Kementrian Lembaga: Eijkman

  • Sains Jadi Bentuk Kepahlawanan Masa Kini

    Sains Jadi Bentuk Kepahlawanan Masa Kini

    Jakarta

    Habibie Prize 2025 digelar bertepatan dengan Hari Pahlawan. Acara ini merupakan penghargaan bergengsi bagi ilmuwan dan tokoh bangsa terbaik Indonesia ini seolah memperlihatkan sains sebagai bentuk kepahlawan di era modern.

    Kepala BRIN Dr. Laksana Tri Handoko menegaskan bahwa penghargaan ini bukan sekadar simbol prestasi, melainkan bentuk nyata dari warisan intelektual Prof. B.J. Habibie, tokoh yang mempersatukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan cinta Tanah Air.

    “Habibie Prize merupakan legacy yang lahir dari semangat almarhum Bapak Habibie. Perjuangan masa kini bukan lagi di medan perang, melainkan di laboratorium, ruang riset, dan forum akademik. Kita mengisi kemerdekaan melalui sains, riset, dan inovasi. Itulah makna pahlawan masa kini,” ujarnya di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (10/11).

    Melalui sambutan yang disampaikan secara daring, salah satu putra B.J. Habibie, Ilham Akbar Habibie, menegaskan makna filosofis penghargaan ini sebagai bentuk kesinambungan cita-cita ayahandanya.

    “Penghargaan ini bukan hanya untuk mengakui prestasi ilmiah, tetapi juga sebagai simbol bahwa ilmu pengetahuan, iman, dan cinta Tanah Air harus berjalan bersama dalam membangun bangsa,” ujarnya.

    Ilham berharap penghargaan ini menjadi inspirasi bagi lahirnya lebih banyak ilmuwan muda Indonesia yang berkiprah di tingkat global. “Kita ingin melihat semakin banyak anak bangsa yang berani bermimpi, berinovasi, dan membawa karya mereka untuk kemajuan umat manusia,” katanya.

    Ia juga menegaskan bahwa Habibie Prize adalah ajakan untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan industri agar ilmu pengetahuan tidak berhenti di jurnal, tetapi hadir sebagai solusi nyata bagi masyarakat.

    Ilham Akbar Habibie menegaskan makna filosofis penghargaan Habibie Prize. Foto: Rachmatunnisa/detikINET

    Tahun ini, Habibie Prize dianugerahkan kepada lima ilmuwan nasional dari beragam bidang ilmu pengetahuan, mulai dari laboratorium kimia, ruang isolasi virus, peternakan hijau, ruang sidang konstitusi, hingga lembar tafsir Al Qur’an.

    Pertama, Dr. rer. nat. Rino Rakhmata Mukti, S.Si., M.Sc. menemukan energi bersih dari sekam padi. Dari laboratorium di Institut Teknologi Bandung, Rino menemukan cara mengubah limbah sekam padi menjadi zeolit sintetis, material canggih yang digunakan sebagai katalis dalam industri minyak bumi dan pupuk. Karyanya menegaskan bahwa inovasi besar bisa lahir dari bahan lokal yang sederhana.

    “Indonesia punya potensi luar biasa dari limbah pertanian. Sekam padi bisa menjadi sumber material maju untuk energi bersih dan pertanian berkelanjutan,” ujar Rino.

    Bagi Rino, penghargaan ini bukan akhir, tetapi pengingat agar riset selalu kembali ke akar, yaitu memberi manfaat nyata bagi masyarakat dan memotivasi ilmuwan muda untuk tidak takut menapaki jalan panjang dunia penelitian.

    Kedua, R. Tedjo Sasmono, S.Si., Ph.D., yang menelusuri jejak virus demi kemanusiaan. Selama lebih dari dua dekade, Tedjo meneliti virus dengue dan arbovirus lain di Indonesia. Karyanya memetakan empat serotipe virus dengue di berbagai kota dan menjadi dasar bagi kebijakan vaksinasi nasional.

    “Setiap hari kita hidup berdampingan dengan virus ini. Maka tugas saya adalah memahami biologi dan dinamika penyebarannya agar masyarakat terlindungi,” katanya.

    Peneliti Lembaga Eijkman ini juga berperan dalam uji klinis vaksin dengue dan riset genomik untuk kesiapsiagaan pandemi. Ia menekankan bahwa bioteknologi adalah bentuk nyata dari sains untuk kemanusiaan.

    “Kita harus siap menghadapi tantangan kesehatan masa depan dengan kemampuan sendiri. Itulah semangat Habibie yang saya pegang,” tegasnya.

    Ketiga, Prof. Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc., mengubah pakan untuk menyelamatkan bumi. Sebagai ilmuwan muda dari IPB University, Anuraga memadukan riset peternakan dengan isu perubahan iklim. Ia mengembangkan formulasi pakan ternak berbasis bahan alami yang mampu menekan emisi gas rumah kaca, sekaligus meningkatkan produktivitas ternak.

    “Pakan menyumbang 70% biaya produksi,” jelasnya. Lebih lanjut ia berpesan jika kita bisa membuatnya efisien dan ramah lingkungan, sains tidak boleh berhenti di jurnal. Ia harus hidup di peternakan, di tangan masyarakat, di dapur industri agar manfaatnya besar bagi peternak dan Bumi.

    Keempat, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. yang mengingatkan etika sebagai pilar hukum. Nama Jimly Asshiddiqie identik dengan reformasi konstitusi dan etika bernegara. Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pertama, ia memperkenalkan gagasan ‘constitutional ethics’, bahwa hukum tidak bisa berdiri tanpa moral dan integritas.

    “Etika itu samudra, hukum itu kapal. Kapal hukum tidak akan sampai ke pulau keadilan jika samudra etikanya keruh,” ujarnya lantang.

    Jimly menegaskan pentingnya membangun sistem hukum yang tak hanya menghukum, tetapi juga mendidik dan menjaga kepercayaan publik. Ia berharap generasi muda memahami bahwa peradaban bangsa tidak hanya ditopang oleh teknologi, tetapi juga oleh nilai etika yang kokoh.

    Kelima, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. yang menyinari zaman dengan tafsir Al Qur’an. Sebagai mufasir besar Asia Tenggara, ia mengabdikan hidupnya untuk menjembatani pesan Al-Qur’an dengan kehidupan modern melalui Tafsir Al-Misbah.

    “Al Qur’an itu cahaya. Setiap orang akan melihat cahayanya dari sudut yang berbeda, dan perbedaan itu adalah rahmat,” ” ujarnya lembut.

    Ia mengingatkan pentingnya tafsir yang kontekstual dan penuh kasih, di tengah dunia yang dipenuhi disrupsi dan ujaran kebencian. “Beragama harus dengan pemahaman, bukan hanya hafalan. Ilmu harus dibarengi dengan adab,” pungkasnya.

    (rns/rns)

  • Peneliti Virus Dengue Tedjo Sasmono Minta Pemerintah Naikkan Dana Riset

    Peneliti Virus Dengue Tedjo Sasmono Minta Pemerintah Naikkan Dana Riset

    Jakarta

    Peneliti virus R. Tedjo Sasmono, S.Si., Ph.D. menekankan perlunya perhatian lebih dari pemerintah terhadap pendanaan riset dan pendidikan sains.

    Hal ini ia sampaikan saat berbicara di acara Habibie Prize 2025, sebagai salah satu dari lima ilmuwan terkemuka penerima penghargaan. Ia menjawab pertanyaan moderator yang menanyakan kontribusi apa yang dibutuhkan dari negara agar para peneliti seperti dirinya konsisten menghasilkan riset penting.

    “Tentu saja kontribusi negara sangat penting. Persentase APBN untuk riset masih kecil. Itu perlu dinaikkan nantinya. Negara maju sudah science-based dalam mengambil keputusan. Indonesia juga harus ke sana, semua kebijakan sebaiknya berbasis data dan sains,” ujarnya di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).

    “Saya kira seperti itu. Ada perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan lagi dana sains, pendidikan, dan sebagainya,” tegasnya.

    Peneliti virus dengue R. Tedjo Sasmono berbicara di panggung Habibie Prize 2025. Foto: Rachmatunnisa/detikINETPuluhan Tahun Meneliti Virus Dengue

    Nama Tedjo Sasmono tak asing di dunia penelitian bidang Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi. Ia merupakan peneliti senior Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman BRIN, dan sudah menjadi periset di LBM Eijkman sejak 1994.

    Sederet prestasinya yang mentereng antara lain masuk dalam jajaran 2% saintis teratas dunia (Top 2% World Ranking Scientists) pada 2021 yang dirilis peneliti dari University of Stanford, John Ioannidis bersama Jeroen Baas dan Kevin Boyack.

    Setelah lebih dari 25 tahun meneliti virus dengue, Tedjo menerima Habibie Prize 2025 bidang Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi. Konsistensinya memetakan genom virus dengue di berbagai wilayah Indonesia menjadi kontribusi penting bagi pengendalian penyakit demam berdarah di Tanah Air.

    “Ini soal istiqamah, konsistensi. Saya menekuni bidang ini lebih dari 25 tahun karena dengue itu penyakit yang kita hadapi setiap hari sebagai negara tropis,” ujarnya.

    “Bahkan anak saya sendiri sempat terkena dengue. Itu menunjukkan betapa dekatnya penyakit ini dengan kehidupan kita,” kenang Tedjo.

    Selama lebih dari dua dekade, Tedjo dan timnya berfokus pada virologi dan biologi molekuler dengue. Mereka meneliti bagaimana virus menular, beradaptasi, dan berevolusi di berbagai wilayah Indonesia.

    “Virus dengue ada empat tipe: 1, 2, 3, dan 4. Kami memetakan hampir seluruh Indonesia, dari 15 provinsi lebih, untuk melihat perbedaan genom dan perilakunya,” jelasnya.

    Menurutnya, data genomik lokal sangat penting karena setiap daerah memiliki karakter virus dan pola penularan berbeda. Informasi ini kini menjadi dasar untuk riset vaksin dan sistem diagnostik yang lebih akurat.

    Tedjo Sasmono (keempat dari kiri) menerima penghargaan Habibie Prize 2025 dari Kepala BRIN Laksana Tri Handoko (bersalaman). Foto: Rachmatunnisa/detikINETDari Laboratorium ke Kebijakan Publik

    Penelitian Tedjo tak berhenti di laboratorium. Data yang dihasilkan timnya kini digunakan oleh Kementerian Kesehatan dan World Health Organization (WHO) untuk memahami pola penyebaran virus di Indonesia.

    “Dari sisi genomiknya dimanfaatkan untuk pengembangan vaksin. Itu juga menggunakan genom Indonesia,” ujarnya.

    Ia juga menyebut keberhasilan ilmuwan dalam menurunkan kasus dengue melalui vaksin QDENGA dan penerapan teknologi Wolbachia, yang terbukti mampu mengurangi hingga 77% kasus dengue di Yogyakarta.

    “Itulah bukti bahwa ilmu pengetahuan itu bisa bermanfaat untuk kesehatan umat manusia. Karena dengan ilmu pengetahuan bisa didapatkan vaksin,” tambahnya.

    Bagi Tedjo, penelitian bioteknologi bukan hanya soal sains, tapi juga misi kemanusiaan. Ia menambahkan, COVID-19 mengajarkan bahwa Indonesia harus mandiri menghadapi pandemi berikutnya. Ia pun berharap banyak agar generasi muda peneliti Indonesia terus belajar dan konsisten.

    “Anak-anak, adik-adik yang masih muda-muda tetap konsisten a. Terus belajar, bermimpi besar boleh, didukung dengan infrastruktur, pengetahuan, update ilmu, supaya Indonesia tidak kekurangan critical mass untuk peneliti,” pesan Tedjo.

    Ia juga menyebut penghargaan Habibie Prize 2025 yang didapatkannya menjadi simbol penting pengakuan bagi peneliti Indonesia. “Terima kasih banyak untuk rekognisi ini,” ujarnya.

    Habibie Prize merupakan bentuk apresiasi tertinggi yang diberikan negara kepada para ilmuwan dan pakar yang telah mendedikasikan karya serta penelitiannya untuk kemajuan bangsa. Penghargaan ini sekaligus menjadi sarana untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Indonesia, serta menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan generasi muda.

    Nama penghargaan ini diambil dari sosok Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia ke-3 sekaligus Menteri Riset dan Teknologi periode 1979-1998. Habibie dikenal luas sebagai tokoh visioner yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor pembangunan nasional.

    Tahun ini, BRIN memberikan penghargaan kepada lima penerima:

    Dr. rer. nat. Rino Rakhmata Mukti, S.Si., M.Sc. (Ilmu Pengetahuan Dasar)R. Tedjo Sasmono, S.Si., Ph.D. (Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi)Prof. Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc. (Ilmu Rekayasa)Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ilmu Sosial, Politik, Ekonomi dan Hukum)Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. (Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan)

    (rns/rns)

  • Regene Genomics Dorong Lahirnya Generasi Melek Sains Lewat OGI 2025

    Regene Genomics Dorong Lahirnya Generasi Melek Sains Lewat OGI 2025

    Jakarta: Regene Genomics menegaskan komitmennya dalam menghadirkan inovasi kesehatan sekaligus mencetak generasi muda yang melek sains melalui dukungan penuh terhadap penyelenggaraan Olimpiade Genomik Indonesia (OGI) 2025.
     
    Dukungan tersebut tidak hanya diwujudkan melalui penyediaan materi yang berbobot dan inklusif, tetapi juga dengan memberikan pengalaman langsung bagi peserta. Sebanyak 63 finalis OGI 2025 berkesempatan mengunjungi laboratorium Regene Genomics di Jakarta, menyaksikan proses ekstraksi DNA, serta berdiskusi dengan para pakar genetika.
     
    Menurut Head of Laboratory Regene Genomics, Siti Fathurrohmah, M.Sc, kunjungan tersebut menjadi momen penting bagi para siswa.
     
    “Mereka sangat antusias, banyak bertanya hingga detail teknis. Bahkan ada siswa SD yang penasaran mencoba mikropipet, alat yang baru saya kenal ketika kuliah. Itu pengalaman berharga, sekaligus menantang untuk menjelaskan genomik dengan bahasa sederhana,” ujarnya.
     
    Melalui Regene Academy, perusahaan ini berupaya menjembatani ilmu genomik agar lebih mudah dipahami anak-anak, guru, dan orang tua. Sejalan dengan visinya, Regene Genomics ingin melahirkan generasi yang siap berkontribusi dalam bidang kesehatan, pertanian, dan pelestarian hayati di masa depan.
     

     
    Teknologi Mutakhir Regene
    Regene Genomics merupakan perusahaan genetika terkemuka yang mengembangkan layanan berbasis kecerdasan buatan (AI) dan analisis DNA untuk menghadirkan kesehatan personal dan presisi. Laboratorium Regene dilengkapi teknologi terbaru dari Illumina seperti Microarray, Miseq, dan Novaseq yang memungkinkan pembacaan hingga 31 juta penanda genetik dengan presisi tinggi.
     
    “Laboratorium mutakhir kami menjadi fondasi untuk pengembangan layanan kesehatan presisi. Dengan teknologi canggih ini, Regene berada di garis depan industri genetika Indonesia,” ujar Vichi Lestari, CEO Regene Genomics.
     
    Salah satu inovasi andalan adalah Polygenic Risk Scores (PRS) yang menggabungkan variasi genetik menjadi prediksi risiko penyakit kronis dengan akurasi hingga 99,98%. Teknologi ini dipadukan dengan microarray untuk menghasilkan pengujian genetik yang lebih akurat dan bermanfaat bagi pencegahan maupun pengobatan.
     
    Tim Ahli di Balik Regene
    Regene Genomics diperkuat oleh tim pakar lintas bidang, di antaranya:
     
    – Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D., SpMK(K) sebagai penasihat,
     
    – Siti Fathurrohmah, M.Sc sebagai Head of Laboratory,
     
    – Valerie Emily sebagai Genomic Scientist.
     
     

    Prof. Amin, Guru Besar Mikrobiologi Klinik FKUI dan mantan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dikenal luas atas kontribusinya dalam riset penyakit infeksi dan perannya saat pandemi COVID-19. Kehadirannya memperkuat posisi Regene sebagai pusat riset genomik dengan wawasan global dan berstandar internasional.
     
    Rahma, sapaan akrab Siti Fathurrohmah, berfokus pada pengembangan analisis DNA/RNA, teknologi microarray, serta diagnostik molekuler. Sementara Valerie Emily berperan dalam pengembangan riset bioinformatika, genotyping, hingga analisis genomik yang menghubungkan hasil laboratorium dengan solusi kesehatan presisi.
     
    Misi Mencerdaskan Generasi
    Dukungan terhadap OGI 2025 menjadi bukti nyata komitmen Regene Genomics untuk tidak hanya menghadirkan inovasi laboratorium, tetapi juga berkontribusi dalam pendidikan sains. Melalui kolaborasi dengan Indonesia Mengajar, Regene ingin memastikan lebih banyak anak-anak Indonesia mendapatkan akses pengetahuan genomik sejak dini.
     
    “Ilmu genomik tidak boleh hanya berhenti di laboratorium. Ia harus bisa dipahami, menginspirasi, dan membuka peluang bagi generasi muda untuk berkontribusi,” tutup Vichi.
     
    Dengan semangat itu, Regene Genomics terus meneguhkan langkah sebagai pionir layanan genetika modern di Indonesia, menghadirkan teknologi mutakhir sekaligus menyiapkan masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

     

    Jakarta: Regene Genomics menegaskan komitmennya dalam menghadirkan inovasi kesehatan sekaligus mencetak generasi muda yang melek sains melalui dukungan penuh terhadap penyelenggaraan Olimpiade Genomik Indonesia (OGI) 2025.
     
    Dukungan tersebut tidak hanya diwujudkan melalui penyediaan materi yang berbobot dan inklusif, tetapi juga dengan memberikan pengalaman langsung bagi peserta. Sebanyak 63 finalis OGI 2025 berkesempatan mengunjungi laboratorium Regene Genomics di Jakarta, menyaksikan proses ekstraksi DNA, serta berdiskusi dengan para pakar genetika.
     
    Menurut Head of Laboratory Regene Genomics, Siti Fathurrohmah, M.Sc, kunjungan tersebut menjadi momen penting bagi para siswa.
     
    “Mereka sangat antusias, banyak bertanya hingga detail teknis. Bahkan ada siswa SD yang penasaran mencoba mikropipet, alat yang baru saya kenal ketika kuliah. Itu pengalaman berharga, sekaligus menantang untuk menjelaskan genomik dengan bahasa sederhana,” ujarnya.
     
    Melalui Regene Academy, perusahaan ini berupaya menjembatani ilmu genomik agar lebih mudah dipahami anak-anak, guru, dan orang tua. Sejalan dengan visinya, Regene Genomics ingin melahirkan generasi yang siap berkontribusi dalam bidang kesehatan, pertanian, dan pelestarian hayati di masa depan.
     

     

    Teknologi Mutakhir Regene

    Regene Genomics merupakan perusahaan genetika terkemuka yang mengembangkan layanan berbasis kecerdasan buatan (AI) dan analisis DNA untuk menghadirkan kesehatan personal dan presisi. Laboratorium Regene dilengkapi teknologi terbaru dari Illumina seperti Microarray, Miseq, dan Novaseq yang memungkinkan pembacaan hingga 31 juta penanda genetik dengan presisi tinggi.
     
    “Laboratorium mutakhir kami menjadi fondasi untuk pengembangan layanan kesehatan presisi. Dengan teknologi canggih ini, Regene berada di garis depan industri genetika Indonesia,” ujar Vichi Lestari, CEO Regene Genomics.
     
    Salah satu inovasi andalan adalah Polygenic Risk Scores (PRS) yang menggabungkan variasi genetik menjadi prediksi risiko penyakit kronis dengan akurasi hingga 99,98%. Teknologi ini dipadukan dengan microarray untuk menghasilkan pengujian genetik yang lebih akurat dan bermanfaat bagi pencegahan maupun pengobatan.
     

    Tim Ahli di Balik Regene

    Regene Genomics diperkuat oleh tim pakar lintas bidang, di antaranya:
     
    – Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D., SpMK(K) sebagai penasihat,
     
    – Siti Fathurrohmah, M.Sc sebagai Head of Laboratory,
     
    – Valerie Emily sebagai Genomic Scientist.
     
     

     
    Prof. Amin, Guru Besar Mikrobiologi Klinik FKUI dan mantan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dikenal luas atas kontribusinya dalam riset penyakit infeksi dan perannya saat pandemi COVID-19. Kehadirannya memperkuat posisi Regene sebagai pusat riset genomik dengan wawasan global dan berstandar internasional.
     
    Rahma, sapaan akrab Siti Fathurrohmah, berfokus pada pengembangan analisis DNA/RNA, teknologi microarray, serta diagnostik molekuler. Sementara Valerie Emily berperan dalam pengembangan riset bioinformatika, genotyping, hingga analisis genomik yang menghubungkan hasil laboratorium dengan solusi kesehatan presisi.
     

    Misi Mencerdaskan Generasi

    Dukungan terhadap OGI 2025 menjadi bukti nyata komitmen Regene Genomics untuk tidak hanya menghadirkan inovasi laboratorium, tetapi juga berkontribusi dalam pendidikan sains. Melalui kolaborasi dengan Indonesia Mengajar, Regene ingin memastikan lebih banyak anak-anak Indonesia mendapatkan akses pengetahuan genomik sejak dini.
     
    “Ilmu genomik tidak boleh hanya berhenti di laboratorium. Ia harus bisa dipahami, menginspirasi, dan membuka peluang bagi generasi muda untuk berkontribusi,” tutup Vichi.
     
    Dengan semangat itu, Regene Genomics terus meneguhkan langkah sebagai pionir layanan genetika modern di Indonesia, menghadirkan teknologi mutakhir sekaligus menyiapkan masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
     
     

    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (PRI)

  • Cuma Modal Ayam RI, Peneliti Belanda Raih Nobel Kedokteran

    Cuma Modal Ayam RI, Peneliti Belanda Raih Nobel Kedokteran

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia pernah menjadi salah satu pusat penelitian dunia. Dari tanah jajahan yang kala itu bernama Hindia Belanda, lahir temuan besar yang mengubah wajah ilmu kedokteran internasional.

    Sebab memberi titik terang atas penyakit yang semula dianggap misterius. Salah satu tokoh sentral dalam kisah itu adalah seorang dokter yang bekerja di Batavia, yakni Christiaan Eijkman.

    Sejak 1629, dunia kedokteran percaya penyakit yang menyerang saraf dan darah atau dikenal sebagai beri-beri, disebabkan oleh infeksi bakteri. Keyakinan ini bertahan selama ratusan tahun. Dengan dasar itu, para peneliti mencoba menemukan obat yang dianggap bisa membasmi bakteri penyebab penyakit tersebut.

    Namun, dua abad kemudian, seluruh asumsi itu harus dikoreksi. Di Batavia, pada 1889, Eijkman yang saat itu bertugas di laboratorium rumah sakit militer Weltevreden (kini RSPAD Gatot Subroto), menemukan fakta mengejutkan.

    Dia melakukan serangkaian eksperimen sederhana terhadap ayam yang menunjukkan gejala beri-beri. Sejarawan Universitas Sydney, Hans Pols, dalam bukunya Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019), menuliskan bagaimana percobaan itu dilakukan.

    Awalnya, ayam-ayam tersebut diberi makan beras putih halus. Tak lama kemudian, hewan-hewan itu mengalami gejala mirip beri-beri, yakni lemah, gemetar, dan sulit bergerak. Setelah pakan diganti dengan beras kasar, gejala itu hilang dengan sendirinya.

    Dari sini, Eijkman berkesimpulan ada zat tertentu dalam beras kasar yang mampu melawan beri-beri. Dengan kata lain, penyakit itu tidak ada hubungannya dengan infeksi bakteri, melainkan berakar pada kekurangan zat gizi dalam makanan. Kesimpulan ini mengguncang dunia medis yang selama berabad-abad percaya teori lama.

    Sayangnya, penelitian Eijkman tidak bisa dia lanjutkan lebih jauh. Pada 1896, dia terpaksa kembali ke Belanda. Meski demikian, hasil risetnya tetap dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bergengsi, sehingga menarik perhatian ilmuwan lain di seluruh dunia.

    Publikasi itu kemudian menjadi pijakan penting bagi penelitian lanjutan mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan. Beruntung, setelah Eijkman, muncul ilmuwan lain yang melanjutkan temuan tersebut. Salah satu yang paling berpengaruh adalah Frederick Gowland Hopkins, seorang ilmuwan Inggris.

    Hopkins menegaskan manusia dan hewan membutuhkan zat tryptophan atau asam amino yang terdapat dalam protein. Zat ini tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, sehingga harus diperoleh dari bahan makanan.

    Dalam konteks penelitian Eijkman, tryptophan inilah yang terkandung dalam pakan beras kasar dan menyelamatkan ayam dari beri-beri. Dari penelitian lanjutan yang dilakukan Hopkins serta sejumlah ilmuwan lain, zat itu kemudian diidentifikasi lebih luas sebagai vitamin.

    Temuan ini menandai revolusi baru dalam ilmu kesehatan. Untuk pertama kalinya, penyakit seperti beri-beri dipahami bukan karena serangan bakteri, tetapi murni akibat kekurangan vitamin. Dengan pemahaman itu, dunia medis menemukan cara baru untuk mengatasi penyakit kekurangan gizi yang selama ini menghantui banyak masyarakat di Asia, termasuk di Hindia Belanda.

    Atas jasa besar itu, pada 1929, Christiaan Eijkman dan Frederick Gowland Hopkins dianugerahi Nobel bidang Kedokteran. Komite Nobel menilai riset-riset keduanya yang dilakukan di Hindia Belanda telah menjadi dasar penting dalam penemuan vitamin.

    Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

    (mfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Cuma Modal Ayam RI, Peneliti Belanda Raih Nobel Kedokteran

    Orang Belanda Menang Nobel Berkat Ayam Indonesia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia pernah menjadi salah satu pusat penelitian dunia. Dari tanah jajahan yang kala itu bernama Hindia Belanda, lahir temuan besar yang mengubah wajah ilmu kedokteran internasional.

    Sebab memberi titik terang atas penyakit yang semula dianggap misterius. Salah satu tokoh sentral dalam kisah itu adalah seorang dokter yang bekerja di Batavia, yakni Christiaan Eijkman.

    Sejak 1629, dunia kedokteran percaya penyakit yang menyerang saraf dan darah atau dikenal sebagai beri-beri, disebabkan oleh infeksi bakteri. Keyakinan ini bertahan selama ratusan tahun. Dengan dasar itu, para peneliti mencoba menemukan obat yang dianggap bisa membasmi bakteri penyebab penyakit tersebut.

    Namun, dua abad kemudian, seluruh asumsi itu harus dikoreksi. Di Batavia, pada 1889, Eijkman yang saat itu bertugas di laboratorium rumah sakit militer Weltevreden (kini RSPAD Gatot Subroto), menemukan fakta mengejutkan.

    Dia melakukan serangkaian eksperimen sederhana terhadap ayam yang menunjukkan gejala beri-beri. Sejarawan Universitas Sydney, Hans Pols, dalam bukunya Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019), menuliskan bagaimana percobaan itu dilakukan.

    Awalnya, ayam-ayam tersebut diberi makan beras putih halus. Tak lama kemudian, hewan-hewan itu mengalami gejala mirip beri-beri, yakni lemah, gemetar, dan sulit bergerak. Setelah pakan diganti dengan beras kasar, gejala itu hilang dengan sendirinya.

    Dari sini, Eijkman berkesimpulan ada zat tertentu dalam beras kasar yang mampu melawan beri-beri. Dengan kata lain, penyakit itu tidak ada hubungannya dengan infeksi bakteri, melainkan berakar pada kekurangan zat gizi dalam makanan. Kesimpulan ini mengguncang dunia medis yang selama berabad-abad percaya teori lama.

    Sayangnya, penelitian Eijkman tidak bisa dia lanjutkan lebih jauh. Pada 1896, dia terpaksa kembali ke Belanda. Meski demikian, hasil risetnya tetap dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bergengsi, sehingga menarik perhatian ilmuwan lain di seluruh dunia.

    Publikasi itu kemudian menjadi pijakan penting bagi penelitian lanjutan mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan. Beruntung, setelah Eijkman, muncul ilmuwan lain yang melanjutkan temuan tersebut. Salah satu yang paling berpengaruh adalah Frederick Gowland Hopkins, seorang ilmuwan Inggris.

    Hopkins menegaskan manusia dan hewan membutuhkan zat tryptophan atau asam amino yang terdapat dalam protein. Zat ini tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, sehingga harus diperoleh dari bahan makanan.

    Dalam konteks penelitian Eijkman, tryptophan inilah yang terkandung dalam pakan beras kasar dan menyelamatkan ayam dari beri-beri. Dari penelitian lanjutan yang dilakukan Hopkins serta sejumlah ilmuwan lain, zat itu kemudian diidentifikasi lebih luas sebagai vitamin.

    Temuan ini menandai revolusi baru dalam ilmu kesehatan. Untuk pertama kalinya, penyakit seperti beri-beri dipahami bukan karena serangan bakteri, tetapi murni akibat kekurangan vitamin. Dengan pemahaman itu, dunia medis menemukan cara baru untuk mengatasi penyakit kekurangan gizi yang selama ini menghantui banyak masyarakat di Asia, termasuk di Hindia Belanda.

    Atas jasa besar itu, pada 1929, Christiaan Eijkman dan Frederick Gowland Hopkins dianugerahi Nobel bidang Kedokteran. Komite Nobel menilai riset-riset keduanya yang dilakukan di Hindia Belanda telah menjadi dasar penting dalam penemuan vitamin.

    Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

    (mfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Sejarah dan Tema Hari Gizi Nasional 2025

    Sejarah dan Tema Hari Gizi Nasional 2025

    Liputan6.com, Yogyakarta – Setiap 25 Januari, diperingati sebagai Hari Gizi Nasional (HGN). Tahun ini, Indonesia akan merayakan HGN yang ke-65.

    Sejarah dibentuknya Hari Gizi Nasional berkaitan dengan didirikannya Sekolah Juru Penerang Makanan oleh Lembaga Makanan Rakyat (LMR) pada 25 Januari 1951. Peringatan ini juga tak lepas dari sosok Prof Poorwo Soedarmo yang dikenal sebagai Bapak Gizi Indonesia.

    Pada 1950, Prof Poorwo Soedarmo diangkat sebagai Kepala LMR oleh Menteri Kesehatan Dokter J Leimena. Setahun setelah menjabat, ia pun membangun Sekolah Juru Penerang Makanan yang berada di bawah naungan LMR.

    Saat itu, LMR lebih dikenal sebagai Instituut Voor Volksvoeding. Lembaga ini merupakan bagian dari Lembaga Penelitian Kesehatan atau yang dikenal juga sebagai Lembaga Eijkman.

    Pada masa itu, upaya perbaikan gizi di Indonesia sedang gencar dilakukan. Berada di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan (Menkes) J Leimena, salah satu upayanya adalah dengan mengangkat Prof Poorwo Soedarmo sebagai kepala LMR.

    Sekolah Juru Penerang Makanan ternyata berhasil menjadi tonggak perkembangan gizi di Indonesia. Sebagai bentuk apresiasi, akhirnya ditetapkan Hari Gizi Nasional setiap 25 Januari sejak 1960. Tanggal tersebut merujuk pada tanggal didirikannya Sekolah Juru Penerang Makanan.

    Hari Gizi Nasional hadir sebagai momentum penting dalam keberlangsungan upaya pemenuhan gizi di Indonesia. Melalui peringatan ini diharapkan dapat meningkatkan komitmen dari berbagai pihak untuk bersama-sama memenuhi gizi menuju bangsa sehat berprestasi melalui gizi seimbang dan produksi pangan berkelanjutan. 


    Setiap tahunnya, HGN diisi dengan tema besar yang menjadi fokus utama. Tahun ini, tema Hari Gizi Nasional adalah Pilih Makanan Bergizi untuk Keluarga Sehat. Melalui tema ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengadopsi pola makan bergizi seimbang demi mewujudkan generasi emas Indonesia.

    Penulis: Resla