Kementrian Lembaga: Fraksi PAN

  • 6
                    
                        Akhir Masalah Etik Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach: Diberhentikan Sementara Tanpa Gaji
                        Nasional

    6 Akhir Masalah Etik Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach: Diberhentikan Sementara Tanpa Gaji Nasional

    Akhir Masalah Etik Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach: Diberhentikan Sementara Tanpa Gaji
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI akhirnya menjatuhkan sanksi kepada tiga anggota dewan nonaktif, yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Partai Nasdem, serta Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dari Fraksi PAN.
    Ketiganya dinyatakan melanggar kode etik dan dijatuhi hukuman pemberhentian atau penonaktifan sementara tanpa menerima hak keuangan, baik gaji maupun tunjangan anggota dewan.
    Dua nama lain yang turut diperiksa dalam rangkaian sidang etik, yaitu Adies Kadir dari Fraksi Golkar dan Surya Utama atau Uya Kuya dari Fraksi PAN, tidak dinyatakan melanggar kode etik.
    Putusan itu dibacakan dalam sidang MKD DPR pada Rabu (5/11/2025), setelah sebelumnya alat kelengkapan dewan (AKD) ini memeriksa berbagai saksi dan ahli dalam sidang yang digelar, Senin (3/11/2025).
    Berdasarkan pantauan Kompas.com, proses persidangan pada Senin lalu berlangsung selama kurang lebih empat jam.
    MKD memanggil dan meminta keterangan para saksi serta ahli secara maraton dalam satu hari pemeriksaan.
    Para pihak yang dimintai keterangan adalah pejabat internal DPR, ahli media sosial, ahli hukum, ahli sosiologi, ahli kriminologi, analis perilaku, hingga wakil koordinator wartawan parlemen.
    Kesaksian dan pandangan para ahli tersebut menjadi dasar pertimbangan MKD dalam melihat konteks dan dampak sosial atas tindakan para teradu.
    Wakil Ketua MKD Adang Daradjatun menyampaikan bahwa masing-masing teradu menerima sanksi dengan tingkat berbeda.
    “Teradu dua, Nafa Indria Urbach, terbukti melanggar kode etik. Menyatakan teradu dua nonaktif selama 3 bulan,” kata Adang, dalam sidang putusan.
    Untuk
    Eko Patrio
    , yang berstatus teradu empat, MKD menjatuhkan
    sanksi nonaktif
    selama 4 bulan.
    Sedangkan Sahroni, sebagai teradu lima, menerima sanksi paling berat dengan masa nonaktif 6 bulan.
    “Menghukum teradu empat, Eko Hendro Purnomo, nonaktif selama 4 bulan berlaku sejak tanggal putusan ini dibacakan, yang dihitung sejak penonaktifan yang bersangkutan sebagaimana keputusan DPP PAN,” kata Adang.
    “Menghukum teradu lima,
    Ahmad Sahroni
    , nonaktif selama 6 bulan berlaku sejak putusan ini dibacakan yang dihitung sejak penonaktifan yang bersangkutan sebagaimana keputusan DPP Nasdem,” sambung dia.
    Selain itu, MKD menegaskan bahwa ketiganya diberhentikan sementara tanpa mendapatkan hak keuangan.
    “Menyatakan teradu selama masa penonaktifan tidak mendapatkan hak keuangan,” ujar Adang.
    Putusan berlaku sejak tanggal dibacakan dan dihitung sejak penonaktifan yang sebelumnya telah ditetapkan oleh masing-masing partai.
    Adapun putusan-putusan tersebut dijatuhkan MKD juga berdasarkan kepada sejumlah pertimbangan yang memberatkan dan juga meringankan bagi para teradu.
    Wakil Ketua MKD Imran Amin mengatakan, kontroversi yang menimpa para anggota DPR tersebut berawal dari beredarnya informasi yang salah mengenai aksi berjoget anggota DPR sebagai bentuk selebrasi atas kenaikan gaji.
    Isu tersebut memicu kemarahan publik yang meluas dan berujung pada gelombang kritik tajam di media sosial.
    Menurut MKD, baik Nafa maupun Eko tidak memiliki niat untuk melecehkan publik.
    Namun, keduanya dinilai kurang mempertimbangkan sensitivitas situasi.
    “Mahkamah berpendapat bahwa tidak terlihat niat teradu dua,
    Nafa Urbach
    , untuk menghina atau melecehkan siapapun,” kata Imran.
    “Namun demikian, Nafa Urbach harus berhati-hati dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Harus lebih peka dalam melihat situasi dan konteks kondisi sosial,” sambung dia.
    Terkait Eko Patrio, MKD menyoroti unggahan video parodi suara “horeg” yang muncul beberapa hari setelah kontroversi bergulir.
    Langkah itu dinilai sebagai respons yang kurang tepat.
    “Seharusnya teradu IV Eko Hendro Purnomo cukup mengklarifikasi kepada publik bahwa berjoget bukan karena merayakan kenaikan gaji,” ujar Imran.
    Sementara itu, Sahroni dinilai menggunakan pilihan kata yang tidak bijak saat merespons polemik yang berkembang, sehingga memicu kesan arogan di mata publik.
    “Seharusnya teradu lima Ahmad Sahroni, menanggapi dengan pemilihan kalimat yang pantas dan bijaksana, tidak menggunakan kata-kata yang tidak pas,” ucap Imran.
    Namun, MKD juga mempertimbangkan bahwa ketiganya turut menjadi korban penyebaran berita bohong.
    Dalam kasus Sahroni dan Eko Patrio, bahkan rumah keduanya sempat dijarah oleh sekelompok massa.
    “Hal ini harus dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan,” pungkas Imran.
    Menanggapi keputusan MKD, Sahroni menyatakan menerima putusan tersebut.
    Ia menegaskan akan menjadikannya sebagai bahan introspeksi.
    “Keputusan sudah diputus oleh MKD, dan saya terima secara lapang dada,” kata Sahroni, kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    “Saya ambil hikmahnya dari apa yang sudah terjadi. Dan ke depan, saya akan belajar untuk lebih baik lagi,” ujar dia.
    Politikus Partai Nasdem itu menekankan bahwa dirinya berkomitmen memperkuat integritas sebagai wakil rakyat, terutama dalam hal komunikasi publik.
    Sementara Eko Patrio maupun Nafa Urbach belum memberikan tanggapan terkait putusan sanksi etik yang dijatuhkan MKD.
    Keduanya langsung bergegas meninggalkan lokasi usai persidangan selesai digelar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Apresiasi Kemensos di Bawah Gus Ipul: Cepat Tanggap Tangani Ribuan Bencana

    DPR Apresiasi Kemensos di Bawah Gus Ipul: Cepat Tanggap Tangani Ribuan Bencana

    Jakarta (beritajatim.com) – Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengapresiasi langkah cepat dan tanggap Kementerian Sosial (Kemensos) dalam menangani berbagai bencana yang terjadi di Indonesia.

    Apresiasi itu disampaikan Cucun saat Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran Tahun 2025 serta Rencana Kerja Tahun 2026 Bidang Kebencanaan.

    Rapat digelar Tim Pengawas DPR RI terhadap Pelaksanaan Penanganan Bencana di Ruang Rapat Badan Anggaran DPR RI, Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

    “Terima kasih Pak Mensos. Selama ini kita mengapresiasi tanggap dan aksi cepat dari Kemensos setiap ada accident, setiap ada bencana. Kita memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya,” kata Cucun.

    Dalam rapat tersebut, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) memaparkan capaian dan kinerja Kemensos dalam penanganan bencana. Ia menyebutkan, sepanjang satu dekade terakhir (2014–2024) terjadi 38.506 kejadian bencana di Indonesia. Rata-rata alokasi anggaran bencana melalui Kemensos mencapai Rp442,25 miliar per tahun.

    “Kita sudah memberikan bantuan kepada korban bencana dalam bentuk logistik kedaruratan, sebanyak 478.225 jiwa. Kami juga memberikan santunan korban yang meninggal sebanyak 425 jiwa untuk bencana alam maupun bencana non malam. Kemudian santunan lain yang menyasar 9.447 jiwa. Kami juga memberikan bantuan kepada korban bencana non-alam ada 1.078 jiwa,” jelas Gus Ipul.

    Untuk kesiapsiagaan pra-bencana, Kemensos memiliki 1.254 Kampung Siaga Bencana dan 783 Lumbung Sosial yang tersebar di 35 provinsi, 826 kecamatan, dan 211 kabupaten/kota. Lumbung sosial tersebut berisi logistik yang dibutuhkan saat bencana terjadi.

    Selain kesiapan logistik, Kemensos juga memperkuat sumber daya kebencanaan meliputi mitra kerja, alat evakuasi, logistik dan gudang logistik, sistem komunikasi, kendaraan siaga bencana, dan sumber daya manusia kebencanaan. Saat ini, Kemensos memiliki 38.400 personel Taruna Siaga Bencana (Tagana), 951 Pelopor Perdamaian, dan para Pendamping Sosial.

    “Dalam tahun 2025 ini kita melibatkan 11.216 orang Tagana yang turun dan dikerahkan pada saat masa kedaruratan atau bencana,” kata Gus Ipul.

    Menanggapi pemaparan itu, Cucun menegaskan DPR memberikan apresiasi atas langkah Kemensos dalam memperkuat penanggulangan bencana. Ia juga membuka ruang bagi Kemensos untuk mengajukan penyesuaian anggaran apabila dibutuhkan demi kepentingan rakyat.

    “Kalau misalkan nanti anggaran penyesuaian-penyesuaian diperlukan untuk rakyat, silakan tinggal datang ke DPR dan di rapat-rapat kabinet. Yang penting kalau anggaran dibutuhkan rakyat, Pak Mensos harus sudah siap hadir di tengah-tengah rakyat,” tegasnya.

    Rapat tersebut juga dihadiri sejumlah anggota DPR RI di antaranya Maman Imanul Haq (Fraksi PKB), Sigit Purnomo (Fraksi PAN), Obon Tabroni (Fraksi Gerindra), M. Husni (Fraksi Gerindra), dan Sri Wulan (Fraksi NasDem).

    Selain itu hadir Menteri Agama Nasaruddin Umar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi, Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani, dan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Noor Achmad.

    Turut hadir pula Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan, Wakil Menteri ATR/BPN Ossy Dermawan, Sekretaris Utama BNPB Rustian, serta Sekretaris Utama Basarnas Abdul Haris Achadi.

    Pejabat dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/Bappenas, dan Markas Besar TNI-Polri juga hadir dalam rapat tersebut. [tok/ian]

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD), mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), masih menghadapi berbagai tantangan.
    Isu kesetaraan gender dan minimnya kaderisasi partai terhadap politisi perempuan menjadi dua faktor utama yang menghambat peningkatan representasi perempuan di tubuh AKD.
    Situasi ini kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan itu, MK menyoroti perlunya perbaikan dalam posita dan petitum uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) serta perubahan pada UU MD3 Tahun 2018 yang berkaitan dengan UUD 1945.
    Melalui perbaikan petitum, para pemohon meminta agar ditetapkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD.
    Sementara dalam posita, mereka menekankan pentingnya pengarusutamaan gender, pencegahan pembangkangan konstitusi dalam pengaturan representasi perempuan, serta jaminan konstitusional atas keterwakilan tersebut.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengimbau agar DPR dan partai politik mencari formula yang tepat agar keputusan MK bisa dijalankan tanpa mengorbankan efektivitas kerja parlemen.
    “DPR harus mampu mensiasati keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya,” ujar dia ketika dihubungi, Senin (3/11/2025).
    Jamiluddin menilai, kunci utama keberhasilan implementasi keputusan MK ada di tangan partai politik.
    “Ke depan setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi calon legislatif. Caleg yang disiapkan juga harus dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan di setiap AKD,” ujarnya.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas menjadi hal penting. Tantangan ini menjadi PR bagi semua partai menjelang Pileg 2029,” pungkasnya.
    Sementara itu, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambah Titi.
    Titi mengatakan ada bias gender yang memandang bahwa isu perempuan bukanlah prioritas utama. Di sisi lain, keterwakilan perempuan cenderung tak mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” ungkap dia.
    Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik di lingkungan parlemen. 
    Jamiluddin juga menilai implementasi keputusan MK tersebut tidak akan mudah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas legislator perempuan.
    “Bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka keputusan MK dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan. Sebab, jumlahnya tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” jelasnya.
    Hal serupa, lanjutnya, juga berlaku dari sisi kompetensi. Jika kemampuan para legislator perempuan hanya terkonsentrasi di bidang tertentu, distribusi merata di seluruh AKD justru berpotensi kontraproduktif.
    “Kalau kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen itu hanya akan menjadi pemaksaan. Akibatnya, mereka bisa ditempatkan di komisi yang tak sesuai dengan keahliannya,” ucap Jamiluddin.
    Ia menilai hal tersebut bisa berdampak pada menurunnya produktivitas kinerja legislator perempuan dalam menjalankan tiga fungsi utama DPR pengawasan, anggaran, dan legislasi.
    “Kalau hal itu terjadi, legislator perempuan akan sulit melaksanakan fungsinya secara maksimal,” katanya.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.

    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan, hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.
    Terpisah Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri.
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen. Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    Sementara itu, saat ini jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, dan keterwakilan perempuan hanya 127 orang. Sehingga secara persentase masih 21,9 persen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI masih belum ideal.
    Dari total 580 anggota parlemen, hanya 127 di antaranya perempuan, tepatnya setara 21,9 persen.
    Angka itu masih terpaut cukup lebar dari ketentuan baru yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi Nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa minimal keterwakilan perempuan dalam seluruh AKD harus mencapai 30 persen.
    Mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), hingga Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), BKSAP, MKD, dan BURT.
    Pada akhirnya, putusan ini menjadi penegasan kembali komitmen terhadap politik hukum kesetaraan gender di parlemen.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Terpisah, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa putusan sudah sesuai dengan jumlah yang ada saat ini.
    “Jadi total sekarang kan 127 anggota perempuan dari total 580 anggota. Menurut saya ini menjadi penting, tidak dimaknai untuk bagaimana ini sekadar jumlah. Tapi, bagaimana partai itu betul-betul memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya,”
    “Pendidikan politik yang komprehensif dan mempersiapkan dari mulai sekolah partainya untuk merencanakan perwakilan perempuan itu memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya di bidang itu,” tambah dia.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.
    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Adapun dalam perbaikan bagian posita dan petitum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Diantaranya, perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    “Oleh karena itu menurut saya bahwa penting kiranya kerja politik, karena yang di parlemen itu kan perpanjangan partai sebetulnya, bukan person. Tapi dia institusi kepartaian sehingga itu saja ini harapan saya bisa memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” lanjut Rieke.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen.
    Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    “Kemajuan yang patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” lanjut Puan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ada hambatan utama yang menyebabkan keterwakilan perempuan dalam AKD tak sampai 30 persen.
    “Hambatan utama keterwakilan perempuan di AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin,” kata Titi.
    Dia bilang, hal ini diperparah dengan aturan dalam perekrutan partai dan negosiasi politik di parlemen.
    Ditambah lagi, posisi strategis sering didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, dan bukan prinsip kesetaraan gender.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Di sisi lain, Titi melihat adanya pandangan bias gender dalam partai, yang menilai bahwa isu perempuan bukan prioritas utama. Ditambah lagi, anggota legislatif perempuan yang kebanyakan tidak mendapatkan dukungan dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    Titi menilai dalam upaya mendorong jumlah perempuan dalam AKD, pendidikan politik dalam kaderisasi partai dinilai penting. Pelatihan kepemimpinan dinilai mampu meningkatkan kapasitas dan jaringan politik perempuan dalam partai.

    “Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” lanjut Titi.
    Rieke menambahkan, pada dasarnya mempersiapkan kader-kader perempuan yang siap untuk menjadi calon legislatif bukanlah perkara yang mudah. Dia bilang, kaderisasi parpol terhadap anggota perempuan perlu dilakukan.
    “Memang tidak mudah untuk dari mulai keterpilihan proses dari pencalonan, penjaringan, penyaringan, kemudian penetapan sebagai calon di elektoral. Oleh karena itu menurut saya bahwa penting memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” kata Rieke.
    Rieke juga menilai, pendidikan politik yang komprehensif dapat mempersiapkan kader politik yang tidak hanya mampu bertugas di DPR, dan memiliki kemampuan pilitik yang memumpuni.
    “Partai (perlu) merencanakan perwakilan perempuan itu yang memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan, dipersiapkan untuk menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya,” lanjut dia.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul sekaligus mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M. Jamiluddin Ritonga menegaskan bahwa ke depannya setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg.
    “Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD. Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan,” kata Jamiluddin.
    “Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” lanjut Jamiluddin.
    Dia menegaskan bahwa partai adalah merupakan awal atau cikal – bakal kader politik perempuan tumbuh, memiliku kualitas untuk ditempatkan sebagai wakil rakyat di parlemen.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar agar setiap pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) memuat keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Pemenuhan angka atau memang mampu menghadirkan anggota DPR berkualitas?
    Alat Kelengkapan Dewan atau AKD terdiri dari komisi-komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
    Putusan MK itu diketok di sidang akhir uji materi untuk perkara nomor 169/PUU-XXII/2024, pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, terdapat perbaikan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Pada perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada
    Kompas.com
    , Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Senada, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka juga menyambut baik putusan MK terkait keterwakilan perempuan dalam AKD.
    “Saya mengapresiasi dan menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi terkait keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD),” ujar Rieke.
    Menurutnya, keputusan MK ini akan berdampak langsung pada penguatan partai politik dalam menyiapkan kader perempuan yang lebih siap dan berdaya saing.
    “Dan tentu saja ini berimplikasi pada bagaimana partai politik menyiapkan kader-kader perempuannya, semakin diperkuat begitu,” ujar dia.
    “Bukan hanya keterwakilan secara kuantitatif, tapi putusan MK ini juga penting dimaknai harus berimbas pada keterwakilan perempuan secara kualitatif,” tambah dia.
    Namun demikian, pemenuhan perempuan dalam AKD masih mengalami tantangan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Menurut Rieke hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Titi menambahkan, ada pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama.
    Sehingga anggota legislatif perempuan minim dukugan struktural dan politik dari partainya.
    “Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    “Minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” tegas Titi.
    Sebagai anggota DPR dari kaum perempuan, Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.

    Sementara itu, Titi Anggraini menilai putusan MK yang mewajibkan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD minimal 30 persen dan persebaran anggota legislatif perempuan di keanggotaan AKD secara proporsional adalah langkah konstitusional yang sangat progresif untuk memperbaiki ketimpangan tersebut.
    “Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal transformasi budaya politik agar parlemen menjadi ruang yang lebih inklusif dan representatif,” jelas Titi.
    “Tantangannya ke depan adalah memastikan implementasinya berjalan konsisten di semua lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Baik untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun MPR,” tegasnya.
    Berbicara soal kuantitas, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M Jamiluddin Ritonga mengatakan pembagian porsi anggota legislatif bisa sesuai dengan amanat MK. Namun tentu hal itu harus merujuk pada jumlah legislator perempuan.
    “Secara kuantitas bila jumlah legislator perempuan dapat dibagi habis minimal 30 persen untuk setiap AKD DPR RI. Namun bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka Keputusan MK tersebut dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan,” ungkapnya.
    “Sebab, jumlah legislator perempuan tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” ungkap dia.
    Hal yang sama juga berlaku dari sisi kualitas. Jamiluddin menegaskan, bila kualitas (kompetensi) legislator perempuan mencerminkan semua AKD DPR RI, maka akan mudah mendistribusikan minimal 30 persen legislator perempuan ke setiap AKD.
    “Sebaliknya, bila kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen kiranya hanya pemaksaan. Sebab, akan banyak legislator perempuan ditempatkan di AKD yang tak sesuai kompetensinya,” kata dia.
    “Kalau hal itu terjadi, akan membuat legislatir perempuan tidak produktif. Setidaknya akan sulit bagi legislator perempuan untuk melaksanakan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi secara maksimal,” tambahnya.
    Dia menegaskan bahwa Keputusan MK sangat baik untuk kesetaraan gender, namun tidak mudah untuk diimplementasikan.
    Karena itu, DPR harus mampu mensiasati Keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya.
    “Legislatif perempuan juga nyaman ditempatkan di AKD tertentu karena sesuai dengan kompetensinya,” ujar dia.
    Saat ini, tercatat ada 127 anggota perempuan dari total 580 anggota DPR RI, atau sekitar 21,97 persen. Rieke berharap, keberadaan perempuan tidak hanya sebatas angka, tetapi juga diikuti peningkatan kapasitas dan peran substantif di berbagai komisi.
    “Menurut saya ini penting tidak dimaknai sekadar jumlah. Partai harus memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya melalui pendidikan politik yang komprehensif,” tegas Rieke.
    Untuk memastikan keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif, Jamiluddin mengimbau agar partai mampu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg. Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD.
    “Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan. Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” ungkap Jamiluddin.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegasnya.
    Senada, Rieke juga menilai bahwa perempuan yang duduk di parlemen, baik di komisi ekonomi, sosial, maupun hukum, harus memahami konteks peran legislatif dalam sistem presidensial Indonesia.
    “Sehingga ketika seseorang ditempatkan, baik laki-laki maupun perempuan, dia sudah mengerti apa tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat. Tidak bisa ini hanya dimaknai persoalan jenis kelamin perempuan harus ada di setiap komisi,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Setjen DPR Sebut Aksi Joget Uya Kuya Cs di Sidang Tahunan Bukan Soal Kenaikan Gaji

    Setjen DPR Sebut Aksi Joget Uya Kuya Cs di Sidang Tahunan Bukan Soal Kenaikan Gaji

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR menegaskan aksi joget anggota parlemen saat rangkaian acara sidang tahunan MPR pada Agustus lalu merupakan spontanitas.

    Pernyataan itu diungkap Suprihatini selaku Deputi Bidang Persidangan Sekretariat Jenderal DPR saat sidang terkait lima anggota DPR yang dinonaktifkan pada Senin (3/11/2025).

    Kelima anggota DPR itu yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Nasdem, Adies Kadir dari Fraksi Golkar, serta Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari Fraksi PAN.

    Mulanya, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MHK) Habiburokhman menanyakan kepada saksi Suprihartini soal pemutaran musik dalam sidang tahunan itu.

    “Lagu yang dipilih itu lagu daerah ya? Bukan Pop, bukan ya? Pertimbangannya apa?” ujar Habiburokhman dalam sidang MKD.

    Suprihartini menjelaskan bahwa pemilihan lagu ini merupakan bentuk apresiasi kepada budaya daerah untuk acara kenegaraan. Setelahnya, Habiburokhman kembali bertanya soal kaitan anggota parlemen yang berjoget dengan pemutaran lagu daerah itu.

    “Jadi ada anggota DPR menikmati lagu tersebut ikut berjoget itupun apresiasi terhadap budaya daerah?” tanya Habiburokhman.

    “Memberikan apresiasi Betul, terhadap budaya daerah,” jawab Suprihatini.

    Selanjutnya, anggota MKD lainnya yakni TB Hasanuddin ikut bertanya kepada Suprihartini. Pertanyaannya masih seputar pemutaran lagu daerah dan diiringi aksi joget anggota parlemen.

    Hasanuddin pun bertanya bagaimana tanggapan Suprihatini terkait kondisi kebatinan anggota parlemen yang berjoget dalam sidang tahunan itu.

    “Ketika ada orang merespons dengan baik dalam suasana yang tadi disampaikan kebatinan gembira kemudian selesai bekerja keras, menurut saksi kira kira bagaimana kondisi situasi saat itu?” tanya TB Hasanuddin.

    “Baik yang mulia, menurut pandangan kami itu bentuk apresiasi peserta sidang terhadap persembahan lagu daerah dan dilakukan spontanitas tanpa kami ada arahan dan sebagainya,” jawab Suprihatini.

    Lebih lanjut, Suprihatini menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah membahas soal kenaikan gaji atau tunjangan lainnya sebelum para anggota Parlemen berjoget di ruang sidang.

    “Tidak ada pembahasan kenaikan gaji atau tunjangan lainnya,” pungkasnya.

  • Respons putusan MK, Saleh Daulay: PAN beri ruang perempuan di AKD DPR

    Respons putusan MK, Saleh Daulay: PAN beri ruang perempuan di AKD DPR

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mengatakan partainya selalu memberikan ruang bagi perempuan untuk menempati posisi strategis di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI.

    Saleh menyampaikan hal itu merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 169/PUU-XXII/2024 yang mengharuskan komposisi anggota maupun pimpinan AKD mengakomodasi keterwakilan perempuan.

    “Di pimpinan fraksi PAN, ketua dan bendahara kami adalah perempuan, [yakni] Putri Zulkifli Hasan dan Widya Pratiwi. Keduanya sangat kompeten. Sejauh ini, seluruh urusan fraksi dikerjakan dengan baik,” kata dia dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin.

    Putri Zulkifli Hasan juga duduk sebagai Wakil Ketua Komisi XII yang mengurusi bidang energi dan sumber daya mineral. Selain itu, imbuh dia, kader PAN lainnya, Desy Ratnasari, dipercaya sebagai Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

    “Dan banyak anggota perempuan fraksi PAN yang dipercaya menjadi kapoksi (ketua kelompok fraksi) di berbagai komisi,” ujar Saleh Daulay.

    “Sejauh ini, para srikandi PAN tersebut bekerja dengan baik. Mereka selalu memberikan laporan yang sangat baik kepada fraksi secara reguler. Bahkan, dalam beberapa isu tertentu, mereka justru menginisiasi program khusus dalam menunjang komisi dan kerja-kerja pemerintah,” sambung dia.

    Dia mengatakan fraksi PAN setuju dengan putusan MK tersebut. Ia berharap seluruh fraksi di DPR akan melaksanakan putusan yang bersifat final dan mengikat itu, sekaligus berlomba menjaring calon anggota legislatif (aleg) perempuan yang berkualitas.

    “Selain jumlahnya, partai-partai juga harus memikirkan agar para aleg perempuannya bisa menjadi pimpinan di AKD dimulai dari rekrutmen, pelatihan, pembinaan, dan penempatan. Semua proses itu harus benar-benar dilaksanakan secara baik agar kualitas dan hasil kerja DPR semakin bagus dan berorientasi bagi kesejahteraan rakyat,” katanya.

    Sejalan dengan pertimbangan hukum MK, Saleh mengatakan partai harus memikirkan agar perempuan diberi kesempatan untuk menjadi pimpinan di fraksi masing-masing. Hal ini mengingat keputusan penting dan strategis dibicarakan lintas pimpinan fraksi.

    “Kalau perempuan yang memimpin, otomatis seluruh kepentingan dan kebijakan yang diambil akan berorientasi pada gender dan pemberdayaan perempuan. Ini tidak mudah, tetapi harus dilaksanakan. Fraksi PAN dengan senang hati telah memulainya,” ujar dia.

    Di samping itu, dia mengatakan perempuan turut memiliki kepentingan di berbagai komisi. Oleh sebab itu, ia mendorong semua fraksi memperhatikan keterwakilan perempuan di semua komisi, sebagaimana yang diamanatkan MK.

    “Perlu dipertegas bahwa dimana pun dan kapan pun, perempuan harus mendapat tempat yang baik dan terhormat. Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Bahkan, sangat banyak perempuan yang secara kualitas di atas laki-laki,” kata Saleh yang juga Ketua Komisi VII DPR RI.

    Sebelumnya, Kamis (30/10), MK mengabulkan pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh Perkumpulan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan pakar kepemiluan Titi Anggraini.

    MK memutuskan komposisi anggota maupun pimpinan alat kelengkapan dewan atau AKD di DPR RI harus mengakomodasi keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap-tiap fraksi.

    AKD itu meliputi Badan Musyawarah (Bamus), komisi, Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan panitia khusus (pansus).

    Dalam hal ini, MK memberi pemaknaan baru terhadap Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 114 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2), dan Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta Pasal 427E ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MKD Siapkan Jadwal Sidang Etik Terpisah untuk Sahroni hingga Uya Kuya

    MKD Siapkan Jadwal Sidang Etik Terpisah untuk Sahroni hingga Uya Kuya

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan, sidang etik terhadap Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya, dan Adies Kadir akan digelar secara terpisah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

    Menurut Dasco, setiap anggota dewan yang dinonaktifkan buntut dari aksi unjuk rasa pada Agustus lalu akan menjalani sidang etik masing-masing sesuai perkara. “Memang tidak langsung digabung karena perkaranya masing-masing,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (29/10/2025).

    Dasco menjelaskan, pihaknya telah mendaftarkan perkara para anggota dewan tersebut ke MKD. Saat ini tengah masuk tahap registrasi. MKD akan mengumumkan jadwal sidang masing-masing anggota setelah masa reses berakhir.

    “Menurut ketentuan, jarak antara registrasi dan pemanggilan untuk sidang itu ada jangka waktu. Makanya saya bikin pada masa reses supaya bisa ngejar waktu sidang,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Dasco menambahkan, para teradu belum diminta hadir dalam tahap awal registrasi ini. “Nanti ada jadwalnya, yang diputus hari ini siapa tanggal berapa,” sambungnya.

    Diketahui, sejumlah anggota DPR periode 2024-2029 dinonaktifkan partai politik mereka setelah menyampaikan pernyataan kontroversial yang memicu kemarahan publik dan berujung aksi massa.

    Lima anggota DPR yang dimaksud, antara lain Ahmad Sahroni (Fraksi Nasdem), Nafa Urbach (Fraksi Nasdem), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio (Fraksi PAN), Surya Utama alias Uya Kuya (Fraksi PAN), dan Adies Kadir (Fraksi Golkar).

  • Legislator PAN Hormati Putusan MA soal Eks TNI terkait Penembakan Bos Rental
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Oktober 2025

    Legislator PAN Hormati Putusan MA soal Eks TNI terkait Penembakan Bos Rental Nasional 23 Oktober 2025

    Legislator PAN Hormati Putusan MA soal Eks TNI terkait Penembakan Bos Rental
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota komisi bidang hukum DPR dari Fraksi PAN menghormati putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan hukuman seumur hidup menjadi 15 tahun penjara untuk dua mantan anggota TNI di kasus penembakan bos rental.
    “Kita menghormati putusan MA sebagai lembaga yang diberi kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara,” kata anggota Komisi III DPR dari PAN, Sarifudin Sudding, kepada
    Kompas.com
    , Kamis (23/10/2025).
    Dia percaya majelis hakim yang membuat putusan kasasi tersebut sudah mempertimbangkan dengan bijaksana.
    “Tentunya majelis hakim punya pertimbangan hukum tidak hanya dari aspek yuridis formal, tapi juga dari berbagai aspek lainnya,” ujar Sudding.
    Dua anggota TNI AL di kasus penembakan bos rental mobil di Rest Area KM 45 Tol Tangerang-Merak semula dihukum penjara seumur hidup, namun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkap hukuman seumur hidup telah dikurangi menjadi 15 tahun.
    Perubahan itu terungkap lewat keterangan Wakil Ketua LPSK Sri Nurherawati, Senin (20/10/2025).
    “Dalam amar putusannya Nomor 25-K/PM.II-08/AL/II/2025, majelis hakim memperbaiki pidana dari seumur hidup menjadi 15 tahun penjara serta mewajibkan dua terdakwa utama membayar restitusi kepada keluarga korban dan korban luka,” ujar Sri.

    Dua prajurit TNI AL, Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo dan Sersan Satu Akbar Adli.
    Dalam putusan itu, Bambang Apri Atmojo diwajibkan membayar restitusi kepada keluarga korban meninggal Ilyas Abdurrahman sebesar Rp 209,6 juta dan kepada korban luka Ramli sebesar Rp 146,3 juta.
    Ia juga dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan diberhentikan dari dinas militer.
    Sementara Sersan Satu Akbar Adli harus membayar restitusi Rp 147,1 juta kepada keluarga Ilyas dan Rp 73,1 juta kepada Ramli.
    Hukuman penjaranya pun dipangkas menjadi 15 tahun, dari semula seumur hidup.
    Adapun terdakwa ketiga, Sersan Satu Rafsin Hermawan, yang terbukti melakukan penadahan, mendapat keringanan dari empat tahun menjadi tiga tahun penjara. Ia juga diberhentikan dari dinas militer.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPRD DKI Dorong Pemprov Wajibkan Ekstrakurikuler Bahasa Asing di Seluruh Sekolah Jakarta, Ini Alasan di Baliknya – Page 3

    DPRD DKI Dorong Pemprov Wajibkan Ekstrakurikuler Bahasa Asing di Seluruh Sekolah Jakarta, Ini Alasan di Baliknya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Anggota DPRD DKI Jakarta, Lukmanul Hakim, mendorong Pemprov Jakarta untuk mewajibkan program ekstrakurikuler bahasa asing di seluruh jenjang pendidikan sekolah.

    Dia memaparkan alasannya, yakni sebagai upaya untuk menyiapkan generasi muda Jakarta agar siap bersaing secara global sekaligus menjadi duta kebudayaan bangsa.

    Lukmanul pun memandang, ini bukan soal sekedar komunikasi, tapi pintu masuk untuk mempelajari hal lainnya.

    “Jakarta adalah kota global. Maka anak-anak Jakarta juga harus memiliki kemampuan global. Salah satunya dengan menguasai bahasa asing sejak dini,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (21/10/2025).

    “Tentunya kemampuan bahasa asing adalah keharusan,” sambungnya.

    Legislator dari Fraksi PAN itu mendorong agar program ini diterapkan di sekolah negeri maupun swasta, mulai dari tingkat dasar hingga menengah, dengan pilihan bahasa seperti Inggris, Mandarin, Arab, Jepang, atau Korea. Dengan begitu, setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar sesuai minat dan kebutuhan mereka.

    “Bahasa adalah jembatan antarbangsa. Jika anak-anak Jakarta bisa menguasai satu atau dua bahasa asing, mereka akan lebih mudah menjangkau dunia sekaligus memperkenalkan Indonesia ke panggung global,” ungkap Lukmanul.