Surabaya (beritajatim.com) — Seminar hukum kesehatan bertajuk “Dinamika Politik, Masyarakat, dan Hukum Kesehatan di Era Litigious Pasca Lahirnya UU No. 17 Tahun 2023” di gelar oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekontruksi Dan Estetika Indonesia (Perapi) Jawa Timur dengan, Sabtu (27/9/2025) di Cinnamom Ballroom Hotel Four Points Surabaya.
Seminar yang bertepatan dengan Pelantikan pengurus baru Perapi JawaTimur 2025-2028 dan Penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) Tentang Perlindungan Dan Bantuan Hukum antara Firma Hukum Masbuhin and Partners dengan Perapi Jawa Timur ini menghadirkan narasumber utama Masbuhin, seorang advokat senior dan corporate lawyer Perhimpunan Ahli Bedah Orthopedic danTraumatologi Indonesia, IDI Cabang Surabaya dan Jaringan Rumah Sakit Muhammadiyah/Aisyiyah Se-JawaTimur.
Seminar ini dihadiri oleh para dokter spesialis Bedah Plastik Rekontruksi Dan Estetika Indonesia (Perapi) JawaTimur, yang tengah menghadapi tantangan baru di tengah perubahan regulasi sektor kesehatan nasional.
Dalam pemaparannya, Masbuhin menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 merupakan regulasi monumental yang mengubah banyak hal mendasar dalam penyelenggaraan layanan kesehatan di Indonesia. Di satu sisi, UU ini hadir dengan semangat pembaruan, efisiensi, dan penyederhanaan berbagai peraturan yang sebelumnya tersebar di sejumlah undang-undang sektoral. Namun disisi lain, ia juga membawa dampak sistemik terhadap relasi antara profesimedis, masyarakat, dan negara, khususnya dalam konteks pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan medis.
“Kita saat ini sedang memasuki era litigious, dimana hampir setiap tindakan medis, baik yang bersifat elektif maupun emergensi, dapat dikonstruksikan sebagai objek sengketa disiplin profesi dan hukum. Jika sebelumnya keluhan pasien lebih banyak diselesaikan melalui etik, kini kecenderungan masyarakat adalah langsung melalui disiplin profesi dan menempuh jalur hukum,” ujar Masbuhin dihadapan para peserta seminar.
Ia menambahkan bahwa peningkatan literasi hukum di tengah masyarakat, perkembangan media sosial, serta ketidak pastian hukum dalam UU Kesehatan yang baru, memperbesar potensi terjadinya kriminalisasi terhadap profesi medis. Hal ini diperparah dengan belum meratanya pemahaman aparat penegak hukum, termasuk penyidik dan jaksa, mengenai karakteristik dan kompleksitas tindakan medis.
“Dokter tidak sedang bermain-main dengan nyawa manusia. Keputusan yang diambil dalam waktu singkat, berdasarkan kaidah keilmuan dan kondisi klinis pasien, seharusnya tidak diposisikan seperti tindakan pidana yang seolah-olah disengaja atau lalai,” lanjutnya.
Usia seminar Masbuhin pada awak media mengatakan seminar yang digagas Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia (Perari) ini mengambil tema yang sangat strategis yaitu dinamika masyarakat, politik dan hukum kesehatan di era litigious Pasca Lahirnya UU No. 17 Tahun 2023 Kesehatan.
“Kenapa ini disebut strategis? Karena ini sebagai sarana edukasi bagi tenaga medis terutama bagi dokter dokter yang tergabung organisasi Perapi,” ujarnya.
Lebih lanjut Masbuhin mengatakan, ada sebuah dinamika di masyarakat yang sekarang berkembang pesat yang mana masyarakat yang kita namakan litigious society yakni masyarakat yang mempunyai kegemaran baru untuk melakukan tuntutan hukum yang berkaitan dengan praktek kedokteran yang dinilai secara subjektif.
“Contohnya sedikit sedikit diviralkan dan laporan polisi. Ini yang patut dicermati oleh dokter yang tergabung dalam Perapi,” ujar Masbuhin.
Masbuhin menambahkan, ada perubahan regulasi yang sangat signifikan UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran sebagai undang undang yang sudah existing dengan lahirnya UU nomor 17 tahun 2023 yang mana para dokter harus segera beradaptasi terhadap regulasi baru yang memahami bagaimana mekanisme penyelesaian yang terkait dengan praktek kedokteran sehingga dengan adanya seminar ini diharapkan dokter dokter menjadi aware.
“Aware dalam hal apa? Dalam menjalankan praktek kedokteran berdasarkan standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional. Kalau tiga pilar ini dijalankan dengan baik maka persoalan litigious society akan mudah teratasi,” ungkap Masbuhin.
Lebih jauh, Masbuhin juga mengkritisi aspek politik dalam proses lahirnya UU No. 17/2023. Ia menyoroti bahwa proses penyusunan dan pengesahan undang-undang tersebut cenderung tertutup dan minim partisipasi substantif dari pemangku kepentingan utama, terutama organisasi profesi medis. Akibatnya, produk hukum yang lahir justru memicu resistensi dan ketidakpercayaan dari kalangan tenaga kesehatan.
“Kalau kita bicara hukum kesehatan, maka itu bukan sekadar produk normatif. Ini adalah pertemuan antara sains, etika, dan hak asasi manusia. Maka penyusunannya pun tidak bisa hanya dari sudut pandang politik dan birokrasi tetapi masa lalu itu sudah lewat pasca disahkannya Undang-undang tersebut tegasnya.
Sebagai penutup, Masbuhin menyampaikan harapannya agar seminar semacam ini terus diperluas dan dilanjutkan sebagai forum pendidikan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Menurutnya, ditengah ketidak pastian regulasi dan meningkatnya risiko litigasi, hanya melalui pemahaman hukum yang baiklah profesi dokter dapat tetap menjalankan tugasnya secara bermartabat dan terlindungi.
Sementara Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia (Perari) Jawa Timur Dr Bambang Wicaksono Sp B.P.R.E SubSp EL (K) mengatakan saat ini banyak dokter yang tidak memahami permasalahan hukum.
“Jadi ketika menghadapi sengketa hukum pada umumnya kaget karena kita itu diajari untuk membantu, pelayanan dengan baik, berbelas kasihan, berempati bukan bersiteru. Jadi ketika ada permasalahan hukum maka teman-teman dokter banyak yang shock, sehingga lebih banyak menyelesaikan permasalahan dengan jalan pintas yakni penyelesaian dibawah meja. Padahal belum tentu para dokter ini bersalah,” ujarnya. [uci/kun]