Kementrian Lembaga: DPRD

  • Terlalu Padat dan Luas, Warga Sambut Baik Pemekaran Kelurahan Kapuk – Page 3

    Terlalu Padat dan Luas, Warga Sambut Baik Pemekaran Kelurahan Kapuk – Page 3

    Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Inggard Joshua,  mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang berencana melakukan pemekaran wilayah di Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Inggard menilai kebijakan ini sebagai bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat di kawasan padat penduduk.

    Menurutnya, pemekaran wilayah bukan sekadar membentuk kelurahan baru, tetapi harus disertai dengan dukungan anggaran yang memadai agar manfaatnya segera dirasakan oleh warga.

    “Masalah dari penganggaran kan dari tahun ke tahun kita selalu tekankan agar ini segera dianggarkan. Kalau sudah diusahakan, kemudian nggak dianggarkan apa gunanya. Nah, ini kita akan ketat, di mana ini menjadi anggaran prioritas yang harus bisa kita wujudkan demi cita-cita masyarakat bersama gubernur dan wakil rakyat supaya masyarakat bisa lebih nyaman,” ujar Inggard Joshua.

    Sementara itu, Pramono Anung juga menyampaikan apresiasi kepada DPRD, khususnya Komisi A, atas dukungan penuh terhadap rencana pemekaran tersebut. Ia menegaskan bahwa sinergi antara eksekutif dan legislatif menjadi kunci agar proses berjalan lancar tanpa menimbulkan beban administratif bagi warga.

    “Saya berterima kasih atas dukungan terutama dari teman-teman DPRD Komisi A DKI Jakarta sehingga ini berjalan dengan baik. Mudah-mudahan ini akan memberikan kemudahan bagi warga masyarakat di Kelurahan Kapuk, baik Kampung Selatan maupun Kampung Timur, untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik,” ujar Pramono.

    Rencana pembangunan kantor kelurahan baru pun telah ditetapkan:

    Kelurahan Kapuk Timur akan menempati bekas kantor Sudin KPKP Jakarta Barat di Jalan Peternakan Raya.
    Kapuk Selatan akan dibangun di lahan Taman Melati 2 milik Sudin Pertamanan dan Hutan Kota.
    Kelurahan Kapuk tetap berlokasi di Jalan Kapuk Raya Nomor 1.

    Pemprov DKI berharap, pemekaran ini bisa menjadi momentum pemerataan pembangunan dan pelayanan publik di wilayah Jakarta Barat agar warga Kapuk dapat merasakan manfaat secara langsung di kehidupan sehari-hari.

     

    (*)

  • Bareng Komisi E, BPBD Jatim Serahkan Bantuan Material Perbaikan Rumah Korban Kebakaran

    Bareng Komisi E, BPBD Jatim Serahkan Bantuan Material Perbaikan Rumah Korban Kebakaran

    Surabaya (beritajatim.com) – Kejadian kebakaran rumah yang menimpa kawasan padat penduduk di wilayah Jemursari RT 4 RW 3, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Wonocolo, Surabaya, medio September lalu juga menjadi perhatian BPBD Jatim.

    Bersama anggota Komisi E DPRD Jatim, H. Rasiyo, BPBD Jatim menyerahkan bantuan material kepada warga terdampak di lokasi kejadian.

    Hadir juga dalam acara ini, Kalaksa BPBD Jatim Gatot Soebroto, Plt. Kabid RR Dhany Aribowo, perwakilan BPBD Kota Surabaya, Camat Wonocolo Muslich Hariadi dan Lurah Wonosari M. Yasin.

    Bantuan bahan material secara simbolis diserahkan anggota Komisi E DPRD Jatim H Rasiyo kepada Camat Wonocolo.

    Adapun bantuan itu berupa, galvalum 150 batang, semen 20 zak, pasir 8 m³, cat tembok 25 Kg, cat besi 10 kg dan 20 paket sembako.

    Usai meninjau bangunan rumah yang direhab secara swadaya, Rasiyo menyampaikan terima kasih kepada segenap kalangan yang telah peduli dengan warga terdampak kebakaran.

    Ia berpesan kepada warga setempat, untuk memperhatikan betul konstruksi instalasi listrik. Karena, jika terjadi konsleting di satu rumah, maka akan berimbas ke rumah lainnya.

    Sementara, Sutrisno, salah satu warga terdampak mengaku sangat berterima kasih atas perhatian dan kepedulian anggota DPRD Jatim dan BPBD Jatim yang telah membantu bahan material, sehingga percepatan pembangunan rumah bisa dilaksanakan.

    “Saat ini proses pembangunan sudah sekitar 60 persen, Insyaallah dalam waktu dekat ini sudah bisa selesai semua,” ujar Sutris yang juga berprofesi sebagai tukang ini. [tok/aje]

  • Dana Desa Dipotong Rp39 Miliar, Pembangunan 220 Desa di Blitar Terancam

    Dana Desa Dipotong Rp39 Miliar, Pembangunan 220 Desa di Blitar Terancam

    Blitar (beritajatim.com) – Dana desa untuk Kabupaten Blitar pada tahun 2026 bakal mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pasalnya dana desa yang ditransfer dari pusat mengalami pemangkasan sebesar Rp39 miliar.

    Kondisi ini pun tentu menjadi kabar buruk bagi 220 desa se Kabupaten Blitar. Pemangkasan dana desa ini pun bisa berdampak pada pembangunan infrastruktur lokal dan bidang pemberdayaan yang selama ini telah dirancang.

    “Secara total memang dana transfer keuangan daerah dari pemerintah pusat berkurang Rp309 miliar, salah satu bagian dari itu adalah dana desa yaang sebelumnya sebanyak Rp239 miliar,” ungkap Kepala BPKAD Kabupaten Blitar, Kurdiyanto pada Jumat (10/10/2025).

    Diketahui pada 2025 kemarin pemerintah pusat mengucurkan dana desa sebesar Rp239 miliar untuk 220 desa se Kabupaten Blitar. Namun pada tahun 2026 mendatang, pemerintah pusat hanya akan mentransfer dana desa sebesar Rp200 miliar.

    “Secara keseluruhan, pendapatan dari pemerintah pusat turun sekitar 15 persen. Ini cukup besar karena proporsinya masih menjadi tumpuan utama dalam struktur pendapatan daerah,” imbuhnya.

    Selain dana desa, dana bagi hasil (DBH) Kabupaten Blitar juga mengalami pemangkasan sebesar Rp34 miliar. Ada pula dana alokasi umum (DAU) yang juga ikut dipangkas sebesar Rp.187 miliar.

    Dana alokasi khusus (DAK) fisik Kabupaten Blitar juga disunat sebesar Rp22 miliar. Tak hanya itu DAK non fisik juga ikut dipangkas sebesar Rp.5 miliar dan intensif fiskal juga dipangkas sebesar Rp7 miliar.

    Kondisi ini tentu memaksa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar untuk mencari jalan keluar. Saat ini Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemkab Blitar sedang rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kabupaten Blitar membahas pemotongan TKD ini. Hal ini untuk mencari solusi agar program dan operasional daerah tetap berjalan meskipun dengan anggaran yang minimalis.

    Bupati Blitar, Rijanto sendiri mengaku pusing dengan adanya pemangkasan tersebut. Namun Rijanto memastikan bahwa dirinya tetap akan memprioritaskan pembangunan fisik dan infrastruktur bagi masyarakat.

    “Nanti tetap akan ada evaluasi tapi infrastruktur tetap harus berjalan,” ucap Rijanto. [owi/aje]

     

  • Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Oktober 2025

    Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini Nasional 10 Oktober 2025

    Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Syarat untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia mengalami perjalanan panjang, mengikuti perubahan konstitusi dan dinamika politik sejak era Presiden Pertama RI, Soekarno hingga kini.
    Dari semula berlandaskan semangat revolusi dan perjuangan kemerdekaan, kini ketentuan itu kian kompleks, menyesuaikan sistem demokrasi elektoral yang diatur undang-undang dan peraturan pemilu.
    Pakar kepemiluan Titi Anggraini menilai, perubahan syarat pencalonan dari masa ke masa menunjukkan dua sisi mata uang antara demokratisasi dan pembatasan.
    “Kalau kita telusuri, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden memang mengalami pergeseran mengikuti dinamika politik dan perubahan konstitusi. Pada masa awal kemerdekaan, syaratnya sederhana dan menekankan integritas kebangsaan. Setelah reformasi, muncul penegasan baru seperti kewajiban dukungan partai serta syarat administratif dan moral yang lebih detail,” kata Titi kepada Kompas.com, Jumat (10/10/2025).
    Namun, menurutnya, perubahan itu tidak selalu identik dengan penguatan demokrasi.
    “Ada kecenderungan bahwa regulasi pencalonan semakin berfungsi sebagai instrumen kontrol politik dan pembatasan untuk ikut berkontestasi, bukan untuk penyaringan calon yang berkualitas,” kata dia.
    Pada masa awal kemerdekaan, konstitusi Indonesia masih sederhana.
    UUD 1945 sebelum amendemen menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
    Tidak ada mekanisme pemilihan langsung, dan tidak ada syarat elektoral yang rumit.
    Syarat utama seorang calon presiden saat itu hanya mencakup warga negara Indonesia sejak lahir, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
    Dalam praktiknya, Soekarno terpilih secara aklamasi oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagai presiden pertama RI, tanpa ada kompetisi politik atau mekanisme pencalonan seperti saat ini.
    Memasuki masa Orde Baru, mekanisme pemilihan presiden tetap dilakukan oleh MPR.
    Namun, prosesnya berubah menjadi sangat formalistik.
    Presiden Soeharto terpilih secara berulang melalui MPR dengan pencalonan yang praktis tanpa pesaing.
    Syarat calon presiden tetap merujuk pada UUD 1945, tetapi dalam praktiknya, dukungan politik di MPR yang didominasi Golkar dan ABRI memastikan Soeharto menjadi calon tunggal.
    Meski demikian, pada masa ini mulai diperkenalkan ketentuan administratif, seperti batas usia minimum 35 tahun dan kewajiban setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
    Perubahan besar terjadi setelah amendemen UUD 1945 pada awal 2000-an.
    Amandemen ketiga UUD mengubah sistem pemilihan presiden menjadi langsung oleh rakyat.
    Pasal 6A UUD 1945 hasil amendemen menegaskan, pasangan capres-cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
    Sejak saat itu, aturan teknis diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemilu.
    Pada Pemilu 2004, Indonesia untuk pertama kalinya menggelar pemilihan presiden secara langsung.
    Syarat pencalonan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003, yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai memiliki sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional.
    Ambang batas ini, yang dikenal sebagai presidential threshold, kemudian menjadi perdebatan panjang karena dianggap membatasi munculnya alternatif calon di luar partai besar.
    Titi menilai,
    presidential nomination threshold
    merupakan salah satu hambatan paling nyata terhadap demokratisasi elektoral di Indonesia.
    “Awalnya, aturan ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial agar tidak terlalu fragmentaris. Tapi dalam praktiknya justru membatasi jumlah calon, menghambat regenerasi elite, dan mempersempit pilihan rakyat,” ujarnya.
    Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden telah mengubah hak pencalonan menjadi privilege partai besar.
    “Dalam sistem presidensial yang demokratis, setiap partai peserta pemilu seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon. Membatasi pencalonan berbasis hasil pemilu legislatif sebelumnya sangat tidak relevan, baik secara konstitusional maupun demokratis,” jelas Titi.
    Ia menambahkan, untuk menjaga efektivitas pemerintahan presidensial, bukan jumlah calon yang harus dibatasi, melainkan sistem kepartaian dan proses pencalonannya yang diperkuat.
    “Caranya dengan mendorong koalisi berbasis platform serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pencalonan,” kata Titi.
    Dalam perkembangannya, peraturan pemilu terus berubah.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mempertegas kembali ambang batas pencalonan sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
    Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga beberapa kali memutus perkara yang berkaitan dengan syarat pencalonan, termasuk soal usia minimal capres-cawapres dan status pejabat kepala daerah.
    Putusan MK pada 2023, misalnya, membuka peluang bagi kepala daerah berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon wakil presiden, asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah terpilih.
    Putusan ini memicu perdebatan publik karena dianggap membuka ruang politik dinasti.
    Titi menilai, perdebatan batas usia menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia belum sepenuhnya mencapai meritokrasi dan keadilan kesempatan.
    “Batas usia dibenarkan jika tujuannya memastikan kematangan dan kapasitas calon. Tapi kalau digunakan secara politis untuk membuka jalan bagi pihak tertentu atau menutup peluang pihak lain, maka itu bentuk ketidakadilan baru,” katanya.
    Ia menegaskan, fenomena politik dinasti bukan semata soal hubungan keluarga, tetapi menyangkut etika kekuasaan.
    “Demokrasi akan tetap sehat selama peluang politik didasarkan pada kemampuan dan pilihan rakyat, bukan pada akses istimewa terhadap sumber daya negara,” ujar Titi.
    Untuk itu, menurutnya, arah regulasi ke depan perlu difokuskan pada pencegahan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar pelarangan hubungan keluarga semata.
    Titi juga menekankan pentingnya penguatan proses rekrutmen politik di internal partai.
    “Salah satu caranya dengan menerapkan syarat minimal sebagai kader bagi calon yang akan dinominasikan partai. Misalnya, berstatus sebagai kader minimal tiga tahun bagi calon anggota DPR dan DPRD. Dengan begitu, mereka yang dicalonkan benar-benar hasil proses kaderisasi,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dua Kali Gagal Tender, Revitalisasi Alun-Alun Kota Probolinggo Akhirnya Dimulai

    Dua Kali Gagal Tender, Revitalisasi Alun-Alun Kota Probolinggo Akhirnya Dimulai

    Probolinggo (beritajatim.com) – Setelah dua kali mengalami kegagalan tender, proyek Revitalisasi Alun-Alun Kota Probolinggo akhirnya mulai dikerjakan. Sepekan terakhir, alat berat sudah turun ke lapangan, namun progres pembangunan masih sangat awal — baru sekitar dua persen dari total pekerjaan.

    Proyek senilai Rp8,75 miliar di bawah tanggung jawab Dinas PUPR-PKP Kota Probolinggo itu kini dikerjakan oleh CV Probolinggo Cemerlang, pemenang tender kedua. Sebelumnya, proyek ini sempat dimenangkan oleh CV Carisa, namun pelaksanaannya batal setelah dinyatakan gagal tender.

    Pantauan di lokasi pada Kamis (9/10/2025) menunjukkan kawasan Alun-Alun kini tertutup pagar seng tinggi. Trotoar lama mulai dibongkar, sungai di sekeliling area telah dikeruk, dan sejumlah pohon besar berusia puluhan tahun terpaksa ditebang untuk mendukung pengerjaan proyek.

    Kondisi tersebut disorot oleh Komisi III DPRD Kota Probolinggo saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) di lokasi pada pagi hari.

    Sekretaris Komisi III, Heri Poniman, meminta agar Dinas PUPR-PKP mempercepat progres agar proyek tidak melewati batas waktu kontrak. “Kalau perlu tambah alat berat biar target tercapai,” ujar Heri di sela-sela sidak.

    Selain itu, ia juga menyoroti batang-batang pohon hasil penebangan yang masih menumpuk di sekitar proyek. “Pohon-pohon ini sebaiknya segera diangkut ke Dinas Lingkungan Hidup dan dilelang. Bisa jadi tambahan pendapatan daerah, sekaligus tidak mengganggu area kerja,” tuturnya.

    Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR-PKP, Taufik Hidayat, membenarkan bahwa progres proyek masih minim. Menurutnya, hal tersebut wajar karena pekerjaan baru dimulai beberapa hari lalu. “Saat ini baru tahap awal, mulai dari pembongkaran trotoar lama, penebangan pohon, hingga pembukaan saluran sungai. Semuanya sudah sesuai tahapan,” jelas Taufik.

    Taufik menegaskan pihaknya optimistis proyek revitalisasi tersebut bisa rampung sesuai jadwal, yakni akhir Desember 2025. Ia memastikan seluruh pengerjaan akan mengikuti grand design yang telah disusun, mulai dari pola trotoar, lampu taman, hingga penataan ulang vegetasi. “Pohon yang sudah ditebang nanti akan diganti dengan penanaman baru sesuai konsep desain,” tambahnya.

    Meski demikian, publik kini menanti apakah proyek yang sempat dua kali gagal tender ini bisa benar-benar selesai tepat waktu — sekaligus menjawab harapan warga akan wajah baru Alun-Alun Kota Probolinggo yang lebih tertata dan nyaman untuk dikunjungi. (ada/kun)

  • Pasca Even Hari Jadi Kota Probolinggo, Stadion Bayuangga Rusak Parah DPRD Minta Penyelenggara Tanggung Jawab

    Pasca Even Hari Jadi Kota Probolinggo, Stadion Bayuangga Rusak Parah DPRD Minta Penyelenggara Tanggung Jawab

    Probolinggo (beritajatim.com) – Kondisi Stadion Bayuangga Kota Probolinggo pasca gelaran event Hari Jadi Kota Probolinggo ke-666 menuai sorotan tajam. Lapangan utama stadion yang menjadi kebanggaan warga kini mengalami kerusakan serius dan tidak bisa digunakan untuk aktivitas olahraga.

    Wakil Ketua I DPRD Kota Probolinggo, Abdul Mujib, menegaskan bahwa persoalan ini bukan untuk dibesar-besarkan, melainkan karena adanya ketidakterlibatan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan dan pemulihan pasca kegiatan besar tersebut.

    “Masalah stadion ini bukan hal yang kami besar-besarkan, tetapi ini tidak bisa dibiarkan. Terlihat kurang baik karena tidak melibatkan para stakeholder terkait,” ujar Abdul Mujib.

    Menurutnya, kondisi lapangan usai acara membutuhkan perawatan intensif. Sejumlah temuan di lapangan menunjukkan masih adanya sisa-sisa sampah dan benda berbahaya.

    “Mulai dari sisa makanan, potongan kawat bekas ikatan, peniti, jarum, bahkan serpihan tajam seperti kulit kerang yang bisa melukai tubuh. Area lapangan juga rembes akibat dilalui kendaraan bermuatan berat,” jelasnya.

    Mujib menilai, pemulihan lapangan tersebut akan membutuhkan waktu, tenaga, serta anggaran besar. Karena itu, ia menegaskan perlu ada tanggung jawab dari pihak penyelenggara.

    “Pemulihan butuh biaya dan tenaga. Maka harus ada konsekuensi bagi penyelenggara agar bersama-sama bertanggung jawab sesuai kesepakatan,” tambahnya.

    Sementara itu, Ketua Askot PSSI Kota Probolinggo, Eko Purwanto, menyebut kekhawatiran pihaknya sebelum pelaksanaan acara ternyata terbukti benar. Ia mengaku kondisi stadion saat ini belum layak digunakan untuk kegiatan olahraga apa pun.

    “Sebelum acara dimulai, kami sudah mengingatkan potensi kerusakan. Dan benar, sekarang banyak ditemukan bekas tusuk sate, kawat, pecahan kerang, serta sisa bakaran di tengah lapangan,” ungkapnya.

    Eko juga menyayangkan masuknya kendaraan besar seperti truk pengangkut panggung ke area lapangan utama yang menyebabkan tanah bergelombang dan rumput rusak parah.

    “Ada truk besar masuk ke tengah lapangan. Itu membuat permukaan lapangan jadi bergelombang. Belum lagi rumput yang menguning karena tidak disiram dan tidak mendapat pupuk khusus,” tambahnya.

    Menurutnya, tanpa adanya dana pemeliharaan dari pihak penyelenggara maupun Dispopar, perbaikan stadion tidak bisa segera dilakukan. Akibatnya, sejumlah atlet dari berbagai cabang olahraga terpaksa menunda latihan yang biasanya dilakukan di stadion tersebut.

    “Saat ini bukan hanya atlet sepak bola, tapi juga atlet cabang lain harus berhenti berlatih karena kondisi stadion belum bisa digunakan,” tutup Eko. [ada/aje]

  • Komisi III DPRD Kota Probolinggo Sidak Proyek Rehabilitasi Rumdin Wakil Wali Kota

    Komisi III DPRD Kota Probolinggo Sidak Proyek Rehabilitasi Rumdin Wakil Wali Kota

    Probolinggo (beritajatim.com) – Komisi III DPRD Kota Probolinggo melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadap proyek rehabilitasi rumah dinas (rumdin) Wakil Wali Kota Probolinggo di Jalan Suroyo, Kamis (9/10/2025). Dalam kunjungan tersebut, dewan meminta agar pengerjaan proyek dipercepat dengan memprioritaskan pemasangan atap.

    Proyek yang dikerjakan melalui Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPR-PKP) Kota Probolinggo itu memiliki pagu anggaran sebesar Rp915 juta. Namun, nilai yang disetujui untuk pelaksanaan mencapai Rp777.750.000 dengan pelaksana proyek dari CV Sexy Road Indo.

    Sekretaris Komisi III DPRD Kota Probolinggo, Heri Poniman, mengatakan bahwa proyek ini ditargetkan selesai pada 25 Desember 2025. Mengingat waktu yang semakin sempit, pihaknya meminta agar pelaksana menambah tenaga kerja agar target waktu bisa tercapai.

    “Saya lihat perlu penambahan tenaga kerja karena waktunya mepet. Harus dikebut supaya selesai sesuai jadwal,” ujarnya.

    Menurut Poniman, bagian yang harus segera diselesaikan adalah pemasangan atap. Ia menilai atap menjadi elemen penting dari struktur bangunan yang harus diprioritaskan lebih dulu.

    “Atap ini paling krusial. Jadi saya minta agar dikerjakan terlebih dahulu. Waktunya sudah sangat mepet,” tegasnya.

    Hingga saat sidak dilakukan, progres pengerjaan proyek baru mencapai 26 persen. Dengan sisa waktu kurang dari dua bulan, Komisi III merekomendasikan agar pihak penyedia dan dinas terkait mempercepat proses pekerjaan agar tidak molor dari target.

    “Kami sudah sampaikan ke OPD terkait, sebaiknya proses tender dimulai sejak Maret supaya proyek tidak terlambat dan tidak mangkrak di akhir tahun,” tambah Heri.

    Sementara itu, pihak Bidang Cipta Karya Dinas PUPR-PKP Kota Probolinggo serta penyedia proyek enggan memberikan komentar terkait hasil sidak tersebut. [ada/aje]

  • Dana Transfer Pusat Dipangkas, Belanja Pemkab Gresik Dirasionalisasi

    Dana Transfer Pusat Dipangkas, Belanja Pemkab Gresik Dirasionalisasi

    Gresik (beritajatim.com)- Imbas adanya pemangkasan dana transfer pusat ke daerah. Berdampak langsung pada belanja pegawai di lingkup Pemkab Gresik. Dana yang dipakai untuk membiayai urusan pemerintahan daerah akan lebih banyak dirasionalisasi sesuai dengan kebutuhan.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, isu pemangkasan dana transfer dari pemerintahan pusat ke Pemkab Gresik diperkirakan mencapai setengah triliun. Jumlah ini sangat besar, dan telah menjadi perbincangan di kalangan OPD setempat.

    Menanggapi hal ini, Bupati Fandi Akhmad Yani, atau akrab disapa Gus Yani mengatakan, dirinya tetap komitmen belanja yang berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat tetap menjadi prioritas utama.

    “Harapan kami, pemangkasan anggaran dana transfer dari pusat bisa dievaluasi kembali. Kendati demikian sudah ada persiapan merasionalisasi kembali belanja, dan ini menjadi poin utamanya,” katanya, Kamis (9/10/2025).

    Bupati dua periode ini menambahkan, anggaran belanja pemkab yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat, seperti infrastruktur dan kesehatan akan tetap dikawal.

    “Infrastruktur akan kami evaluasi mana yang benar-benar bisa mengangkat ekonomi masyarakat. Begitu juga dengan target Universal Health Coverage (UHC) agar masyarakat bisa merasakan manfaatnya,” imbuhnya.

    Sebaliknya lanjut dia, belanja yang bersifat umum dan seremonial akan dievaluasi. Pemerataan infrastruktur tetap berjalan, namun lebih selektif berdasarkan manfaat yang dihasilkan.

    “Kami pastikan pembangunan yang memberikan dampak luas bagi masyarakat tidak akan terhenti,” paparnya.

    Selain itu, untuk menyiasati apabila pemangkasan dilakukan. Mantan Ketua DPRD Gresik ini memperkuat strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menutup potensi kekurangan.

    Optimalisasi pajak daerah, pengelolaan aset dan inovasi pelayanan publik disiapkan agar pembangunan dan pelayanan masyarakat terus berlanjut.

    “Rasionalisasi bukan berarti memangkas hak masyarakat, tetapi memastikan setiap rupiah dipakai untuk program yang berdampak nyata bagi warga Gresik,” ujar Gus Yani. [dny/aje]

  • Setelah Kepala BPKAD, Giliran Kepala Bappeda Jawa Timur Diperiksa KPK

    Setelah Kepala BPKAD, Giliran Kepala Bappeda Jawa Timur Diperiksa KPK

    Jakarta (beritajatim.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Timur Mohammad Yasin terkait dugaan korupsi Pengurusan Dana Hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dari APBD Prov Jatim TA 2021 – 2022.

    Sebelumnya, pada Rabu (8/10/2025), KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Jawa Timur Sigit Panoentoen.

    “Hari ini, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur terkat dugaan tindak pidana korupsi terkait Pengurusan Dana Hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dari APBD Prov Jatim tahun anggaran 2021 – 2022,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Kamis (9/10/2025).

    Budi tidak menjelaakan terkait materi pemeriksaan terhadap Yasin. “Pemeriksaan di Gedung KPK,” ujar Budi.

    Seperti diberitakan, KPK akhirnya mengumumkan secara resmi 21 tersangka dugaan korupsi terkait pengurusan dana hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dari APBD Pemerintah Provinsi Jatim Tahun Anggaran (TA) 2019-2022.

    Mereka terdiri dari empat orang penerima suap dan sisanya merupakan pemberi suap. Tersangka penerima suap yakni, Kusnadi (KUS) selaku Ketua DPRD Jatim;  Anwar Sadad (AS) selaku Wakil Ketua DPRD Jatim; Achmad Iskandar (AI) selaku Wakil Ketua DPRD Jatim; dan Bagus Wahyudiono (BGS);selaku staf AS dari Anggota DPRD Jatim atau pihak swasta.

    Sementara 17 tersangka sebagai pihak pemberi, yakni :

    1) Mahud (MHD) selaku anggota DPRD Provinsi Jawa Timur 2019 – 2024;

    2) Fauzan Adima (FA) selaku Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Sampang Periode 2019 – 2024;

    3) Jon Junaidi (JJ) selaku Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Probolinggo Periode 2019 – 2024;

    4) Ahmad Heriyadi (AH), Ahmad Affandy (AA), dan Abdul Motollib (AM) selaku pihak swasta dari Kabupaten Sampang;

    5) Moch. Mahrus (MM) selaku pihak swasta di Kabupaten Probolinggo, yang saat ini menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2024-2029;

    6) A. Royan (AR) dan Wawan Kristiawan (WK) selaku pihak swasta dari Tulungagung;

    7) Sukar (SUK) selaku mantan Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung;

    8) Ra. Wahid Ruslan (RWR) dan Mashudi (MS) selaku pihak swasta dari Kabupaten Bangkalan;

    9) M. Fathullah (MF) dan Achmad Yahya (AY) selaku pihak swasta dari Kabupaten Pasuruan;

    10)Ahmad Jailani (AJ);selaku pihak swasta dari Kabupaten Sumenep;

    11)Hasanuddin (HAS) selaku pihak swasta dari Kabupaten Gresik yang sekarang menjadi Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2024 – 2029;

    12)Jodi Pradana Putra (JPP) selaku pihak swasta dari Kabupaten Blitar. Menurut Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, perkara ini merupakan pengembangan dari kegiatan tangkap tangan pada Desember 2022, terhadap STS (Sahat Tua P. Simanjuntak, red) selaku Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur (Jatim) periode 2019-2024.

    “Setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, maka berdasarkan kecukupan alat bukti, KPK kemudian menetapkan 21 orang sebagai Tersangka,” kata Asep, Kamis (2/10/2025).

    Dia menambahkan, dalam perkara ini terungkap bahwa, selain penyusunan aspirasi tidak berbasis pada kebutuhan riil masyarakat, anggaran yang disiapkan untuk program pokok pikiran (Pokir) juga justru “dikutip” oleh oknum-oknum tertentu.

    “Alhasil, kualitas program yang dilaksanakan menjadi tidak optimal. Demikian halnya, jika program tersebut berbentuk pembangunan proyek fisik, maka kualitas dan spesifikasinya tidak sesuai dengan standar,” ujar Asep. (tok/ted)

  • Pengamat nilai transformasi PAM Jaya jadi Perseroda sarat kepentingan

    Pengamat nilai transformasi PAM Jaya jadi Perseroda sarat kepentingan

    Jakarta (ANTARA) – Pengamat kebijakan publik Taufik Tope Rendusara menilai perubahan status Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PAM Jaya menjadi Perseroan Daerah (Perseroda) bukan semata langkah efisiensi dan profesionalisasi, melainkan juga sarat kepentingan politik.

    “Ketika kekuasaan ikut membeli saham, yang dijual bukan hanya perusahaan daerah, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap makna kata publik itu sendiri,” kata Taufik dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Menurut dia, transformasi BUMD menjadi Perseroda yang kini terjadi di berbagai daerah kerap dibungkus dengan jargon efisiensi dan profesionalisme.

    Namun dalam praktiknya, kata dia, kebijakan tersebut sering kali menjadi pintu masuk bagi kepentingan politik dan kompromi kekuasaan.

    “Masuknya modal swasta secara ekonomi mungkin dianggap logis, tetapi secara politik membuka ruang baru bagi pengaruh non-publik. Di balik aliran modal, hampir selalu ada aliran kepentingan,” ujarnya.

    Jakarta, lanjut Taufik, kini menjadi “laboratorium” utama dari eksperimen kebijakan tersebut. Pemerintahan Pramono Anung–Rano Karno dinilai tengah memanfaatkan momentum transformasi ini untuk membangun citra reformis dan efisien menjelang tahun politik 2029.

    “Pramono membutuhkan reputasi sebagai teknokrat modern agar bisa membawa narasi reformasi ke level nasional. Sementara Rano Karno menghadapi dilema antara menjaga citra sebagai wakil rakyat kecil atau mengikuti arus efisiensi yang berpotensi menjual hak publik,” kata dia.

    Taufik menegaskan bahwa efisiensi memang penting, namun pelayanan publik tidak bisa disamakan dengan logika korporasi.

    “Air bukan komoditas. Ketika urusan hidup orang banyak diukur lewat saham, maka yang tergerus bukan hanya nilai sosial, tapi juga keadilan dan kepercayaan warga,” ucapnya.

    Dia mengingatkan bahwa istilah modernisasi dalam konteks kebijakan publik kerap menjadi “kamuflase” dari kompromi antara penguasa dan pemodal.

    “Reformasi sejati seharusnya memulihkan kepercayaan rakyat, bukan memoles ambisi kekuasaan,” katanya menambahkan.

    Sebelumnya, Direktur Utama Perumda PAM Jaya Arief Nasrudin mengatakan, perubahan badan hukum dari Perumda ke Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) merupakan cara untuk mempermudah gerak perusahaan air minum milik Pemprov DKI itu.

    “Kami membutuhkan perubahan badan hukum agar bisa lebih elastis bergerak,” kata Arief saat rapat kerja dengan Komisi C DPRD DKI Jakarta, Kamis (11/9).

    Menurut dia, perubahan badan hukum dari Perumda ke Perseroda untuk perusahaan air minum daerah sudah banyak contohnya, seperti di Bandung, Semarang, Depok dan lainnya.

    Ia mengatakan bahwa perubahan badan hukum ini akan memberikan dampak yang baik untuk perusahaan, terutama dalam hal pembiayaan, karena perusahaan tidak lagi bergantung pada pemerintah daerah.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.