Kementrian Lembaga: DPRD

  • DPRD Pamekasan Desak Semua SPPG Penuhi Standar Gizi Demi Kemaslahatan

    DPRD Pamekasan Desak Semua SPPG Penuhi Standar Gizi Demi Kemaslahatan

    Pamekasan (beritajatim.com) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pamekasan, mendesak semua dapur Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di wilayah setempat, agar memenuhi standar gizi demi kemaslahatan bersama.

    “Semua SPPG dalam program MBG itu harus selalu memperhatikan aspek kebersihan dan kesehatan, termasuk juga harus melibatkan ahli gizi di setiap dapur guna memastikan menu MBG sesuai ketentuan,” kata Ketua Komisi IV DPRD Pamekasan, Halili Yasin, Selasa (4/11/2025).

    Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab selama ini terdapat beragam kasus keracunan penerima manfaat program MBG yang mencederai cita-cita mulia dari Presiden Prabowo Subianto. “Selana ini hampir semua SPPG di Pamekasan, belum memiliki ahli gizi. Hal ini tentu perlu menjadi evaluasi khusus untuk mencegah kejadian serupa terulang,” ungkapnya.

    “Sejauh ini kami legislatif belum memiliki kewenangan teknis terkait pengelolaan MBG, tapi kita tetap melakukan koordinasi lebih lanjut dengan pihak terkait sebagai bentuk sinergi pengawasan terhadap program MBG, terutama setelah pembentukan Satgas MBG,” imbuhnya.

    Meski begitu, pihaknya menilai jika saat ini program MBG mulai berjalan tertib dan tidak ada lagi kasus keracunan. “Untuk saat ini realisasi program MBG sudah mulai stabil, artinya sudah tidak ada lagi kasus keracunan. Tapi perlu diingat jika segala persyaratan dari dinas tetap perlu dipenuhi oleh semua SPPG,” tegasnya.

    Sebelumnya Ketua DPRD Pamekasan, Ali Masykur juga sempat mengingatkan pelaksanaan program MBG agar memprioritaskan aspek kesehatan dan kemanusiaan dibanding bisnis semata. Hal tersebut disampaikan sering dengan adanya laporan kasus keracunan hingga temuan hewan buah dalam menu makanan MBG.

    Terlebih program tersebut memiliki manfaat penting bagi masyarakat, beberapa di antaranya menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran di wilayah setempat. Hanya saja sangat penting juga untuk memprioritaskan keamanan dan kesehatan masyarakat. [pin/kun]

  • Bapak Berani Tampil di Tengah Banyak Serigala

    Bapak Berani Tampil di Tengah Banyak Serigala

    GELORA.CO –   Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Komite IV, Habib Ali Alwi meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk berhati-hati. 

    Sebab, dia menilai kebijakan Purbaya sangat berani, sehingga banyak orang yang menentangnya.

    Hal tersebut disampaikan Ali Alwi saat Purbaya Yudhi Sadewa menggelar rapat bersama Komite IV DPD RI di Jakarta, Senin (3/11/2025). 

    Mulanya Ali Alwi mengaku salut dengan kinerja Purbaya yang baru beberapa bulan dilantik Presiden Prabowo Subianto menjadi Menkeu.

    “Beberapa bulan belakangan ini, kami semua cukup salut, dan kami berdoa semoga bapak tetap istiqomah,” kata Habib Ali.

    “Karena berada di tengah hutan belantara, Bapak berani tampil di tengah-tengah serigala yang begitu banyak, Pak. Hati-hati kalau kagak kuat, Pak. Itu serigalanya samping kiri kanan Bapak itu,” 

    “Kita ini orang luar yang ngeliat ke dalam, harapan kami, bapak bijaksana ke rakyat,” imbuhnya.

    Lalu bagaimanakah sosok Ali Alwi?

    Ali Alwi lahir di Ambon, tanggal 02 September 1967.

    Ia menempuh pendidikan S1 di IAIN Syarif Hidayatullah yang kini menjadi UIN Syarif Hidayatullah.

    Ali Alwi kemudian melanjutkan kuliahnya, di STIA YAPPANN.

    Sebelum bergabung dengan DPD RI, Habib  Ali Alwi memiliki pengalaman sebagai wakilrakyat.

    Ia merupakan anggota DPRD untuk Kabupaten Tangerang periode 1999–2004.

    Kemudian Ali Alwi kembali menjadi anggota DPRD Provinsi Banten periode tahun 2004–2009.

    Di tahun 2014-2019, Ali Alwi menjabat sebagai senator yang mewakili Provinsi Banten di kursi DPD RI.

    Senator adalah anggota badan legislatif, yaitu wakil rakyat yang mewakili suatu daerah atau negara bagian.

    Di 2025, Ali Alwi lagi-lagi terpilih sebagai senator.

    Harta Kekayaan

    Menjadi anggota legislatif sejak tahun 1999, terkuak harta kekayaan Ali Alwi.

    Dimuat dalam situs Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Ali Alwi melaporkan harta kekayaan pada 28 Maret 2025.

    Berikut rinciannya:

    A. TANAH DAN BANGUNAN Rp. 6.200.000.000

    1. Bangunan Seluas 163 m2 di KAB / KOTA TANGERANG SELATAN,

    HASIL SENDIRI Rp. 1.200.000.000

    2. Tanah dan Bangunan Seluas 7.608 m2/4.000 m2 di KAB / KOTA

    TANGERANG SELATAN, HIBAH TANPA AKTA Rp. 5.000.000.000

    B. ALAT TRANSPORTASI DAN MESIN Rp. 319.000.000

    1. MOBIL, MERCEDES BENZ SEDAN Tahun 1995, HASIL SENDIRI

    Rp. 70.000.000

    2. MOTOR, HONDA SEPEDA MOTOR Tahun 2014, HASIL SENDIRI: Rp. 16.000.000

    3. MOBIL, TOYOTA HARRIER JEEP Tahun 2004, HASIL SENDIRI: Rp. 233.000.000

    C. HARTA BERGERAK LAINNYA Rp. 211.000.000

    D. SURAT BERHARGA Rp. —-

    E. KAS DAN SETARA KAS Rp. 267.601.073

    F. HARTA LAINNYA Rp. —-

    Sub Total Rp. 6.997.601.073

    III. HUTANG Rp. —-

    IV. TOTAL HARTA KEKAYAAN (II-III) Rp. 6.997.601.073

  • DPRD Ngawi Soroti Celah Hukum di Kasus Seleksi Sekdes Tirak, Camat Belum Keluarkan Rekomendasi

    DPRD Ngawi Soroti Celah Hukum di Kasus Seleksi Sekdes Tirak, Camat Belum Keluarkan Rekomendasi

    Ngawi (beritajatim.com) – Polemik pengisian jabatan Sekretaris Desa (Sekdes) di Desa Tirak, Kecamatan Kwadungan, Ngawi, terus bergulir. DPRD Kabupaten Ngawi bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) serta Camat Kwadungan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) guna membahas kejanggalan dalam proses seleksi perangkat desa tersebut.

    Kepala DPMD Ngawi, Budi Santoso, menyebutkan bahwa tahapan pengisian perangkat desa sudah dilakukan sesuai dengan Peraturan Bupati (Perbup). Namun, ia mengakui adanya tafsir ganda dalam aturan tersebut, khususnya terkait dengan syarat administrasi calon perangkat.

    “Semua tahapan sudah dilakukan sesuai Perbup. Tapi memang ada hal-hal yang menjadi keputusan panitia, terutama persyaratan yang ternyata multitafsir dalam Perbup itu sendiri,” ungkap Budi Santoso, Selasa (4/11/2025).

    Ia menambahkan, DPMD dipanggil oleh Komisi I DPRD untuk memberikan penjelasan sekaligus menerima masukan dari masyarakat terkait kisruh yang muncul setelah hasil seleksi diumumkan.

    Sementara itu, Camat Kwadungan, Didik Hartanto, menjelaskan bahwa persoalan utama muncul dari status hukum salah satu peserta seleksi.

    “Masalahnya ada pada salah satu peserta yang ternyata masih berstatus narapidana dengan bebas bersyarat. Itu yang dipertanyakan masyarakat,” terang Didik.

    Menurutnya, pihak kecamatan sudah memberikan masukan kepada panitia agar berhati-hati sebelum menetapkan hasil seleksi. Namun keputusan sepenuhnya berada di tangan panitia.

    “Kami sudah mengingatkan sejak awal agar hati-hati. Tapi kewenangan teknis sepenuhnya di panitia. Sekarang kami masih menunggu waktu untuk memberikan rekomendasi ke bupati, sesuai ketentuan tujuh hari kerja setelah laporan diterima,” tambahnya.

    Di sisi lain, Ketua Komisi I DPRD Ngawi, Anis Hamidi, menilai bahwa permasalahan ini muncul akibat lemahnya ketegasan dalam regulasi daerah.

    “Polemik ini berawal karena ada calon sekdes yang masih menjalani pidana bebas bersyarat, tapi tetap diterima panitia dan bahkan mendapat nilai tertinggi. Panitia hanya melihat SKCK tanpa menelusuri lebih jauh status hukumnya,” jelas Anis.

    Ia menegaskan, posisi DPRD saat ini adalah mendorong camat agar mengeluarkan rekomendasi yang tidak memperkeruh suasana dan bisa diterima masyarakat.

    “Baik menolak maupun menyetujui pelantikan sama-sama berpotensi digugat. Karena itu kami sarankan rekomendasi yang paling menenangkan dan tidak menambah gaduh,” ujarnya.

    Anis juga mengakui bahwa ketidakjelasan aturan dalam Perbup menjadi celah yang harus segera diperbaiki.

    “Di kabupaten lain ada ketegasan bahwa terpidana, meski bebas bersyarat, tidak boleh mencalonkan. Tapi di Ngawi belum ada penegasan seperti itu. Artinya, Perbup kita masih multitafsir,” tegasnya.

    RDP tersebut diakhiri dengan kesepakatan agar DPMD dan Camat Kwadungan berhati-hati dalam memberikan rekomendasi, sembari menunggu tindak lanjut revisi aturan agar kasus serupa tidak terulang. [fiq/suf]

  • DPRD Bojonegoro Kawal Penurunan HET Pupuk Bersubsidi agar Tak Diselewengkan

    DPRD Bojonegoro Kawal Penurunan HET Pupuk Bersubsidi agar Tak Diselewengkan

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Kebijakan penurunan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1117/Kpts/SR.310/M/10/2025 disambut positif oleh DPRD Kabupaten Bojonegoro. Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro, Sally Atyasasmi, menyatakan bahwa langkah tersebut akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan petani di daerah.

    “Tugas kami di Komisi B DPRD Bojonegoro saat ini adalah mengawal dan mengawasi implementasi kebijakan ini di tingkat daerah,” ujar Sally Atyasasmi, Selasa (4/11/2025).

    Politisi Partai Gerindra itu menegaskan bahwa DPRD akan melakukan pengawasan secara berkala melalui kunjungan ke distributor, kios, kelompok tani, hingga petani. Tujuannya agar kebijakan penurunan HET benar-benar diterapkan sesuai aturan dan tidak diselewengkan di lapangan.

    “Pengawasan yang ketat sangat diperlukan agar kebijakan baru ini tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Khususnya jangan sampai ada penyelewengan di tingkat distributor, kios, kelompok tani maupun petani,” tegasnya.

    Sally menambahkan, Bojonegoro sebagai salah satu sentra produksi padi di Jawa Timur kerap menghadapi kendala tingginya biaya produksi akibat mahalnya harga pupuk. Karena itu, penurunan HET pupuk bersubsidi dinilai dapat meringankan beban petani dan meningkatkan margin keuntungan mereka.

    “Dengan turunnya HET pupuk bersubsidi ini, diharapkan keuntungan petani, terutama di Kabupaten Bojonegoro, bisa meningkat,” ujarnya.

    Ia juga menekankan pentingnya realisasi penyaluran pupuk bersubsidi sesuai target dan data penerima manfaat. “Kami akan memastikan stok pupuk bersubsidi yang disediakan Pemerintah Daerah Bojonegoro tersalurkan seluruhnya, sesuai data penerima manfaat dan harga terbaru,” tandasnya.

    Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bojonegoro, harga pupuk Urea turun dari Rp2.250/kg (Rp112.500/sak) menjadi Rp1.800/kg (Rp90.000/sak), NPK dari Rp2.300/kg (Rp115.000/sak) menjadi Rp1.840/kg (Rp92.000/sak), ZA dari Rp1.700/kg (Rp85.000/sak) menjadi Rp1.360/kg (Rp68.000/sak), dan pupuk organik dari Rp800/kg (Rp32.000/sak) menjadi Rp640/kg (Rp25.600/sak). [lus/beq]

  • Ratusan Driver Ojol di Kota Pasuruan Demo, Minta Kejelasan Mutu Pertalite

    Ratusan Driver Ojol di Kota Pasuruan Demo, Minta Kejelasan Mutu Pertalite

    Pasuruan (beritajatim.com) – Ratusan pengemudi ojek online (Ojol) di Kota Pasuruan turun ke jalan menuntut kejelasan mutu bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite yang diduga menurun. Aksi damai tersebut digelar di depan kantor DPRD Kota Pasuruan pada Selasa (4/11/2025) siang.

    Para pengemudi mengaku BBM yang mereka gunakan sering menyebabkan motor “brebet” atau tersendat saat dikendarai. Kondisi ini dinilai sangat merugikan karena berdampak langsung pada penghasilan mereka yang bergantung pada performa kendaraan.

    Aksi berlangsung tertib tanpa insiden. Setelah menyampaikan orasi di luar gedung, perwakilan Ojol diterima oleh Ketua DPRD Kota Pasuruan, M. Toyib, untuk melakukan audiensi.

    Dalam pertemuan itu, Toyib memberikan apresiasi terhadap cara penyampaian aspirasi para pengemudi Ojol yang berlangsung damai dan tertib. Menurutnya, aksi seperti ini menunjukkan kedewasaan masyarakat dalam menyalurkan pendapat.

    “Demo damai seperti ini jauh lebih efektif. Dari 400 peserta, ada 10 perwakilan yang kami terima, dan semua tuntutan mereka sudah kami catat untuk ditindaklanjuti,” ujar Toyib.

    Toyib menegaskan, keluhan tentang kualitas Pertalite bukan hanya dialami oleh para pengemudi Ojol. Menurutnya, fenomena serupa juga dirasakan masyarakat umum di berbagai wilayah.

    “Keluhan ini bukan hal baru. Banyak laporan masuk ke DPRD, dan demo ini justru memperkuat bahwa persoalan tersebut benar adanya dan harus segera diselidiki,” tegasnya.

    Bahkan, Toyib secara mengejutkan mengaku mengalami gejala yang sama pada kendaraannya. Ia menyebut motornya kerap tersendat padahal bahan bakar masih terisi penuh.

    “Saya alami sendiri, motor baru tapi nyendut-nyendut. Ini jadi bukti bahwa dugaan menurunnya mutu Pertalite bukan isapan jempol,” ungkapnya.

    Toyib menambahkan, pengawasan terhadap mutu BBM perlu diperketat karena sudah berdampak luas di masyarakat. Ia juga memastikan DPRD akan memanggil pihak terkait untuk meminta klarifikasi.

    “Dalam waktu dekat kami akan mengundang pihak SPBU dan Pertamina, didampingi Polres serta Disperindag, agar masalah ini mendapat kejelasan. Kami akan kawal sampai ada solusi nyata bagi masyarakat,” pungkasnya. (ada/but)

  • Terlanjur Bayar Biaya Administrasi, Bantuan Ternak di Bondowoso Justru Macet

    Terlanjur Bayar Biaya Administrasi, Bantuan Ternak di Bondowoso Justru Macet

    Bondowoso (beritajatim.com) – Sejumlah kelompok peternak di Kabupaten Bondowoso dibuat resah lantaran program pengadaan ternak tahun 2025 tak kunjung terealisasi.

    Para penerima manfaat mengaku sudah memenuhi seluruh syarat administratif yang diminta pemerintah daerah, namun hingga November ini, bantuan yang dijanjikan belum juga disalurkan.

    Ketua Kelompok Peternak Pejaten Bangkit, Kecamatan Tegalampel, Muhammad Irwansyah, mengungkapkan bahwa para peternak sudah berbulan-bulan menunggu kepastian dari dinas terkait.

    “Kami sudah selesaikan semua berkas sejak Mei sampai Juli, termasuk SKT dari Bakesbangpol, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Alasannya cuma salah kode rekening,” ujarnya pada Beritajatim.com, Selasa (4/11/2025).

    Menurut Irwan, program tersebut sebelumnya sudah dibahas dan disetujui DPRD Bondowoso. Dinas Peternakan juga telah menyiapkan daftar belanja anggaran (DBA) dan calon ppenerima

    Namun setelah terjadi pergantian pejabat di dinas, muncul aturan baru yang mewajibkan kelompok ternak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Bakesbangpol.

    Aturan baru itu dinilai memberatkan karena SKT mensyaratkan akta pendirian notaris dan klasifikasi ormas, bukan kelompok peternak. “Kami jadi harus keluar biaya tambahan hanya untuk urusan administrasi,” keluhnya.

    Irwan menyebut, kelompoknya telah mengeluarkan biaya sekitar Rp138 juta untuk membangun kandang komunal, menyewa lahan pakan, dan membeli bahan pakan hingga lima ton. “Kami habis uang segitu karena yakin program segera jalan. Tapi nyatanya mandek,” katanya kecewa.

    Kelompok Pejaten Bangkit seharusnya menerima 10 ekor sapi jantan dari program tersebut. Di Desa Pejaten sendiri terdapat empat kelompok penerima — satu kelompok sapi dan tiga kelompok kambing — yang seluruhnya diusulkan melalui pokok pikiran (pokir) anggota DPRD Bondowoso, Soedarsono.

    Irwan juga menyoroti dugaan pungutan liar dalam proses pengurusan SKT. Ia menyebut beberapa kelompok diarahkan untuk menggunakan notaris tertentu dengan biaya Rp1,5 juta per kelompok, padahal notaris lain bisa mengurus hanya Rp750 ribu.

    “Sekitar 20 kelompok akhirnya memilih notaris yang saya rekomendasikan karena lebih cepat dan murah,” katanya.

    Ia menegaskan, program ini bukan hibah uang, melainkan pengadaan barang. “Kami hanya menerima ternak sesuai usulan, bukan uang. Tapi sekarang malah tak ada kejelasan,” ujarnya.

    Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Bondowoso, Hendri Widotono, menjelaskan bahwa program tersebut terhambat karena adanya perubahan aturan dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 2024.

    “Aturan baru itu mengatur bahwa bantuan ternak harus masuk kategori belanja hibah, sedangkan di APBD awal kami rencanakan sebagai belanja yang diserahkan kepada masyarakat. Saat diajukan perubahan di PAPBD, tidak bisa disetujui hingga tingkat gubernur,” jelasnya.

    Hendri menegaskan, perubahan tersebut tak bisa dipaksakan karena berpotensi menyalahi mekanisme penganggaran.

    “Kalau dipaksakan, risikonya bisa pidana. Jadi kami konsultasikan dengan Inspektorat. Kami juga berencana mengundang peternak untuk memberi penjelasan resmi,” ujarnya.

    Ia menambahkan, program bantuan ternak kemungkinan akan didorong kembali pada tahun anggaran 2026, bergantung pada hasil pembahasan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan persetujuan provinsi. (awi/but)

  • Sekolah Ambruk Diterpa Hujan, Ratusan Siswa SDN Dawan Kaler Belajar di Perpustakaan

    Sekolah Ambruk Diterpa Hujan, Ratusan Siswa SDN Dawan Kaler Belajar di Perpustakaan

    Bali: Proses belajar mengajar bagi ratusan siswa di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Dawan Kaler, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, lumpuh akibat kerusakan berat pada bangunan sekolah. Sejumlah ruang kelas tidak dapat digunakan sejak Februari 2025 setelah atap dan plafon ambruk diguyur hujan deras.

    Plt. Kepala SDN Dawan Kaler Ketut Gede Pasek mengatakan, fisik bangunan yang rusak telah berusia lebih dari 15 tahun, bangunan mulai rusak parah sejak November 2024. Hingga akhirnya genteng dan plafon runtuh pada Februari 2025. “Untungnya kejadian ini terjadi pas siswa libur sekolah,” ujar Pasek.

    Menghadapi kondisi tersebut, pihak sekolah terpaksa mererelokasi darurat untuk 174 siswa. Siswa Kelas III (31 anak) dipindahkan ke ruang UKS, sementara siswa Kelas IV dialihkan ke ruang perpustakaan.

    Situasi paling ironis dialami oleh siswa Kelas II dan V. Sebanyak 20 siswa Kelas II digabung dengan 23 siswa Kelas V dalam satu ruangan tanpa sekat. “Suasana belajar jelas tidak kondusif,” kata Ketut Gede Pasek.

    Ia mengakui penggabungan kelas yang mengharuskan dua guru mengajar secara bersamaan dalam ruangan yang sama sangat tidak ideal, namun pihak sekolah tidak memiliki pilihan lain.

    Rencana meminjam Balai Banjar urung dilakukan karena kekhawatiran kondisi bangunan terbuka dapat berisiko terhadap kesehatan anak-anak.

    DPRD Desak Percepatan Rehabilitasi

    Ketua DPRD Klungkung Anak Agung Gde Anom, bersama Komisi III DPRD langsung meninjau lokasi. Agung Anom menilai kondisi bangunan sudah tidak layak dan mendesak percepatan tindakan.

    “Kami melihat sendiri bangunan sekolah tidak bisa dipakai sejak Februari,” kata Agung Anom.

    Ia menyebutkan bahwa Dinas Pendidikan telah menganggarkan sekitar Rp400 juta untuk perbaikan pada tahun 2026. Namun, demi kepentingan ratusan siswa, DPRD meminta prosesnya dipercepat.

    “Kami berharap prosesnya bisa dipercepat agar pelaksanaan bisa dimulai paling lambat Maret (2026),” pungkas Agung Anom, menegaskan pentingnya menjamin hak pendidikan anak-anak di SDN Dawan Kaler.

    Bali: Proses belajar mengajar bagi ratusan siswa di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Dawan Kaler, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, lumpuh akibat kerusakan berat pada bangunan sekolah. Sejumlah ruang kelas tidak dapat digunakan sejak Februari 2025 setelah atap dan plafon ambruk diguyur hujan deras.
     
    Plt. Kepala SDN Dawan Kaler Ketut Gede Pasek mengatakan, fisik bangunan yang rusak telah berusia lebih dari 15 tahun, bangunan mulai rusak parah sejak November 2024. Hingga akhirnya genteng dan plafon runtuh pada Februari 2025. “Untungnya kejadian ini terjadi pas siswa libur sekolah,” ujar Pasek.
     
    Menghadapi kondisi tersebut, pihak sekolah terpaksa mererelokasi darurat untuk 174 siswa. Siswa Kelas III (31 anak) dipindahkan ke ruang UKS, sementara siswa Kelas IV dialihkan ke ruang perpustakaan.

    Situasi paling ironis dialami oleh siswa Kelas II dan V. Sebanyak 20 siswa Kelas II digabung dengan 23 siswa Kelas V dalam satu ruangan tanpa sekat. “Suasana belajar jelas tidak kondusif,” kata Ketut Gede Pasek.
     
    Ia mengakui penggabungan kelas yang mengharuskan dua guru mengajar secara bersamaan dalam ruangan yang sama sangat tidak ideal, namun pihak sekolah tidak memiliki pilihan lain.
     
    Rencana meminjam Balai Banjar urung dilakukan karena kekhawatiran kondisi bangunan terbuka dapat berisiko terhadap kesehatan anak-anak.
     
    DPRD Desak Percepatan Rehabilitasi
     
    Ketua DPRD Klungkung Anak Agung Gde Anom, bersama Komisi III DPRD langsung meninjau lokasi. Agung Anom menilai kondisi bangunan sudah tidak layak dan mendesak percepatan tindakan.
     
    “Kami melihat sendiri bangunan sekolah tidak bisa dipakai sejak Februari,” kata Agung Anom.
     
    Ia menyebutkan bahwa Dinas Pendidikan telah menganggarkan sekitar Rp400 juta untuk perbaikan pada tahun 2026. Namun, demi kepentingan ratusan siswa, DPRD meminta prosesnya dipercepat.
     
    “Kami berharap prosesnya bisa dipercepat agar pelaksanaan bisa dimulai paling lambat Maret (2026),” pungkas Agung Anom, menegaskan pentingnya menjamin hak pendidikan anak-anak di SDN Dawan Kaler.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (FZN)

  • OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi

    OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi

    OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi
    Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
    LAGI
    dan lagi, pejabat daerah ditangkap karena korupsi. Kali ini, publik dikejutkan tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Mengikuti pendahulunya, Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun, Wahid menorehkan namanya dalam rapor merah Gubernur Riau sejak era otonomi daerah yang berhadapan dengan hukum akibat kasus rasuah.
    Sebagai orang yang pernah tinggal lama dan tumbuh berkembang di daerah itu, penulis merasa malu dengan rentetan praktik korupsi yang tak kunjung hilang.
    Provinsi yang dikenal kaya minyak itu kembali menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi pembangunan, melainkan karena keberhasilannya mempertahankan reputasi sebagai daerah dengan kepala daerah terbanyak yang ditangkap KPK.
    Prestasi ini melampaui Sumatea Utara yang sebelumnya bersaing ketat dalam urusan “maling uang rakyat”.
    Khusus untuk daerah Riau, praktik ini bukan hanya domain tingkat provinsi. Di kabupaten dan kota, cerita serupa berulang: belasan atau bahkan lebih dari dua puluh bupati, wali kota, dan wakilnya di Riau terseret kasus korupsi sejak otonomi daerah diberlakukan.
    Korupsi di Indonesia bukan hal alamiah. Ia tumbuh sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang panjang dan berlapis.
    Pada masa kolonial Belanda, praktik
    culturstelsel
    dan sistem pajak tanah melahirkan lapisan pejabat pribumi yang disebut pangreh praja (projo). Mereka diberi kewenangan untuk menarik pajak dan mengatur rakyat, tetapi minim pengawasan.
    Di banyak catatan kolonial, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat lokal dianggap biasa, bahkan dilegalkan sepanjang setoran ke pusat tetap mengalir. Inilah akar awal dari relasi kekuasaan dan rente yang terus membekas hingga era negara modern.
    Pasca-kemerdekaan, Presiden Soekarno memang menolak praktik korupsi. Dalam pidatonya, Soekarno bahkan mengakui adanya “mental korupsi”.
    Namun, lemahnya institusi dan konflik politik menjadikan praktik tersebut terbiarkan, terlebih lagi para penyintas dapat juga membantu eksistensi kekuasannya.
    Korupsi mencapai tingkat paling sistematik ketika Soeharto berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
    Orde Baru menciptakan apa yang disebut Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) sebagai
    state corporatism
    , yakni negara yang bekerja sama dengan perusahaan dan militer untuk menguasai sumber daya ekonomi. Korupsi dalam rezim ini bersifat tersentralisasi.
    Soeharto dan keluarganya mengendalikan konsesi hutan, migas, hingga monopoli perdagangan melalui kroni-kroni dekatnya dan kaum konglomerat.
    Birokrasi dan aparat daerah ikut menikmati remah kekuasaan itu melalui sistem setoran vertikal. Korupsi menjadi hierarkis: ada tarif untuk mengamankan jabatan camat, bupati, gubernur hingga menteri; semua berjalan dalam logika patron-klien.
    Samuel P. Huntington dalam
    Political Order in Changing Societies
    (1968) mengingatkan bahwa korupsi sering kali bukan sekadar degradasi moral, tetapi tanda bahwa lembaga politik tidak berkembang secepat mobilisasi sosial.
    Indonesia kala itu mengalami gejala itu: modernisasi ekonomi berjalan cepat, tetapi institusi pengawasan tetap lemah dan personalistik.
    Pada 1998, Orde Baru runtuh. Publik berharap reformasi akan memutus mata rantai kekuasaan dan korupsi.
    Salah satu jawaban politis terhadap krisis legitimasi adalah mengubah struktur negara dari sentralistik menjadi desentralistik.
    Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
    Semangatnya sederhana: kekuasaan dan anggaran harus turun ke daerah agar kesejahteraan lebih merata, dan rakyat lebih dekat dengan penguasa sehingga lebih mudah mengawasi.
    Namun, harapan itu berbelok arah. Kekuasaan memang diturunkan, tetapi tidak disertai pengawasan yang kuat.
    Bupati, wali kota, dan gubernur diberi kewenangan mengelola Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan perizinan investasi, tetapi mekanisme etik, hukum, dan politik lokal belum siap mengawasi. Desentralisasi membentuk apa yang disebut banyak ilmuwan sebagai “raja-raja kecil”.
    Namun, desentralisasi itu melahirkan ironi. Kekuasaan memang berpindah, tetapi pengawasan tidak ikut menguat.
    Banyak kepala daerah justru berubah menjadi raja kecil (
    little kings
    ). Fenomena ini dikaji tajam oleh Vedi R. Hadiz dalam bukunya
    Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
    (2010).
    Hadiz menyimpulkan bahwa desentralisasi tidak membongkar oligarki Orde Baru; ia hanya “memindahkannya” dari Jakarta ke daerah-daerah.
    Oligarki lama menemukan wajah baru: gubernur, bupati, wali kota, DPRD, dan jaringan bisnis lokal. Korupsi tidak menghilang, hanya berganti alamat.
    Penelitian Edward Aspinall dan Mietzner (2010) menunjukkan bahwa biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau gubernur meningkat drastis pascapilkada langsung yang dimulai tahun 2005 (UU No. 32/2004).
    Untuk memenangkan pilkada, kandidat harus mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Setelah menang, mereka “memulihkan modal” lewat proyek APBD, pendapatan asli daerah, hingga jual beli jabatan.
    Robert Klitgaard (1988), memberi rumus klasik korupsi:
    corruption
    =
    monopoly
    +
    discretion

    accountability
    . Kepala daerah memiliki monopoli kewenangan atas anggaran dan perizinan, bebas menentukan keputusan (diskresi), dan minim pengawasan karena DPRD sering ikut bermain.
    Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) menyebut ini sebagai “demokrasi kriminal”, di mana pemilu berjalan, tetapi tujuannya bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk mengakses rente.
    Otonomi daerah yang dulu diharapkan menjadi jalan keluar, justru melahirkan jalan buntu. Transparansi tidak tumbuh secepat kekuasaan. Demokrasi berjalan, tetapi substansinya kosong. Negara mengalami desentralisasi, tetapi korupsi juga ikut serta.
    Perang melawan korupsi tidak dapat semata-mata mengandalkan operasi tangkap tangan. Tindakan hukum memang penting, tetapi ia hanya menyentuh permukaan persoalan.
    Korupsi adalah penyakit struktural dan kultural sekaligus. Karena itu, melawannya membutuhkan dua kekuatan: reformasi sistem politik, dan penguatan nilai budaya. 
    Di tanah Melayu nilai itu dikenal dengan istilah marwah. Budayawan Melayu asal Riau, Tenas Effendy (1994) mendefinisikan marwah sebagai “harga diri dan kehormatan yang tak boleh dijual, meski dengan emas segunung.”
    Marwah bukan sekadar kebanggaan etnis, tetapi kesadaran moral, martabat, dan tanggung jawab sosial.
    Dalam adat Melayu, kekuasaan bukan dipandang sebagai kepemilikan, melainkan amanah. Karena itu, pepatah lama menegaskan: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.”
    Pepatah ini tidak muncul dari ruang kosong, tetapi tercatat dalam naskah hukum Undang-Undang Melaka (abad ke-15, disusun kembali 1520-an) dan diwariskan melalui tambo dan hikayat kerajaan Melayu.
    Sikap tersebut tercermin pula dalam literatur klasik seperti “Hikayat Hang Tuah” (ditulis sekitar abad ke-17, diterbitkan kembali oleh Kassim Ahmad, 1964).
    Dalam hikayat itu, Hang Tuah — laksamana Melaka, bukan hanya simbol keberanian, tetapi perwujudan manusia Melayu yang menjunjung marwah, taat pada keadilan, bukan pada kekuasaan yang lalim.
    Sumpahnya yang termasyhur, “Takkan Melayu hilang di bumi,” sering dipahami sekadar sebagai pernyataan kebangsaan. Padahal makna terdalamnya adalah: selama marwah dijaga, selama keadilan ditegakkan, orang Melayu tidak akan runtuh martabatnya.
    Ungkapan lain mempertegas etos resistensi itu: “Saat layar terkembang, tak surut biduk ke pantai; esa hilang dua terbilang”. Ini menandakan keteguhan moral: jika perjuangan telah dimulai demi kebenaran, mundur adalah bentuk pengkhianatan.
    Karena itu, budaya Melayu tidak pernah mengajarkan korupsi. Budaya ini mengajarkan wibawa dan rasa malu (malu kepada adat, malu kepada Tuhan, malu kepada anak cucu).
    Korupsi adalah antitesis dari marwah. Seorang pejabat yang mencuri uang rakyat tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi sekaligus mempermalukan adat dan mencoreng kehormatan leluhur.
    Di masa lalu, menurut William R. Roff dalam “The Origins of Malay Nationalism” (1967), pemimpin dalam masyarakat Melayu dihormati bukan karena kekayaan atau jabatan, tetapi karena budi, amanah, dan takzim.
    Kekuasaan yang tidak adil dianggap mencederai marwah, dan karenanya boleh dikritik, bahkan dilawan.
    Maka pemberantasan korupsi di Riau dan tanah Melayu tidak bisa berhenti pada ranah hukum. Ia harus menjadi gerakan kebudayaan untuk memulihkan marwah.
    Surau, balai adat, sekolah, kampus, dan ruang publik perlu menjadi tempat tumbuhnya kembali etika ini. Generasi muda Melayu harus mewarisi bukan hanya syair dan pantun, tetapi keberanian moral untuk mengatakan tidak terhadap kekuasaan yang mengkhianati rakyat.
    Kasus Abdul Wahid hanyalah satu bab dalam cerita panjang relasi antara kekuasaan, uang, dan lemahnya tanggung jawab publik.
    Namun, ia juga adalah alarm, menandakan bahwa otonomi daerah tanpa marwah hanya melahirkan tirani baru. Jika sistem politik tidak diperbaiki dan nilai budaya tidak dihidupkan kembali, maka sejarah akan terus berulang.
    Namun, bila hukum ditegakkan, politik dibersihkan dari transaksi, dan budaya Melayu dikembalikan pada martabatnya, maka sumpah Hang Tuah akan menjadi nyata: Melayu tak akan hilang, juga tak akan tunduk pada korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kena OTT, KPK Bawa Gubernur Riau ke Jakarta Hari Ini (4/11)

    Kena OTT, KPK Bawa Gubernur Riau ke Jakarta Hari Ini (4/11)

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana memboyong Gubernur Riau Abdul Wahid ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/11/2025). Hal itu dilakukan setelah yang bersangkutan ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Senin (3/11).

    “Kemungkinan dijadwalkan besok [Selasa 4/11],” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dilansir dari Antara, Senin (3/11/2025). 

    Pada kesempatan berbeda, Budi mengatakan bahwa KPK memperkirakan Abdul Wahid tiba di Gedung Merah Putih KPK pada Selasa (4/11) siang.

    Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengonfirmasi kabar OTT yang turut menangkap Gubernur Riau.

    “Ya,” ujar Fitroh saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Senin (3/11).

    Ketua KPK Setyo Budiyanto juga mengonfirmasi penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid dalam OTT.

    “Benar, sementara masih berproses,” ujar Setyo. 

    Daftar OTT KPK Sepanjang 2025

    Adapun, OTT tersebut merupakan yang keenam yang dilakukan KPK pada tahun 2025.

    KPK mulai melakukan OTT pertama pada tahun ini dengan menjaring anggota DPRD dan pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, yakni pada Maret 2025.

    Kedua, pada Juni 2025, OTT terkait dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Sumut, dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut.

    Ketiga, OTT selama 7-8 Agustus 2025, di Jakarta; Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Makassar, Sulawesi Selatan. OTT tersebut terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.

    Keempat, OTT di Jakarta pada 13 Agustus 2025, mengenai dugaan suap terkait dengan kerja sama pengelolaan kawasan hutan.

    Kelima, OTT terkait kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan yang melibatkan Immanuel Ebenezer Gerungan selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan pada saat itu.

    Keenam, OTT KPK terkait penyelenggara di Provinsi Riau yang menyeret Gubernur Abdul Wahid. 

  • Transfer Pusat Anjlok Rp313 Miliar, Pendapatan Daerah Blitar Diproyeksi Turun 11,43%

    Transfer Pusat Anjlok Rp313 Miliar, Pendapatan Daerah Blitar Diproyeksi Turun 11,43%

    Blitar (beritajatim.com) –  Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar dipastikan akan menghadapi tantangan fiskal yang cukup berat pada tahun anggaran 2026.

    Dalam rapat paripurna DPRD, Senin (3/11/2025) malam, Bupati Blitar, Rijanto mengumumkan bahwa total pendapatan daerah diproyeksikan turun drastis hingga 11,43 persen.

    Total proyeksi pendapatan daerah Kabupaten Blitar untuk tahun 2026 adalah sebesar Rp 2,31 triliun. Angka ini jauh lebih rendah dan kecil jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 2,60 triliun.

    Bupati Rijanto menjelaskan, biang keladi utama dari penurunan ini adalah berkurangnya transfer dana dari Pemerintah Pusat. Sehingga proyeksi pendapatan Kabupaten Blitar pada tahun 2026 mendatang ikut terkoreksi.

    “Penurunan pendapatan ini terutama disebabkan oleh berkurangnya transfer dari pemerintah pusat sebesar 15,27 persen atau sekitar Rp 313 miliar,” ungkap Rijanto dalam penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2026.

    Meskipun transfer pusat berkurang signifikan, terdapat kabar baik dari sektor internal. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Blitar justru menunjukkan kenaikan sebesar 2,66 persen, mencapai total Rp 573 miliar.

    Hal ini mengindikasikan bahwa upaya peningkatan pendapatan mandiri daerah mulai membuahkan hasil. Namun, demi menjaga stabilitas fiskal, Bupati menekankan kehati-hatian dalam mengatur keuangan daerah.

    “Dengan adanya kondisi ini, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengatur belanja dan pembiayaan karena penurunan transfer pusat berdampak langsung terhadap ruang fiskal daerah,” tegasnya.

    Sejalan dengan penurunan pendapatan, total belanja daerah juga ikut dipangkas, direncanakan sebesar Rp 2,35 triliun atau turun 11,33 persen dibandingkan tahun 2025. Kebijakan belanja tahun 2026 akan difokuskan untuk menjaga program prioritas tetap berjalan efektif, khususnya di sektor-sektor kunci yakni pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan, ketertiban umum, serta peningkatan pelayanan publik.

    Dari sisi pembiayaan, Pemkab Blitar merencanakan penerimaan pembiayaan sebesar Rp 47,5 miliar, yang akan digunakan untuk menutup defisit anggaran dan menjaga stabilitas fiskal. Rijanto berharap sinergi yang kuat antara eksekutif dan legislatif (DPRD) dapat terus terjalin agar program pembangunan di tengah keterbatasan anggaran tahun 2026 ini tetap memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Blitar. (owi/ted)