“Crazy Rich” Surabaya Budi Said Divonis 15 Tahun Penjara, Kejaksaan Banding
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mengajukan
banding
terhadap vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa
Budi Said
dan Abdul Hadi Aviciena dalam kasus tindak pidana korupsi terkait penyalahgunaan wewenang dalam penjualan emas oleh Butik Emas Logam Mulia Surabaya 01 Antam (BELM Surabaya 01 Antam) pada tahun 2018.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menjelaskan bahwa pengajuan banding tersebut didasarkan pada pernyataan terdakwa serta sebagai langkah untuk mengajukan upaya hukum kasasi.
“Penasehat hukum terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan
Banding
,” ujar Harli dalam keterangan resmi yang dirilis pada Sabtu (28/12/2024).
“JPU Banding dengan alasan Terdakwa menyatakan banding, dan pengajuan Banding oleh Penuntut Umum juga sebagai dasar dalam hal mengajukan upaya hukum Kasasi (Pedoman
Jaksa Agung
RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Tindak Pidana Korupsi),” tambahnya.
Sementara itu, baik terdakwa Abdul Hadi Aviciena maupun JPU menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim yang dijatuhkan.
Pada Jumat 27 Desember, Budi Said, yang dikenal sebagai
crazy rich
Surabaya, divonis 15 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi manipulasi pembelian emas dari PT Aneka Tambang (Antam).
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat Tony Irfan menyatakan bahwa Budi Said terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara serta memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.
Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Said dengan pidana penjara selama 15 tahun, dikurangkan lamanya terdakwa ditahan, dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan di rutan,” ungkap Hakim Tony di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).
Amar putusan terhadap Budi Said mencakup pidana penjara selama 15 tahun, denda sebesar Rp 1 miliar subsidair pidana kurungan selama 6 bulan, serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 58,841 kg setara dengan nilai Rp 35,5 miliar subsidair 8 tahun kurungan.
Sementara itu, Abdul Hadi Aviciena dijatuhi hukuman pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Jaksa Agung
-
/data/photo/2024/12/11/67597a385046b.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 "Crazy Rich" Surabaya Budi Said Divonis 15 Tahun Penjara, Kejaksaan Banding Nasional
-

Soal Pemberian Maaf Koruptor, Pengamat Ingatkan Pentingnya Keberanian Kepala Negara – Halaman all
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi di era kepemimpinannya patut dinantikan.
Apalagi, Prabowo dalam pidatonya baru-baru ini menyatakan para koruptor dapat dimaafkan asalkan mengembalikan hasil korupsi kepada negara.
Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli menyebut pidato dan kebijakan Prabowo perlu dibarengi dengan tindakan nyata.
Mengingat korupsi di Indonesia bukan lagi soal individu, melainkan masalah sistemik yang menuntut reformasi mendasar.
“Tanpa keberanian dan konsistensi dari seorang kepala negara, pemberantasan korupsi akan terus menjadi sekadar omong kosong,” kata Pieter saat dihubungi wartawan Sabtu (28/12/2024).
Di sisi lain, mantan Ketua Komisi III DPR RI itu menilai, pernyataan Prabowo yang ingin memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang korupsinya kepada negara, merupakan bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery) sesuai dengan prinsip dalam UN Convention Against Corruption (UNCAC).
Selain itu, Pieter Zulkifli menyinggung pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, yang mendukung gagasan tersebut dengan menyebutnya sebagai pendekatan restoratif.
Penegakan hukum korupsi bahkan disebut harus membawa manfaat bagi ekonomi bangsa, bukan sekadar balas dendam.
Namun, Pieter Zulkifli mengakui sejauh ini langkah konkret Prabowo dalam pemberantasan korupsi masih dipertanyakan.
Terlebih, dalam pidato pelantikannya dua bulan lalu, Prabowo mengakui adanya kebocoran anggaran negara, tetapi tindak lanjut atas komitmen tersebut belum terlihat nyata.
“Bahkan, komposisi kabinet yang ia bentuk turut menjadi bahan kritik. Beberapa nama di kabinetnya memiliki rekam jejak kasus korupsi, alih-alih pernah lolos dari jeratan hukum melalui celah pengadilan,” ujar dia.
Pieter Zulkifli menegaskan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa peran Presiden sangat menentukan.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kata dia, kasus besar seperti skandal Bank Century tetap berjalan meskipun menyeret nama besannya, Aulia Pohan.
“Pertanyaannya, apakah Prabowo akan membiarkan KPK melemah atau sebaliknya, dia akan menunjukkan komitmen nyata memperkuat Lembaga Antirasuah ini?” ucapnya.
Dia menyatakan korupsi di Indonesia sudah menjadi sistemik, melibatkan lingkaran kekuasaan, birokrasi, hingga hukum. Uang menjadi benang merah dalam perekrutan, promosi jabatan, hingga pengambilan kebijakan.
Hal ini juga yang menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Bahkan, hukum kerap tunduk pada kekuatan modal. Situasi ini menggambarkan betapa sulitnya memberantas korupsi tanpa reformasi menyeluruh.
“Paralel dengan kondisi tersebut, masa depan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari penilaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang terus turun dan menjadi stagnan. Dalam survei terakhir Transparency International pada 2023, IPK Indonesia hanya berada di angka 34 dari skala 100,” ujar dia.
Pieter Zulkifli menuturkan skor IPK ini sama dengan skor pada 2014. Dia mencatat pelaku korupsi selama ini memiliki latar belakang politisi, baik dari unsur legislatif maupun eksekutif yang terdiri dari anggota DPR/DPRD, Menteri/Lembaga Negara, Gubernur, Walikota/Bupati sebesar 517 orang.
“Belum lagi para koruptor yang belum disentuh di kalangan sektor swasta. Kondisi ini memperjelas bahwa korupsi politik semakin subur di negeri ini,” katanya.
Menurut Pieter Zulkfili, skeptis publik terhadap komitmen pemerintahan Prabowo dalam pemberantasan korupsi bukan tanpa alasan. Kabinet yang dipenuhi figur bermasalah serta absennya langkah tegas dalam dua bulan masa pemerintahan menjadi bukti awal bahwa retorika antikorupsi belum diterjemahkan ke dalam tindakan nyata.
“Bagaimanapun, pidato, dan kebijakan Prabowo perlu dibarengi dengan tindakan konkret,” ujarnya.
Dia mengatakan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia ditentukan oleh sikap kekuasaan yang rendah hati, tegas, dan tidak pandang bulu dalam bertindak, serta tidak mengumbar janji.
“Sikap perilaku elite yang angkuh dan sombong, tidak mendengar aspirasi rakyat adalah awal dari gagalnya merumuskan sistem yang kuat untuk memberantas korupsi,” katanya.
Pieter Zulkifli mengatakan sikap tegas kekuasaan terhadap koruptor akan mempercepat proses Indonesia menjadi negara maju.
Sehingga, KPK dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI harus mulai serius melakukan pengawasan terhadap sikap perilaku elite yang angkuh dan sombong dalam mendengar aspirasi rakyat. Sebab, patut diduga perilaku elite politik seperti itu memiliki kecenderungan korup.
Dia berpandangan Prabowo memiliki kesempatan untuk mengubah narasi.
Namun, tanpa keberanian dan konsistensi, pemberantasan korupsi akan terus menjadi sekadar omong belaka.
Sebab, korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu, melainkan masalah sistemik yang menuntut reformasi mendasar.
“Tanpa langkah nyata, lingkaran setan antara uang dan kekuasaan akan terus memengaruhi wajah politik Indonesia,” katanya.
Pieter Zulkifli berharap Prabowo benar-benar memahami beratnya tanggung jawab seorang kepala negara.
“Indonesia butuh pemimpin yang berani, tegas, dan berpihak pada rakyat, bukan sekadar pidato kosong di podium internasional,” tandasnya.
Penjelasan Menteri Hukum
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi.
Ia menjelaskan meskipun Presiden RI Prabowo Subianto memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, tetapu tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.
“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman dalam keterangannya, Kamis (26/12/2024).
Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini menerangkan kalau pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.
“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ujar Supratman.
Menteri Supratman mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif, tetapi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.
Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut.
Kemudian pasca-amandemen UUD 1945, kekuasaan presiden tidak absolut.
Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.
“Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” kata Supratman.
Selain presiden, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui denda damai.
Sehingga, baik presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.
“Tanpa lewat presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada jaksa agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tutur Supratman.
Supratman pun menyebutkan bahwa proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo.
Pernyataan Presiden Prabowo
Diberitakan sebelumnya, Presiden Republik Indonesia (RI), Prabowo Subianto memberikan kesempatan agar para koruptor untuk bertaubat. Eks Menteri Pertahanan ini membuka pintu maaf asalkan mereka mengembalikan uang yang sudah dicuri dari negara.
Hal itu disampaikan Prabowo saat bertemu dengan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu (18/12/2024). Acara ini dihadiri 2000 orang mahasiswa.
“Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, memberi kesempatan untuk tobat, hei para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya, mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong,” kata Prabowo dalam sambutannya.
Prabowo pun membuka kesempatan bagi koruptoruntuk mengembalikan uang hasil tindak pidana secara diam-diam kepada negara.
“Nanti kita beri kesempatan, cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya enggak ketahuan, mengembalikan lho ya. Tapi kembalikan,” jelasnya.
Tak hanya itu, Eks Danjen Kopassus itu menegur para pengemplang pajak yang tidak membayarkan kewajibannya. Padahal, mereka semua selama ini memakai fasilitas negara.
“Hei kalian yang sudah menerima fasilitas dari negara, bayarlah kewajiban mu. Asal kau bayar kewajiban mu, taat kepada hukum, sudah, kita menghadap masa depan, kita tidak ungkit-ungkit yang dulu,” jelasnya.
Lebih lanjut, Prabowo pun mengultimatum bagi siapapun yang masih bandel melawan hukum setelah peringatan tersebut. Dia tidak akan segan untuk menginstruksikan aparat untuk menangkap mereka.
“Kalau kau bandel terus, apa boleh buat, kita akan menegakkan hukum dan bagi aparat-aparat harus milih setia kepada bangsa negara dan rakyat atau setia kepada pihak lain. Kalau setia kepada bangsa negara dan rakyat ayo, kalau tidak, percayalah saya akan bersihkan aparat RI. Dan saya yakin dan percaya rakyat Indonesia berada di belakang saya,” pungkasnya.
-

Menkum Supratman Minta Maaf soal Polemik Denda Damai Koruptor, Ini Penjelasannya – Halaman all
JAKARTA – Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, mengklarifikasi pernyataannya mengenai wacana denda damai untuk pelaku korupsi.
Klarifikasi ini disampaikan pada Jumat, 27 Desember 2024, setelah pernyataan sebelumnya yang menyebutkan bahwa Jaksa Agung memiliki wewenang untuk memberikan ampunan melalui mekanisme denda damai.
Supratman menjelaskan bahwa denda damai hanya dapat diterapkan untuk tindak pidana ekonomi, bukan untuk kasus korupsi.
“Karena itu, saya rasa untuk denda damai kita selesai sampai di sini, sudah clear bahwa itu diterapkan untuk tindak pidana ekonomi. Tetapi, tindak pidana ekonomi itu kan intinya juga merugikan perekonomian negara,” kata Supratman, Jumat (27/12/2024).
Ia menekankan bahwa meskipun kasus korupsi dan kerugian ekonomi sama-sama merugikan negara, mekanisme penanganannya berbeda.
Permintaan Maaf
Menyusul polemik yang terjadi, Supratman meminta maaf atas kesalahpahaman yang mungkin muncul akibat pernyataannya.
“Sekali lagi, ini kalaupun nanti ada yang salah mengerti dengan apa yang saya ucapkan, ya saya menyatakan saya mohon maaf,” tegasnya.
Latar Belakang
Sebelumnya, Supratman menyatakan bahwa pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, dapat diberikan melalui denda damai.
Pernyataan ini muncul setelah Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan niatnya untuk mengampuni koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsi kepada negara.
Namun, Supratman menegaskan bahwa Presiden Prabowo tidak akan menggunakan mekanisme denda damai untuk memberikan ampunan kepada koruptor.
“Itu hanya komparasi. Bukan berarti Presiden akan menempuh itu,” jelasnya.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
-

Alasan Jaksa Ajukan Banding di Balik Vonis 15 Tahun Budi Said
JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) memutuskan mengajukan banding atas vonis terdakwa Budi Said di kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait jual beli emas PT Antam Tbk. Alasannya, karena Crazy Rich Surabaya tersebut turut mengajukan banding.
“JPU banding dengan alasan terdakwa menyatakan banding,” ujar Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar dikutip Sabtu, 28 Desember.
Selain itu, keputusan jaksa mengajukan banding juga sebagai dasar untuk mengajukan upaya hukum lanjutan di tingkat kasasi.
Semisal, bila majelis hakim meringankan vonis Budi Said di tingkat banding, maka, jaksa bisa mengajukan kasasi.
“Sesuai dengan pedoman Jaksa Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Tindak Pidana Korupsi,” kata Harli.
Budi Said dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait jual beli emas PT Antam Tbk. Sehingga, dijatuhi hukuman pidana 15 tahun penjara.
Selain hukuman penjara, Budi juga dikenakan denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan subsider enam bulan kurungan. Ia pun diwajibkan membayar uang pengganti senilai 58,841 kilogram emas Antam atau setara Rp35,53 miliar, dengan ancaman subsider 8 tahun penjara jika tidak mampu membayar.
Budi melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
-

Menkum Pastikan Denda Damai Diterapkan untuk Tindak Pidana Ekonomi
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyampaikan aturan pengampunan melalui denda damai hanya ditujukan untuk tindak pidana ekonomi.
Hal tersebut itu sekaligus meluruskan soal pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa koruptor bisa diampuni melalui mekanisme denda damai.
“Pertama, itu yang saya maksudkan tadi. Ini kesalahan konteks ya. Tapi sekali lagi yang saya katakan soal denda damai itu, itu ada aturannya. Ya ada aturannya [terkait tindak pidana ekonomi],” ujarnya di Jakarta, dikutip Sabtu (28/12/2024).
Dia menambahkan, aturan denda damai terkait tindak pidana ekonomi ini masih belum diimplementasikan hingga saat ini karena masih menunggu peraturan perundang-undangannya.
“Tetapi apakah sudah diimplementasikan? Sampai sekarang belum. Karena menunggu peraturan perundang-undangannya. Tetapi itu hanya terkait dengan tindak pidana ekonomi,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan bahwa mekanisme denda damai sudah tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k UU No.11/2021 tentang Kejaksaan RI.
Pada intinya, aturan itu menyatakan bahwa Jaksa Agung (JA) mempunyai tugas dan kewenangan menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara, salah satu mekanismenya dengan denda damai.
Harli menjelaskan, denda damai ini merupakan cara penghentian perkara diluar pengadilan dengan pembayaran denda yang telah disetujui JA.
”Denda damai adalah penghentian perkara diluar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung terhadap perkara tindak pidana ekonomi,” ujar Harli.
-

Crazy Rich Surabaya Budi Said Divonis 15 Tahun Penjara, Kejagung Banding
Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan banding terkait dengan vonis crazy rich Surabaya, Budi Said dalam perkara korupsi transaksi emas antam 1,1 ton.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan alasan pihaknya mengajukan banding lantaran terdakwa Budi Said melakukan upaya hukum yang sama.
“Jaksa penuntut umum banding dengan alasan terdakwa menyatakan banding,” ujarnya dalam keterangan tertulis Sabtu (28/12/2024).
Dia menambahkan, pengajuan banding ini merupakan upaya hukum pihaknya pada tingkat kasasi yang didasarkan pedoman kasasi pedoman Jaksa Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Tindak Pidana.
“Pengajuan banding oleh Penuntut Umum juga sebagai dasar dalam hal mengajukan upaya hukum kasasi,” imbuhnya.
Sementara itu, Harli menyatakan pihaknya masih pikir-pikir terkait dengan vonis mantan General Manager UBPPLM PT Antam, Abdul Hadi Aviciena.
Sebagai informasi, majelis hakim pengadilan negeri tindak pidana korupsi atau PN Tipikor telah memvonis Budi Said bersalah dalam kasus pembelian 1,1 ton emas di BELM Surabaya 01 PT Antam Tbk. (ANTM).
Budi kemudian divonis dengan pidana selama 15 tahun dan denda Rp1 miliar dengan subsidair enam tahun penjara.
Selain pidana badan, Budi juga dijatuhkan beban uang pengganti sebesar 58,841 kg setara dengan nilai Rp35,5 miliar dengan subsidair delapan tahun penjara.
Adapun, Abdul Hadi Aviciena telah dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun pidana dengan denda Rp500 juta dengan subsider tiga bulan kurungan pidana oleh PN Tipikor Jakarta Pusat.
-

Loyalis PDIP: Ada Apa dengan Gerindra, Kok Terlalu Sopan kepada Koruptor
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wacana pemberian pengampunan koruptor melalui mekanisme denda damai ramai dikritik publik.
Salah satunya dari Pemerhati Sosial dan Politik, Jhon Sitorus.
Dia memberikan sentilan keras kepada Presiden Prabowo Subianto, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman yang sama-sama berasal dari Partai Gerindra.
Dia menyebut para elit Partai Gerindra tersebut yang paling ngotot mengampuni para koruptor.
“Presidennya dari Gerindra, Menkumhamnya juga dari Gerindra, yang paling ngotot mengampuni koruptor juga anggota DPR RI dari fraksi Gerindra, Habiburokhman,” kata Jhon Sitorus dalam akun X, Sabtu, (28/12/2024).
“Ada apa dengan partai ini? Kok terlalu sopan kepada koruptor,” lanjutnya.
Dia mempertanyakan alasan pemerintah ingin mengampuni para koruptor. “Kenapa koruptor harus diampuni dengan cukup mengembalikan uang negara yang dikorupsi saja?,” ujarnya.
Diketahui, denda damai sebagai upaya penghentian perkara di luar pengadilan sebagaimana yang disetujui oleh Jaksa Agung.
Dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Kejaksaan, pe4nggunaan denda damai untuk pengampunan koruptor sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Kejaksaan yang terbaru hanya berlaku untuk perkara tindak pidana ekonomi. (selfi/fajar)
/data/photo/2024/12/11/67595969763b1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

