Nadiem Makarim Diperiksa KPK dan Kejagung, Apa Beda Kasusnya?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pertama kalinya memeriksa mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim pada Kamis (7/8/2025).
Pantauan Kompas.com di Gedung Merah Putih KPK, Nadiem Makarim tiba pukul 09.19 ditemani beberapa kuasa hukumnya, salah satunya Hotman Paris.
Tak hanya diperiksa oleh KPK, Nadiem Makarim sebelumnya juga dua kali menjalani pemeriksaan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada Kejaksaan Agung (Kejagung).
Nadiem Makarim diperiksa Kejagung sebagai saksi pada 23 Juni dan 15 Juli 2025.
Nadiem dipanggil untuk dimintai keterangan KPK terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Google Cloud di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, pengadaan Google Cloud dilakukan untuk menyimpan data dari seluruh sekolah di Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan belajar secara daring saat masa pandemi Covid-19.
“Waktu itu kita ingat zaman Covid-19, ya pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran daring. Tugas-tugas anak-anak kita yang sedang belajar dan lain-lain, kemudian hasil ujian, itu datanya disimpan dalam bentuk cloud. Google Cloud-nya,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta pada 24 Juli 2025.
Asep menjelaskan, penyimpanan data tersebut sangat besar sehingga harus dilakukan pembayaran terhadap Google Cloud.
Menurut dia, proses pembayaran tersebut yang tengah diselidiki KPK.
“Di Google Cloud itu kita kan bayar, nah ini yang sedang kita dalami,” ujar Asep.
Dalam perkara ini, KPK sudah meminta keterangan dari sejumlah pihak di antaranya, mantan CEO PT Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) Andre Soelistyo dan pemegang saham Melissa Siska Juminto pada 5 Agustus 2025.
Hanya saja, belum ada tersangka dalam kasus pengadaan Google Cloud tersebut karena statusnya masih penyelidikan.
Sementara itu, di Kejagung, Nadiem diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kemendikbudristek tahun 2020-2022.
Dalam kasus ini, empat orang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah eks Stafsus Mendikbudristek era Nadiem Makarim, Jurist Tan (JT); Eks Konsultan Teknologi di lingkungan Kemendikbudristek, Ibrahim Arief (Ibam); Direktur Jenderal PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020-2021, Mulyatsyahda (MUL); dan Direktur Sekolah Dasar, Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih (SW).
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus pada Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, keempat tersangka tersebut telah bersekongkol dan melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan pengadaan laptop berbasis Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek tahun 2020-2022.
Pengadaan program teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu bahkan dilakukan sebelum Nadiem Makarim resmi menjabat sebagai menteri.
Para tersangka juga mengarahkan tim teknis kajian TIK untuk memilih vendor penyedia laptop yang menggunakan sistem operasi Chrome OS.
Pengadaan bernilai Rp 9,3 triliun ini dilakukan untuk membeli laptop hingga 1,2 juta unit. Tetapi, menurut Qohar, laptop ini justru tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh guru dan siswa.
Pasalnya, untuk menggunakan laptop berbasis Chromebook ini perlu jaringan internet. Diketahui, sinyal internet di Indonesia belum merata hingga ke pelosok dan daerah 3 T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Atas perbuatan para tersangka tersebut, Qohar menyebut, negara dirugikan sekitar Rp 1,98 triliun.
Namun, Kejagung menyampaikan masih mendalami potensi keterlibatan Nadiem Makarim.
Bahkan, Abdul Qohar mengatakan, penyidik mendalami keuntungan yang diperoleh Nadiem Makarim terkait pengadaan laptop chromebook tersebut.
Qohar lantas menyinggung perihal adanya investasi dari Google ke Gojek, yang merupakan perusahaan yang didirikan Nadiem Makarim.
“Apa keuntungan yang diperoleh oleh NAM (Nadiem Anwar Makarim) ini yang sedang kami dalami, penyidik fokus ke sana. Termasuk tadi disampaikan adanya investasi dari Google ke Gojek, kami sedang masuk ke sana,” kata Qohar saat konferensi pers di Lobi Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta pada 15 Juli 2025.
Sementara itu, dalam kronologi perkara yang dibacakan Qohar, Nadiem disebut memerintahkan pelaksanaan program TIK untuk tingkat Paud, SD, SMP, dan SMA, menggunakan operasi chrome OS dari Google.
Qohar menyebut, perintah menggunakan operasi chrome dari Google itu disampaikan Nadiem selaku Mendikbudristek dalam rapat zoom pada tanggal 6 Mei 2020.
Rapat tersebut dihadiri eks Stafsus Mendikbudristek era Nadiem Makarim, Jurist Tan (JT); Eks Konsultan Teknologi di lingkungan Kemendikbudristek, Ibrahim Arief (Ibam); Direktur Jenderal PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020-2021, Mulyatsyahda (MUL); dan Direktur Sekolah Dasar, Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih (SW).
“Pada 6 Mei 2020 JT bersama dengan SW, MUL, kemudian Ibam dalam rapat yang dipimpin langsung oleh NAM. Dalam rapat itu, NAM perintahkan pelaksanakan program TIK dengan menggunakan chrom OS dari google padahal saat itu pengadaan belum dilaksanakan,” ujar Qohar.
Bahkan, Qohar mengungkapkan, Nadiem sudah membahas perihal anggaran program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek bersama dengan Ibam dan Fiona sebelum dilantik menjadi Mendikbudristek.
Hingga akhirnya, pada 19 Oktober 2019, Nadiem diangkat menjadi Mendikbudristek. Lalu, JT mewakili Nadiem membahas teknis mengenai program digitalisasi pendidikan tersebut.
Kemudian, Qohar juga mengungkapkan bahwa Nadiem bertemu dengan pihak Google pada Februari dan April 2020.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Jaksa Agung
-
/data/photo/2025/07/14/68748386e8614.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nadiem Makarim Diperiksa KPK dan Kejagung, Apa Beda Kasusnya? Nasional 7 Agustus 2025
-

KPK Berpeluang Usut Dugaan Korupsi Pengadaan Rumah Prajurit TNI AD, Tapi..
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons peluang untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan rumah prajurit TNI Angkatan Darat (TNI AD).
“Kami lihat dari siapa pelakunya ya,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dilansir dari Antara, Kamis (7/8/2025).
Lebih lanjut, Asep menjelaskan jika pelaku kasus tersebut merupakan anggota TNI, maka tidak ditangani oleh KPK.
Pasalnya, kata dia, tindak pidana yang menjerat prajurit kewenangannya ada di Kejaksaan.
“Itu koneksitas. Nanti bisa ditangani di Kejaksaan karena di Kejaksaan ada Jampidmil, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer,” ujarnya.
Namun, apabila pelakunya adalah masyarakat sipil atau bukan anggota TNI, maka KPK bisa menangani kasus tersebut.
“Jadi kami bisa join [ikut mengusut] gitu. Nanti misalkan kalau ada yang TNI, ditangani oleh TNI. Kemudian yang sipilnya kami tangani, walaupun di MK (Mahkamah Konstitusi) ada putusan kan ya,” katanya.
Keputusan MK yang dimaksud Asep adalah Putusan Nomor 87/PUU-XXI/2023 yang menegaskan KPK berwenang mengusut kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota TNI.
Walaupun demikian, Asep mengatakan akan mengecek terlebih dahulu ada atau tidaknya laporan dugaan korupsi dalam pengadaan rumah prajurit TNI AD ke Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK.
Sebelumnya, konsorsium IndonesiaLeaks yang terdiri atas empat media, yakni Jaring.id, Suara.com, Independen.id, dan Tempo, berkolaborasi menelusuri pengadaan rumah prajurit TNI AD di masa Kepala Staf TNI AD (KSAD) Dudung Abdurachman.
-

Drone Rusia Nyelonong Masuk, Lituania Minta Bantuan NATO
Jakarta –
Pemerintah Lituania meminta bantuan NATO untuk memperkuat pertahanan udaranya. Ini disampaikan setelah terungkap bahwa sebuah drone militer Rusia yang terbang ke negara Baltik tersebut pekan lalu, ternyata membawa bahan peledak.
Menteri Luar Negeri Lituania Kestutis Budrys mengatakan bahwa insiden tersebut merupakan salah satu dari beberapa insiden serupa yang terjadi baru-baru ini. Dia menyebut hal itu sebagai “tanda yang mengkhawatirkan bahwa agresi Rusia terhadap Ukraina meluas ke wilayah NATO”.
Dilansir kantor berita AFP, Rabu (6/8/2025), Budrys mengatakan ia telah menulis surat kepada Sekjen NATO Mark Rutte untuk meminta “tindakan segera untuk meningkatkan kemampuan pertahanan udara di Lituania”, termasuk patroli udara dari sekutu-sekutu NATO negara tersebut.
Menteri Pertahanan Lituania Dovile Sakaliene mengatakan bahwa negara tersebut sedang membentuk unit-unit lapangan untuk menanggapi ancaman drone serta mengerahkan “unit pertahanan udara yang dilengkapi dengan senjata jarak pendek”.
Drone Rusia tersebut terbang dari Belarusia, sekutu Rusia, yang bertetangga dengan Lituania, pada 28 Juli dan terlihat terbang di atas sebagian wilayah ibu kota Lituania, Vilnius.
Drone tersebut akhirnya ditemukan di area latihan militer pada 1 Agustus. Para pejabat Lituania mengatakan mereka yakin itu adalah model drone bernama Gerbera, yang digunakan untuk misi penyerangan dan pengintaian.
Jaksa Agung Nida Grunskiene mengatakan drone tersebut “membawa alat peledak, yang berhasil dinetralisir oleh spesialis angkatan bersenjata Lituania di lokasi kejadian”.
“Salah satu teori utama investigasi ini adalah bahwa drone tersebut secara tidak sengaja memasuki wilayah Lituania,” tuturnya.
“Saya ingin menekankan bahwa teori-teori lain sedang diselidiki secara paralel,” ujar Jaksa Agung Lituania tersebut.
Kepala Angkatan Udara Lituania Dainius Paskevicius mengatakan bahwa “sekitar dua kilogram bahan peledak ditemukan”.
Rusia secara rutin menerbangkan rudal dan drone yang ditujukan ke Ukraina di atas Belarusia, yang juga merupakan salah satu titik peluncuran invasi skala penuhnya pada tahun 2022.
Drone Gerbera lainnya terbang ke Lituania dari Belarusia bulan lalu, menimbulkan kekhawatiran sebelum otoritas kemudian menyatakan drone itu tidak berbahaya.
“Ini menandai insiden kedua dalam waktu kurang dari sebulan. Pelanggaran wilayah udara serupa juga baru-baru ini dilaporkan oleh sekutu lainnya,” kata Budrys.
“Ancamannya nyata dan terus berkembang,” tandasnya.
Halaman 2 dari 2
(ita/ita)
-
/data/photo/2025/08/01/688cd9d74332d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nasib Terdakwa Kasus Impor Gula, Tetap Diproses Hukum Saat Tom Lembong Dapat Abolisi Nasional 6 Agustus 2025
Nasib Terdakwa Kasus Impor Gula, Tetap Diproses Hukum Saat Tom Lembong Dapat Abolisi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Abolisi yang diterima eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong menimbulkan perdebatan baru dalam kasus importasi gula di tahun 2015-2016.
Para terdakwa yang berasal dari kalangan korporasi menuntut agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencabut dakwaan terhadap mereka karena Tom, sebagai pelaku utama dalam kasus ini, sudah bebas dan ditiadakan proses serta akibat hukumnya.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Selasa (5/8/2025) para kuasa hukum terdakwa menyampaikan sebuah surat permohonan tersebut kepada majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU).
“Kami mohon kepada Kejaksaan agar Kejaksaan menarik mencabut surat dakwaan,” ujar kuasa hukum dari Direktur PT Angels Products Tony Wijaya, Hotman Paris, yang mewakili para terdakwa.
Hotman mengatakan, dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 2025 tentang abolisi kepada Tom Lembong, proses hukum importasi gula dinilai sudah sepatutnya ditiadakan.
“Intinya majelis, terkait dengan adanya Keppres tentang abolisi yang tegas-tegas menyatakan semua proses hukum dan akibat hukumnya terkait kasus gula impor ditiadakan,” kata Hotman.
Ia menyinggung posisi Tom selaku eks Mendag yang dulu duduk sebagai terdakwa dan diduga memperkaya pihak korporasi.
Tom dinilai sebagai pelaku utama tindak pidana, sementara pihak korporasi merupakan pihak yang turut serta.
Karena Tom Lembong sudah menerima abolisi alias proses dan akibat hukumnya sudah ditiadakan, pihak korporasi meminta agar kasus mereka juga dicabut.
“Tom Lembong dituduh melakukan pelanggaran hukum untuk memperkaya klien kami. Padahal, Tom Lembong sudah tidak lagi diproses akibat hukum,” kata Hotman.
Dalam sidang kemarin, pihak Kejagung yang diwakili JPU mengusulkan agar sidang untuk terdakwa lainnya tetap dilanjutkan.
Salah seorang JPU mengingatkan, dalam keputusan presiden yang diteken Presiden Prabowo Subianto, hanya Tom Lembong yang mendapatkan abolisi.
“Di dalam keppres tersebut, kan tidak implisit menyebutkan para terdakwa. Cuma di situ hanya untuk satu orang, saudara Thomas Trikasih Lembong di keppres nomor 18 tahun 2025,” kata JPU itu.
Menilik ke belakang, Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung Sutikno juga pernah menegaskan bahwa keppres itu mengaturr abolisi yang diberikan Presiden Prabowo bersifat personal untuk Tom Lembong.
Abolisi untuk Tom juga sudah disebutkan tidak menghentikan proses pidana bagi terdakwa lainnya.
“Jadi, proses (penegakan hukum) ini kan bukan berarti diberhentikan, terus bebas gitu untuk yang lainnya. Enggak, enggak. Ini hanya yang bersangkutan, Pak Tom Lembong, diberikan abolisi. Secara perseorangan, sendirian, di perkara ini,” kata Sutikno, Jumat (1/8/2025) lalu.
Sutikno menjelaskan, penyidik punya banyak cara untuk melakukan penyidikan.
Selain kesaksian dari Tom, ada barang bukti lain yang mendukung untuk membuktikan adanya korupsi impor gula.
“Kita menangani perkara kan pakai alat bukti yang ada. Alat bukti kan banyak. Itu perkara lain tetap berjalan,” ujar dia menegaskan.
Kendati para terdakwa mengajukan keberatan, majelis hakim memutuskan untuk tetap melanjutkan sidang.
“Majelis mengambil sikap untuk tetap dilanjutkan. Sementara kalau nanti ada perkembangan terbaru, ya majelis juga akan menentukan sikapnya lagi,” kata ketua majelis hakim Dennie Arsan Fatika di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.
Dennie menegaskan, majelis hakim tidak mengesampingkan permohonan yang diajukan terdakwa, tetapi hakim sepakat dengan jaksa bahwa hanya Tom Lembong yang mendapatkan abolisi dari Prabowo.
“Kami tetap bersikap, karena memang keppres berupa abolisi yang ditujukan hanya kepada satu orang. Satu orang terdakwa, tidak menunjuk kepada terdakwa lainnya walaupun perkara atau kasusnya adalah bersamaan,” kata Dennie.
Hakim berpendapat, kehadiran JPU hari ini juga menunjukkan sikap Jaksa Agung terhadap kasus importasi gula.
“Adanya penuntut umum tetap hadir di persidangan hari ini, kehadiran penuntut umum di sini, kami rasa ya secara tidak langsung tetap merupakan perintah dari Jaksa Agung untuk meneruskan perkara ini,” lanjut Dennie.
Namun, jika memang nanti ada perubahan sikap, majelis hakim juga akan menyingkap lagi.
Dennie meminta semua pihak memaklumi dan mengerti keputusan yang diambil oleh majelis hakim.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, permintaan para terdakwa ini masuk akal karena usai abolisi, Tom dianggap tidak berbuat salah dalam kasus impor gula.
“Secara logika bisa ya, karena keputusan importasi gula dianggap tidak ada dan tidak bermasalah,” kata Fickar saat dihubungi, Rabu (6/8/2025).
Ia mengatakan, jika melihat konstruksi kasus yang ada, abolisi yang diterima Tom bisa berdampak pada kasus yang tengah dijalani terdakwa dari pihak korporasi ini.
“Dampaknya seharusnya berlaku juga pada mereka yang didakwa soal kasus (impor gula),” ujar dia.
Selain Tom Lembong, ada 10 terdakwa lain yang juga diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
Satu terdakwa telah divonis bersalah oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Ia adalah Mantan Direktur PT PPI, Charles Sitorus, yang dihukum 4 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
Sementara, ada sembilan terdakwa dari pihak korporasi yang masih menjalani proses persidangan.
Para terdakwa ini adalah, Direktur Utama (Dirut) PT Angels Products, Tony Wijaya NG; Direktur PT Makassar Tene, Then Surianto Eka Prasetyo; Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya, Hansen Setiawan; Direktur Utama PT Medan Sugar Industry, Indra Suryaningrat,
Kemudian, Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama, Eka Sapanca; Presiden Direktur PT Andalan Furnindo, Wisnu Hendraningrat; kuasa Direksi PT Duta Sugar International, Hendrogiarto A Tiwow; Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur, Hans Falita Hutama; dan Direktur PT Kebun Tebu Mas, Ali Sandjaja Boedidarmo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/01/688bf4d2041cd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik? Nasional 6 Agustus 2025
Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik?
Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik
“
TUHAN
selalu berpihak dan memberikan jalan pada kebenaran, God works in the mysterious way, Tuhan bekerja dengan cara-cara yang tak terduga,” demikian perkataan Tom Lembong usai menerima abolisi, yang ditirukan oleh Anies Baswedan.
Pemberian Amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Hasto Kristianto dan Abolisi kepada Tom Lembong mungkin boleh dikatakan sebagai akhir dari perjalanan kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan segala nuansa politik yang berakhir antiklimaks.
Dalam konteks ketatanegaraan, pemberian amnesti dan abolisi bukan merupakan keputusan Pemerintah, melainkan hak prerogatif presiden, sebagai konsekuesi logis dari kedudukan presiden sebagai kepala negara menurut Pasal 14 UUD 1945 yang diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Secara hukum, dengan diberikannya amnesti kepada Hasto Kristianto, maka semua akibat hukum pidananya dihapuskan. Sedangkan dengan diberikannya abolisi, proses hukum (penuntutan) terhadap Tom Lembong menjadi ditiadakan.
Dibalik sukacita dari bebasnya kedua tokoh itu, ada sejumlah permasalahan hukum yang tersisa. Antara lain bagaimana nasib pelaku lainnya yang didakwa dengan penyertaan dan sudah usangnya UU Darurat No. 11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang konteksnya waktu itu adalah kedaruratan akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.
“Politiæ legibus, non leges politiis, adaptandæ”, demikianlah postulat yang artinya “politik harus disesuaikan dengan hukum, dan bukan hukum yang disesuaikan dengan politik.”
Terkesan postulat ini bersifat idealis dan normatif. Namun, kenyataannya tidak selalu realistis dalam praktiknya.
Postulat tersebut sejalan dengan pandangan dari Aji Wibowo yang pernah menyampaikan kepada penulis, “hukum memang merupakan produk politik, tapi hukum jangan dipolitisir”, baik dalam pembentukan maupun penegakannya.
Dalam kondisi penegakan hukum yang belum ideal, memang tidak dapat disangkal menguatnya fenomena
judicial caprice
, yaitu ketidakpercayaan pada putusan pengadilan karena sulit diprediksi hasilnya dan dianggap jauh dari nilai-nilai hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Di sinilah ruang bagi presiden sebagai kepala negara untuk menghadirkan keseimbangan dengan cara memberikan pengampunan (
presidential pardon
) dalam bentuk grasi, amnesti, abolisi, dan juga pemulihan harkat dan martabat seseorang melalui rehabilitasi.
Dahulu mantan Presiden Jokowi juga pernah memberikan amnesti terhadap Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang terjerat UU ITE.
Meskipun konteks amnesti dalam UU Darurat No. 11/1954 adalah untuk kejahatan politik, tapi keputusan tersebut mendapat dukungan luas, termasuk dari masyarakat sipil, sebagaimana postulat, “equum et bonum est lex legum”, apa yang baik dan adil itulah hukumnya.
Namun demikian, tanpa parameter yang jelas, pemberian amnesti dan abolisi dapat bernuansa politis, menjustifikasi tuduhan politisasi hukum, dan juga dapat membuat impunitas, khususnya bagi korupsi sebagai tindak pidana khusus yang dianggap
extraordinary crime
, yang juga harus dilihat perspektif kepentingan umum.
Sebagai perbandingan, sebenarnya ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c UU Kejaksaan telah memungkinkan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Adapun yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas dengan memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
UU No.1 Tahun 2023 (KUHP Baru) yang akan berlaku 3 Januari 2026 nanti telah membuka kemungkinan dari pengecualian dari hak Negara untuk memidana seseorang yang melakukan tindak pidana (
ius puniendi
) berupa gugurnya kewenangan penuntutan dan gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana.
Dalam relevansinya dengan
presidential pardon
, Pasal 132 ayat (1) huruf h KUHP Baru telah mengatur bahwa dengan diberikannya amnesti atau abolisi, maka kewenangan penuntutan sebagai proses peradilan yang dimulai dari penyidikan menjadi gugur.
Sedangkan, Pasal 140 KUHP Baru menyebutkan bahwa kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur, jika terpidana mendapatkan grasi atau amnesti.
Sederhananya, gugurnya kewenangan penuntutan itu dalam hal perkaranya belum berkekuatan hukum tetap. Sedangkan gugurnya pelaksanaan pidana adalah dalam hal perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga pelaksanaan sanksi pidana itu tidak perlu dijalani terpidana.
Pertanyaan yang seringkali diajukan kepada penulis adalah dalam hal konteks apa amnesti atau abolisi dibedakan pemberiannya.
Secara umum, penulis berpendapat pemberian amnesti yang menghapuskan akibat hukum pidana berarti peristiwa pidananya telah ada dan diasumsikan bahwa seseorang dianggap bersalah telah melakukan tindak pidana.
Sebaliknya dalam abolisi, peristiwa pidananya sudah ada, tapi pemberi abolisi kemungkinan belum teryakinkan apakah seseorang benar-benar bersalah melakukan suatu tindak pidana, sehingga proses hukum dan penuntutannya dihentikan.
Sebagaimana perkataan Paulus, seorang Yuris Romawi, “Deletio, oblivio vel exctinctio accusationis”, yang artinya “penghapusan, membuat dilupakan dan peniadaan tuduhan”.
Tentu
presidential pardon
ini juga berbeda dengan alasan penghapus pidana, khususnya dalam kaitannya penyertaan tindak pidana (
delneeming
).
Dalam penyertaan, apabila salah satu pelaku dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena adanya alasan pembenar, misalnya karena menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP), maka konsekuensinya pelaku lainnya juga harus dilepaskan. Namun tidak demikian halnya dengan alasan pemaaf.
Dengan diberikannya abolisi kepada Tom Lembong memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib para terdakwa lainnya yang didakwa dengan penyertaan?
Penulis berpandangan, meskipun abolisi tidak berlaku bagi pelaku lainnya, maka akan menjadi suatu ketidakadilan jika pelaku yang merupakan pejabat negara dihentikan penuntutannya, tapi pelaku lainnya, misalnya, swasta masih tetap diproses, bahkan dihukum karena melakukan tindak pidana korupsi.
Dengan dianutnya sistem pembagian kekuasaan (
distribution of power
) yang merujuk pada konsep trias politica dari eksekutif, yudikatif dan legislatif, maka dapat dikatakan pembagian kekuasaan tersebut sama sekali tidak terpisah-pisah, melainkan saling melakukan fungsi kontrol pengawasan sesuai dengan prinsip
checks and balances.
Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (GAAR) sebagai hak prerogatif presiden yang diberikan oleh konstitusi itu ibarat sebuah pedang bermata dua: bisa mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan. Sebaliknya, jika disalahgunakan justru dapat mendatangkan impunitas.
Dalam perspektif negara hukum seharusnya perlu ada peraturan setingkat UU yang mengatur parameter yang jelas, objektif dan berkeadilan, sebagaimana langkah Pemerintah dalam menginisiasi naskah akademik dari RUU GAAR sejak tahun 2022 yang belum kunjung selesai.
Untuk itu, agar pemberian GAAR tidak bernuansa politis dan mengakibatkan impunitas khususnya untuk tindak pidana korupsi, maka Pemerintah dan DPR harus segera merampungkan Rancangan UU Grasi Amnesti Abolisi dan Rehabilitasi terlebih dahulu, agar ada standar pengaturan yang lebih jelas, objektif, dan berkeadilan.
Ikhtiar ini untuk mencegah pelaku kejahatan seolah-olah mendapatkan insentif untuk melakukan tindak pidana lagi, sebagaimana postulat
Veniae facilitas incentivum est delinquendi
, yang artinya kemudahan mendapatkan pengampunan merupakan insentif untuk melakukan kejahatan
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kabar Penggeledahan Rumah Jampidsus Kejagung, Polda Metro Jaya Jawab Begini
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Desas-desus mengenai upaya penggeledahan rumah Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah ramai jadi perbincangan.
Kabar menyebutkan, kediaman Febrie Adriansyah itu digeledah oleh aparat kepolisian dari Polda Metro Jaya pada Kamis (31/7).
Diketahui, media sosial diramaikan dengan adanya pemberitaan dari salah satu media yang menyebut bahwa ada upaya penggeledahan rumah Jampidsus Febrie Adriansyah pada Kamis (31/7) oleh kepolisian.
Namun, upaya tersebut gagal lantaran ada banyaknya personel TNI yang berjaga di kediaman Febrie Adriansyah.
Merespons kabar yang berkembang di tengah masyarakat itu, pihak Polda Metro Jata pun angkat suara mengenai isu yang belakangan beredar tesebut.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi membantah adanya penggeledahan oleh pihaknya dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) terhadpa rumah Febrie Adriansyah.
“Tidak benar,” kata Kombes Ade Ary Syam dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Walakin, Kombes Ade Ary belum menjelaskan informasi itu secara terperinci. Dia hanya membantahnya.
Bantahan mengenai kabar penggeledahan rumah Jampidsus Kejagung itu juga disampaikan oleh pihak Kejaksaan Agung. Pihak kejaksaan juga mengaku tidak mendapat konfirmasi mengenai kabar adanya penggeledahan tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna mengatakan pihaknya tidak menerima laporan soal adanya penggeledahan sebagaimana info yang beredar di masyarakat.



