Kementrian Lembaga: Fraksi PKB

  • KPU: Putusan MK Harus Jadi Titik Balik Perbaikan Pemilu ke Depan

    KPU: Putusan MK Harus Jadi Titik Balik Perbaikan Pemilu ke Depan

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua KPU Mochammad Afifuddin menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah harus menjadi momentum memperbaiki sistem pemilu Indonesia ke depannya. Menurutnya, putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 itu harus dijalankan karena sudah final dan mengikat.

    “MK sudah memutuskan satu opsi pemilu, yaitu pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Jadi, putusan itu yang harus dijalankan. Putusan ini harus menjadi titik perbaikan pemilu ke depan,” ujar Afifuddin saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK” di ruang BAKN, Gedung Nusantara II DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7/2025).

    Afifuddin mengakui putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal akan berdampak sangat luar biasa. Hanya saja, kata dia, KPU meresponsnya biasa saja karena sudah berpengalaman menjalankan pemilu dengan masalah yang sangat kompleks. 

    “Menurut kami biasa saja. Kami sudah melakukan pemilu terberat pada 2019 dan 2024. Jadi dampaknya dari putusan MK ini biasa saja, yang penting ini menjadi titik perbaikan,” tandas Afifuddin.

    Menurut dia, putusan MK tersebut harus menjadi titik untuk perbaikan sistem pemilu. Semua pihak harus berpikir untuk menjadikan pemilu ke depan menjadi lebih baik, sehingga tidak berbagai persoalan yang terjadi di pemilu sebelumnya tidak terulang lagi. 

    Dalam kaitan dengan perbaikan sistem pemilu, KPU mengusulkan agar dilakukan seleksi penyelenggara pemilu secara serentak. Selama ini, seleksi penyelenggara pemilu dilakukan tidak serentak. Bahkan, H-1 pemilihan masih ada pergantian penyelenggara pemilu. 

    Dalam diskusi yang digelar Fraksi PKB itu, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan pelaksanaan putusan MK harus menunggu hasil revisi UU Pemilu. Karena itu, Bawaslu masih menunggu langkah DPR dan pemerintah dalam melakukan revisi UU Pemilu. 

    Menurut Bagja, ada sejumlah persoalan yang muncul karena dampak dari pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Salah satunya adalah tingginya biaya pemilu dan politik uang. Biaya pemilu dan politik uang berpotensi meningkat karena kerja paket dalam pelaksanaan kampanye pemilu menjadi terpisah. 

    “Selain itu, terjadinya praktik jual beli tiket pencalonan. Persaingan untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilu DPR semakin meningkat sebanding dengan kerawanan buying candidacy,” pungkas Bagja.

  • Ini Sindiran Komisi II DPR kepada MK Soal Pemisahan Pemilu

    Ini Sindiran Komisi II DPR kepada MK Soal Pemisahan Pemilu

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin menyindir keras Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah atau lokal. 

    Menurut Khozin, MK telah bertransformasi tidak hanya sekadar menjadi penguji dan penafsir konstitusi (the guardian of constitution), tetapi juga menjadi lembaga ketiga pembentuk undang-undang setelah pemerintah dan DPR. 

    “Perlu kita pahami bersama jika MK mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator. Pertanyaannya kemudian ketika MK dengan dalih menjaga agar konstitusi tetap adaptif dengan dinamika zaman (living constitution) lalu bisa bertransformasi sebagai lembaga ketiga setelah presiden dan DPR menjadi perumus undang-undang?” ujar Muhammad Khozin saat menjadi narasumber dalam diskusi publik Fraksi PKB bertajuk “Proyeksi Desain Sistem Pemilu Paska Putusan MK” di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (3/7/2025). 

    Menurut Khozin, harus ada penegasan bersama terkait fungsi dan peran MK saat ini. Dia khawatir MK ini dengan berbagai putusan kontroversialnya menjadi ruang para pihak untuk menjadi jalan pintas menolak setiap produk perundangan.

    “Pembentukan produk perundangan ini kan high cost secara biaya, high cost secara tenaga, high cost secara waktu dan sebagainya. Nah jangan sampai hal ini tidak ada kepastian hukum. Kalau memang MK bertransformasi menjadi lembaga ketiga perumus UU ya sudah kita lakukan constitusional engineering terkait tugas pokok dan tusi dari MK,” jelas dia.

    Dia mengatakan, dalam putusan 135/2025 tentang keserentakan pemilu, MK telah melakukan berbagai langkah paradoks. Menurutnya, putusan 135/2025 jika disandingkan dengan putusan sebelumnya  nomor 55/2019 tentang hal yang sama, ada beberapa kontradiksi. 

    Dia mencontohkan terkait pemilihan satu opsi dari enam opsi model keserentakan pemilu yang diputuskan sebelumnya. 

    “Selain itu dalam keputusan 55/2019 MK dengan tegas menolak memberikan putusan mengenai model keserentakan karena menjadi tugas dari pembuat UU, tetapi di keputusan 135/2025 malah memerintahkan adanya pemilu nasional dan pemilu lokal,” tandas dia.

    Lebih jauh Khozin menilai pemerintah tidak bisa langsung melaksanakan putusan MK mengenai pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Menurutnya jika hal terjadi maka putusan MK dalam menjaga konstitusi justru memicu inkonsitusionalitas. 

    “Secara implementasi, putusan ini tidak secara otomatis bisa dilaksanakan dalam hal ini oleh pemerintah karena berimplikasi terhadap beberapa norma. Terutama yang sering kita pahami di dalam Pasal 22 E ayat (1) maupun ayat (2) dan Pasal 18 ayat (3), dan itu sudah jelas di sana tertulis bahwa pelaksanaan pemilu itu dilaksanakan lima tahun sekali,” ujar Khozin. 

    “Terus kita mau tafsir seperti apa lagi? Kalau ini kemudian dilaksanakan, jangan sampai kemudian perintah konstitusional dilaksanakan dengan cara menabrak konstitusi. Ini kan enggak akan berujung nanti. Tidak ada ruang kepastian hukum di sini,” pungkas dia.

  • Ketua Bawaslu Sebut Timing MK Tepat Saat Putuskan Pemilu Dipisah

    Ketua Bawaslu Sebut Timing MK Tepat Saat Putuskan Pemilu Dipisah

    Jakarta

    Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dengan daerah. Rahmat Bagja menilai putusan kali ini tepat lantaran diputus saat proses pemilihan umum telah selesai.

    Hal itu disampaikan Bagja dalam diskusi Fraksi PKB di DPR RI dengan tema “Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK”, Jumat (4/7/2025). Ia menyebut pemilu itu prosesnya bisa diprediksi, tapi hasilnya yang tidak diketahui lantaran ada di tangan rakyat.

    “Karena MK itu seharusnya memutus seperti ini setelah semua proses selesai baru dia putus hal-hal seperti ini,” kata Bagja di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).

    Bagja lantas menyinggung putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden yang diketok saat tahapan pemilu berlangsung. Ia menyebut penyelenggara pemilu jadi ikut terdampak persoalan besar.

    “Kan aneh dengan dengan tiba-tiba putusan 90 ini model of tahapan pada saat tahapan tiba-tiba MK memutus seperti ini terjadi perubahan tentang syarat calon,” ujar Bagja.

    “Nah itu membuat mas Hasyim kemarin dan Pak Afif pada saat itu saya sempat ‘Mas ini harus kita tindaklanjuti karena kalau kita tidak lanjuti menjadi persoalan besar ke depan’,” tambahnya.

    “Nah seharusnya MK menahan diri ketika masuk dalam hal-hal syarat, inilah yang kemudian menurut saya ke depan MK harus menahan diri. Jadi saya kira di sinilah kemudian MK mendorong DPR dan pemerintah, jadi kalau kami siap tergantung juga dari pemerintah dan DPR,” imbuhnya.

    (dwr/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Anggota DPR usul amendemen terbatas UU kepemiluan respons putusan MK

    Anggota DPR usul amendemen terbatas UU kepemiluan respons putusan MK

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mengusulkan dilakukannya amendemen (perubahan) terbatas undang-undang kepemiluan dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah.

    “Ya sudah kita lakukan amendemen terbatas saja terkait dengan undang-undang kepemiluan karena hampir pasti dengan putusan ini, revisi undang-undang pemilu tidak berdiri sendiri, tapi harus melakukan kodifikasi atau omnibus law,” kata Khozin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Hal itu disampaikannya dalam diskusi Fraksi PKB DPR RI terkait putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK”.

    Sebab di samping Undang-Undang Pemilu, dia menyebut putusan MK tersebut membawa implikasi pula terhadap sejumlah undang-undang lain, seperti Undang-Undang Pilkada hingga Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

    “Banyak undang-undang lain yang berkaitan dengan amar putusan ini,” ucapnya.

    Ditemui usai diskusi, Khozin menjelaskan bahwa amendemen terhadap undang-undang kepemiluan perlu dilakukan bila putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut ditindaklanjuti secara langsung.

    “Itu perspektif. Jika kita konsisten, ingin secara direct putusan MK dilaksanakan, ya way out-nya satu-satunya ya itu harus melakukan amendemen,” katanya.

    Dia lantas berkata, “Karena kalau tidak melakukan amandemen, ya kita merumuskan satu produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi.”

    Meski demikian, dia menyebut bahwa DPR RI masih melakukan pembahasan dan kajian dalam menyikapi putusan MK tersebut, baik itu di tingkat fraksi maupun komisi dan pimpinan DPR.

    Dia menuturkan pada Senin (30/6), Komisi II DPR RI telah lebih dulu menggelar rapat bersama pimpinan DPR RI, Komisi III DPR RI, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, hingga Menteri Hukum (Menkum) RI Supratman Andi Agtas, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Tito Karnavian, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membahas ihwal putusan MK tersebut.

    “Nanti kalau tidak salah minggu depan akan ada diskusi juga nanti dari pimpinan MPR dengan partai-partai,” kata dia.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • F-PKB usul kepala daerah dipilih melalui DPRD

    F-PKB usul kepala daerah dipilih melalui DPRD

    Yang dilakukan tiap lima tahun sekali di Pasal 22 (UUD), itu memilih Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota). Di dalam undang-undang, khusus Presiden dipilih secara langsung, untuk Kepala Daerah itu dipilih secara d

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI mengusulkan agar kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dari yang sebelumnya dipilih langsung melalui pemilihan kepala daerah (pilkada).

    “Oleh sebab itu, PKB sempat mengusulkan dan kami juga akan usulkan nanti kalau ada pembicaraan revisi Undang-Undang Pemilu, semestinya diputuskan MK enggak apa-apa, bahwa untuk pilkada dilakukan secara serentak dipilih oleh anggota DPRD. Itu lebih bagus,” kata Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid.

    Hal itu disampaikannya dalam diskusi oleh Fraksi PKB DPR RI terkait putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Sebab, kata dia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah secara demokratis dapat diartikan pilkada langsung oleh rakyat atau tidak langsung melalui DPRD.

    “Yang dilakukan tiap lima tahun sekali di Pasal 22 (UUD), itu memilih Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota). Di dalam undang-undang, khusus Presiden dipilih secara langsung, untuk Kepala Daerah itu dipilih secara demokratis,” ujarnya.

    Menurut dia, usulan pihaknya yang menghendaki kepala daerah dipilih melalui DPRD tersebut sebagaimana yang paradigma Mahkamah Konstitusi (MK) gunakan dalam mengeluarkan putusan pemisahan pilkada nasional dan daerah lantaran faktor kelelahan.

    “Kalau MK mendalilkan bahwa kenapa dibuat desain pemilu pusat dan daerah itu karena capek katanya, enggak fokus. (Kalau begitu) lebih hemat lagi kalau pilkadanya dipilih oleh anggota DPRD Tingkat II sebagai representasi, sebagai orang yang diberi mandat oleh rakyatnya di Tingkat II sehingga dia bisa menentukan siapa bupatinya, dan itu lebih mudah,” tuturnya.

    Terpisah, anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menyebut alasan pihaknya mengusulkan agar kepala daerah dipilih melalui DPRD berangkat atas dasar filosofi otonomi daerah.

    “Karena kalau kita melihat dalam filosofi otonomi daerah, yaitu tadi yang saya sampaikan di forum, ada desentralisasi, ada dekonsentrasi, dan tugas pengampuan, istilahnya penugasan. Nah, desentralisasi itu lebih pasnya di kabupaten,” kata Khozin ditemui usai diskusi.

    Dia kemudian berkata, “Sementara dekonsentrasi itu lebih pasnya di gubernur karena gubernur itu menjalankan tugas dan kewenangan itu delegatif dari pusat.”

    Senada dengan Jazilul, dia pun memandang usulan PKB agar kepala daerah dipilih melalui DPRD itu sebagaimana perspektif yang MK gunakan dalam mengeluarkan putusan pemisahan pilkada nasional dan daerah dalam rangka menyederhanakannya.

    “Pertimbangan MK dalam Putusan 135 (Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024) itu kan berbicara kerumitan, mencari kesederhanaan terkait dengan pelaksanaan pemilu; dan kalau bicara kerumitan kan lebih rumit mana dibeli DPRD sama kemarin (dipilih langsung lewat pilkada)?” ucap dia.

    Dalam diskusi tersebut turut hadir pula sejumlah narasumber, di antaranya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, hingga Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro.

    Pewarta: Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Fraksi PKB DPR Minta Fadli Zon Tunda Penulisan Ulang Sejarah Nasional

    Fraksi PKB DPR Minta Fadli Zon Tunda Penulisan Ulang Sejarah Nasional

    Fraksi PKB DPR Minta Fadli Zon Tunda Penulisan Ulang Sejarah Nasional
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi X
    DPR RI

    Habib Syarief Muhammad
    meminta
    penulisan sejarah
    ulang yang dimotori oleh
    Kementerian Kebudayaan
    (Kemenbud) ditunda karena dia menilai proyek historiografi nasional ini bersifat tertutup.
    “Daripada kontroversial terus berkelanjutan, kami dari fraksi PKB mohon penulisan sejarah ini untuk ditunda. Ya, jelas untuk ditunda. Karena yang pertama terkesan sangat tertutup,” kata Habib Syarief, Rabu (2/7/2025).
    Hal ini dikatakannya dalam rapat kerja dengan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat.
    Ia mengungkapkan, hal itu tecermin dari tidak adanya penjelasan perinci mengenai siapa saja yang terlibat dalam tim penulisan sejarah.
    Ia mengaku sudah mencoba mencarinya, namun tidak pernah mendapatkan data lengkap.
    Belum lagi, masalah sosialisasi awal penulisan sejarah ulang yang menurutnya tidak kunjung terlaksana.
    “Pak Menteri ketika itu menyampaikan bahwa dalam waktu yang singkat akan dilakukan sosialisasi awal. Sampai hari ini, kita tidak mendengar (ada sosialisasi),” beber dia.
    Di sisi lain, kata Habib, penulisan sejarah yang ditargetkan rampung hanya dalam 7 bulan sangat singkat.
    Padahal, penyusunan sejarah kerap memakan waktu puluhan tahun.
    “Setelah saya ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang, 7 bulan itu waktu yang sangat singkat, terlalu singkat untuk penulisan sebuah sejarah yang utuh, apalagi mungkin ada kata-kata resmi,” tandasnya.
    Sebelumnya diberitakan, Kementerian Kebudayaan bakal melakukan penulisan sejarah ulang.
    Tujuannya untuk menghapus bias kolonial, menguatkan identitas nasional, hingga menjawab tantangan globalisasi yang relevan bagi generasi muda.
    Penulisan sejarah
    ini akan terdiri dari 10 jilid utama, mulai dari awal peradaban Nusantara, interaksi dengan dunia luar (India, Tiongkok, Timur Tengah, Barat), masa kolonialisme dan perlawanan, hingga Orde Baru dan Era Reformasi.
    Buku ini dirancang dengan pendekatan Indonesia-sentris, berbeda dari narasi lama yang masih dipengaruhi sudut pandang kolonial.
    Pemerintah sendiri menunjuk sekitar 113 sejarawan dari seluruh Nusantara yang terlibat dalam Tim Penulisan Ulang Sejarah Nasional.
    Namun, ada pula yang akhirnya mundur dari tim karena menemukan kejanggalan.
    Kritikan demi kritikan pun mewarnai rencana ini, termasuk soal penggunaan istilah sejarah awal alih-alih prasejarah.
    Padahal, istilah prasejarah sudah digunakan secara global selama ini.
    Editor umum penulisan ulang sejarah Indonesia, Profesor Singgih Tri Sulistiyono, mengungkapkan, tim memilih menggunakan konsep “sejarah awal” alih-alih “prasejarah” karena menilai ada bias kolonialisme dalam penggunaan istilah “prasejarah”.
    Istilah “prasejarah” yang mengandaikan era sebelum masyarakat mengenal tulisan telah menjadi justifikasi penilaian bahwa masyarakat Indonesia di masa lalu adalah masyarakat inferior sebelum berinteraksi dengan kebudayaan India yang memperkenalkan tulisan.
    “Padahal teknologi kita sudah maju di zaman itu,” kata Singgih.
    Paradigma “sejarah awal” yang diadopsi timnya bukanlah hal yang baru ada sekarang, melainkan sudah dirintis oleh sejarawan Jacob Cornelis van Leur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        Tangis Anggota DPR Pecah Saat Fadli Zon Tetap Ragukan Pemerkosaan Massal 1998
                        Nasional

    2 Tangis Anggota DPR Pecah Saat Fadli Zon Tetap Ragukan Pemerkosaan Massal 1998 Nasional

    Tangis Anggota DPR Pecah Saat Fadli Zon Tetap Ragukan Pemerkosaan Massal 1998
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Suasana rapat kerja
    Komisi X DPR RI
    bersama Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    pada Rabu (2/7/2025), berubah haru dan emosional saat membahas isu
    pemerkosaan massal
    terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam
    Tragedi Mei 1998
    .
    Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P My Esti Wijayati, dan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P Mercy Chriesty Barends, menangis saat mendengar Fadli tetap mempertanyakan penggunaan diksi “massal” dalam kasus pemerkosaan 1998.
    Air mata My Esti tumpah saat menginterupsi penjelasan Fadli yang meragukan data dan informasi soal
    pemerkosaan massal 1998
    , hingga membandingkannya dengan kasus kekerasan seksual massal di Nanjing dan Bosnia.
    “(Mendengar) Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan. Mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta, sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari,” kata My Esti, dengan suara bergetar, Rabu.
    Menurut My Esti, penjelasan Fadli yang teoretis dan tak menunjukkan kepekaan justru menambah luka bagi mereka yang menyaksikan dan mengalami langsung situasi mencekam pada masa itu.
    “Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan. Sehingga menurut saya, penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini, dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu, itu justru akan semakin membuat luka dalam,” ujar dia.
    Fadli pun menyela pernyataan Esti dan menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal peristiwa tersebut.
    “Terjadi, Bu. Saya mengakui,” ucap Fadli.
    Namun, respons itu tidak cukup meredam emosi My Esti, yang kembali menegaskan bahwa penjelasan Fadli justru mengesankan keraguan penderitaan para korban.
    “Itu yang kemudian Bapak seolah-olah mengatakan…” ucap My Esti, sebelum kembali terdiam karena emosi.
    Wakil Ketua Komisi X dari Fraksi PKB Lalu Hadrian Irfani, mencoba menengahi perdebatan dengan menjelaskan bahwa Fadli mengakui adanya peristiwa pemerkosaan, namun mempertanyakan istilah “massal”.
    “Jadi, tadi Pak Fadli Zon sudah menjelaskan bahwa beliau sebenarnya mengakui perkosaan itu ada, tetapi ada diksi ‘massal’ itu yang beliau pertanyakan,” kata Lalu.
    Setelahnya, Mercy pun ikut bersuara sambil menangis.
    Dia menyampaikan betapa menyakitkannya menyaksikan negara seolah kesulitan mengakui sejarah kelam, padahal data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi.
    “Pak, saya ingin kita mengingat sejarah kasus Tribunal Court Jugun Ianfu. Begitu banyak perempuan Indonesia yang diperkosa dan menjadi rampasan perang pada saat Jepang. Pada saat dibawa ke Tribunal Court ada kasus, tapi tidak semua, apa yang terjadi? Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua,” tutur Mercy.
    “Ini pemerintah Jepang, duta besarnya itu sampai begini terhadap kasus Jugun Ianfu. Kita paksa sendiri. Kenapa begitu berat menerima ini? Ini kalau saya bicara, ini kita sakit, Pak. Saya termasuk bagian juga yang ikut mendata itu testimoni, testimoni sangat menyakitkan kita bawa itu testimoni dalam desingan peluru,” sambung dia.
    Mercy juga menyinggung kesaksian para korban kekerasan seksual dari Maluku, Papua, dan Aceh yang didokumentasikan setelah 1998.
    Menurut dia, pengakuan atas peristiwa-peristiwa itu tidak bisa dibatasi pada perdebatan definisi atau diksi semata.
    “Bapak bilang TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Bapak bilang tidak terima yang massal. Pak, kebetulan sebagian besar itu satu etnis. Kita tidak ingin membuka sejarah kelam, tapi ini satu etnis,” tegas Mercy.
    “Bapak bisa baca itu testimoni yang kami bawa. Ini minta maaf sekali, sangat terganggu, apa susahnya menyampaikan? Satu kasus saja sudah banyak, lebih dari satu kasus tidak manusiawi. Minta maaf!” seru Mercy.
    Mendengar luapan emosi tersebut, Fadli pun menyampaikan permintaan maaf jika penjelasannya dianggap tidak sensitif.
    “Saya minta maaf kalau ini terkait dengan insensitivitas, dianggap insensitif. Tapi saya, sekali lagi, dalam posisi yang mengutuk dan mengecam itu juga,” ucap Fadli.
    Dia menegaskan tidak bermaksud mereduksi atau menegasikan peristiwa kekerasan seksual pada 1998.
    Namun, dia menekankan pentingnya pendokumentasian yang akurat dan ketelitian dalam penggunaan istilah massal.
    “Saya kira tidak ada maksud-maksud lain dan tidak sama sekali mengucilkan atau mereduksi, apalagi menegasikannya,” kata Fadli.
    Diberitakan sebelumnya, pernyataan Fadli Zon yang meragukan peristiwa pemerkosaan 1998 berlangsung secara massal menuai gelombang kritik dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR dan aktivis masyarakat sipil.
    Koalisi Masyarakat Sipil bahkan mendesak Fadli meminta maaf kepada para korban dan menghentikan proyek penulisan ulang sejarah yang dinilai berpotensi menyingkirkan kebenaran sejarah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Heran, Stok Beras Melimpah tapi Harga Malah Naik

    DPR Heran, Stok Beras Melimpah tapi Harga Malah Naik

    Jakarta

    Komisi IV DPR RI mempertanyakan terkait harga beras yang terus melonjak di tengah melimpahnya cadangan beras pemerintah (CBP). Per 30 Juni 2025, stok cadangan beras pemerintah mencapai 4,19 juta ton.

    Anggota Komisi IV DPR Fraksi PKB Daniel Johan awalnya mengapresiasi pemerintah terkait produksi beras yang melimpah, termasuk cadangan beras di gudang Bulog. Namun, ia mempertanyakan harga beras yang terus melonjak meski stok melimpah. Bahkan, Daniel terkejut terkait temuan pemerintah yang dapat merugikan Rp 99 triliun per tahun.

    “Banyak yang bertanya ke saya, di tengah harga konsumen yang tinggi, katanya Bulog dilarang untuk melepas cadangannya, melepas stoknya, biasanya kan, jawaban saya menjadi tugas Bulog untuk mengintervensi pasar, salah satunya adalah operasi pasar, sehingga harga menjadi stabil. Tetapi katanya Bulog dilarang. Nah kita minta penjelasan,” kata Daniel saat RDP dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas) di Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Selasa (1/7/2025).

    Menanggapi hal itu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan hal itu tak lepas dari kenaikan harga gabah di tingkat petani. Menurut Arief, saat ini harga gabah di tingkat petani di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp 6.500/kg. Bahkan di Pulau Jawa, harga gabah kering panen (GKP) bisa mencapai Rp 7.000-Rp 7.200/kg.

    “Kenapa harga beras naik? Ya, kalau GKP-nya sebelumnya angkanya Rp 5.500 atau Rp 6.000, hari ini Rp 6.500 di Maret any quality,” jelas Arief.

    Lebih lanjut, Arief menerangkan panen raya terbesar memang di Maret-April di mana produksinya bisa mencapai 10 juta ton setara beras. Ketika produksinya turun, Arief menyebut harga gabah di tingkat petani akan naik.

    “Kalau harga gabah naik, maka harga beras naik. Nah ini waktunya pemerintah melakukan intervensi dengan satu bantuan pangan yang 18,277 juta KPM,” imbuh Arief.

    (rea/fdl)

  • Sri Mulyani paparkan target inflasi, kurs rupiah, dan SBN pada 2026

    Sri Mulyani paparkan target inflasi, kurs rupiah, dan SBN pada 2026

    Langkah-langkah untuk selalu menjaga dari ketidakpastian, termasuk faktor iklim, akan terus dijaga,

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam Sidang Paripurna DPR ke-21 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024-2025 di Jakarta, Selasa.memaparkan target inflasi, nilai tukar (kurs) rupiah, dan yield Surat Berharga Negara (SBN) pada tahun 2026.

    Pertama, dia menerangkan bahwa asumsi inflasi yang ditargetkan pemerintah sebesar 1,5-3,5 persen mendapatkan masukan dari fraksi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dinilai perlu direvisi jadi 2-4 persen.

    Fraksi Gerindra berpendapat perlu memperkuat ruang bagi peningkatan daya beli masyarakat, adapun fraksi PKB menganggap target pemerintah terlalu moderat.

    “Di dalam menentukan target 1,5 hingga 3,5 pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter,” katanya.

    Menkeu menerangkan bahwa rentang target tersebut mempertimbangkan agar ekspektasi harga tetap terjangkau dan menjadi asas stabilitas di tengah volatilitas global, melindungi daya beli masyarakat terutama kelompok berpendapatan rendah karena inflasi tinggi akan menggerus daya beli rakyat, serta mendukung iklim investasi dan konsumsi domestik.

    Pemerintah disebut tetap antisipatif agar masih terjadi ruang fleksibilitas. Koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah melalui Tim Pengendali Inflasi Pusat-Daerah dianggap telah berjalan sangat baik dan bakal terus ditingkatkan.

    “Langkah-langkah untuk selalu menjaga dari ketidakpastian, termasuk faktor iklim, akan terus dijaga,” ujar dia.

    Terkait nilai tukar, pemerintah menargetkan rentang Rp16.500-Rp16.900 per dolar Amerika Serikat (AS) sebagai bentuk langkah antisipatif dan fleksibilitas di dalam menghadapi gejolak global.

    Fraksi Gerindra dinyatakan mengusulkan kurs pada level Rp16.200-Rp16.500 per dolar AS sebagai bentuk kehati-hatian terhadap berbagai risiko global dan kecenderungan suku bunga tinggi di Negeri Paman Sam. Adapun Fraksi PKB mempersempit rentang pada Rp16.300-Rp16.700 per dolar AS.

    “Bersama Bank Indonesia, pemerintah memperkuat koordinasi di dalam menjaga stabilitas nilai tukar,” ungkap Sri Mulyani.

    Mengenai Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun, akan tetap dijaga terkendali dengan imbal hasil pada rentang 6,6-7,2 persen.

    Fraksi yang memberikan tanggapan hanya Golkar dengan target yield SBN diupayakan di bawah level 6,6 persen.

    Di tengah ketidakpastian global, lanjut Menkeu, SBN adalah instrumen yang masih tetap diminati investor. Investor global melakukan pembelian bersih sebesar Rp40,8 triliun year to date.

    Per 26 Juni, imbal hasil SBN 10 tahun telah turun dari 7,02 persen menjadi 6,62 persen.

    “Kami juga akan terus melakukan koordinasi dengan otoritas moneter dalam menjaga yield SBN yang kompetitif,” ucapnya.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Butuh Rp7.500 Triliun Investasi Baru dan 5,5 Persen Konsumsi untuk Capai Target Ekonomi 2026

    Butuh Rp7.500 Triliun Investasi Baru dan 5,5 Persen Konsumsi untuk Capai Target Ekonomi 2026

    PIKIRAN RAKYAT – Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi pada tahun 2026 dengan membutuhkan suntikan investasi baru minimal sebesar Rp7.500 triliun. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR RI ke-21, Selasa 1 Juni 2025.

    Menurut Sri Mulyani, investasi menjadi motor utama dalam mendorong produk domestik bruto (PDB), dengan kontribusi sekitar 30 persen terhadap total PDB nasional. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 5,2–5,8 persen pada 2026, diperlukan peningkatan pertumbuhan investasi hingga 5,9 persen secara tahunan (year on year/yoy).

    “Tanpa pertumbuhan investasi yang signifikan, mustahil kita mencapai target ekonomi yang tinggi,” ujarnya.

    Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, mengandalkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai salah satu pilar utama dalam menarik investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Danantara difokuskan pada sektor-sektor strategis dan bernilai tambah tinggi.

    Konsumsi Rumah Tangga Jadi Kunci Pendukung

    Di sisi permintaan, konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 55 persen terhadap PDB juga menjadi prioritas. Pemerintah menargetkan konsumsi tumbuh hingga 5,5 persen pada 2026, sejalan dengan upaya penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

    Program-program penguatan daya beli masyarakat terus digulirkan, di antaranya Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diproyeksikan menyerap 1,7 juta tenaga kerja dan membangun rantai pasok nasional.

    Selain itu, pembangunan 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih, penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada 2,3 juta debitur, serta berbagai program perlindungan sosial seperti PKH, kartu sembako, dan subsidi upah juga turut menyokong konsumsi.

    “Gabungan dari konsumsi dan investasi menyumbang 85 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” tambah Sri Mulyani.

    Menkeu mengingatkan bahwa target ini dihadapkan pada tantangan eksternal, mengingat proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2026 hanya 2,4 persen menurut Bank Dunia dan 3 persen versi IMF. Oleh karena itu, keterlibatan sektor swasta dianggap krusial dalam membiayai pembangunan, termasuk di sektor infrastruktur, teknologi hijau, dan digitalisasi.

    Pemerintah pun terus berupaya menciptakan iklim regulasi yang kondusif dan kolaboratif antara pemerintah, BUMN, Danantara, dan pelaku usaha swasta.

    Hilirisasi dan Sektor Prioritas

    Untuk menopang ekspor dan memperkuat neraca perdagangan, pemerintah akan melanjutkan program hilirisasi industri. Target pertumbuhan ekspor ditetapkan sebesar 6,8 persen guna menciptakan efek ganda yang lebih luas.

    Dari sisi produksi, sektor industri pengolahan yang menyumbang 19 persen PDB ditargetkan tumbuh 5,3 persen. Sektor perdagangan besar dan eceran yang menyumbang 13,2 persen PDB diproyeksikan tumbuh 5,7 persen, sementara sektor informasi dan komunikasi dengan kontribusi 4,4 persen ditargetkan tetap tumbuh tinggi di angka 8,3 persen.

    Penguatan infrastruktur digital seperti data center turut menjadi tulang punggung dalam mendorong ekonomi digital nasional.

    Dalam rapat tersebut, sejumlah fraksi DPR RI memberikan masukan. Fraksi Gerindra mendorong target pertumbuhan ekonomi 2026 hingga 6,3 persen, sementara Fraksi PKB mengusulkan 6 persen. Kedua fraksi menilai percepatan diperlukan agar target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 dapat tercapai. Fraksi Golkar juga memberikan catatan agar pemerintah mengupayakan pertumbuhan ekonomi pada batas atas yakni 5,8 persen.

    “Pemerintah memiliki semangat yang sama untuk dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas,” tegas Sri Mulyani.***