Kementrian Lembaga: Fraksi Nasdem

  • Nasdem Minta Gaji, Tunjangan dan Fasilitas yang Melekat ke Sahroni dan Nafa Urbach Dicabut

    Nasdem Minta Gaji, Tunjangan dan Fasilitas yang Melekat ke Sahroni dan Nafa Urbach Dicabut

    GELORA.CO – Fraksi Partai Nasdem DPR RI mendesak penghentian gaji, tunjangan, dan semua fasilitas yang melekat pada dua anggota DPR RI yang sudah dinonaktifkan yaitu Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Hal tersebut guna menindaklanjuti Surat DPP Partai NasDem Nomor 168-SE/DPP-NasDem/VIII yang menonaktifkan kedua anggota itu terhitung sejak 1 September 2025.

    “Fraksi Partai NasDem DPR RI meminta penghentian sementara gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas bagi yang bersangkutan, yang kini berstatus nonaktif, sebagai bagian dari penegakan mekanisme dan integritas partai,” kata Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI, Viktor Bungtilu Laiskodat dalam keterangannya pada Selasa (2/9/2025).

    Viktor menjelaskan penonaktifan status keanggotaan sudah ditindaklanjuti oleh Mahkamah Partai NasDem. Mahkamah itu yang nantinya bakal menerbitkan putusan bersifat final, mengikat, dan tak bisa digugat.

    Victor meyakini semua langkah yang diambil Fraksi Partai NasDem ialah bagian dari upaya menjamin mekanisme internal partai diterapkan secara transparan dan akuntabel.

    Victor juga mengajak seluruh pihak guna menjaga keutuhan dan persatuan bangsa dengan mengedepankan dialog, musyawarah, serta penyelesaian perbedaan secara konstruktif. Lewat langkah itu, Victor menilai kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif tetap terjaga.

    “Mari bersama merajut persatuan dan menguatkan spirit restorasi demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujar Victor.

    Sebelumnya, pernyataan Ahmad Sahroni memantik reaksi publik. Sahroni menyebut orang yang ingin membubarkan DPR RI merupakan orang tolol.

    “Mental manusia yang begitu adalah mental manusia tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma mental bilang bubarin DPR, itu adalah orang tolol sedunia,” kata Ahmad Sahroni saat kunjungan kerja di Polda Sumut, Jumat (22/8/2025).

    Pernyataan Ahmad Sahroni itu lantas menjadi bulan-bulanan publik. Apalagi Politisi NasDem itu sudah hampir tiga periode digaji oleh rakyat karena menjadi anggota DPR RI. Rumah Sahroni di Tanjung Priuk akhirnya jadi bulan-bulanan massa hingga dijarah. 

  • Viktor Laiskodat Minta Gaji Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach Dihentikan

    Viktor Laiskodat Minta Gaji Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach Dihentikan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Keputusan Partai Nasdem menonaktifkan dua kadernya sebagai anggota DPR RI, tidak sepenuhnya mendapat sambutan positif dari masyarakat yang terlanjur kecewa dengan pernyataannya.

    Kedua anggota Fraksi Nasdem yang dinonaktifkan itu masing-masing Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Meski keduanya dinonaktifkan, mereka dipastikan tetap mendapat gaji dan fasilitas yang melekat pada dirinya sebagai anggota dewan.

    Merespons sorotan masyarakat atas keputusan DPP Partai Nasdem itu, Ketua Fraksi Nasdem DPR RI, Viktor Bungtilu Laiskodat pun meminta agar gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas yang melekat pada dua legislator; Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, disetop.

    Viktor Laiskodat menyebut permintaan itu sebagai bagian dari penegakan mekanisme dan integritas partai. “Fraksi Partai NasDem DPR RI meminta penghentian sementara gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas bagi yang bersangkutan, yang kini berstatus nonaktif,” tutur Viktor di Jakarta, Selasa (2/9).

    Eks Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) itu juga mengungkap jika Mahkamah Partai NasDem kini juga telah menyikapi penonaktifan anggota dewan tersebut. Nantinya, kata Viktor, NasDem akan menerbitkan putusan bersifat final, mengikat, dan tidak dapat digugat.

    Menurutnya, seluruh langkah yang diambil Fraksi Partai NasDem menjadi upaya partai untuk memastikan mekanisme internal dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

    “Mari bersama merajut persatuan dan menguatkan spirit restorasi demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujarnya.

  • 1
                    
                        Nasdem Minta DPR Setop Gaji hingga Tunjangan bagi Sahroni-Nafa Urbach 
                        Nasional

    1 Nasdem Minta DPR Setop Gaji hingga Tunjangan bagi Sahroni-Nafa Urbach Nasional

    Nasdem Minta DPR Setop Gaji hingga Tunjangan bagi Sahroni-Nafa Urbach
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Fraksi Partai Nasdem meminta DPR RI menghentikan pemberian gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas lain yang melekat pada Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach selama mereka menjadi anggota legislatif.
    Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan bahwa penghentian tersebut dilakukan seiring dengan penonaktifan kedua kader tersebut oleh partai dari keanggotaan di DPR RI.
    “Fraksi Partai Nasdem DPR RI meminta penghentian sementara gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas bagi yang bersangkutan, yang kini berstatus nonaktif, sebagai bagian dari penegakan mekanisme dan integritas partai,” ujar Viktor dalam siaran pers yang diterima dari
    Kompas.com
    , Selasa (2/9/2025).
    Selain itu, Viktor menjelaskan bahwa saat ini penonaktifan Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR RI juga sedang ditindaklanjuti oleh Mahkamah Partai.
    Keputusan Mahkamah Partai akan menjadi dasar bagi Nasdem untuk mengambil langkah selanjutnya setelah penonaktifan keduanya dari DPR RI.
    “Seluruh langkah yang diambil Fraksi Partai NasDem merupakan bagian dari upaya memastikan mekanisme internal partai dijalankan secara transparan dan akuntabel,” ucap Viktor.
    Viktor menambahkan, Nasdem mengajak seluruh pihak untuk selalu mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
    “Mari bersama merajut persatuan dan menguatkan spirit restorasi demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, lima anggota DPR RI periode 2024–2029 resmi dinonaktifkan oleh partainya masing-masing, yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir.
    Keputusan ini diambil setelah pernyataan dan sikap mereka dianggap melukai hati rakyat serta memicu gelombang kecaman publik hingga aksi demonstrasi di berbagai daerah.
    Anggota DPR yang dinonaktifkan tidak serta-merta kehilangan status sebagai wakil rakyat.
    Sebab, status nonaktif berarti mereka untuk sementara waktu tidak menjalankan tugas dan kewenangan hingga ada keputusan lebih lanjut.
    Status nonaktif bisa disamakan dengan pemberhentian sementara.
    Artinya, meski aktivitas mereka di parlemen dibatasi, secara administratif status keanggotaan masih melekat.
    Meski berstatus nonaktif, kelima anggota DPR di atas tetap berhak menerima gaji dan tunjangan.
    Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat 4 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang menyebutkan bahwa anggota DPR yang diberhentikan sementara tetap memperoleh hak keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan.
    Hak tersebut mencakup gaji pokok dan berbagai tunjangan, mulai dari tunjangan keluarga, jabatan, komunikasi, hingga tunjangan beras.
    Dengan demikian, meskipun tidak aktif bekerja di parlemen, secara finansial mereka masih mendapat hak penuh sebagai anggota dewan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sorotan soal Gaji Usai Anggota DPR Dinonaktifkan

    Sorotan soal Gaji Usai Anggota DPR Dinonaktifkan

    Jakarta

    Anggota DPR yang dinonaktifkan karena kontroversial hingga melukai hati rakyat kini mendapat sorotan publik. Pasalnya, mereka masih menerima gaji meski berstatus nonaktif.

    Adapun mereka yang dinonaktifkan itu yakni yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach dari fraksi NasDem, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya) dari fraksi PAN dan Adies Kadir dari fraksi Golkar. Apa sebenarnya makna status anggota DPR nonaktif?

    Tak Terima Tunjangan Fasilitas

    Ketua MKD DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, menegaskan penonaktifan anggota DPR bermasalah penting dilakukan untuk menjaga marwah lembaga legislatif.

    “Kami minta ketua umum parpol untuk menonaktifkan anggota DPR yang bermasalah. Kalau sudah dinonaktifkan, artinya mereka tidak bisa lagi beraktivitas sebagai anggota DPR,” kata Nazaruddin kepada wartawan, Minggu (31/8/2025).

    Menurutnya, status nonaktif bukan sekadar simbolik. Dia mengatakan para anggota yang dinonaktifkan tak akan mendapat fasilitas lagi.

    “Dengan dinonaktifkan, otomatis mereka juga tidak bisa mendapatkan fasilitas ataupun tunjangan sebagai anggota DPR RI,” ujarnya.

    Nazaruddin menegaskan MKD akan terus mendorong ketua umum parpol mengambil sikap tegas demi menjaga integritas DPR.

    “Kalau tidak ada langkah dari parpol, masyarakat bisa menilai DPR ini lembaga yang tidak serius menjaga kehormatannya,” tutupnya.

    Masih Terima Gaji

    Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah buka suara mengenai persoalan tersebut. Said mengatakan secara teknis anggota DPR RI yang dinonaktifkan tersebut masih menerima gaji.

    “Kalau dari sisi aspek itu (teknis) ya terima gaji,” kata Said di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/9/2025).

    Namun, Said menjelaskan dalam UU MD3 dan Tata Tertib DPR RI, tak ada istilah nonaktif. Meski begitu, dia menghormati sikap PAN, NasDem dan Golkar.

    “Baik tatib maupun Undang-undang MD3, memang tidak mengenal istilah nonaktif,” ujarnya.

    “Namun saya menghormati keputusan yang diambil oleh NasDem, PAN, Golkar, dan seharusnya pertanyaan itu dikembalikan kepada ketiga partai tersebut, supaya moralitas saya tidak melangkahi itu, dan tidak boleh lah ya,” sambung dia.

    Publik lantas menyorot anggota DPR yang masih menerima gaji meski berstatus nonaktif. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai jika penonaktifan itu hanya untuk menyembunyikan anggota DPR bermasalah untuk sementara.

    “Fraksi atau partai nampak tak ingin kehilangan 5 anggota mereka hanya karena dituntut publik. Mereka hanya ‘disembunyikan’ sementara waktu sambil menunggu perkembangan selanjutnya. Kalau situasi sudah tenang beberapa waktu kemudian, kelima anggota ini akan diaktifkan lagi,” kata Lucius kepada wartawan, Selasa (2/9/2025).

    Lucius menyebut pemilihan diksi menonaktifkan 5 anggota DPR nampaknya lebih untuk menunjukkan respons cepat partai politik atas banyaknya tuntutan yang muncul dari publik. Menurutnya, diksi nonaktif tak ditemukan dalam UU MD3 sebagai dasar melakukan pergantian antara waktu (PAW) anggota DPR.

    “Karena itu bisa dikatakan penonaktifan 5 anggota itu bermakna bahwa kelimanya hanya tak perlu beraktivitas dalam kegiatan-kegiatan DPR untuk sementara waktu tanpa mencabut hak-hak anggota sebagaimana yang lain,” ucap Lucius.

    “Anggota-anggota non aktif ini akan tetap mendapatkan hak-hak sebagai anggota walau tak perlu bekerja,” tambahnya.

    Dia menyebut nonaktif dari jabatan adalah istilah untuk meliburkan anggota DPR dari kegiatan pokoknya dengan tetap mendapatkan jatah anggaran dari DPR. Atas hal itu, Lucius tak melihat ada sanksi dari partai kepada anggotanya yang dituntut publik untuk bertanggungjawab atas perkataan dan perbuatannya.

    “Dengan demikian fraksi atau partai tak mengakui bahwa apa yang dituntut publik terhadap anggota-anggota itu sesuatu yang salah menurut partai atau fraksi. Putusan menonaktifkan adalah pernyataan pembelaan parpol atas kader mereka dengan sedikit upaya untuk menyenangkan publik sesaat saja,” ujarnya.

    Lucius mengatakan jika partai mengakui kesalahan kadernya yang membuat publik marah, seharusnya mengambil langkah pemberhentian. Menurutnya, dengan pemberhentian maka partai memaknai penolakan publik sebagai penarikan mandat atas kader yang dianggap tidak bisa dipercaya lagi mewakili rakyat.

    “Dengan pemberhentian, maka akan ada proses PAW, sekaligus memastikan kelima orang itu tidak punya tanggungjawab secara moral dan politis untuk menjadi wakil rakyat,” tegasnya.

    Lihat juga Video ‘Kata Bahlil soal Anggota DPR Nonaktif Masih Terima Gaji’:

    Halaman 2 dari 2

    (eva/wnv)

  • Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 September 2025

    Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati? Nasional 2 September 2025

    Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati?
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    DI PENGUJUNG
    Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto mengundang ketua umum dari delapan partai politik yang mendukung pemerintahannya ke Istana Merdeka, Jakarta.
    Bersama mereka hadir pula tiga pemimpin lembaga negara, yakni ketua DPR, DPD dan MPR. Di antara delapan ketua umum partai, cuma ketum Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang tidak bisa hadir karena sedang berada di luar negeri dan luar kota. Keduanya diwakili pentolan dari kedua partai tersebut.
    Saya mencatat, ini adalah pertemuan terlengkap di mana pemimpin eksekutif duduk bareng dengan legislatif di Istana.
    Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berasal dari delapan partai politik sehingga seluruh ketua umumnya diundang, tidak terkecuali Megawati Soekarnoputri yang belum lama ini didapuk kembali menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan.
    Kehadiran Mega di Istana bersama ketua umum dari parpol yang menyokong Prabowo adalah yang pertama, tak ayal menerbitkan analisis dan spekulasi.
    Mereka berkumpul tatkala negeri kita sedang berduka akibat demonstrasi luas di sejumlah kota yang dipicu kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.
    Pemuda ini ditabrak dan dilindas kendaraan taktis Brigade Mobil Polri di Pejompongan, Jakarta. Skala kemarahan rakyat mengingatkan peristiwa Mei 1998.
    Kini amuk massa dan penjarahan menjangkau rumah anggota DPR serta menteri keuangan yang dianggap tidak peduli dengan nasib rakyat serta menyulut kemarahan publik–terutama di media sosial.
    Dalam beberapa saat, kita pun bertanya menyangkut kesanggupan negara dalam menjamin rasa aman dan ketertiban umum.
    Dengan latar belakang Indonesia yang sedang menangis itulah para pemimpin berkumpul. Presiden Prabowo tampak benar ingin selalu menjaga persatuan dengan elite partai politik serta lembaga negara.
    Prabowo ingin langkah-langkahnya memulihkan keadaan disokong penuh oleh tetamunya yang hadir–entitas yang menentukan politik nasional.
    Pesannya elite nasional bersatu, sudah seharusnya rakyat juga bersatu–meredakan amarah dan melanjutkan kegiatan seperti sediakala atau normal. Pendek kata “Indonesia harus reset” untuk menapaki sejarah panjang menuju adil dan makmur.
    Dari sekian banyak yang dipaparkan oleh presiden, apakah hal itu dapat “menyembuhkan luka” rakyat? Ini yang kita ingin dengar dari presiden dan karena itu membetot perhatian khalayak luas.
    Sekurang-kurangnya dua hal yang berkaitan dengan DPR. Pertama, ketua umum partai politik telah memberi sanksi kepada anggota DPR dari partainya yang dianggap menciderai perasaan rakyat.
    Partai Nasdem menon-aktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Begitu juga PAN melakukan hal yang sama kepada Eko Patrio dan Uya Kuya. Partai Golkar pun menon-aktif Adies Kadir sebagai anggota DPR per 1 September 2025.
    Kedua, mencabut tunjangan rumah untuk anggota DPR serta moratorium kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri.
    Dua hal ini memiliki tali-temali atau setidaknya berkontribusi atas mencuatnya demonstrasi 25 Agustus 2025 dan diikuti demo lanjutan hingga berkulminasi pada tragedi Pejompongan.
    Kedua hal ini perlu diperjelas agar tidak multitafsir. Istilah non-aktif yang diberlakukan oleh Nasdem, PAN dan Golkar untuk menindak wakil mereka di DPR agak problematis.
    Apakah itu berarti Sahroni, Nafa, Eko, Uya dan Adies dicopot dari keanggotaannya di DPR? Atau ini sekadar “dinon-aktifkan”, lalu ketika situasinya berlangsung normal mereka akan diaktifkan lagi?
    Keputusan “non-aktif” itu berlaku di intern partai politik atau menyangkut lembaga DPR? Non-aktif bisa saja diterjemahkan posisi Sahroni dan lain-lain itu dikosongkan oleh partainya: Nasdem, PAN dan Golkar.
    Bila sanksi kepada lima anggota DPR itu cuma sanksi internal partai, kita ragu dan khawatir kejadian di akhir Agustus 2025, bakal memberi pelajaran kepada anggota DPR dan partai politik.
    Pakar pemilu Titi Anggraini menyatakan istilah non-aktif diatur dalam UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
    Namun, istilah itu spesifik untuk pemimpin atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang sedang diadukan. Mekanisme non-aktif bukan untuk anggota DPR secara umum, tegas pengajar di Fakultas Hukim UI ini (
    Hukumonline.com
    , 1/9/2024).
    Lumayan tidak lumrah jika partai politik menggunakan istilah non-aktif untuk memberi sanksi anggotanya itu. Padahal keadaan negeri sedang “gelap” dan sensitif.
    Jika partai politik mendengar dan terkoneksi dengan aspirasi rakyat–terutama mereka yang mau melawan terik matahari saat demonstrasi–seharusnya tiga partai politik itu melakukan Penggantian Antarwaktu (PAW).
    Ini lebih jelas, tegas dan tidak setengah-setengah. Toh, intensi dan tujuan dari tiga partai politik itu adalah memberi sanksi.
    Jika kita cermat, partai politik memberi “sanksi” kepada anggotanya dengan “wait and see”.
    Tengok saja Ahmad Sahroni. Pada 29 Agustus 2025, ia dicopot dari posisinya sebagai wakil ketua Komisi III DPR. Ia lalu dipindah menjadi anggota Komisi I DPR. Dua hari kemudian, Nasdem menon-aktifkan Sahroni bersama Nafa Urbach.
    “Dengan ini DPP Partai NasDem menyatakan terhitung sejak hari Senin, 1 September 2025, DPP Partai NasDem menonaktifkan saudara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem,” kata Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim, dalam keterangan resminya, Minggu (
    Kompas.com
    , 31/8/2025).
    Lebih afdol ditempuh PAW. Ini adalah proses pergantian antarwaktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu untuk digantikan oleh pengganti antarwaktu yang diambil dari daftar calon pengganti.
    Yang bisa menggantikan pun tidak sembarangan, tidak bisa suka-suka partai politik. PAW diatur mengikuti prinsip adil dan berbasis daerah pemilihan (distrik).
    Kita masih ingat PAW anggota DPR dari PDI Perjuangan pernah menerbitkan skandal ketika ada uang suap ke anggota KPU tahun 2020.
    Hingga kini, Harun Masiku yang diplot menggantikan anggota DPR terpilih dari dapil 1 Sumatera Selatan masih buron dan tidak sanggup ditangkap oleh KPK.
    Adapun Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang terbukti terlibat dalam praktik suap ini di pengadilan Tipikor akhirnya bebas karena diberi amnesti oleh presiden.
    Jika tiga partai politik tadi serius, sebaiknya mekanisme PAW diberlakukan. Ganti lima anggota DPR tadi dengan pengganti dari daerah pemilihan mereka berasal. Ini lebih representatif, lebih mewakili rakyat di dapil tersebut.
    Beda halnya jika sanksi untuk lima anggota DPR sekadar “membaca arah angin”. Lebih sensitif lagi jika sanksi lewat penonaktifan itu tidak menghentikan gaji serta fasilitas yang melekat pada anggota DPR.
    Alih-alih menyembuhkan “luka” rakyat, mekanisme non-aktif justru dapat memperkeruh suasana.
    Pokok soal lainnya, yakni pencabutan tunjangan rumah buat anggota DPR. Dalam catatan saya, ini juga tidak terlalu maju. Ini sekadar perulangan dari pernyataan wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan fraksi PDI Perjuangan di DPR.
    Awalnya cuma berlaku sampai Oktober 2025. Lalu PDI-P menyatakan setuju untuk menghentikan, kemudian Presiden Prabowo menyatakan tunjangan itu akan dicabut oleh DPR.
    Pertanyaannya dicabut mulai kapan? Lalu, apa pengganti fasilitas rumah di DPR? Apakah kembali ke rumah jabatan anggota (RJA) di Kalibata dan Ulujami, Jakarta?
    Padahal RJA ini disebut telah rusak dan tidak layak huni. Publik bertanya-tanya, apakah pencabutan tunjangan rumah senilai Rp 50 juta itu tidak dikompensasi?
    Jika iya, tidak dikompensasi apapun, berarti anggota DPR terutama yang berasal dari luar Jakarta harus menggunakan sebagian dari penghasilannya untuk mengontrak rumah.
    Ini pesan yang baik, meskipun publik terus meraba-raba karena ketua DPR Puan Maharani tidak menjelaskan poin-poin detail atas keputusan “mencabut” tunjangan rumah untuk anggota DPR ini.
    Dan inilah keunikan DPR periode ini. Komunikasi yang super penting untuk meredam spekulasi di luar, tidak dilakukan dengan baik.
    Seusai demo 25 Agustus 2025, yang bicara ke publik justru Sufmi Dasco Ahmad, bukan Puan Maharani sebagai nakhoda DPR.
    Saat ini adalah momentum yang baik untuk menunjukkan kepemimpinan di masa krisis. Toh Puan sebagai ketua DPR yang hadir di Istana Merdeka bersama ketua MPR, DPD dan ketua umum parpol pemilik kursi di DPR.
    Di masa krisis, seorang pemimpin tidak bisa bertindak biasa-biasa saja. Pemimpin dituntut proaktif.
    Kepemimpinan krisis mencakup eksplorasi skenario potensial dan pengembangan rencana komunikasi serta respons.
    Namun, lebih dari itu pemimpin di masa krisis juga perlu berpikir strategis dan mengambil keputusan cepat untuk meminimalkan dampak. Hari-hari ini kita butuh pemimpin yang seperti itu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • CBA Desak Prabowo Lakukan Reshuffle, Singgung Peran Dasco yang Hilang

    CBA Desak Prabowo Lakukan Reshuffle, Singgung Peran Dasco yang Hilang

    GELORA.CO –  Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menilai langkah sejumlah partai politik menonaktifkan kadernya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) harus segera diikuti dengan tindakan tegas dari Presiden Prabowo Subianto.

    Menurut Uchok, publik menunggu keberanian Presiden untuk melakukan “pembersihan” atau pencopotan sejumlah pejabat di kabinet merah putih.

    “Hal ini perlu dilakukan karena banyak permintaan publik untuk segera mencopot Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Tito Karnavian, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kalau Prabowo tidak melakukan bersih-bersih berarti Prabowo bukan dambaan publik,” tegas Uchok, Senin (1/9).

    Uchok juga menyoroti sikap politisi Partai Gerindra, Dasco, yang dinilai tidak seperti biasanya. Ia menilai Dasco, yang biasanya vokal dalam merespons dinamika politik, kali ini tampak diam seribu bahasa di tengah gelombang demonstrasi. “Biasa Dasco bernyanyi merdu bisa menyelesaikan persoalan bangsa dalam hitungan jam. Kok tiba-tiba menghilang ditelan hiruk pikuk isu kemarahan rakyat kepada DPR,” ujarnya.

    Sementara itu, sejumlah partai politik resmi menonaktifkan beberapa kadernya dari keanggotaan DPR RI. Partai NasDem melalui Ketua Umumnya, Surya Paloh, memutuskan menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi NasDem DPR RI, berlaku efektif mulai Senin ini.

    Langkah serupa diambil Partai Amanat Nasional (PAN). Melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP), PAN menonaktifkan Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari Fraksi PAN DPR RI.

    Adapun Partai Golkar melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) Sarmuji juga mengumumkan penonaktifan Adies Kadir dari Fraksi Golkar DPR RI dengan alasan penegakan disiplin dan etika anggota dewan.

  • PDIP minta maaf soal Deddy Sitorus dan Sadarestuwati

    PDIP minta maaf soal Deddy Sitorus dan Sadarestuwati

    “Saya sebagai Anggota Fraksi PDI Perjuangan, atas nama Pak Deddy Sitorus Ibu Sadarestuwati, sungguh-sungguh minta maaf jika kemudian ada kesalahan, kekhilafan, yang dilakukan oleh Pak Deddy dan Ibu Sadarestu,”

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPP PDIP Said Abdullah meminta maaf soal Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP yakni Deddy Sitorus dan Sadarestuwati yang turut disorot dan dikritik oleh publik terkait sikapnya yang dilakukan beberapa waktu lalu.

    Dia mengatakan bahwa hal yang disampaikan oleh Deddy Sitorus atau hal yang dilakukan Sadarestuwati akan menjadi pelajaran etika bagi PDIP. Menurut dia, tokoh publik harus menyampaikan kata-kata yang berempati dan bersimpati terhadap rakyat.

    “Saya sebagai Anggota Fraksi PDI Perjuangan, atas nama Pak Deddy Sitorus Ibu Sadarestuwati, sungguh-sungguh minta maaf jika kemudian ada kesalahan, kekhilafan, yang dilakukan oleh Pak Deddy dan Ibu Sadarestu,” kata Said di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.

    Adapun Deddy Sitorus yang merupakan Anggota Komisi II DPR disorot publik karena pernyataannya yang membedakan antara pejabat dan rakyat jelata. Sedangkan Sadarestuwati menuai kritik karena ikut berjoget dalam Sidang Tahunan MPR RI beberapa waktu lalu.

    Khusus Sadarestuwati, Said menilai bahwa acara sidang tahunan itu sebetulnya sudah selesai ketika Sadarestuwati berjoget. Menurut dia, Anggota Komisi VI DPR RI itu berjoget karena ingin menunjukkan kebhinekaan ketika merespons lagu yang berasal dari daerah timur Indonesia.

    Meski begitu, dia mengatakan bahwa Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP belum menentukan sikap apapun terhadap Deddy atau Sadarestuwati. Dia pun menghormati keputusan partai lain yang menonaktifkan sejumlah Anggota DPR yang juga disorot publik.

    Sebelumnya, sejumlah partai politik memutuskan untuk menonaktifkan anggotanya dari Senayan imbas adanya sorotan dan tuntutan dari publik. Wakil rakyat yang dinonaktifkan itu mulai dari anggota biasa, pimpinan komisi, hingga Pimpinan DPR RI.

    Anggota DPR yang dinonaktifkan itu yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Partai NasDem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari Fraksi PAN, dan Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dari Fraksi Partai Golkar.

    Kediaman sejumlah wakil rakyat itu pun dijarah dan dirusak oleh kelompok masyarakat, di antaranya rumah Ahmad Sahroni, Eko Patrio, hingga Uya Kuya. Selain rumah para legislator, rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani juga turut dijarah.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KMHDI hari ini tak gelar aksi, fokus laporan ke MKD DPR RI

    KMHDI hari ini tak gelar aksi, fokus laporan ke MKD DPR RI

    Jakarta (ANTARA) – Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) menyatakan tidak mengadakan aksi turun ke jalan pada Senin ini karena fokus untuk melaporkan sejumlah anggota DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.

    “Terkait dengan aksi turun ke jalan, kami masih sangat cair karena sejauh ini belum ada ketegasan dari pihak DPR dalam merealisasikan tuntutan masyarakat. Tapi, untuk hari ini, kami fokuskan untuk melakukan pengaduan ke MKD,” kata Sekretaris Jenderal PP KMHDI Teddy Chrisprimanata Putra saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Senin.

    Teddy menjelaskan secara garis besar laporan KMHDI menuntut agar anggota DPR yang menimbulkan kegaduhan lewat pernyataannya dikenai sanksi.

    “Secara garis besar dari aduan kami, mendesak MKD untuk memproses anggota DPR yang sudah memicu kemarahan publik yang mengakibatkan masyarakat sipil kehilangan nyawa. Termasuk di dalamnya adalah menuntut agar anggota DPR yg telah memicu kemarahan publik tersebut dipecat dari keanggotaannya sebagai anggota DPR,” ujarnya.

    Teddy mengatakan langkah beberapa partai politik yang menonaktifkan kadernya dari DPR RI dinilai masih kurang tegas sehingga mendorong KMHDI untuk menempuh jalur formal dengan membuat laporan ke MKD.

    “Menurut kami, penggunaan redaksi ‘menonaktifkan’ tafsirnya masih liar. Tidak ada ketegasan di balik redaksi tersebut sehingga kami menganggap langkah parpol tersebut tidak tegas dan belum cukup menjawab tuntutan masyarakat,” tuturnya.

    Sebelumnya, sejumlah partai politik memutuskan untuk menonaktifkan anggotanya dari anggota DPR imbas adanya sorotan dan tuntutan dari publik. Wakil rakyat yang dinonaktifkan itu mulai dari anggota biasa, pimpinan komisi, hingga pimpinan DPR RI.

    Anggota DPR yang dinonaktifkan adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Partai NasDem, Eko Patrio dan Surya Utama (Uya Kuya) dari Fraksi PAN, dan Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dari Fraksi Partai Golkar.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ketua Banggar: Anggota DPR yang dinonaktifkan masih terima gaji

    Ketua Banggar: Anggota DPR yang dinonaktifkan masih terima gaji

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mengatakan bahwa sejumlah anggota DPR RI yang sudah dinonaktifkan oleh partainya masih menerima gaji seperti biasanya.

    Said mengatakan secara teknis anggota DPR menerima gaji karena pelaksanaan anggaran dilaksanakan oleh lembaga terkait. Badan Anggaran (Banggar) sudah tidak lagi membahas anggaran soal gaji tersebut karena sebelumnya telah diputuskan.

    “Kalau dari sisi aspek (teknis) itu, ya terima gaji,” kata Said Abdullah di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.

    Di sisi lain, Said mengatakan bahwa Tata Tertib DPR RI dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) tidak mengenal istilah nonaktif bagi anggota DPR RI. Namun, ia menghormati keputusan partai lain dalam melakukan hal itu.

    Said juga sepakat agar tunjangan perumahan bagi anggora DPR RI dihapuskan karena hal tersebut harus mempertimbangkan etik, empati, dan simpati yang harus ditumbuhkan untuk mengawal rasionalitas DPR.

    “Oleh karenanya agar tata kelolanya sempurna, kita kembalikan dan secepatnya BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) melakukan itu atas arahan dan petunjuk pimpinan DPR,” katanya.

    Sebelumnya, sejumlah partai politik memutuskan untuk menonaktifkan anggotanya dari anggota DPR imbas adanya sorotan dan tuntutan dari publik. Wakil rakyat yang dinonaktifkan itu mulai dari anggota biasa, pimpinan komisi, hingga pimpinan DPR RI.

    Anggota DPR yang dinonaktifkan adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Partai NasDem, Eko Patrio dan Surya Utama (Uya Kuya) dari Fraksi PAN, dan Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dari Fraksi Partai Golkar.

    Kediaman sejumlah wakil rakyat itu pun dijarah dan dirusak kelompok masyarakat, di antaranya rumah Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Uya Kuya. Selain rumah para legislator, rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani juga turut dijarah.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • NasDem Beberkan Ada Akun X Palsu Mengaku Sahroni: Publik Jangan Mudah Terprovokasi – Page 3

    NasDem Beberkan Ada Akun X Palsu Mengaku Sahroni: Publik Jangan Mudah Terprovokasi – Page 3

    NasDem akan menonatifkan Sahroni dan Nafa per tanggal 1 September 2025. Kedunya akan dinonaktifkan dari anggota DPR RI dari Fraksi NasDem.

    “Bahwa atas pertimbangan hal hal tersebut diatas dengan ini DPP Partai NasDem menyatakan terhitung sejak hari Senin, 1 September 2025, DPP Partai NasDem menonaktifkan saudara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai NasDem,” tulisnya.

    Surya Paloh menekankan kepada seluruh kader NasDem agar mengutamakan aspirasi publik karena menjadi bagian dari perjuangan partai.

    “Sesungguhnya aspirasi masyarakat harus tetap menjadi acuan utama dalam perjuangan Partai NasDem,” tutup Paloh.