Kementrian Lembaga: DPRD

  • Gelar OTT, KPK Tangkap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko

    Gelar OTT, KPK Tangkap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengadakan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Ponorogo, Jawa Timur.

    Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto mengonfirmasi bahwa pihaknya mengadakan giat terhadap kasus di lingkungan Bupati Ponorogo.

    Dalam OTT tersebut, Fitroh membenarkan salah satu yang terjaring adalah Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko.

    “Benar,” katanya kepada wartawan, Jumat (7/11/2025).

    Dilansir dari Antara, sebelumnya KPK melakukan OTT dan menjaring anggota DPRD dan pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, yakni pada Maret 2025.

    Kedua, pada Juni 2025, OTT terkait dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Sumut, dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut.

    Ketiga, OTT selama 7-8 Agustus 2025, di Jakarta; Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Makassar, Sulawesi Selatan. OTT tersebut terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.

    Keempat, OTT di Jakarta pada 13 Agustus 2025, mengenai dugaan suap terkait dengan kerja sama pengelolaan kawasan hutan.

    Kelima, pada 20 Agustus 2025, OTT terkait kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan yang melibatkan Immanuel Ebenezer Gerungan selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan pada saat itu.

    Keenam, OTT terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid pada 3 November 2025, yakni mengenai dugaan pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

  • Kantor DPC PDIP Gresik Didatangi KPU Ada Apa ?

    Kantor DPC PDIP Gresik Didatangi KPU Ada Apa ?

    Gresik (beritajatim.com)– Menjelang tutup tahun 2025. Kantor DPC PDIP Gresik, tiba-tiba didatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

    Kedatangan lembaga penyelenggara pemilu di kandang banteng tersebut ternyata bersilaturrahmi sekaligus melakukan sosialisasi sistem informasi partai politik, atau lebih dikenal dengan nama sipol.

    Ketua DPC PDIP Gresik Mujid Riduan mengatakan, kedatangan KPU rangkaian silaturrahmi ke sejumlah partai politik yang terdaftar di Gresik.

    “Mereka KPU datang ke kantor kami melakukan pembenahan sipol. Tidak hanya di PDIP tapi juga di semua partai politik yang terdaftar di KPU,” katanya, Jumat (7/11/2025).

    Wakil Ketua DPRD Gresik itu menuturkan, pembenahan sipol harus segera dilakukan sebelum tutup tahun sebagai syarat peserta partai politik yang resmi terdaftar.

    “Aturannya tiga hari sebelum tutup harus sudah rampung bagi semua partai politik,” tuturnya.

    Mujid Riduan menambahkan, dirinya merinci beberapa aspek yang wajib diperbarui oleh partai di sipol. Salah satunya adalah pembaharuan data yang
    menjadi sarana utama bagi partai politik untuk mencerminkan dinamika internal secara akuntabel, termasuk perubahan kepengurusan atau penonaktifan anggota.

    “Pembenahan itu antara lain meliputi kepengurusan parpol pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, serta keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota,” imbuhnya.

    Sebagai informasi keberadaan sipol untuk melengkapi administrasi partai politik serta untuk memudahkan data anggota partai. Apa masih tercatat atau tidak. Sipol juga untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sekaligus meningkatkan transparansi proses kepesertaan partai politik dalam pemilu mendatang.

    Sementara itu, Ketua KPU Kabupaten Gresik, Ahmad Taufik menjelaskan selain PDIP. Institusinya juga melakukan hal yang sama pada partai politik yang lain.

    “Nanti bergiliran setelah DPC PDIP Gresik, kami juga silaturrahmi sekretariat partai politik yang dalam waktu dekat,” urainya. (dny/ted)

  • Perihal Industri Rokok, DPRD Temanggung Timba Ilmu ke Pemkot Kediri

    Perihal Industri Rokok, DPRD Temanggung Timba Ilmu ke Pemkot Kediri

    Kediri (beritajatim.com) – Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kota Kediri menerima kunjungan kerja (kunker) dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Temanggung, Jumat (7/11). Pertemuan tersebut berlangsung di Aula Disperdagin dengan agenda pembahasan Pengawasan Industri Kecil Menengah Rokok.

    Dikonfirmasi usai pertemuan, Moh Ridwan, Kepala Disperdagin Kota Kediri menyampaikan maksud dan tujuan kunker tersebut ialah untuk mendapatkan informasi terkait dengan pengelolaan dana cukai sekaligus pembinaan pelaku usaha yang bergerak di dunia pertembakauan di Kota Kediri. Ia menjelaskan, kegiatan pengawasan terhadap industri kecil menengah rokok di Kota Kediri dimulai dari perizinan melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Sedangkan dari konteks pengawasan pihaknya juga melakukan pembinaan terhadap industri melalui pelatihan-pelatihan.

    “Jadi harapannya dengan pembinaan seperti itu kegiatan bisa berjalan dengan lancar, kaidah-kaidah mulai dari teknis memproduksi, keamanan dan keselamatan kerja, manajerial kita bantu fasilitasi,” ucapnya. Upaya tersebut juga terjalin melalui kolaborasi bersama DPRD Kota Kediri. Dukungan berkaitan dengan penentuan kebijakan. “Dari sisi Pemkot kami berupaya agar pabrik rokok bisa survive, menjalankan aktivitas dengan kaidah yang ada,” kara Ridwan.

    Melalui pertemuan singkat tersebut, Dirinya berharapan agar antara Pemkot Kediri dengan DPRD Kabupaten Temanggung dapat berbagi data dan informasi mengenai pengawasan industri rokok.

    Di kesempatan yang sama, Riyadi Kaunaen, Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Temanggung, menyampaikan maksud kehadiran Komisi D dalam rangka mencari referensi terkait industri rokok kecil menengah, baik dukungan pemerintah di bidang pelatihan, permodalan, pemasaran sebagai bekal untuk diimplementasikan di Kabupaten Temanggung. “Kami tadi sudah mendapat beberapa substansi materi, ternyata Kota Kediri juga luar biasa jadi nanti kita terapkan di Temanggung,” terangnya.

    Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, Ia mengutarakan industri rokok yang ada di Kota Kediri memiliki dukungan yang sangat baik dari pemerintah daerah, selain itu hasil cukai yang diterima pemerintah juga diperuntukkan untuk industri rokok kecil menengah di Kota Kediri. “Pengawasan terhadap rokok skala kecil menengah sangat penting dibahas karena masih banyak rokok ilegal. Bagi pengusaha supaya marketingnya luas dan cukai masuk ke pemerintah,” pungkasnya. [nm/but]

  • Dosen FH Universitas Jember: Permenkes Tidak Hapus Pidana Manipulasi Klaim JKN

    Dosen FH Universitas Jember: Permenkes Tidak Hapus Pidana Manipulasi Klaim JKN

    Jember (beritajatim.com) – Aries Harianto, dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, menegaskan, temuan manipulasi atau mark up klaim Jaminan Kesehatan Nasional tiga rumah sakit di Kabupaten Jember, Jawa Timur, seharusnya ditindaklanjuti secara hukum.

    “Dugaan manipulasi klaim JKN di tiga rumah sakit itu jelas perbuatan melawan hukum. Jika hal ini tidak berlanjut ke ranah hukum, akan menjadi preseden buruk bagi Jember dalam membangun potret penegakan hukum, khususnya menyangkut pelayanan publik,” kata Aries, Jumat (7/11/2025).

    Menurut Aries, jika indikasi pelakunya jelas, nominal kerugian bisa diukur, dan ada motif perbuatan untuk kepentingan atau memperkaya diri, maka hal ini bukan lagi soal administrasi yang tuntas dengan teguran, denda, dan pencabutan izin.

    “Ngeri kalau ini saja yang dilakukan. Sanksi administrasi itu tidak berdiri sendiri,” kata Aries.

    Sebelumnya, desakan agar temuan manipulasi klaim JKN di tiga rumah sakit ditindaklanjuti secara hukum, muncul dari pegiat masyarakat sipil, dalam rapat dengar pendapat umum yang digelar Komisi D DPRD Kabupaten Jember dengan dihadiri Dinas Kesehatan, Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, perwakilan 14 rumah sakit, di gedung parlemen, Kamis (6/11/2025).

    Namun rupanya desakan itu tak ubahnya menggantang asap. BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan Jember, dan DPRD Jember sepakat menggunakan penyelesaian dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019 yang sebatas teguran, sanksi administratif, dan pengembalian uang klaim yang digelembungkan.

    “Terkait permasalahan fraud tadi, yang jelas sudah selesai karena ada aturan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019. Semua sudah ada tahapan penyelesaiannya dan itu sudah ada regulasinya di dalam BPJS,” kata Ketua Komisi D Sunarsi Khoris.

    Perwakilan Rumah Sakit Balung, Rumah Sakit Paru, dan Rumah Sakit Siloam, yang menjadi lokus temuan manipulasi tersebut, berkomentar normatif, saat ditanya Komisi D soal penyelesaian persoalan ini.

    Prima Pradipta, Perwakilan RS Siloam menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk menjawab dan masih harus melaporkan hasil pertemuan itu ke jajaran direksi dan manajemen. Namun, menurutnya, RS Siloam sudah memutus kerja sama dengan oknum dokter yang terindikasi terlibat dalam tindakan manipulasi ini.

    Direktur RS Balung Nurullah Hidajahningtyas mengatakan, proses penanganan masih berjalan di bawah kendali Dinas Kesehatan Jember. “Kami berkomitmen untuk terus memperbaiki dan meningkatkan pelayanan,” katanya.

    Kepala Seksi Pelayanan Medis RS Paru Dadan Aprinda Eko Tantio mengatakan, ada audit dari Dinas Kesehatan Jawa Timur kepada rumah sakit. “Saat ini kami sedang menunggu tindak lanjut dari Dinas Kesehatan terkait penyelesaian dari masalah ini,” katanya.

    Aries memahami keputusan semua pihak untuk menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019 sebagai rujukan penyelesaian masalah. Namun dia mengingatkan, bahwa peraturan tersebut tak berhenti pada sanksi administratif.

    “Pasal 6 ayat (7) secara eksplisit menyebut, sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ini.

    “Jadi aspek pidananya juga harus dilekatkan. Pengembalian nominal yang dimanipulasi, secara hukum tidak menggugurkan proses pemeriksaan hukumnya. Apalagi meniadakan sanksi,” tambah Aries. [wir]

  • DPRD Minta Pemkab Pandeglang Perbaiki Jalan Rusak Bikin Warga Ditandu ke Klinik

    DPRD Minta Pemkab Pandeglang Perbaiki Jalan Rusak Bikin Warga Ditandu ke Klinik

    Pandeglang

    Seorang warga bernama Jahim harus ditandu untuk berobat gara-gara jalan rusak di Kampung Cisuda, Cibaliung, Pandeglang, Banten. Ketua DPRD Pandeglang, Agus Khatibul Umam, mendesak Pemkab Pandeglang segera memperbaiki jalan yang rusak agar peristiwa serupa tak terulang.

    “Pemerintah harus hadir, jangan sampai ke depan kejadian seperti ini (terulang) lagi. Infrastruktur harus segera dibenahi, (agar) bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, ketika ke rumah sakit tidak kesulitan, ke sekolah tidak kesulitan,” kata Agus kepada wartawan, Jumat (7/11/2025).

    Agus mengatakan persoalan ini pernah dibahas DPRD dengan Pemkab. Namun, katanya, Pemkab kesulitan membenahi jalan rusak karena keterbatasan anggaran.

    “Ada pembahasan legislatif dengan eksekutif, kita berharap bisa diselesaikan semuanya,” ujarnya.

    Sebelumnya, Jahim harus ditandu dengan bambu dan sarung oleh warga lain saat hendak menuju rumah sakit. Hal itu terjadi karena kondisi jalan rusak parah.

    “Ditandu karena jalannya berlumpur,” kata keluarga Jahim, Asma, saat dimintai konfirmasi, Kamis (6/11).

    Asma mengatakan peristiwa itu terjadi pada Rabu (5/11). Asma mengatakan Jahim ditandu menggunakan bambu dan sarung dengan menempuh jarak 2 kilometer menuju klinik di Cibaliung.

    “Perkiraan 2 kilometer jalannya, hampir memakan waktu satu jam, ditandu pakai sarung dan bambu,” katanya.

    Peristiwa warga ditandu itu merupakan yang ketiga kalinya terjadi pada tahun 2025. Pada Mei, seorang ibu di Kecamatan Cikeusik harus ditandu setelah melahirkan. Pada bulan yang sama, ibu bernama Wiwin juga harus ditandu dan naik perahu untuk menuju puskesmas.

    Halaman 2 dari 2

    (haf/haf)

  • DPC Gerindra Makassar Beri Syarat Wajib untuk Budi Arie Jika Mau Gabung Gerindra

    DPC Gerindra Makassar Beri Syarat Wajib untuk Budi Arie Jika Mau Gabung Gerindra

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Manuver Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi banting setir ke Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto menuai reaksi beragam dari berbagai pihak. Termasuk dari kader Gerindra sendiri.

    Ketua DPC Gerindra Kota Makassar Eric Horas, menyampaikan bahwa pada prinsipnya Partai Gerindra terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan secara umum yang berlaku yakni Warga Negara Indonesia dan berusia 17 tahun dan sudah terbukti loyalitas sebagai Kader.

    “Partai Gerindra terbuka untuk siapa saja yang terpenting memenuhi syarat umum serta memahami arah perjuangan Partai Gerindra,” ujar Eric di Makassar, Kamis (6/11).

    “Apabila karena Pak Budi Arie mungkin merasa bahwa pernah berjuang untuk memenangkan Bapak Prabowo sebagai Presiden, saya kira merupakan hal yang wajib bagi kader Parta Gerindra untuk bertarung memenangkan Bapak Prabowo tetapi tidak cukup sampai disitu, harus wajib memahami dan menjalankan apa yang menjadi arah perjuangan Partai Gerindra,” tuturnya lagi.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Kota Makassar, Kasrudi menegaskan Gerindra adalah partai terbuka. Namun ia menggaribawahi bahwa partai ini juga akan melihat dan mempertimbangkan orang-orang yang ingin bergabung.

    “Harus jelas jangan sampai kedepannya malah membuat ketidak harmonisan dalam internal Partai,” ucap Kasrudi.

    Sebelumnya, Budi Arie Budi Arie secara terbuka menyatakan keinginannya bergabung dengan Partai Gerindra dalam Kongres III Projo di Jakarta pada Sabtu, 1 November 2025 lalu.

  • Korupsi Kepala Daerah Mengkhianati Otonomi Daerah

    Korupsi Kepala Daerah Mengkhianati Otonomi Daerah

    Korupsi Kepala Daerah Mengkhianati Otonomi Daerah
    Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Pj Gubernur Riau 2013-2014, Dirjen Otda Kemendagri 2010-2014
    KOMISI
    Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan seorang kepala daerah sebagai tersangka. Kali ini, Gubernur Riau Abdul Wahid diduga menerima uang Rp 2,25 miliar dari praktik pemerasan terhadap enam Kepala UPT Dinas PUPRPKPP Riau.
    Uang itu disebut sebagai “jatah preman” atas penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan yang nilainya melonjak dari Rp 71 miliar menjadi Rp 177 miliar.
    Kasus ini menjadi ironi, sebab dalam dua dekade terakhir,
    Riau telah berulang kali menjadi panggung korupsi kepala daerah.
    Fenomena seperti ini bukan sekadar kebetulan atau nasib apes suatu provinsi. Ini adalah persoalan sistemik yang menahun di banyak pemerintah daerah di Indonesia.
    Sejak Pilkada langsung digelar tahun 2005, sudah 39 gubernur di Indonesia terjerat kasus korupsi.
    Angka ini menggambarkan betapa jabatan kepala daerah telah lama terperangkap dalam jebakan politik berbiaya tinggi.
    Biaya kampanye, mahar partai, ongkos saksi, belanja tim sukses, dan beli suara pemilih yang dikeluarkan kandidat, seringkali berubah menjadi “utang politik” yang harus dilunasi rakyat setelah ia memangku jabatan.
    Ketika kekuasaan diperoleh melalui transaksi, kebijakan pemda menjadi alat pengembalian modal.
    Pengadaan barang dan jasa—khususnya proyek infrastruktur—menjadi ladang paling subur bagi praktik ini.
    Kepala daerah tidak jarang menggunakan kewenangan administratif untuk menekan kontraktor atau pejabat teknis di dinas, agar setoran mengalir sesuai kehendaknya.
    Di titik inilah demokrasi lokal kehilangan maknanya: suara rakyat dikalahkan oleh logika investasi politik.
    Sebenarnya, banyak kepala daerah memahami ajaran agama dan nilai-nilai adat. Riau, misalnya, dikenal sebagai daerah religius dan menjunjung tinggi budaya Melayu.
    Namun, nilai-nilai luhur itu seakan terpisah dari perilaku kekuasaan. Integritas menjadi jargon moral tanpa pijakan etis dalam tindakan. Adat dan agama berhenti di seremonial, bukan di praktik pemerintahan.
    Realitas ini menunjukkan bahwa akar persoalan korupsi kepala daerah tidak hanya pada individu, melainkan pada struktur politik dan tata kelola pemerintahan yang memungkinkan penyimpangan.
    Demokrasi memang telah berjalan secara prosedural, tetapi masih rapuh secara substansial. Ketika sistem merit dan pengawasan tidak berjalan kuat, maka otonomi daerah berubah menjadi ruang bagi raja-raja kecil yang kebal nilai moral dan hukum.
    Penyakit lama ini tidak akan sembuh hanya dengan penangkapan. KPK boleh bekerja sekeras mungkin, tetapi tanpa reformasi sistem politik—terutama pembiayaan Pilkada—korupsi akan terus berulang dalam pola yang sama.
    Pilkada yang mahal harus segera direvisi melalui bantuan dana partai politik yang memadai dari negara.
    Partai politik juga harus menjalankan fungsi kaderisasi secara serius, bukan sekadar menjual tiket kekuasaan.
    Bahkan, sistem pilkada langsung bisa ditata ulang dibuat asimetris, misalnya. Sebagian daerah tetap langsung, dan sebagian lagi melalui pemilihan DPRD, seperti di Tanah Papua.
    Otonomi daerah semestinya menjadi jalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan arena memperkaya diri.
    Kepala daerah yang memimpin dengan integritas seharusnya menjadikan kepercayaan publik sebagai modal utama, bukan uang hasil ijon politik.
    Korupsi kepala daerah sejatinya bukan sekadar kejahatan keuangan, melainkan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi dan keadilan sosial.
    Selama biaya politik dibiarkan mahal, selama kekuasaan dianggap investasi pribadi, selama masyarakat masih sebagai pelengkap penderita, maka kasus Abdul Wahid hanya akan menjadi bab kecil dalam kisah panjang pengkhianatan terhadap otonomi daerah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
    Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
    Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
    Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
    Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
    Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
    extraordinary
    atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
    Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.

    Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
    Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
    “Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
    Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
    Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
    “Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
    Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
    Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
    “Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
    Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
    “Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
    Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
    Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
    Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
    “Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
    Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
    Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
    Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
    “Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
    Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
    “Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
    Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
    Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
    Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
    “Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
    Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
    Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
    Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
    Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
    Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
    “Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
    Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
    “KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPRD Jember Diminta Bentuk Pansus ‘Mark Up’ Klaim JKN BPJS Kesehatan

    DPRD Jember Diminta Bentuk Pansus ‘Mark Up’ Klaim JKN BPJS Kesehatan

    Jember (beritajatim.com) – DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, diminta membentuk panitia khusus untuk menindaklanjuti temuan manipulasi atau mark up klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di tiga rumah sakit.

    “Ini untuk menjawab persoalan yang disampaikan oleh masyarakat. Bukan hanya soal dugaan penyimpangan atau fraud di tiga rumah sakit, namun banyak persoalan tata kelola BPJS Kesehatan, baik itu klaim dari peserta BPJS maupun klaim dari pihak rumah sakit,” kata Direktur Transparansi Akuntabilitas dan Partisipasi Publik (TrAPP) Miftahul Rahman, Kamis (6/11/2025).

    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menemukan manipulasi klaim JKN di tiga rumah sakit, yakni Rumah Sakit Balung, Rumah Sakit Paru, dan Rumah Sakit Siloam. Belakangan diketahui terduga pelakunya adalah seorang dokter spesialis ortopedi.

    “Pansus adalah ruang terbuka untuk menyelesaikan banyak persoalan yang sudah menyentuh kepentingan publik. Ketika ada pansus, BPJS kesehatan wajib menjelaskan dengan lebih transparan,” kata Miftahul, usai rapat dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Jember.

    Selain melakukan investigasi terbuka, Miftahul meminta pansus melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi pasien sebagai pengawas independen. “Hasil kerja pansus wajib dipublikasikan ke publik melalui media resmi DPRD Jember,” katanya.

    Bambang Irawan, aktivis masyarakat sipil, juga meminta DPRD Jember tidak menutup mata dan BPJS Kesehatan tidak menutup data. “Nanti rakyat yang akan membuka. Ketika rakyat membuka, tidak ada yang bisa menutup. Perlu ada pansus yang mendalami persoalan ini, karena ini adalah kejadian luar biasa,” katanya.

    Apalagi, menurut Miftahul, temuan manipulasi ini tidak sekali saja terjadi. “Beberapa tahun lalu sempat terjadi. Memang tidak sempat menjadi opini publik, tapi kami dengar kasak-kusuk soal penyelenggaraan BPJS dan masih ada semacam itu,” katanya.

    Kasak-kusuk kecurangan dan manipulasi ini, menurut Miftahul, memunculkan keresahan publik. “Perlu diungkap secara terbuka seluruh data tagihan klaim BPJS di Kabupaten Jember, baik yang sudah dibayar maupun yang masih bermasalah,” katanya.

    Miftahul meminta agar ada tindakan tegas terhadap setiap indikasi kecurangan, manipulasi, atau mark-up klaim oleh pihak rumah sakit atau oknum di dalam sistem BPJS. “Perlu ada jaminan perlindungan hak pasien agar pelayanan BPJS tidak terganggu akibat konflik administrasi antarlembaga,” katanya.

    “Dana BPJS adalah uang rakyat. Setiap rupiah yang diselewengkan adalah pengkhianatan terhadap hak hidup dan kesehatan rakyat kecil. Kami, menuntut DPRD menjalankan fungsi pengawasan secara penuh, bukan sekadar seremonial rapat,” kata Miftahul.

    Ketua Komisi D Sunarsi Khoris menilai belum perlu pembentukan pansus. “Tapi kalau memang teman-teman mendesak, kami tetap musyawarahkan dengan teman-teman komisi,” katanya, usai rapat.

    Menurut Sunarsi, penyelesaian persoalan disesuaikan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019. “Semua sudah ada tahapan-tahapan penyelesaian dan itu sudah ada regulasinya di dalam BPJS Kesehatan,” katanya. [wir]

  • Raperda KTR Difinalisasi, Ketua DPRD DKI Pastikan Merokok dan Penjualannya Tetap Boleh di Tempat Hiburan  

    Raperda KTR Difinalisasi, Ketua DPRD DKI Pastikan Merokok dan Penjualannya Tetap Boleh di Tempat Hiburan  

    JAKARTA – Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DPRD DKI Jakarta telah memfinalisasi pembahasan Raperda KTR. Setelahnya, draf raperda dibawa ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta untuk dimatangkan sebelum pengesahan.

    Pada draf tersebut, Pansus memutuskan tetap mempertahankan pasal pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan.bSelain itu, Raperda KTR yang telah rampung juga menegaskan tidak ada lagi ruang merokok di dalam ruangan tertutup.

    Meski begitu, Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin menegaskan merokok maupun aktivitas perdagangan rokok masih diperbolehkan di tempat-tempat hiburan.

    “Untuk tempat-tempat tertentu di tempat hiburan, kafe, itu dibolehkan. Jangan sampai merokoknya para perokok bisa mengganggu kesehatan orang lain. Kalau untuk berdagang, kan, masih boleh. Berdagang boleh. Iya, masih boleh di tempat hiburan seperti itu ya,” kata Khoirudin kepada wartawan, Kamis, 6 November.

    Khoirudin menyampaikan, penerapan kawasan tanpa rokok tidak dimaksudkan untuk melarang aktivitas merokok secara keseluruhan, tetapi membatasi agar tidak dilakukan di lingkungan yang rentan, terutama pendidikan dan kesehatan.

    “Karena ini adalah lembaga pendidikan, calon-calon pemimpin masa depan yang harus steril. Yang kedua, untuk lembaga kesehatan dan lain-lain,” papar Khoirudin.

    Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI merampungkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) kembali menuai sorotan.

    Sejumlah pasal dalam rancangan aturan itu dinilai berpotensi menekan sektor ekonomi rakyat kecil, terutama pedagang pasar tradisional dan pelaku usaha mikro.

    Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Rizal Taufikurahman, menilai ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat bawah. Pelarangan yang meluas berpotensi menekan pedagang kecil dan memutus rantai ekonomi informal yang selama ini menopang perekonomian Jakarta.

    “Jangan lupa bahwa pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta. Jika larangan penjualan diterapkan, efek domino negatifnya mencakup turunnya omzet, lesunya daya beli, dan meningkatnya pengangguran terselubung. Kondisi ini bisa menekan stabilitas sosial dan memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat bawah,” ujar Rizal kepada wartawan, Rabu, 5 November.

    Menurut Rizal, pembuat kebijakan perlu berhati-hati karena Raperda KTR juga berpotensi menggerus pendapatan daerah. Pansus sendiri sebelumnya mengakui bahwa penerapan aturan ini dapat menurunkan penerimaan daerah hingga 50 persen dari sektor pertembakauan.

    “Jadi, bukan langsung memangkas sumber penerimaan tanpa pengganti yang siap. Oleh karena itu, Ranperda KTR seharusnya mengedepankan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat,” ujarnya.

    Rizal menambahkan, kebijakan ini seharusnya dirancang secara proporsional dan adaptif, dengan menitikberatkan pada edukasi serta pengaturan kawasan publik bebas rokok tanpa menutup ruang legal bagi usaha mikro.

    “Yang berfokus pada edukasi dan kawasan publik bebas rokok, namun tetap beri ruang legal bagi usaha mikro agar kebijakan ini inklusif dan tidak menimbulkan eksklusi ekonomi baru,” tutur Rizal.