Kementrian Lembaga: Fraksi PDIP

  • PDIP Bantah Salahkan Pemerintahan Prabowo Soal Kebijakan PPN 12 Persen

    PDIP Bantah Salahkan Pemerintahan Prabowo Soal Kebijakan PPN 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus membantah partainya menyalahkan pemerintahan Prabowo Subianto soal kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Menurut Deddy, pihaknya hanya meminta pemerintahan Prabowo mengkaji ulang kebijakan yang sudah disahkan oleh undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    “Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah pemberian dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujar Deddy kepada wartawan, Senin (23/13/2024).

    Deddy mengatakan pembahasan UU HPP tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintah pada periode lalu. Sementara, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan dan ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja).

    “Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah periode sebelumnya dan melalui Kementerian Keuangan,” tandas Deddy.

    Dia menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi bangsa Indonesia dan kondisi global itu dalam kondisi yang baik-baik saja. Namun, kata dia, seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    Kondisi tersebut di antaranya, seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini terus naik.

    Karena itu, Deddy menyatakan sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12 persen ini hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti fraksi PDIP menolaknya.

    “Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.

    Fraksi PDIP, kata dia, tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan  Prabowo imbas kenaikan PPN 12 persen ini. 

    “Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru. Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silahkan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” pungkas Deddy.

  • Syahganda Anggap Pernyataan Dolfie Othniel PDIP Bisa Picu Instabilitas Politik

    Syahganda Anggap Pernyataan Dolfie Othniel PDIP Bisa Picu Instabilitas Politik

    loading…

    Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan buka suara menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit terkait polemik kenaikan PPN menjadi 12 % mulai 2025. Foto/Istimewa

    JAKARTA – Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan buka suara menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit terkait polemik kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) menjadi 12 % mulai 2025. Dia menilai pernyataan Dolfie bisa memicu instabilitas politik.

    “Menanggapi pernyataan anggota DPR RI Dolfie Othniel bahwa pemerintah Prabowo Subianto dapat menunda kenaikan pajak PPN atau melakukan penyesuaian antara 5-15% jika dipandang perlu, saya menyatakan PDIP harus berhati-hati membuat pernyataan. Sebab, pernyataan Dolfie tersebut dapat memicu instabilitas politik,” ujar Syahganda dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/12/2024).

    Syahganda berpendapat, pernyataan seperti itu terang benderang memprovokasi rakyat, seolah-olah pemerintahan Prabowo tidak mendengar aspirasi masyarakat. “Sebab, kerangka APBN yang disahkan DPR RI pada bulan September lalu telah memasukkan proyeksi penerimaan pajak, termasuk komponen PPN,” tuturnya.

    Dia menuturkan, pada saat penyusunan APBN 2025 dan pembuatan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021, PDIP merupakan motor utama. Dia menuturkan, PDIP adalah partai penguasa dan Ketua Banggar di DPR ketika itu.

    “Pemerintahan baru saat ini yang dipimpin Prabowo Subianto, yang baru saja dua bulan berkuasa terang saja kerepotan jika harus merubah kedua UU di atas, yakni UU APBN dan UU HPP. Perubahan UU akan memakan waktu dan perlu persetujuan DPR,” tuturnya.

    Dia mengatakan, mitigasi yang dilakukan pemerintah saat ini sebenarnya terlihat dari upaya Prabowo Subianto memberikan klasifikasi ketat atas kenaikan PPN 12% tersebut, khususnya hanya ditujukan pada barang-barang mewah yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok.

    “Sebaliknya, jika rakyat terus menerus diprovokasi oleh elite-elite PDIP, kemungkinan akan terjadi instabilitas politik. Sebab, isu kenaikan pajak adalah salah satu pemicu kemarahan rakyat,” ucapnya.

    Syahganda menyarankan agar PDIP meminta maaf kepada rakyat karena selama berkuasa mereka telah menaikkan PPN dari 10% sejak 1983 ke 11% di 2022 dan sekarang ke angka 12%. Di samping itu, kata dia, DPR harus mendukung upaya-upaya pemerintah mencari alternatif pembiayaan pembangunan.

    “Seperti mendorong agar pengembalian uang-uang korupsi selama era PDIP dan Jokowi berkuasa, seperti pidato Prabowo di Mesir seminggu lalu, dapat terwujud. Jika uang-uang koruptor dikembalikan, maka pajak PPN bisa saja diturunkan serendah-rendahnya,” pungkasnya.

    (rca)

  • Partai Politik Jangan Cari Muka! Batalkan PPN 12% Lebih Penting Ketimbang Saling Menyalahkan

    Partai Politik Jangan Cari Muka! Batalkan PPN 12% Lebih Penting Ketimbang Saling Menyalahkan

    loading…

    Demo penolakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 %. Foto/SINDOnews TV

    JAKARTA – Dua kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ) Ganjar Pranowo dan Rieke Diah Pitaloka mengkritik kebijakan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) menjadi 12 %. Rieke menyampaikan kritik tersebut dalam Paripurna Penutupan Masa Sidang Pertama DPR pada Kamis, 5 Desember 2024.

    “Mohon dukungannya sekali lagi dari Ibu Ketua DPR, Wakil Ketua DPR, dan seluruh anggota DPR, seluruh anggota DPRD di seluruh Indonesia, mahasiswa yang ada di belakang, dan rekan-rekan media, kita beri dukungan penuh kepada Presiden Prabowo, saya yakin menunggu kado Tahun Baru 2025 dari Presiden Prabowo batalkan rencana kenaikan PPN 12 %,” kata Rieke diunggah di akun Instagramnya, dikutip Senin (23/12/2024).

    Sedangkan Ganjar melontarkan kritikan melalui video yang diunggah di Channel YouTube-nya beberapa hari lalu dengan judul “PPN 12% Bikin Tambah Miskin?”. “Dengan angka ini, Indonesia menjadi negara yang tertinggi di ASEAN bersama Filipina, jauh di atas Malaysia yang hanya 8%, Singapura 7%, dan Thailand 7%,” kata Ganjar di Channel Youtube-nya.

    “Pajak memang sumber pendapatan utama negara. Namun, dalam situasi ekonomi kita saat ini, keputusan pemerintah menaikkan PPN jadi 12 persen mungkin bukan keputusan tepat. Apakah ini keadilan?” cuit Ganjar di media sosial X (sebelumnya Twitter).

    Sejumlah elite Partai Gerindra pun langsung merespons. “Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12%. Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati.

    “Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya. Padahal mereka saat itu Ketua Panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12% ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka Ketua Panjanya?” sambung wanita yang akrab disapa Sara ini.

    Saling MenyalahkanPolitikus Partai Gerindra yang kini menjabat Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Wihadi Wiyanto menjelaskan kenaikan PPN 12% merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Payung hukum itu merupakan produk legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh partai penguasa PDIP.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit turut membalas sindiran yang dilakukan Fraksi Partai Gerindra soal kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Dia mengungkapkan, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi dasar kenaikan PPN 12% merupakan inisiatif pemerintah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).

  • PPN 12%: Saling ‘Lempar Batu Sembunyi Tangan’ di Senayan

    PPN 12%: Saling ‘Lempar Batu Sembunyi Tangan’ di Senayan

    Bisnis.com, JAKARTA — Fraksi-fraksi di Senayan, markas DPR, seakan tidak mau disalahkan atas penerapan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12% yang akan berlaku pada 1 Januari 2025. PDI Perjuangan menyalahkan pemerintahan sebelumnya, tetapi fraksi lain menuduh PDIP ‘lempar batu sembunyi tangan’.

    Belakangan, gelombang penolakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% memang terus berdatangan. Di platform change.org misalnya, per Senin (23/12/2024), sudah 171.000 lebih orang sudah menandatangani petisi penolakan tarif PPN 12% yang diinisiasi pengguna bernama Bareng Warga.

    Sejumlah pihak menilai kenaikan PPN pada saat kondisi perekonomian belum stabil akan semakin membebankan masyarakat—terutama kelas menengah ke bawah.

    Elite politik misalnya, yang ikut menyatakan penolakan terang-terangan atas penerapan PPN 12% pada tahun depan. Elite-elite politik yang dimaksud berasal dari PDI Perjuangan (PDIP).

    Ketua DPP PDI Perjuangan Ganjar Pranowo menilai PPN 12% akan memaksa masyarakat menengah-bawah mengurangi konsumsi, mengorbankan tabungan, atau bahkan meningkatkan utang.

    “Apakah ini sebuah keadilan? Saya menyampaikan ini karena khawatir bahwa kenaikan PPN 12% yang dimaksudkan sebagai obat justru menyebabkan sejumlah komplikasi,” ujarnya di YouTube Ganjar Pranowo, dikutip pada Senin (23/12/2024).

    Politisi PDIP lainnya seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Puan Maharani, hingga Dolfie OFP juga sempat memberikan komentar bernada kritis atas PPN 12%.

    Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI Bahtra Banong tidak habis pikir dengan berbagai pernyataan dari kubu PDIP tersebut. Padahal, menurutnya, PDIP merupakan inisiator Undang-undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengamanatkan kenaikan PPN menjadi 12%.

    “PDIP terus mencari simpati rakyat, tetapi mereka lupa bahwa merekalah yang mengusulkan soal kenaikan PPN 12% itu,” kata Bahtra, dilansir dari Antara, Minggu (22/12/2024). 

    Dia menjelaskan bahwa ketua panitia kerja (panja) RUU HPP waktu itu adalah anggota Fraksi PDIP sekaligus Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie OFP.

    Anggota Fraksi Partai Golkar DPR sekaligus Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun memberi pernyataan serupa. Dia merasa PDIP seakan cuci tangan padahal kadernya merupakan ketua panja RUU HPP.

    “Sikap politik mencla-mencle PDI Perjuangan seperti ini harus diketahui oleh semua rakyat Indonesia banyak. Ketika berkuasa berkata apa, ketika tidak menjadi bagian dari kekuasaan seakan-akan paling depan menyuarakan kepentingan rakyat. Berpolitik lah secara elegan,” kata Misbahkhun dalam keterangannya, Senin (23/12/2024).

    Dia bahkan mengaku Fraksi Partai Golkar sempat tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan lobi dalam pembahasan RUU HPP karena dianggap kritis terhadap beberapa isu penting dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) seperti tarif pajak UMKM yang semula 1% diminta menjadi 0,5%.

    PDIP tidak tinggal diam atas berbagai pernyataan fraksi lain. Dolfie tidak menampik bahwa dirinya merupakan ketua panja pembahasan RUU HPP beberapa tahun lalu.

    Hanya saja, dia mengingatkan bahwa RUU HPP merupakan usulan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Oleh sebab itu, Fraksi PDIP bukan inisiator RUU HPP.

    Lebih dari itu, sambung Dolfie, terdapat klausul yang memungkinkan pemerintah sekarang mengusulkan perubahan tarif PPN dalam rentang 5%—15%. Dia menegaskan sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) UU HPP, pemerintah dapat mengubah ketentuan kenaikan tarif PPN.

    “Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN [naik atau turun],” jelasnya, Minggu (22/12/2024).

    Alasan Pemerintah PPN 12% Tetap Jalan

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menekankan penerimaan perpajakan sangat diperlukan untuk biaya berbagai program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Akibatnya, PPN harus tetap naik.

    Hanya saja, sebagai mengkompensasi, pemerintah keluarkan kebijakan insentif fiskal agar kenaikan PPN tidak terlalu memberi dampak negatif ke masyarakat.

    “Paket ini dirancang untuk melindungi masyarakat, mendukung pelaku usaha—utamanya UMKM dan padat karya, menjaga stabilitas harga serta pasokan bahan pokok, dan ujungnya untuk kesejahteraan masyarakat,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).

    Berikut Daftar Skema Insentif Fiskal 2025:

    Beras, daging, telur, sayur, buah-buahan, garam, gula konsumsi, tetap bebas PPN
    Jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa transportasi publik tetap bebas PPN
    MinyakKita, tepung terigu, gula industri tetap 11% (1% ditanggung pemerintah)
    PPh Final 0,5% diperpanjang hingga 2025
    PPh Pasal 21 karyawan industri padat karya yang bergaji sampai dengan Rp10 juta, ditanggung pemerintah
    Diskon Listrik 50% untuk pelanggan dengan daya sampai 2.200 VA selama Januari—Februari 2025
    Bantuan pangan/beras tiap keluarga 10 kg untuk 16 juta kader pembangunan manusia (KPM) selama Januari—Februari 2025
    Diskon PPN 100% sampai dengan Rp2 miliar untuk pembelian rumah dengan harga maksimal Rp5 miliar
    Pekerja yang mengalami PHK akan diberikan kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan dan kartu prakerja
    Subsidi bunga 5% revitalisasi mesin untuk produktivitas di sektor padat karya
    Bantuan 50% untuk jaminan kecelakaan kerja sektor padat karya selama 6 bulan
    Kendaraan listrik berbasis baterai, PPnBM DTP 15% untuk KBLBB CKD dan CBU (kendaraan bermotor listrik berbasis baterai yang diimpor dalam keadaan utuh dan dalam keadaan terurai lengkap)
    PPN ditanggung pemerintah (DTP) 10% KBLBB CKD
    Bea masuk nol untuk KBLBB CBU
    PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah) DTP 3% kendaraan listrik hybrid.

  • PDIP Jelaskan Duduk Perkara Munculnya Usulan Kenaikan PPN 12 Persen yang Kini Ditolak Masyarakat – Halaman all

    PDIP Jelaskan Duduk Perkara Munculnya Usulan Kenaikan PPN 12 Persen yang Kini Ditolak Masyarakat – Halaman all

     

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus membantah, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, melalui pengesahan undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) berasal dari inisiatif fraksinya di DPR.

    Deddy menyebut, pembahasan UU tersebut merupakan usulan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

    PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) di DPR RI.

    “Jadi salah alamat kalau dibilang (usulan kenaikan PPN 12 persen) inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Jokowi) dan melalui kementerian keuangan,” kata Deddy di Jakarta, Minggu (22/12/2024).

    Anggota Komisi II DPR RI ini menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa perekonomian Indonesia dan perekonomian global dalam kondisi yang baik-baik saja.

    Tapi seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    Kondisi tersebut diantaranya, seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dollar yang saat ini terus naik.

    “Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” terangnya.

    Karena itu, sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen ini hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. 

    Permintaan itu, bukan berarti fraksi PDIP menolaknya.

    “Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” ujarnya.

    Deddy juga menerangkan, jika fraksi PDIP tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12 persen ini. 

    “Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru,” terangnya.

    “Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silahkan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” tandas Deddy.

  • Ekonomi Indonesia Tidak Sedang Baik-baik Saja, Kenaikan PPN 12 Harus Dikaji Ulang

    Ekonomi Indonesia Tidak Sedang Baik-baik Saja, Kenaikan PPN 12 Harus Dikaji Ulang

    GELORA.CO – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen.

    “Jadi, sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo (Subianto), bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujar Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (23/12/2024).

    Oleh karena itu, Deddy yang juga anggota Komisi II DPR RI itu menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12 persen itu hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti fraksi PDIP menolaknya.

    “Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.

    Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo Subianto imbas kenaikan PPN 12 persen tersebut.

    “Jadi, itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, tetapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silakan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” kata Deddy.

    Lebih lanjut, ia juga menyatakan kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 tersebut melalui pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP.

    Deddy menyebut pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode lalu. Sementara, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).

    “Jadi, salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan,” katanya.

    Ia menjelaskan pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi bangsa Indonesia dan kondisi global dalam kondisi yang baik-baik saja.

    Namun, kata Deddy, seiring berjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    Kondisi tersebut seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini terus naik.

  • Banjir Melanda PSN Underpass Joglo Solo, Inilah 17 Proyek Prioritas Gibran saat Jadi Wali Kota – Halaman all

    Banjir Melanda PSN Underpass Joglo Solo, Inilah 17 Proyek Prioritas Gibran saat Jadi Wali Kota – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Hujan lebat sejak siang sampai sore mengakibatkan daerah proyek pembangunan Elevated Rail Simpang Tujuh Joglo, Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah (Jateng), mengalami banjir, Minggu (22/12/2024).

    Banjir di wilayah tersebut menggenang hingga setinggi lutut orang dewasa.

    Warga menilai, banjir ini terjadi sejak adanya proyek underpass Joglo. 

    Mereka yang melakukan protes membentangkan spanduk bernada sindiran bertuliskan “Proyek Nasional Membanjiri Kampung”.

    Salah satu warga lantas meminta pemerintah atau kontraktor penggarap proyek untuk bisa memperhatikan kondisi warga sekitar.

    “Saya warga RT 1/RW 1 tolong perhatiannya untuk proyek elevated Joglo, ini dampaknya karena tidak memperhitungkan elevasi air dan selokan jadinya seperti ini.” 

    “Belum pernah terjadi di kampung kami, setinggi ini (lutut orang dewasa),” ujar salah satu warga Kampung Sambirejo tersebut.

    Sebagai informasi, proyek Elevated Rail Simpang Tujuh Joglo masuk 17 titik prioritas pembangunan Gibran Rakabuming Raka saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo (2021-2024).

    Lantas, apa saja 17 titik prioritas pembangunan saat Gibran menjadi Wali Kota Solo? Berikut informasinya.

    Proyek-proyek tersebut adalah:

    Pembangunan Masjid Raya Sheikh Zayed
    Pembangunan Islamic Center
    Revitalisasi Solo Technopark
    Elevated Rail Simpang Tujuh Joglo
    Revitalisasi Ngarsapura dan Koridor Gatot Subroto (Gatsu)
    Revitalisasi Solo Safari
    Pembangunan Selter Manahan
    Revitalisasi Lokananta
    Revitalisasi Taman Balekambang
    Revitalisasi Sri Kayu Gilingan
    Revitalisasi Pasar Jongke
    Revitalisasi Pura Mangkunegaran
    Pembangunan Museum Budaya, Sains, dan Teknologi
    Pembangunan PLTSa Putri Cempo
    Revitalisasi GOR Indoor Manahan
    Penataan kawasan Kumuh Semanggi-Mojo
    Revitalisasi kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo)

    Ketua Komisi III DPRD Solo dari Fraksi PDIP, YF Sukasno mengatakan, proyek tersebut berada di bawah kewenangan pemerintah pusat atau disebut dengan Proyek Strategis Nasional (PSN).

    “Jadi itu proyeknya pemerintah pusat,” ujar YF Sukasno, dilansir Tribun Solo, Jumat (22/12/2023).

    “Itu namanya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibiayai oleh APBN yang dilaksanakan oleh kementerian terkait,” imbuhnya.

    Komentar Camat

    Camat Kecamatan Banjarsari, Beni Supartono Putro, tak memungkiri terjadinya banjir di wilayahnya ada kaitannya dengan PSN.

    Genangan air masuk ke rumah warga tak lain karena kondisi pembangunan di Simpang Joglo yang kini memasuki fase pembangunan underpass.

    Hal itu membuat sejumlah titik tergenang air, bahkan sampai memasuki rumah warga.

    Ia menjelaskan, kondisi seperti itu terjadi sekitar 30 menit.

    “Jadi jalan itu kenapa tergenang seperti itu karena akses air menuju ke Selatan karena saat ini sedang ada pembangunan rel.” 

    “Dan memang dari dulu ini memang kurang ada saluran besar yang meneruskan air dari sisi utara menuju sungai besar. Kali anyar atau kali Pepe,” sambung Beny.

    Beny mengaku sudah mencari solusi atas kondisi ini sejak awal pengerjaan Simpang Palang Joglo dimulai pada tahun 2023 lalu.

    Namun, kondisi wilayah di sisi utara Simpang Joglo yang minim saluran air besar membuat akses air terhambat dan menimbulkan genangan.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul: Pembangunan Infrastruktur di Solo era Gibran : Ada yang Dibiayai APBN, Hibah UEA, & Investor.

    (Tribunnews.com/Deni)(TribunSolo.com/Andreas Chris)

  • Dituding Inisiator PPN 12%, PDIP: Salah Alamat

    Dituding Inisiator PPN 12%, PDIP: Salah Alamat

    loading…

    Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menjelaskan kenaikan PPN 12% diusulkan pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kementerian Keuangan. FOTO/DOK.SINDOnews

    JAKARTA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menilai tudingan PPN 12% diinisiasi oleh PDIP salah alamat. Sebab, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai itu diusulkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

    Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menjelaskan, sikap fraksinya meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan tarif PPN 12% karena melihat kondisi ekonomi nasional. Sikap tersebut, kata Deddy, bukan berarti Fraksi PDIP menyalahkan Pemerintahan Prabowo Subianto.

    Ia mengingatkan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%, melalui pengesahan undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP. Pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    “Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui Kementerian Keuangan,” kata Deddy dikutip, Senin (23/12/2024).

    Dia menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Bangsa Indonesia dan kondisi global dalam kondisi yang baik-baik saja. Namun, kata Deddy, seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12%.

    Kondisi tersebut di antaranya daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar yang saat ini terus naik. “Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujarnya.

    Deddy menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12% hanya meminta pemerintah mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.

    “Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.

    Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12%. “Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru,” ujar anggota Komisi II DPR itu.

    “Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat, silakan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” katanya.

    (abd)

  • PDIP: Kami Minta Kaji Ulang Penerapan PPN 12 Persen, Bukan Menyalahkan Prabowo

    PDIP: Kami Minta Kaji Ulang Penerapan PPN 12 Persen, Bukan Menyalahkan Prabowo

    PDIP: Kami Minta Kaji Ulang Penerapan PPN 12 Persen, Bukan Menyalahkan Prabowo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua DPP
    PDIP
    Deddy Sitorus menegaskan bahwa partainya tidak menolak penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang menjadi amanah Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
    Fraksi PDI-P, kata Deddy, hanya meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kebijakan itu dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
    “Kita minta mengkaji ulang, apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” ujar Deddy dalam keterangan tertulis yang diterima
    Kompas.com
    , dikutip Senin (23/12/2024).
    Deddy mengeklaim bahwa PDIP tidak bermaksud menyalahkan Presiden
    Prabowo
    Subianto soal rencana penerapan kebijakan tersebut mulai Januari 2025.
    Dia beralasan bahwa partainya justru tidak ingin ada persoalan baru yang muncul di awal pemerintahan Prabowo imbas kenaikan
    PPN 12 persen
    tersebut.
    “Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru,” kata Deddy.
    “Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat, silahkan terus. Kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengaku heran dengan respons kritis PDI-P terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen.
    Rahayu mengungkit bahwa ketika rancangan beleid itu dibahas di DPR, PDI-P adalah fraksi yang mendapatkan jatah kursi ketua panitia kerja (panja) melalui kadernya, Dolfie Othniel Frederic Palit.
    “Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDI-P berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12 persen,” kata Rahayu dalam pesan singkatnya kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (21/12/2024) malam.
    Ia juga menyampaikan, banyak dari anggota partainya yang saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng tertawa mendengar respons kritis PDIP itu.
    “Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya,” ucap perempuan yang akrab disapa Sara itu.
    “Padahal mereka saat itu Ketua Panja RUU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12 persen ini. Kalau menolak, ya kenapa tidak waktu mereka ketua panjanya?” sambungnya.
    Adapun sistematika UU HPP terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. UU ini telah mengubah beberapa ketentuan di UU lainnya, di antaranya UU KUP, UU Pajak Penghasilan, UU PPN, UU Cukai, dan UU Cipta Kerja.
    Dolfie berujar ketika itu, pembahasan RUU HPP didasarkan pada surat presiden serta surat keputusan pimpinan DPR RI tanggal 22 Juni 2021 yang memutuskan bahwa pembahasan RUU KUP dilakukan oleh Komisi XI bersama pemerintah.
    Fraksi yang menyetujui adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan PPP, sedangkan satu fraksi yang menolak adalah PKS. Dalam paparan Dolfie, PKS menolak RUU HPP karena tidak sepakat rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
    Menurutnya, kenaikan tarif akan kontra produktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional. PKS juga menolak pengungkapan sukarela harta wajib pajak (WP) alias tax amnesty. Pada pelaksanaan tax amnesty tahun 2016, PKS juga menolak program tersebut.
    “Sementara fraksi PDIP menyetujui karena RUU memperhatikan aspirasi pelaku UMKM dengan tetap berkomitmen bahwa bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat, jasa pendidikan, jasa kesehatan, transportasi darat, keuangan, dibebaskan dari pengenaan PPN,” ucap Dolfie.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Duduk Perkara Pembredelan Pameran Lukisan Yos Suprato

    Duduk Perkara Pembredelan Pameran Lukisan Yos Suprato

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pembatalan pameran lukisan tunggal karya Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta menuai kontroversi.

    Kisruh itu bermula kala Yos Suprapto mengatakan kurator yang ditunjuk Galeri Nasional, Suwarno Wisetrotomo meminta lima dari 30 lukisan yang ia siapkan diturunkan. Lima lukisan itu berkaitan dengan sosok yang pernah sangat populer di masyarakat Indonesia.

    Yos menyampaikan beberapa jam sebelum pameran dibuka, ia sudah rela menutup dua lukisan dengan kain hitam. Namun, ia juga diminta menurunkan tiga lukisan lagi yang pada akhirnya membuat Yos bulat menolak semua permintaan itu.

    Ia menyatakan jika kelima lukisan tersebut diturunkan, maka ia akan membatalkan pameran secara keseluruhan. Situasi itu pun berujung pada batal digelarnya pameran. Pihak Galeri Nasional mematikan lampu ruang pameran dan mengunci ruangan.

    Galeri Nasional pun buka suara. Mereka berkilah pameran harus ditunda karena kendala teknis yang tidak bisa dihindari.

    “Galeri Nasional Indonesia dengan berat hati mengumumkan Pameran Tunggal Yos Suprapto yang bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan, yang dijadwalkan berlangsung pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025, terpaksa ditunda karena adanya kendala teknis yang tidak dapat dihindari,” tulis @galerinasional, Kamis (19/12).

    Sementara itu, Suwarno Wisetrotomo selaku kurator pameran menyatakan ada dua karya yang dianggap menggambarkan opini pribadi sang seniman atas praktik kekuasaan yang dinilai tak sesuai dengan tema pameran, ‘Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan’.

    “Menurut pendapat saya, dua karya tersebut ‘terdengar’ seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya,” kata Suwarno.

    Hujan kritik ‘Pembredelan’

    Kritik atas batalnya pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional ini pun terus berdatangan dari berbagai pihak.

    Salah satunya datang dari anggota Komisi X Fraksi PDIP Bonnie Triyana. Ia meminta Galeri Nasional Indonesia kembali membuka pameran lukisan Yos Suprapto yang ditutup.

    Bonnie berpendapat dengan begitu seni akan kembali menjadi milik publik, sehingga mereka bisa mendiskusikan itu secara leluasa. Ia pun yakin jika pameran itu kembali dibuka, maka Galeri Nasional akan ramai didatangi pengunjung.

    Bonnie juga menyatakan hal itu akan membuat Indonesia menjadi negara dengan iklim demokrasi yang lebih sehat dan berkelas.

    “Saya dalam kapasitas saya sebagai anggota DPR Komisi X yang memang membidangi kebudayaan. Saya minta buka, buka saja,” kata Bonnie di Cikini, Jakarta, Minggu (22/12).

    Lalu, kritik juga datang dari Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang menyatakan pembatalan pameran lukisan Yos Suprapto ini merupakan alarm berbahaya bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.

    Usman menjelaskan dalam konsep HAM, karya seni disebut sebagai kebebasan berkesenian.

    Oleh karenanya, ia menyebut setiap orang memiliki hak untuk mencari informasi dan menyampaikan gagasannya lewat berbagai medium, tak terkecuali karya seni.

    “Saya kira ini peringatan buat masyarakat kita, bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini memang sedang dalam keadaan bahaya,” kata Usman dalam diskusi ‘Seni Sebagai Medium Kritik Kekuasaan’ di Cikini, Jakarta, Minggu (22/12).

    Lalu advokat senior, Todung Mulya Lubis juga mengkritik pembatalan pameran lukisan Yos yang dilakukan Galeri Nasional.

    Todung yang pernah menjadi tim hukum PDIP itu mengaku sempat hadir di Galeri Nasional untuk menyaksikan pameran itu secara langsung.

    “Tetapi, dari informasi salah seorang pengunjung yang kenal, Heru Hendramoko (wartawan yang pernah memimpin AJI) dengan pelukisnya pameran ini tidak jadi diadakan karena pihak Galeri Nasional meminta lima lukisan diturunkan,” kata Todung dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com.

    Todung mengatakan Galeri Nasional meminta kelima lukisan itu tidak ditampilkan karena menggambarkan kritik terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Ia menilai tindakan yang dilakukan Galeri Nasional itu merupakan bentuk pembungkaman melalui karya seni.

    Eks Menko Polhukam Mahfud MD juga ikut buka suara dengan mengatakan Yos dibatalkan memamerkan lukisannya karena tidak berkenan salah 5 dari 30 lukisan untuk tidak ditampilkan.

    “Alasannya karena YS menolak permintaan kurator Galeri Nasional (GN) untuk mencopot 5 dari 30 lukisan karyanya yang sudah disiapkan sejak setahun,” kata Mahfud melalui akun X @mohmahfudmd, Jumat (20/12).

    “GN bilang menunda karena alasan teknis tapi praktisnya membatalkan. Lukisan adalah ekspresi,” sambungnya.

    (mnf/DAL)

    [Gambas:Video CNN]