    Ali Mutharom ()

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Delapan orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Wahyu Gunawan yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu Marcella Santoso dan Ariyanto Bakrie berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Mutharom dan Agam Syarif Baharudin. Serta yang terbaru yakni Muhammad Syafei Head of Social Security Legal PT Wilmar Group.

    Sebelumnya, Ali Mutharom , salah satu hakim yang sebelumnya menangani perkara dugaan korupsi impor gula dengan terdakwa eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.

    Ali Mutharom terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi senilai Rp22,5 miliar, terkait putusan lepas (onslag) untuk tiga korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

    Dalam kasus Tom Lembong, Ali Mutharom bertugas sebagai hakim anggota bersama Purwanto S Abdullah, di bawah kepemimpinan hakim ketua Dennie Arsan Fatrika.

    Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan empat tersangka dalam dugaan suap perkara tersebut.

    Empat tersangka tersebut adalah MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Wahyu Gunawan (WG) yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    Sementara itu Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR) berprofesi sebagai advokat.

    “Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.

    Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.

    “Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN) diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah,” ujar Abdul Qohar.

    “Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, dimana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG,” imbuhnya.

    Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu. Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp17 triliun.

    Kekinian, tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menerima uang senilai Rp 22,5 miliar dalam kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag terhadap tiga terdakwa korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

    Adapun ketiga hakim yang kini berstatus tersangka itu yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharudin selaku hakim anggota dan Ali Mutharom sebagai hakim AdHoc.

  • Dari Suap Ronald Tannur, Skandal Konglomerat CPO hingga Kasus Framing Berita

    Dari Suap Ronald Tannur, Skandal Konglomerat CPO hingga Kasus Framing Berita

    Bisnis.com, JAKARTA — Rentetan kasus hukum dari penyuapan hingga perintangan terkuak saat penemuan barang bukti yang berkaitan dengan pengacara sekaligus tersangka Marcella Santoso (MS).

    Mulanya, dari penggeledahan perkara suap vonis bebas Ronald Tannur nama Marcella disinggung dari barang bukti yang ditemukan oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Setelah itu, penyidikan berkembang hingga akhirnya diperoleh tersangka dugaan suap perkara ekspor crude palm oil (CPO) tiga grup korporasi.

    Awalnya, Kejagung menetapkan empat tersangka mulai dari Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Panitera PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG) dan dua advokat Marcella serta Ariyanto (AR).

    Selanjutnya, kejagung juga mendapatkan bukti yang cukup untuk menetapkan tiga hakim yakni Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharudin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM). Selain itu, Kepala Legal Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY).

    Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan ketujuh tersangka ini memiliki keterkaitan untuk mengatur vonis pada perkara suap CPO.

    Misalnya, Syafei berperan sebagai penyedia uang suap agar kasus minyak goreng korporasi itu bisa divonis lepas atau onstlag.

    Mulanya, Syafei hanya menyediakan Rp20 miliar. Uang tersebut kemudian dikondisikan melalui Marcella dan Ariyanto ke Wahyu.

    Kemudian, Wahyu yang merupakan perantara uang suap itu melaporkan permintaan Syafei ke Arif Nuryanta dan meminta uang itu dikalikan tiga atau menjadi Rp60 miliar.

    Singkatnya, uang itu diterima Arif dan kemudian diduga didistribusikan kepada tiga hakim mulai dari Djuyamto, Agam dan Ali Muhtarom sebesar Rp22,5 miliar.

    Dari uang tersebut juga, Wahyu Gunawan selaku Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara mendapatkan jatah USD50.000 atas jasanya sebagai perantara.

    Adapun, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto itu kemudian mengetok vonis lepas terhadap Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    Setelah dinyatakan vonis lepas, maka tiga group korporasi itu telah dibebaskan dari tuntutan pembayaran denda dan uang pengganti sebesar Rp17,7 triliun.

    Kasus Perintangan Terkuak

    Tak lama dari pengungkapan kasus suap itu, Kejagung kembali mengumumkan perkara baru. Kali ini, soal perintangan penyidikan yang menyeret Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB).

    Lagi-lagi kasus tersebut terkuak saat kejagung menemukan barang bukti yang berkaitan dengan Marcella. Salah satu barang bukti yang dimaksud yakni terkait laporan realisasi pemberitaan dari Tian Bahtiar kepada Marcella.

    Dalam perkara ini, Marcella juga kembali menjadi tersangka. Selain Marcella dan Tian, dosen sekaligus advokat Junaidi Saibih (JS) juga turut menjadi tersangka.

    Kemudian, ketiga tersangka itu memiliki perannya masing-masing. Misalnya, Marcella bertanggung jawab atas hal-hal yang berkaitan dengan pengadilan.

    Selanjutnya, Junaidi berkaitan dengan rencana framing dengan mengundang narasumber yang beropini untuk menguntungkan kubu penasihat hukum.

    Sementara itu, Tian berperan untuk menyebarluaskan framing untuk membuat opini publik menjadi negatif sehingga dianggap telah menyudutkan kinerja korps Adhyaksa.

    Adapun, framing atau narasi negatif itu dituangkan dengan skema pembuatan podcast, acara TV, forum diskusi hingga melalui pembiayaan aksi demonstrasi. Bahan dari skema itu kemudian disebarluaskan ke media massa.

    Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar mencatat bahwa atas kerja sama tersebut, Tian Bahtiar telah mengantongi total Rp478,5 juta dari Marcella dan Junaidi.

    “Baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di persidangan sementara berlangsung dengan biaya sebesar Rp478,5 juta yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan Tersangka JS kepada Tersangka TB,” ujar Harli dalam keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025).

    Respons Dewan Pers

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan pihaknya telah membahas persoalan yang menyeret Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar dengan pihak Kejagung.

    Dari hasil diskusi itu, Dewan Pers menyatakan bahwa pihaknya bakal menyerahkan penanganan perkara tersebut ke Kejagung apabila telah ditemukan bukti yang cukup.

    “Saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung disaksikan langsung oleh Pak Kapuspen dan Anggota Dewan Pers sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan,” ujarnya di Kejagung, Selasa (22/4/2025).

    Dia menjelaskan sejatinya Dewan Pers memiliki kewenangan untuk menilai karya pemberitaan sebagai karya jurnalistik atau bukan, termasuk dalam penanganan perkara jurnalistik yang menyimpang.

    Salah satu praktik jurnalistik yang melanggar kode etik yaitu perilaku pekerja pers yang terindikasi suap. Adapun, perilaku menyimpang itu masuk ke Pasal 6 dan Pasal 8 dalam kode etik jurnalistik.

    “Jurnalis kalau ada indikasi tindakan-tindakan yang berupa suap atau penyalahgunaan profesinya, ada pengaturan di dalam kode etik dan itu masuk ranah wilayah etik di pasal 6 dan pasal 8,” imbuhnya.

    Dalam hal ini, Ninik menjelaskan bahwa pihaknya akan menilai apakah produk jurnalistik itu ditemukan pelanggaran atau tidak melalui proses uji akurasi.

    Kemudian, Dewan Pers juga menilai perilaku wartawan maupun perusahaan media yang terkait dengan kinerjanya, apakah sudah memenuhi profesionalisme atau justru melanggar kode etik.

    “Nah itulah kami ketika duduk bersama dan menyepakati ada ranah yang dilakukan oleh Kejaksaan tetapi juga ada ranah yang dilakukan oleh Dewan Pers,” pungkas Ninik.

  • Komjak Duga Direktur JAK TV Tersangka karena Permufakatan, Bukan Konten Berita 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 April 2025

    Komjak Duga Direktur JAK TV Tersangka karena Permufakatan, Bukan Konten Berita Nasional 23 April 2025

    Komjak Duga Direktur JAK TV Tersangka karena Permufakatan, Bukan Konten Berita
    Tim Redaksi

    PANGKALPINANG, KOMPAS.com


    Komisi Kejaksaan
    (Komjak) menilai penetapan Direktur Pemberitaan JAK TV,
    Tian Bahtiar
    (TB), sebagai tersangka oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) didasari dugaan adanya permufakatan.
    Diketahui, Tian Bahtiar diduga membuat narasi negatif dalam bentuk pemberitaan yang menyudutkan Kejagung dalam proses penanganan perkara korupsi timah dan impor gula.
    Ketua Komjak Pujiyono Suwadi menduga Tian Bahtiar turut serta melakukan kerja sama dengan advokat untuk merintangi proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejagung.
    “Yang jadi tidak wajar adalah ketika ada permufakatan yang muncul bukan sebagai bagian dari proses hukum yang objektif, melainkan berdasarkan pesanan dari pihak yang berseberangan dengan penegak hukum,” kata Pujiyono kepada Kompas.com, Rabu (23/4/2025).
    Pujiyono berpendapat penetapan tersangka terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV itu bukan didasari oleh konten pemberitaan negatif yang diduga diolah oleh Tian Bahtiar.
    Namun, menurutnya, penyidik menemukan adanya dugaan permufakatan antara Tian Bahtiar dan seorang pengacara untuk menghalangi jalannya penyidikan sejak awal.
    Terlebih, penyidik menemukan adanya aliran dana ke kantong pribadi petinggi JAK TV tersebut.
    “Apalagi kalau yang bersangkutan bukan pengacara dari tersangka. Ini menimbulkan tanda tanya,” kata Pujiyono.
    Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) ini bilang, kritik terhadap aparat penegak hukum adalah hal wajar, bahkan sehat sebagai bagian dari mekanisme
    check and balances.
    Namun, kata Pujiyono, ketika kritik disusun berdasarkan pesanan dan menjadi bagian dari skenario untuk mengintervensi penegakan hukum, hal itu justru mencederai keadilan.
    “Kalau kritik dijadikan skenario hukum berdasarkan pesanan, itu yang menjadi persoalan,” ucapnya.
    Pujiyono menegaskan, Komisi Kejaksaan akan terus mengawal proses hukum agar berjalan objektif, transparan, dan bebas dari intervensi.
    Ia pun menekankan pentingnya menjunjung asas praduga tak bersalah serta menghormati proses hukum yang tengah berjalan.
    “Kami mendukung penuh kerja-kerja pers yang dijalankan secara profesional, independen, dan bertanggung jawab,” kata Pujiyono.
    “Kebebasan pers adalah pilar penting dalam negara demokrasi, tetapi tidak boleh diperalat untuk tujuan yang menyimpang dari prinsip keadilan dan keterbukaan,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar Ditetapkan Tersangka Kejagung, IJTI: Preseden Berbahaya – Halaman all

    Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar Ditetapkan Tersangka Kejagung, IJTI: Preseden Berbahaya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar ditetapkan sebagai tersangka kasus perintangan penyidikan atas kasus-kasus yang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Tian Bahtiar diduga kuat menjadi aktor intelektual di balik upaya sistematis untuk merusak citra Kejagung, atas pesanan dua advokat tersangka, yakni Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS).

    Konten-konten yang menyebar di media sosial dan sejumlah media online tersebut diketahui berisi narasi menyesatkan mengenai penanganan perkara korupsi oleh Kejagung, khususnya dalam kasus korupsi PT Timah dan ekspor crude palm oil (CPO).

    Mengenai hal ini, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mempertanyakan penetapan tersangka Tian Bahtiar tersebut.

    Menurut Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, jika yang menjadi dasar penetapan tersangka Tian adalah produk pemberitaan, Kejagung mestinya berkoordinasi terlebih dulu dengan Dewan Pers. 

    Pasalnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penilaian atas suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers. 

    IJTI pun khawatir langkah yang diambil Kejagung tersebut akan menjadi preseden berbahaya yang bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat jurnalis atau media yang bersikap kritis terhadap kekuasaan

    “Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers,” kata Herik dalam keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025), dilansir Kompas.com.

    Herik lantas mengingatkan, berdasarkan Undang-Undang tentang Pers, setiap persoalan atau sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib lebih dulu diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung menggunakan proses pidana. 

    Menurut Herik, pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik itu berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan mencederai demokrasi. 

    Meski demikian, IJTI mendukung pengusutan perkara pidana yang tengah terjadi, asalkan pengusutan ini dilakukan secara transparan dan akuntabel. 

    “IJTI mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di segala lini, termasuk langkah-langkah yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung dalam mengungkap dugaan suap senilai lebih dari Rp 478 juta yang disebut mengalir ke pihak terkait,” ujarnya. 

    “Namun, jika penetapan tersangka terhadap insan pers semata-mata karena pemberitaan yang dianggap ‘menghalangi penyidikan’, maka kami menilai perlu ada penjelasan dan klarifikasi lebih lanjut dari Kejaksaan, serta koordinasi yang semestinya dengan Dewan Pers,” imbuh Herik.

    Dewan Pers Akan Periksa Dugaan Pelanggaran Etik Tian Bahtiar

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan pihaknya akan memeriksa dugaan pelanggaran etik Tian Bahtiar atas berita-berita yang dimuat, apakah memenuhi kaidah jurnalistik atau tidak.

    “Pertama, soal pemberitaannya apakah ada pelanggaran terhadap kode etik pasal 3, misalnya cover both sides atau tidak ada proses uji akurasi dan lain-lain,” jelas Ninik di Kejagung, Selasa (22/4/2025).

    Selain itu, kata Ninik, Dewan Pers juga akan mengecek soal dugaan pelanggaran etik atas perilaku Tian Bahtiar dalam menjalankan tugasnya sebagai jurnalis yang profesional.

    “Yang kedua adalah menilai perilaku dari wartawan, apakah ada tindakan-tindakan yang melanggar kode etik sebagai wartawan, di dalam menjalankan tugasnya, dalam menjalankan profesionalisme kerjanya, karena pers itu memerlukan dua hal yang harus berjalan seiring,” kata Ninik.

    Untuk itu, Dewan Pers akan mengumpulkan berita-berita yang dianggap Kejagung dibuat atas rekayasa atau permufakatan jahat. 

    Kemudian, berita-berita tersebut akan dinilai sesuai kode etik jurnalistik yang berlaku.

    Selanjutnya, Dewan Pers akan meminta keterangan langsung dari para pihak.

    “Berita-berita itulah yang nanti akan kami nilai apakah secara substansial atau secara prosedural itu menggunakan parameter kode etik jurnalistik atau bukan,” kata Ninik. 

    “Kami ingin memastikan terlebih dahulu. Jadi, dalam konteks pemeriksaan itu, bisa jadi nanti kami memanggil para pihak,” ujar Ninik. 

    Terkait penanganan kasus ini, Ninik mengatakan, Dewan Pers dan Kejagung akan menindaklanjuti sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) masing-masing.

    “Terkait dengan proses penanganan perkara yang tadi pagi banyak diberitakan oleh media, Dewan Pers tentu meminta kita masing-masing lembaga ya,” kata Ninik.

    Ninik mengatakan, pihaknya akan mendukung semua proses hukum yang berlaku dan tak akan ikut campur selagi ada bukti yang akurat.

    “Kalau memang ada bukti-bukti yang cukup bahwa kasus tersebut terkait dengan tindak pidana, maka ini adalah kewenangan penuh dari Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti prosesnya,” ungkap.

    “Dewan Pers tentu tidak ingin menjadi lembaga yang cawe-cawe terhadap proses hukum,” sambungnya.

    Namun, Ninik menegaskan, pihaknya tetap akan menindaklanjuti kasus ini karena masuk dalam ranah etik jurnalistik.

    “Tetapi terkait dengan pemberitaan untuk menilai apakah sebuah karya pemberitaan itu masuk kategori karya jurnalistik atau bukan, ini adalah kewenangan etik dan yang melakukan penilaian adalah Dewan Pers, sebagaimana yang ditunjuk di dalam Undang-undang 40 tahun 1999,” tuturnya.

    Untuk itu, Ninik mengatakan telah bersepakat dengan Jaksa Agung akan bertindak sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

    “Untuk ini, maka saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan dan masing-masing menjalankan tugasnya, sebagaimana mandat yang diberikan oleh Undang-undang kepada kami,” katanya.

    Peran Tian Bahtiar di Balik Konten Negatif yang Hancurkan Reputasi Kejagung

    Tian diduga kuat menjadi aktor intelektual di balik upaya sistematis untuk merusak citra Kejagung, atas pesanan dua advokat tersangka, yakni Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS).

    Konten-konten yang menyebar di media sosial dan sejumlah media online tersebut diketahui berisi narasi menyesatkan mengenai penanganan perkara korupsi oleh Kejagung, khususnya dalam kasus korupsi PT Timah dan ekspor crude palm oil (CPO).

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar mengatakan, Tian Bahtiar menjalankan aksinya dengan menyusun narasi-narasi yang memutarbalikkan fakta.

    Terutama terkait angka kerugian negara, yang disebutnya tidak benar dan menyesatkan.

    Sebagai imbalan atas pembuatan konten tersebut, Tian Bahtiar menerima dana sebesar Rp478.500.000.

    Uang tersebut dibayarkan langsung oleh Marcella Santoso dan Junaedi Saibih.

    “Rp478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” kata Qohar dalam konferensi pers yang digelar di Kejaksaan Agung, Selasa.

    Pihak Kejagung juga menegaskan, tindakan Tian Bahtiar itu dilakukan secara pribadi, tanpa sepengetahuan pihak manajemen Jak TV.

    Bahkan, tidak ada kontrak kerja sama resmi antara media tersebut dengan pihak advokat ataupun klien terkait.

    “Jadi Jak TV ini mendapat uang itu secara pribadi. Bukan atas nama sebagai direktur ya Jak TV,” ucap Qohar.

    Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyebut Tian Bahkan tidak hanya menyebarkan konten di media sosial saja.

    Disebutkan, dia juga terlibat dalam kegiatan lain yang bertujuan untuk membentuk opini negatif terhadap Kejaksaan Agung.

    “Bertugas untuk membentuk opini publik,” ujar Harli.

    Harli menjelaskan, strategi yang digunakan termasuk mendanai demonstrasi, menyelenggarakan seminar, mengarahkan program televisi, hingga membuat konten-konten media sosial yang merugikan citra institusi penegak hukum tersebut.

    Adapun, konten-konten negatif itu dipublikasikan oleh Tian Bahtiar ke beberapa medium, baik itu media sosial maupun media online yang terafiliasi dengan Jak TV.

    Namun, Tian Bahtiar sendiri membantah telah menitipkan berita ke media mana pun.

    “Nggak ada, kita sama-sama satu profesi,” ujar Tian Bahtiar saat digiring ke mobil tahanan di Kejagung.

    (Tribunnews.com/Rifqah/Glery Lazuardi/Abdi Ryanda) (Kompas.com)

  • Kejagung Periksa Karen Agustiawan dalam Kasus Minyak Mentah Pertamina

    Kejagung Periksa Karen Agustiawan dalam Kasus Minyak Mentah Pertamina

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023.

    “Tim jaksa penyidik pada Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memeriksa KA (Karen Agustiawan) selaku Direktur Utama Pertamina periode 2009–2014,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (22/4/2025).

    Adapun Karen sebelumnya divonis hukuman 13 tahun penjara atas kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina pada tahun 2011—2021 yang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Selain itu, penyidik juga memeriksa lima saksi lainnya, yaitu:

    GI selaku Advisor to CPO PT Berau Coal.
    AW selaku Assistant Manager Procurement Department PT Pamapersada Nusantara Group.
    RS selaku Analist Product ISC Pertamina.
    AF selaku Assistant Operation Risk Division BRI.
    BP selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dana kompensasi atas kekurangan penerimaan badan usaha akibat kebijakan penetapan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2021 di Kementerian Keuangan.

    Dikatakan oleh Kapuspenkum bahwa keenam saksi tersebut diperiksa untuk sembilan tersangka dalam kasus ini.

    “Pemeriksaan saksi ini untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara tersebut,” ucapnya.

    Kejagung dalam kasus ini telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) pada tahun 2018—2023.

    Sembilan tersangka itu, yaitu Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.

    Tersangka lainnya, yakni Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

  • Komjak Duga Direktur JAK TV Tersangka karena Permufakatan, Bukan Konten Berita 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 April 2025

    Jurnalis TV Pertanyakan “Berita Negatif” yang Dasari Perkara Direktur JAKTV Nasional 22 April 2025

    Jurnalis TV Pertanyakan “Berita Negatif” yang Dasari Perkara Direktur JAKTV
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ikatan
    Jurnalis
    Televisi Indonesia (
    IJTI
    ) mempertanyakan penjelasan Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) soal “berita negatif” sebagai dasar penersangkaan Direktur
    Pemberitaan
    JAKTV, Tian Bahtiar.
    “IJTI mempertanyakan penetapan tersangka terhadap insan
    pers
    jika dasar utamanya adalah aktivitas
    pemberitaan
    atau konten jurnalistik, khususnya yang dikategorikan sebagai ‘berita negatif’ yang merintangi penyidikan terkait penanganan perkara oleh Kejaksaan,” tulis Pengurus Pusat IJTI dalam siaran persnya, Selasa (22/4/2025).
    IJTI mendukujng pemberantasan korupsi, termasuk pengungkapan dugaan suap terhadap Tian Bahtiar senilai Rp 478 juta. Namun demikian yang menjadi pertanyaan adalah penersangkaan
    jurnalis
    didasarkan pada “berita negatif” yang dibikin oleh yang bersangkutan.
    “Menyampaikan informasi yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang,” tulis IJTI.
    Berita merupakan produk jurnalistik. Maka sudah seharusnya perkara ini dikoordinasikan dengan Dewan
    Pers
    karena demikianlah mekanisme yang diatur di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
    “Penilaian atau suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers,” tulis IJTI.
    IJTI khawatir penersangkaan jurnalis karena si jurnalis membuat “berita negatif” menjadi preseden berbahaya terkait memburuknya kemerdekaan pers di Indonesia.
    “Pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan mencederai demokrasi,” kata IJTI.
    IJTI mendukung pengungkapan dugaan aliran suap perkara tersebut. IJTI juga mengingatkan agar penanganan kasus seperti ini juga harus melibatkan Dewan Pers sejak awal, bukan langsung menggunakan proses pidana.
    “Kami menyerukan kepada seluruh insan pers untuk tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik serta menjaga independensi dalam menjalankan tugas. Di saat yang sama, kami meminta aparat penegak hukum untuk menghormati kemerdekaan pers dan tidak menggunakan pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik,” kata IJTI.

    Istilah “berita negatif” dalam penjelasan Kejagung
    Tian Bahtiar alias TB yang merupakan Direktur Pemberitaan JAKTV menjadi tersangka, bersama pula pengacara Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS). Mereka semua disangkakan dengan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
    Dini hari tadi, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menjelaskan bahwa tersangka MS dan JS yang merupakan pengacara meminta Tian Bahtiar untuk memproduksi berita yang disebut Abdul Qohar bersifat “negatif” alias merugikan citra Kejagung.
    “Tersangka MS dan tersangka JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait penanganan perkara aquo, baik ketika di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan,” kata Abdul Qohar.
    Kejagung merasa berita-berita negatif tersebut telah membentuk persepsi masyarakat yang tidak baik terhadap Kejagung. Mereka sedang mengusut kasus korupsi timah dan korupsi impor gula dengan tersangka Tom Lembong.
    “Tindakan yang dilakukan oleh tersangka MS, tersangka JS, dan tersangka TB dimaksudkan bertujuan membentuk opini publik dengan berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan maupun Jampidsus dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah maupun tindak pidana korupsi tata niaga gula, baik di penyidikan maupun di persidangan yang saat ini sedang berlangsung, sehingga Kejaksaan dinilai negatif oleh masyarakat, dan perkaranya tidak ditindaklanjuti ataupun tidak terbukti di persidangan,” tutur Abdul Qohar.
    Sore harinya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Harli Siregar tampil dalam konferensi pers setelah mengadakan pertemuan dengan Dewan Pers. Harli menjelaskan bahwa perkara Tian Bahtiar merupakan perbuatan pribadi Tian.
    Harli menegaskan bahwa yang menjadi perhatian Kejaksaan bukanlah soal pemberitaan, melainkan tindakan permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan.
    “Yang dipersoalkan oleh Kejaksaan bukan soal pemberitaan, karena kita tidak anti kritik,” kata Harli di Kejagung, tadi.
    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan pihaknyalah yang mengurusi etik jurnalistik.
    “Saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan dan masing-masing menjalankan tugasnya, sebagaimana mandat yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kami,” kata Ninik.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gurita Bisnis Tomy Winata, Anggota ‘9 Naga’ yang Disorot di Tengah Kasus Jak TV

    Gurita Bisnis Tomy Winata, Anggota ‘9 Naga’ yang Disorot di Tengah Kasus Jak TV

    GELORA.CO – Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (TB) bersama advokat Marcella Santoso (MS), Junaidi Saibih (JS) ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan atau obstruction of justice.

    Kejaksaan Agung menyebut advokat Marcella Santoso dan Junaedi Saibih membiayai demonstrasi untuk menggagalkan penyidikan sejumlah kasus.

    Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, upaya penggagalan tersebut diduga mereka lakukan dalam penyidikan kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015-2022.

    Tak hanya kasus itu, mereka juga disebut terlibat merintangi penyidikan perkara importasi gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan Tom Lembong.

    “Tersangka MS dan JS membiayai demonstrasi-demonstrasi dalam upaya untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara a quo di persidangan,” kata Qohar, dalam konferensi pers, Selasa (22/4/2025) dini hari.

    Kemudian, Marcella dan Junaedi membiayai kegiatan seminar-seminar, podcast, dan talk show mengenai kasus-kasus tersebut di beberapa media online. Kegiatan-kegiatan itu diduga untuk menarasikan secara negatif dalam pemberitaan untuk mempengaruhi pembuktian perkara di persidangan.

    “Kemudian diliput oleh tersangka TB dan menyiarkannya melalui JakTV dan akun-akun official JakTV, termasuk di media Tik Tok dan YouTube,” jelasnya.

    Konten-konten negatif tersebut, menurut Qohar, merupakan pesanan langsung dari Marcella dan Junaedi kepada Tian Bahtiar. “Tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya, yaitu MS dan JS. Kemudian membuat metodologi perhitungan kerugian negara dalam penanganan perkara a quo yang dilakukan Kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan,” ucapnya.

    Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra berpandangan Pasal 21 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tentang perintangan penyidikan bisa disangkakan terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar (TB). 

    Diketahui, Tian ditetapkan tersangka karena diduga secara sengaja membuat narasi dan konten-konten negatif untuk menjatuhkan Kejaksaan Agung (Kejagung). Sehingga, dinilai merintangi proses penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan dalam kasus dugaan korupsi PT Timah, impor gula, dan ekspor crude palm oil (CPO). 

    Untuk hal itu, Tian diduga menerima uang sebesar Rp 478.500.000 yang masuk kantong pribadi setelah memuat konten-konten negatif terkait Kejagung. Menurut Azmi, terhadap Tian bisa dikenakan pasal perintangan penyidikan karena ada hubungan kasualitas antara para pelaku dengan hasil nyata berupa pemberitaan yang bertujuan mengganggu proses jalannya proses hukum oleh Kejagung. 

    “Perbuatan makna Pasal 21 dimaksud dapat dikatakan terjadi sepanjang adanya kausalitas dan di antara para pelaku terjalin kepentingan saling melindungi dan menjadi serangan balik bagi Kejagung, termasuk jika ditemukan upaya-upaya dan keadaan yang nyata hasil produksi berita tersebut guna menghambat, menghalangi, menggangu atau mempersulit jalannya proses hukum dalam kasus tersebut,” kata Azmi kepada Monitorindonesia.com, Selasa (22/4/2025). 

    “Karena dalam kasus ini, jika para penyidik menemukan bahwa perbuatan pelaku yang fokus bertujuan dari adanya pemesanan kegiatan-kegiatan produksi pemberitaan tersebut berhubungan guna menggangu proses hukum agar tidak berhasil sesuai tujuan penyidikan,” jelasnya.

    Azmi menambahkan bahwa ditemukan adanya aliran dana yang membuktikan adanya pemufakatan jahat untuk mengganggu proses hukum oleh Kejagung melalui pemberitaan yang dihasilkan. 

    “Dapat terlihat pula apakah ada pula tindakan yang secara sadar dan sengaja dalam kehendaknya para pelaku untuk menghambat proses baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam kasus ini diketahui atau ditemukan bukti yang sekaligus menandakan adanya strategi sekaligus metting of mind dari para pihak yang sengaja menginginkan pembuatan, pemberitaan maupun opini tersebut ditujukan dalam rangka melemahkan penegakan hukum,” jelas Azmi.

    Namun, Azmi menyebut bahwa kebebasan pers tetap harus diapresiasi dan dihormati. Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”

    Terkait kasus itu, seorang pengusaha bernama Tomy Winata menjadi sorotan. Hal ini disebabkan stasiun televisi swasta JAKTV itu  berada di bawah naungan Artha Graha, bisnis dari anggota ‘9 naga’ itu. JAKTV sendiri memulai siarannya pada Oktober 2004 dalam sebuah uji coba. Lalu baru diresmikan pada Oktober 2005.

    Dengan bos Artha Graha Group, Tommy Winata, Menteri BUMN Erick Thohir diketahui pernah berkongsi mendirikan Jaktv pada 2005. Bisnis televisi lokal dengan motto ‘My City, My Tv’ itu langgeng hingga kini.

    Diketahui bahwa Tommy Winata merupakan pendiri dari Artha Graha Group, sebuah perusahan besar yang memiliki ratusan anak perusahaan. Ia juga memiliki berbagai gurita bisnis lainnya sehingga banyak orang yang mencantumkan namanya dalam jajaran ‘9 Naga’.

     

    Memiliki latar belakang yang serupa dengan Dato’ Sri Tahir, Tommy banyak menghabiskan masa kecilnya di sebuah gang di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Namun saat ini, Tommy memiliki kekayaan sekitar USD2,4 miliar atau sekitar Rp37 triliun.

     

    Gurita bisnis Tommy Winata, seperti PT Makmur Elok Nugraha (MEG) merupakan salah satu perusahan yang bergerak di bidang properti dan pengembangan kawasan. PT MEG berada dibawah naungan Artha Group yang dikelola atau dimiliki Tomy Winata.

     

    Memiliki investasi jangka panjang di Pulau Rempang, pelaksanaan investasi PT MEG menyentuh angka Rp381 triliun hingga 2080 mendatang. Dengan demikian, perusahaan tersebut diperkirakan bisa mempekerjakan 306 ribu orang.

     

    Bsnis Tomy Winata yang selanjutnya yakni telekomunikasi. Tomy Winata mengelola PT Artha Telekomindo yang menyediakan layanan dan solusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Tak hanya itu, JAKTV yang mulai diuji coba tayang perdana pada 2004, kemudian diresmikan pada 2005 silam juga berada dibawah naungan Artha Graha.

      

    Untuk bisnis berikutnya mencakup sektor industri. Tommy Winata melalui AG Network memiliki anak perusahaan, yang terdiri dari PT Sumber Agro Semesta, PT Multiagro Pangan Lestari, PT Harmoni Nirwana Lestari, PT Danatel Pratama, Artha Industrial Hill, Kiara Artha Park, dan Pasifik Agro Sentosa.  

    Sementara pada sektor bisnis perbankan, Tommy Winata memiliki tiga bisnis di bawah Grup Artha Graha, yakni: AG General Insurance, Graha Sentosa Memorial Park, dan Bank Artha Graha Internasional.

    Mengapa Tian Bahtiar tersangka?

    Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB), resmi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menjadi kaki tangan dari dua advokat Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS)—dalam menyebarkan konten-konten negatif terhadap institusi Kejagung.

    Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, TB secara sengaja membuat narasi provokatif dan menyerang reputasi Kejagung atas pesanan MS dan JS.

    Tujuannya jelas: menghalangi proses penyidikan, penuntutan, bahkan pengadilan sejumlah perkara besar yang tengah ditangani. “Tersangka MS dan JS memerintahkan TB memproduksi berita yang menyudutkan Kejaksaan. Semua itu mereka biayai dengan dana mencapai Rp478.500.000,” tegas Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (22/4/2025).

    Dana ratusan juta rupiah itu digunakan TB untuk menyebarkan berita-berita manipulatif melalui media sosial dan kanal digital yang terafiliasi dengan Jak TV. Konten-konten ini kerap mengangkat isu kerugian keuangan negara secara sepihak dan tanpa dasar perhitungan valid.

    Tak berhenti di situ, MS dan JS bahkan mendanai rangkaian seminar, demonstrasi, podcast, dan talkshow yang menarasikan propaganda hitam. Semua acara itu diliput oleh TB dan disiarkan ulang di media Jak TV serta disebarkan masif di platform seperti TikTok dan YouTube.

    Kejagung menilai aksi trio tersangka ini dirancang untuk membentuk opini publik negatif terhadap institusi penegak hukum. Mereka berupaya melemahkan fokus penyidik dan menciptakan kesan seolah perkara yang tengah disidik sarat kejanggalan.

    “Mereka ingin perkara ini bebas, atau setidaknya menyabotase konsentrasi penyidik dengan opini-opini menyesatkan,” kata Qohar.

    Dalam upaya menutupi jejak, para tersangka diketahui menghapus sejumlah konten dan berita yang sebelumnya telah tersebar luas. Skandal ini menjadi bukti bahwa informasi dapat menjadi senjata. Namun, teknologi penyadapan Kejagung justru membalikkan arah permainan.

    Dengan ditetapkan Tia sebagai tersangka menjadi pintu masuk tim penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung membuka lebar penyidikannya. Sebab menurut pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno (UBK) Kurnia Zakaria menegaskan tidak menutup kemungkinan hanya fenomena gunung es.

    “Kejagung mesti terus mengembangkan kasus ini, bisa jadi ini hanya fenomena gunung es. Kita tak bisa lagi tutup mata soal oknum-oknum yang merintangi penyidikan kasus dugaan rasuah yang disidik Kejagung. Saya duga bukan hanya kasus timah dan impor gula. Maka perlu penelusuran lebih jauh lagi,” kata Kurnia kepada Monitorindonesia.com, Seladsa (22/4/2025).

    Bila perlu, tegas Kurnia, Kejagung memeriksa mereka yang menempati level tertinggi di Jak TV itu. “Pemilik saham atau pun pemilk perusahaan tersebut harus juga diperiksa. Hal ini tak lain membuat terang kasus tersebut. Jangan hanya bawahan saja yang dikorbankan atai jadi korban. Kita dukung Kejagung menyikat habis para mafia ini,” tandasnya. 

    Sementara saat akan dibawa ke mobil tahanan pada Selasa (22/4/2025) dini hari, Tian sempat ditanyai wartawan soal keterlibatannya atas kasus itu. Namun, ia tak banyak bicara. “Enggak ada, enggak ada. Kita sama-sama satu profesi,” kata Tian.

  • Dewan Pers Dalami Pelanggaran Kode Etik Direktur JakTv

    Dewan Pers Dalami Pelanggaran Kode Etik Direktur JakTv

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Pers menghormati Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus dugaan perintangan proses hukum sejumlah perkara korupsi.

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan pihaknya telah membahas persoalan yang menyeret Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar dengan pihak Kejagung.

    Dari hasil diskusi itu, Dewan Pers menyatakan bahwa pihaknya bakal menyerahkan penanganan perkara tersebut ke Kejagung apabila telah ditemukan bukti yang cukup.

    “Saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung disaksikan langsung oleh Pak Kapuspen dan Anggota Dewan Pers sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan,” ujarnya di Kejagung, Selasa (22/4/2025).

    Dia menjelaskan sejatinya Dewan Pers memiliki kewenangan untuk menilai karya pemberitaan sebagai karya jurnalistik atau bukan, termasuk dalam penanganan perkara jurnalistik yang menyimpang.

    Salah satu praktik jurnalistik yang melanggar kode etik yaitu perilaku pekerja pers yang terindikasi suap. Adapun, perilaku menyimpang itu masuk ke Pasal 6 dan Pasal 8 dalam kode etik jurnalistik.

    “Jurnalis kalau ada indikasi tindakan-tindakan yang berupa suap atau penyalahgunaan profesinya, ada pengaturan di dalam kode etik dan itu masuk ranah wilayah etik di pasal 6 dan pasal 8,” imbuhnya.

    Dalam hal ini, Ninik menjelaskan bahwa pihaknya akan menilai apakah produk jurnalistik itu ditemukan pelanggaran atau tidak melalui proses uji akurasi.

    Kemudian, Dewan Pers juga menilai perilaku wartawan maupun perusahaan media yang terkait dengan kinerjanya, apakah sudah memenuhi profesionalisme atau justru melanggar kode etik.

    “Nah itulah kami ketika duduk bersama dan menyepakati ada ranah yang dilakukan oleh Kejaksaan tetapi juga ada ranah yang dilakukan oleh Dewan Pers,” pungkas Ninik.

  • Dewan Pers Respons Penetapan Tersangka Direktur Pemberitaan JakTV oleh Kejagung

    Dewan Pers Respons Penetapan Tersangka Direktur Pemberitaan JakTV oleh Kejagung

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu bertemu Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar di kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa, 22 April 2025. Keduanya membahas dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) dan tata niaga komoditas timah, yang menyeret Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (TB).

    Ninik menyampaikan, jika memang ada bukti-bukti yang cukup bahwa kasus tersebut terkait dengan tindak pidana, maka hal ini adalah kewenangan penuh dari Kejagung untuk menindaklanjuti prosesnya. Ia menegaskan, Dewan Pers tidak akan mencampuri proses hukum di Kejagung.

    “Dewan Pers tentu tidak ingin menjadi lembaga yang cawe-cawe terhadap proses hukum,” kata Ninik dalam konferensi pers di kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa, 22 April 2025.

    Akan tetapi dari segi pemberitaan, Dewan Pers memiliki mandat untuk menilai apakah sebuah karya pemberitaan masuk kategori karya jurnalistik atau bukan. Kewenangan menilai tersebut termaktub di dalam Undang-Undang 40 tahun 1999.

    “Maka saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung disaksikan langsung oleh Pak Kapuspen dan Anggota Dewan Pers sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan dan masing-masing menjalankan tugasnya, sebagaimana mandat yang diberikan oleh Undang-Undang,” ucap Ninik.

    Ninik menjelaskan, di kode etik jurnalistik Pasal 6 mengatur soal perilaku-perilaku dari para pekerja pers jika ada indikasi atau tindakan-tindakan yang berupa suap atau penyalahgunaan profesinya.

    “Kami Dewan Pers tentu akan menilai dua hal, yang pertama soal pemberitaannya apakah ada pelanggaran terhadap kode etik pasal 3 misalnya cover both site atau tidak, ada proses uji akurasi dan lain-lain,” ujarnya.

    Ia menekankan, bahwa perusahaan pers dan jurnalisnya harus profesional. Artinya bekerja secara demokratis dengan tidak mencampur adukan antara opini dengan fakta.

    Perbuatan Tersangka Dalam Konteks Personal

    Pada kesempatan yang sama, Harli Siregar menegaskan bahwa dugaan tindak pidana yang dilakukan Tian merupakan perbuatan personal, yang tidak terkait dengan media JakTv. Ia menambahkan, yang dipersoalkan Kejagung bukan soal pemberitaan tetapi tindakan dugaan pemufakatan jahat sehingga melakukan perintangan terhadap proses hukum.

    Lebih lanjut, Harli menyampaikan, Kejagung menghormati proses etik dan penilaian terhadap produk jurnalistik yang dilakukan Dewan Pers.

    “Setelah mendapat penjelasan-penjelasan itu tentu terkait dengan penegakan hukum, Dewan Pers sangat menghormati itu, dan kami juga menyampaikan kepada Dewan Pers Bahwa terkait dengan proses etik dan penilaian terhadap karya jurnalistik, kami menghormati Dewan Pers akan melakukan itu,” ucap Harli.

    Dua Advokat dan Direktur Pemberitaan JakTV Tersangka

    Kejagung menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan obstruction of justice atau perintangan penyidikan perkara korupsi tata niaga timah dan impor gula. Tiga tersangka adalah Marcella Santoso (MS) dan Junaidi Saibih (JS) selaku advokat serta Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar (TB).

    Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengungkapkan ketiga tersangka diduga telah melakukan permufakatan jahat untuk merintangi penyidikan, penuntutan, dan persidangan atas kasus korupsi yang sedang ditangani. Ia menyebut, penyidik telah menyita dokumen, barang bukti elektronik seperti ponsel maupun laptop yang diduga digunakan sebagai alat untuk melakukan perintangan penyidikan.

    “Penyidik Jampidsus Kejagung mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan tiga tersangka,” kata Abdul Qohar dalam konferensi pers, Selasa, 22 April 2025, dini hari.

    Bagaimana Modus Obstruction of Justice?

    Penyidik menemukan bukti bahwa Marcella Santoso (MS), Junaidi Saibih (JS), dan Tian Bahtiar (TB) mengoordinasikan pembuatan serta penyebaran konten-konten negatif yang menyudutkan Kejagung. Adapun Tian menerima Rp478,5 juta dari dua advokat tersebut.

    “Dengan biaya sebesar Rp478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” ucap Abdul Qohar.

    Abdul Qohar menjelaskan, Marcella Santoso (MS) dan Junaidi Saibih (JS) membiayai kegiatan seminar-seminar, podcast, dan talkshow di beberapa media online, dengan mengarahkan narasi-narasi negatif dalam pemberitaan untuk mempengaruhi pembuktian perkara di persidangan.

    “Kemudian diliput oleh tersangka TB dan menyiarkannya melalui Jak Tv dan akun-akun official Jak Tv, termasuk di media TikTok dan YouTube,” tutur Abdul Qohar.

    Lebih lanjut, Abdul Qohar menyebut, Marcella Santoso (MS) dan Junaidi Saibih (JS) Juga membiayai demonstrasi untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di persidangan. Lalu, Tian mempublikasikan narasi-narasi demonstrasi tersebut secara negatif.

    “Kemudian, tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya yaitu MS dan JS, kemudian membuat metodolgi perhitungan kerugian negara dalam penanganan perkara a quo yang dilakukan Kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan,” ucap Abdul Qohar.

    Abdul Qohar menuturkan, tindakan Marcella Santoso (MS), Junaidi Saibih (JS), dan Tian Bahtiar (TB) bertujuan membentuk opini publik dengan berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan maupun Jampidsus dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah maupun tata niaga gula saat penyidikan maupun di persidangan yang saat ini sedang berlangsung.

    “Sehingga kejaksaan dinilai negatif masyarakat, dan perkaranya tidak dilanjuti, atau tidak terbukti di persidangan,” kata Abdul Qohar.

    “Jadi tujuan mereka jelas dengan membentuk opini negatif, seolah yang ditangani penyidik tidak benar, mengganggu konsentrasi penyidik. Sehingga diharapkan, atau harapan mereka perkaranya dapat dibebaskan atau minimal mengganggu konsentrasi penyidikan,” ucapnya menambahkan.

    Selain itu, lanjut Abdul Qohar, para tersangka juga melakukan perbuatan menghapus beberapa berita, beberapa tulisan yang ada di barang bukti elektronik mereka. Barang bukti tersebut sudah disita penyidik.

    “Sehingga dapat disampaikan bahwa terhadap beberapa hal yang dilakukan tadi, maka termasuk unsur sengaja merusak bukti dalam perkara korupsi. Kedua juga masuk orang yang memberikan informasi palsu atau informasi yang tidak benar selama proses penyidikan,” ujarnya.

    Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Junaedi Saibih ditahan selama 20 hari ke terhitung mulai hari ini di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung. Kemudian, Tian ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung.

    “Sedangkan tersangka MS tidak dilakukan penahanan karena yang bersangkutan sudah ditahan dalam perkara lain,” kata Abdul Qohar.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 7
                    
                        Kejagung Diminta Lapor Dewan Pers Dulu Sebelum Tersangkakan Direktur JAK TV soal Berita Negatif
                        Nasional

    7 Kejagung Diminta Lapor Dewan Pers Dulu Sebelum Tersangkakan Direktur JAK TV soal Berita Negatif Nasional

    Kejagung Diminta Lapor Dewan Pers Dulu Sebelum Tersangkakan Direktur JAK TV soal Berita Negatif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Dewan Pers
    menyarankan Kejaksaan Agung melaporkan pemberitaan JAK TV yang diduga memuat narasi dan konten negatif untuk menjatuhkan nama Kejagung kepada Dewan Pers terlebih dahulu.
    “Sebaiknya dibawa dan diadukan dulu ke Dewan Pers dalam ranah etika jurnalistik dalam pembuatan berita,” kata Ketua BPPA Dewan Pers Bambang Santoso saat dihubungi, Selasa (22/4/2025).
    Kejagung justru menersangkakan Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar karena diduga membuat berita negatif tentang Kejagung dan menerima uang Rp 487 juta. 
    Bambang mengatakan, dengan membuat laporan kepada Dewan Pers, pemberitaan JAK TV maupun kesalahan wewenang akan ditindaklanjuti dalam ranah etika jurnalistik
    “Sebaiknya, kalau ada kesalahan wewenang ada aturannya dan dapat ditindaklanjuti dengan sebagai sengketa pers atau ranah yang lain,” ujarnya.
    Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengungkap, Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB) menyalahgunakan kewenangannya selaku pimpinan untuk merintangi kerja penyidik dalam mengusut hingga menyidangkan sejumlah kasus korupsi.
    “Ada indikasi dia (Tian) menyalahgunakan kewenangannya selaku jabatannya, Direktur Pemberitaan itu,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (22/4/2025).
    Qohar mengatakan, Tian membuat konten-konten negatif sesuai pesanan dari advokat sekaligus tersangka Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) atas nama pribadinya.
    “Jadi Tian ini mendapat uang itu secara pribadi. Bukan atas nama sebagai direktur ya, JAK TV ya. Karena tidak ada kontrak tertulis antara perusahaan JAK TV dengan yang para pihak yang akan ditetapkan,” lanjut Qohar.
    Tian disebutkan menerima uang senilai Rp 478.500.000 untuk membuat konten-konten negatif ini.
    “Sementara yang saat ini prosesnya sedang berlangsung di pengadilan dengan biaya sebesar Rp 478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB yang dilakukan dengan cara sebagai berikut,” kata Qohar.
    Konten-konten negatif ini kemudian dipublikasikan oleh Tian ke beberapa medium. Baik itu media sosial dan media online yang terafiliasi dengan JAK TV.
    Salah satu contoh narasi negatif yang dibuat oleh Marcella dan Junaedi adalah soal kerugian keuangan negara dalam sejumlah perkara.
    Padahal, perhitungan kerugian keuangan negara yang disebarkan itu tidak benar dan menyesatkan.
    “Kemudian Tersangka TB menuangkannya dalam berita di sejumlah media sosial dan media online,” lanjut Qohar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.