Kementrian Lembaga: DPRD

  • Anggota DPRD Sumut Penganiaya Pramugari Wings Air Kini Ditetapkan Tersangka

    Anggota DPRD Sumut Penganiaya Pramugari Wings Air Kini Ditetapkan Tersangka

    Peristiwa cekcok mulut hingga diduga terjadi kontak fisik antara Megawati Zebua dengan pramugari terjadi di dalam pesawat Wings Air dengan nomor IW-1267 di Bandara Binaka, Kota Gunungsitoli.

    Peristiwa itu sempat viral di media sosial, saat persiapan penerbangan menuju Bandara Kualanamu, Kabupaten Deliserdang, Minggu 13 April 2025, sekitar pukul 15.00 WIB.

    Terkait peristiwa yang sempat viral di media sosial itu, Lidya Crytine, pramugari Wings Air didampingi dari tim hukum maskapai membuat laporan polisi secara resmi ke Polres Nias, Kamis (17/4/2025) pukul 11.30 WIB.

    Kemudian kasus ini dilimpahkan ke Polda Sumut untuk mempermudah proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian.

  • Alasan BGN Tak Hentikan 41 Dapur MBG Putri Waka DPRD Sulsel

    Alasan BGN Tak Hentikan 41 Dapur MBG Putri Waka DPRD Sulsel

    Jakarta, Beritasatu.com – Badan Gizi Nasional (BGN) tidak akan menghentikan operasional 41 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) milik Yasika Aulia Ramdhani (20), putri Wakil Ketua DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) Yasir Machmud yang viral di media sosial karena diduga ada praktik monopoli proyek makan bergizi gratis (MBG).

    Wakil Kepala BGN Nanik Sudaryati mengatakan keberadaan SPPG itu tetap memberikan manfaat langsung bagi penerima makan bergizi gratis.

    “Kan sudah jalan, masa dihentikan? Nanti gimana anak-anak yang terima manfaat,” ujar Nanik saat menjawab pertanyaan wartawan terkait 41 SPPG milik anak wakil ketua DPRD Sulsel di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/11/2025).

    Nanik menjelaskan secara sistem, seharusnya satu entitas hanya dapat mengelola maksimal 10 dapur MBG. Oleh karena itu, ia menduga Yasika menggunakan beberapa nama berbeda untuk mendaftarkan 41 SPPG tersebut. 

    Menurut Nanik, hal itu terjadi karena belum ada aturan yang secara eksplisit mengatur pembatasan atau mekanisme verifikasi yang lebih ketat bagi pendaftar dapur MBG.

    Nanik menegaskan jika dapur-dapur tersebut masih menjalankan tugas dengan baik, maka pemerintah tidak bisa menghentikannya karena tetap mengacu pada aturan sebelumnya sambil menyiapkan pembaruan regulasi.

    Pengetatan aturan tersebut nantinya akan dimasukkan dalam petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan program MBG, khususnya dalam pendirian dan kepemilikan SPPG.

    “Kita evaluasi ya. Kalau, kalau misalnya dapurnya jalan baik-baik kan itu peraturan yang lalu, ke depan nanti kita tegakkan lagi,” tutur Nanik.

    Terkait dugaan banyaknya dapur MBG yang disangkutpautkan dengan pejabat daerah, Nanik menyebut saat proses pendaftaran awal, pemerintah tidak mengetahui secara pasti siapa pemilik yayasan yang mengajukan diri.

    Ia mencontohkan nama sebuah yayasan tidak selalu mencerminkan identitas pemilik maupun keluarganya, sehingga potensi hubungan politik baru muncul setelah ada laporan atau informasi dari masyarakat.

    Nanik menambahkan sejak awal Presiden Prabowo Subianto menginginkan keterlibatan banyak yayasan pendidikan dan sosial dalam pembangunan dapur MBG. Namun, meningkatnya permintaan dari masyarakat agar wilayah mereka segera mendapatkan layanan MBG membuat pemerintah mempercepat proses pembentukan SPPG.

    Atas dasar itu, BGN membuka peluang bagi pihak-pihak lain yang mampu membangun fasilitas dapur MBG agar program dapat segera menjangkau lebih banyak anak.

    “Akhirnya kan, oke, bagaimana untuk mempercepat terbentuknya SPPG itu ya, kita mintalah siapa yang mampu untuk bisa membangun, ya membangun dapur itu, begitu ya,” imbuh Nanik.

    BGN memastikan akan memperbaiki aturan ke depan agar kepemilikan dan tata kelola dapur MBG dapat lebih ketat, sambil tetap memastikan pelayanan makan bergizi untuk anak-anak maupun ibu hamil tetap berjalan.

  • Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?

    Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?

    Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?
    Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

    Percuma juga punya elektabilitas tinggi, tapi enggak punya isi tas. Loh iya dong, masa isi tas enggak punya? Kalau saya kan enggak bawa tas. Yang bawa Bendum semua
    ” – Kaesang Pangarep.
    PERNYATAAN
    “mengagetkan” ini datang dari anak muda yang pada 31 Desember 2025 nanti, berusia 31 tahun. Ketua umum termuda dari semua ketua umum partai politik yang ada.
    Putra bungsu Presiden RI ke-7 Joko Widodo itu memang dikenal suka “ceplas-ceplos” dan menjadi tipe anak muda seusianya.
    Terlahir dari ayah yang menjadi pejabat, sejak Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta bahkan menjabat presiden hingga dua periode tentu meninggalkan privilege yang “luar biasa” untuk sanak keluarga. Kaeasang tumbuh dengan segala fasilitas yang melimpah.
    Justru pernyataan Kaesang – pemilik usaha Sang Pisang, Mangkokku dan Yang Ayam yang kini sebagian telah meredup – menjadi pemantik kesadaran politik akan pentingnya “isi tas” atau elektabilitas semata.
    Jelang Pemilu Legeslatif 2029 mendatang, semua partai politik sibuk menggelar konsolidasi untuk memperkuat jaringan dan pijakan di semua daerah.
    Sementara (calon) partai politik baru sibuk mencari kader baru agar bisa memenuhi kuota minimal kepengurusan di daerah-daerah.
    Pernyataan “isi tas” menjadi pengingat akan “mahalnya” biaya politik saat ini. Bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan seorang calon anggota legeslatif yang berlaga di tingkat kabupaten atau kota?
    Berapa besar dana yang dihabiskan calon anggota legeslatif agar bisa “terpilih” di DPRD Provinsi? Berapa pula biaya yang diludeskan Caleg untuk bisa melenggang ke Senayan – kawasan Kantor Parlemen di Jakarta?
    Tidak ada rata-rata suara yang pasti karena jumlah suara yang dibutuhkan untuk menjadi anggota DPRD kabupaten sangat bervariasi, tergantung pada jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan atau Dapil tersebut, jumlah suara sah di Dapil, dan perolehan suara partai politik.
    Anggota DPRD kabupaten terpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak di dapilnya, tapi ada faktor-faktor lain yang memengaruhi.
    Semakin banyak kursi yang tersedia, semakin sedikit suara yang dibutuhkan. Total suara sah di setiap dapil akan menentukan alokasi kursi partai.
    Belum lagi, setiap partai harus memenuhi ambang batas perolehan suara atau ambang batas parlemen agar berhak mengkonversi suara menjadi kursi. Saat ini, ambang batas tersebut 4 persen suara sah secara nasional untuk bisa masuk DPR RI.
    Untuk DPRD kabupaten, sistem pembagian kursi dan perolehan suara dapat berbeda-beda. Kerap terjadi, ada partai politik yang tidak memiliki wakil di Senayan, tetapi memiliki anggota Dewan di daerah kabupaten atau provinsi.
    Partai Persatuan Pembangunan (PPP) walau absen di Senayan, misalnya, tetapi memiliki enam wakil di DPRD Jawa Barat serta dua wakil di DPRD Kota Depok, Jawa Barat.
    Pun demikian dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), walau tidak lolos ke Senayan, tetapi memiliki 180 anggota Dewan di sejumlah DPRD. Jumlah ini meningkat dibandingan hasil Pemilu 2019 yang berjumlah 72 anggota Dewan.
    Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014 yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung pernah menghitung kalau rata-rata biaya kampanye Caleg DPR – RI naik 1,5 kali lipat. Dari Rp 3,3 miliar pada Pemilu 2009 menjadi Rp 4,5 miliar pada Pemilu 2014.
    Untuk paham dengan biaya terkiwari yang dikeluarkan Caleg DPR-RI, ada baiknya mengutip pengalaman Caleg DPR – RI yang gagal melaju ke Senayan.
    Masinton Pasaribu mengaku menghabiskan Rp 10 miliar untuk bertarung di Dapil “neraka” Jakarta II meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri.
    Uang sebanyak itu dihabiskan Masinton untuk pembiayaan baliho, merchandise kampanye, stiker serta mobilisasi personel. Masinton hanya meraup 50.992 suara.
    Sementara Caleg yang melenggang ke Senayan di kisaran 60.623 suara (Once Mekel dari PDIP) hingga Hidayat Nurwahid dari PKS dengan 227.974 suara.
    Masih menurut Bupati Tapanuli Tenggah di Sumatera Utara tersebut, ada pesaingnya dari kalangan pesohor di Dapil lain yang sampai menghabiskan Rp 30 miliar untuk bisa merebut suara sebanyak-banyaknya agar lolos ke Senayan di Pemilu 2019.
    Bayangkan jika itu terjadi di Pemilu 2024 lalu atau bahkan di Pemilu 2029 mendatang (
    Rri.co.id
    , 03 September 2023).
    Pernyataan Kaesang tentang pentingnya “isi tas” tidak saja membuka perdebatan klasik tentang
    political cost,
    tetapi juga menggugat masih adakah fatsun demokrasi dipahami dengan benar oleh kalangan politisi muda seperti Kaesang?
    Bukankah Generasi Emas mendatang akan berlimpah dengan bonus demografi, yakni mayoritas kalangan muda di populasi penduduk?
    Jika “sekelas” ketua umum partai berlogo gajah saja sudah “gagal paham”, maka prospek perbaikan kualitas demokrasi ke depannya menjadi tanda tanya besar.
    Fatsun demokrasi adalah tata krama atau etika yang harus dipatuhi dalam sistem demokrasi, meskipun tidak tertulis.
    Hal ini mencakup perilaku dan aturan tidak formal yang menunjang jalannya demokrasi, seperti kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab, menghormati kedaulatan rakyat, serta berpartisipasi dalam politik secara konstruktif.
    Dalam etika berpolitik, ada aturan tidak tertulis tentang bagaimana seharusnya tokoh politik dan masyarakat berperilaku dalam ranah politik agar tidak merusak tatanan demokrasi.
    Praktik menghalalkan segala cara agar “menang” dengan menumpahkan “isi tas” sebanyak-banyaknya, tidak saja membawa kualitas demokrasi semakin terpuruk, tetapi juga membiasakan era “jahiliyah” di peradaban modern.
    Partai politik memiliki elektabilitas jika memiliki daya pilih yang sesuai dengan kriteria keterampilan dan popularitas.
    Dalam negara demokrasi, partai politik harus berupaya meningkatkan elektabilitas untuk dapat memenangkan pemilihan umum. Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan.
    Agar suatu partai politik atau calon anggota legislatif bisa memiliki elektabilitas tinggi, maka harus melakukan kerja nyata di lapangan agar dikenal baik oleh masyarakat.
    Kinerja baik, yang tidak hanya turun ke daerah saat kampanye, begitu diingat warga. Belum lagi, partai atau caleg dikenal publik karena aktif memperjuangkan aspirasi rakyat.
    Tidak cukup hanya membagi-bagikan kaos dan senyum manis yang dipaksakan. Jejak-jejak positif dari partai dan Caleg selalu masuk dalam memori warga.
    Elektabilitas partai politik memiliki makna tentang tingkat keterpilihan partai politik di publik. Saat elektabilitas partai tinggi, berarti partai tersebut memiliki daya pilih yang tinggi.
    Untuk meningkatkan elektabilitas, maka objek elektabilitas harus memenuhi kriteria keterpilihan dan juga populer.
    Partai politik memiliki elektabilitas jika memiliki daya pilih yang sesuai dengan kriteria keterampilan dan popularitas. Di negara yang menganut paham demokrasi, setiap partai politik harus berupaya meningkatkan elektabilitas untuk dapat memenangkan pemilihan umum.
    “Isi tas” tidak seharusnya menjadi penentu kemenangan. Jika “isi tas” dipakai untuk praktik politik uang atau
    money politic,
    maka dapat merusak kualitas demokrasi. Tidak selalu “isi tas” bisa menjadi faktor penentu.
    Harus diingat, politik uang adalah upaya untuk memengaruhi pemilih dengan imbalan uang, barang, atau janji, dan merupakan pelanggaran hukum yang bisa dikenai sanksi pidana penjara serta denda.
    Kemenangan yang sah harus didasarkan pada visi, misi, dan program yang jelas, bukan karena iming-iming “isi tas”.
    Politik uang atau “membeli suara” adalah tindakan yang melanggar hukum dan jelas dilarang oleh undang-undang, seperti Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
    Pemilih yang terpengaruh politik uang cenderung tidak memilih berdasarkan pertimbangan rasional seperti integritas dan program kandidat, melainkan karena imbalan yang didapat.
    Cara-cara seperti ini hanya menghasilkan pemimpin yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. Calon yang terpilih pasti akan berupaya mengembalikan biaya yang telah dikeluarkannya.
    Jika “isi tas” dianggap satu-satunya menjadi penentu kemenangan di kontestasi politik – dengan mengenyampingkan kerja-kerja politik yang terencana dan terukur untuk mendongkrak faktor elektabilitas – maka bisa jadi kandidat yang memiliki modal finansial lebih besar akan lebih mungkin menang.
    Pendidikan politik terbaik adalah saat kita menolak uang suap untuk memilih pemimpin yang tidak jujur, penuh pencitraan yang palsu, dan membiarkan keluarga, kerabat serta kroni-kroninya berbuat korup.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Reses di Simolawang, DPRD Jatim Dorong Penguatan Sekolah Rakyat dan Pendidikan Inklusif untuk Semua Anak

    Reses di Simolawang, DPRD Jatim Dorong Penguatan Sekolah Rakyat dan Pendidikan Inklusif untuk Semua Anak

    Surabaya (beritajatim.com) – Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Cahyo Harjo Prakoso, menerima beragam keluhan warga saat reses di Kelurahan Simolawang, Surabaya, Kamis (20/11/2025).

    Dua isu terbesar yang muncul adalah antusiasme terhadap program Sekolah Rakyat dan kebutuhan perbaikan infrastruktur balai RW yang digunakan untuk kegiatan sosial dan pendidikan anak.

    “Pertama tadi masyarakat di sini sangat antusias soal Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat ini penting karena wujud pemerintah memberikan akses pendidikan yang berkualitas, merata, adil, dan gratis,” ujar Cahyo.

    Ketua DPC Gerindra Surabaya ini menjelaskan warga Simolawang banyak menanyakan syarat mengikuti Sekolah Rakyat, mengingat sebagian besar keluarga berada di kategori rentan sosial.

    Dia memastikan seluruh persyaratan sudah dipaparkan, dan bila terjadi kendala, pihaknya siap mengawal melalui Dinsos Jatim, Dinsos Surabaya hingga Kemensos.

    “Kalau ada permasalahan bisa disampaikan kepada kami, akan kami kawal agar semua masyarakat Surabaya yang membutuhkan bisa mendapatkan kesempatan,” kata alumnus FH Universitas Airlangga Surabaya ini.

    Selain pendidikan, warga juga menyuarakan kebutuhan pembenahan balai RW yang dipakai untuk PAUD dan kegiatan masyarakat. Cahyo menyebut kondisi beberapa balai RW tidak optimal karena keterbatasan anggaran musrenbang kelurahan.

    “Infonya sudah pernah masuk anggaran musbangkel, tapi karena anggaran terbatas masih banyak yang bocor sana-sini. Ini yang akan kami konfirmasi,” jelasnya.

    Cahyo menuturkan Fraksi Gerindra di DPRD Surabaya memiliki delapan anggota yang siap membantu percepatan koordinasi dengan wali kota dan wakil wali kota. Menurut dia, ruang belajar bagi anak harus aman dan layak karena menyangkut keselamatan.

    “Balai RW yang digunakan untuk kegiatan belajar tidak boleh terganggu kualitas infrastrukturnya. Bahaya kalau anak-anak belajar di tempat yang bocor atau rusak,” tutur politisi muda ini.

    Dalam reses itu, Cahyo juga menerima laporan adanya anak dengan kebutuhan pendidikan inklusif. Kasus tersebut mencakup kondisi kesehatan hingga hambatan sosial yang membuat anak enggan bersekolah karena merasa berbeda dari teman-temannya.

    “Nanti saya minta data-datanya. Kalau kewenangan Kadinsos Jatim akan saya sampaikan ke sana, kalau kewenangan kota akan kita bantu. Jangan sampai anak-anak kita apapun kondisinya enggak bisa sekolah,” katanya.

    Cahyo menambahkan, pendidikan bagi anak inklusif di Surabaya perlu ditingkatkan. Data Dinas Pendidikan kota menunjukkan setidaknya lebih dari 1.200 anak berkebutuhan khusus terdaftar mengikuti layanan pendidikan inklusif pada 2024, namun tidak semuanya memiliki fasilitas memadai di lingkungan tempat tinggalnya.

    Dia menegaskan bahwa sekolah bukan semata urusan gelar atau status sosial, tetapi pembentukan karakter dan masa depan. Menurutnya, setiap anak harus punya kesempatan yang setara tanpa diskriminasi.

    “Sekolah itu bukan kewajiban tapi kebutuhan. Anak-anak harus sekolah, karena sekolah membentuk karakter bukan hanya mengejar gelar. Kita tidak boleh biarkan mereka merasa dikucilkan,” pungkas Cahyo. [asg/ian]

  • DPRD Surabaya Desak Mitigasi Berlapis Hadapi Anomali Cuaca

    DPRD Surabaya Desak Mitigasi Berlapis Hadapi Anomali Cuaca

    Surabaya (beritajatim.com) – Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, mendesak Pemkot Surabaya memperketat mitigasi bencana menjelang puncak musim hujan November–Desember yang diperkirakan disertai anomali cuaca ekstrem. Dia menilai kesiapsiagaan tidak boleh hanya bertumpu pada BPBD di tingkat kota, tetapi harus diperkuat sampai kecamatan dan kelurahan sebagai garda terdepan.

    “Anomali cuaca tahun ini membuat pola hujan tidak stabil. Karena itu mitigasi harus ketat. Tidak bisa hanya mengandalkan BPBD di pusat, tetapi harus sampai ke kecamatan dan kelurahan,” ujar politikus Gerindra yang akrab disapa Cak Yebe ini, Kamis (20/11/2025).

    Menurut Cak Yebe, intensitas hujan yang makin tidak menentu ditambah potensi angin kencang, genangan, dan pohon tumbang menuntut perangkat wilayah meningkatkan patroli dan pemetaan titik rawan. Dia meminta lurah dan camat memastikan seluruh saluran lingkungan bersih agar gangguan aliran air bisa diminimalkan sejak awal.

    “Yang paling dekat dengan warga adalah kelurahan dan kecamatan. Respons awal itu sangat menentukan, terutama pada menit-menit pertama ketika hujan ekstrem turun,” tegasnya.

    Cak Yebe juga menyampaikan perlunya memastikan peralatan mitigasi tersedia di setiap kelurahan. Mulai pompa portabel, gergaji mesin, lampu darurat hingga pelampung harus siap digunakan tanpa menunggu bantuan turun dari BPBD.

    “Respons cepat di lapangan itu kuncinya. Kelurahan harus punya peralatan dasar untuk menangani kejadian awal sebelum bantuan besar datang,” imbuh Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya ini.

    Selain itu, dia meminta Pemkot memberi edukasi masif kepada warga melalui RT/RW. Menurut dia, masyarakat harus memahami langkah aman saat hujan lebat, lokasi titik kumpul, serta cara melapor melalui Command Center 112. “Informasi yang cepat menyelamatkan nyawa. Edukasi warga itu bagian dari mitigasi paling efektif,” tutur Cak Yebe.

    Dalam kesempatan itu, Cak Yebe juga menegaskan pentingnya perhatian terhadap kondisi Command Center Surabaya yang mengalami kendala teknis. Sebanyak 31 monitor TV yang meng-cover 124 titik CCTV dilaporkan mati sehingga ruang kendali kehilangan kemampuan memantau berbagai lokasi vital kota secara real time.

    Dia menilai kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada periode cuaca ekstrem ketika operator Command Center membutuhkan visual penuh untuk mendeteksi banjir mendadak, pohon tumbang, hingga gangguan lalu lintas.

    “Monitor yang mati itu harus segera diganti. Operator Command Center perlu melihat seluruh titik vital supaya BPBD bisa cepat antisipasi ketika situasi darurat terjadi,” ujar Cak Yebe.

    Cak Yebe menambahkan bahwa sistem kendali kota seharusnya menjadi tulang punggung mitigasi modern. Jika perangkat kunci justru tidak berfungsi optimal, maka kecepatan respons dalam penanganan bencana bisa terhambat dan berpotensi menimbulkan risiko tambahan bagi warga.

    Sebagai langkah lanjutan, Komisi A memastikan akan memanggil dinas terkait untuk mengevaluasi kesiapan peralatan mitigasi, termasuk perbaikan Command Center. Dia berharap seluruh perangkat dapat sigap sebelum puncak musim hujan benar-benar tiba.

    “Kami tidak ingin ada kelalaian teknis yang berujung pada lambatnya respons bencana. Semua perangkat, termasuk Command Center, harus bekerja 100 persen karena keselamatan warga adalah prioritas utama,” tutup Cak Yebe. [asg/kun]

  • Apa Peran 4 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Proyek PUPR OKU?

    Apa Peran 4 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Proyek PUPR OKU?

    Apa Peran 4 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Proyek PUPR OKU?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – KPK mengungkapkan peran empat tersangka baru yang baru saja resmi ditahan dalam kasus korporasi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU).
    Keempatnya adalah Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto, anggota DPRD OKU Robi Vitergo, pihak swasta bernama Ahmad Thoha alias Anang, dan pihak swasta Mendra SB.
    Ini merupakan pengembangan kasus terhadap enam tersangka sebelumnya yang saat ini tengah menjalani proses persidangan.
    Enam tersangka itu adalah Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah, Ketua Komisi III DPRD OKU M. Fahrudin, Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati, anggota DPRD OKU Ferlan Juliansyah, serta M Fauzi alias Pablo, dan Ahmad Sugeng Santoso dari pihak swasta.
    Ahmat Thoha, Muhammad Fauzi, dan Mendra SB bersama-sama dengan Ahmad Sugeng Santoso berperan sebagai pihak pemberi kepada penyelenggara negara terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas PUPR Kabupaten OKU pada 2024–2025.
    “(Robi Vitergo dan Parwanto) yang secara bersama-sama dengan tersangka NOP (Nopriansyah), MFR (Muhammad Fakhrudin) dan tersangka UM (Umi Hariati) telah menerima pemberian uang dari pihak swasta terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas PUPR Kabupaten OKU tahun 2024 sampai dengan tahun 2025,” ungkap Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di KPK, Kamis (20/11/2025).
    Asep menuturkan, dalam proses perencanaan anggaran tahun 2025 Pemkab OKU, terjadi pengondisian jatah pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD yang diubah menjadi proyek fisik di Dinas PUPR.
    “Di mana jatah pokir disepakati sebesar Rp 45 miliar dengan pembagian untuk Ketua DPRD dan Wakil Ketua DPRD Rp 5 miliar, serta masing-masing anggota senilai Rp 1 miliar,” ujar Asep.
    Namun, karena keterbatasan anggaran, nilai jatah pokir tersebut turun menjadi Rp 35 miliar.
    Alhasil, para anggota DPRD OKU itu meminta jatah sebesar 20 persen sehingga total
    fee
    adalah Rp 7 miliar dari total anggaran.
    Saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 Kabupaten OKU disetujui, pembahasan anggaran Dinas PUPR justru mengalami kenaikan dari Rp 48 miliar menjadi Rp 96 miliar.
    “Bahwa sudah menjadi praktik umum di Pemkab OKU, praktik jual-beli proyek dengan memberikan sejumlah
    fee
    kepada Pejabat Pemkab OKU dan/atau DPRD,” ungkap Asep.
    Terkait proyek “jatah” DPRD, Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah diduga mengondisikan
    fee
    atau jatah tersebut pada sembilan proyek yang ia atur pengadaannya melalui e-katalog.
    Kesembilan proyek tersebut terdiri dari rehabilitasi rumah dinas (rumdin) Bupati senilai Rp 8,39 miliar, rehabilitasi rumdin Wakil Bupati Rp 2,46 miliar, pembangunan Kantor Dinas PUPR Kabupaten OKU senilai Rp 9,88 miliar, pembangunan jembatan Desa Guna Makmur senilai Rp 983 juta dan peningkatan jalan poros Desa Tanjung Manggus–Desa Bandar Agung senilai Rp 4,92 miliar.
    Ada juga peningkatan jalan desa Panai Makmur–Guna Makmur senilai Rp 4,92 miliar, peningkatan jalan unit XVI–Kedaton Timur Rp 4,92 miliar, peningkatan Jalan Let. Muda M Sidi Junet Rp 4,85 miliar dan peningkatan Jalan Desa Makarti Tama Rp 3,93 miliar.
    Nopriansyah kemudian menawarkan sembilan proyek tersebut kepada tersangka Muhammad Fakhrudin, Ketua Komisi III DPRD OKU, serta tersangka Ahmad Sugeng Santoso selaku pihak swasta, dengan komitmen
    fee
    sebesar 22 persen dengan rincian 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD.
    “Selanjutnya, NOP (Nopriansyah) juga mengondisikan pihak swasta yang mengerjakan dan PPK, untuk menggunakan CV yang ada di Lampung Tengah dengan dilanjutkan penandatanganan kontrak antara penyedia dan PPK di Lampu Tengah,” ujar dia.
    Menjelang Hari Raya Idul Fitri, pihak DPRD yang diwakili tersangka Ferlan Julianysah (Anggota Komisi III DPRD OKU), tersangka Muhammad Fakhrudin (Ketua Komisi III DPRD OKU), dan tersangka Umi Hariati (Ketua Komisi II DPRD OKU) menagih jatah
    fee
    proyek kepada Nopriansyah sesuai komitmen.
    Pada 11-12 Maret 2025, Muhammad Fakhrudin mengurus pencairan uang muka atas beberapa proyek.
    Kemudian pada 13 Maret 2025 sekitar pukul 14.00, Muhammad Fakhrudin mencairkan uang muka.
    “Bahwa Pemda OKU saat itu mengalami permasalahan
    cash flow
    , karena uang yang ada diprioritaskan untuk membayar THR, TPP dan penghasilan perangkat daerah. Meskipun demikian, uang muka untuk proyek tetap dicairkan,” kata dia.
    Pada 13 Maret 2025, Muhammad Fakhrudin menyerahkan Rp 2,2 miliar kepada Nopriansyah sebagai bagian dari komitmen
    fee
    proyek.
    Atas permintaan Nopriansyah, uang itu kemudian dititipkan kepada saksi A (PNS Dinas Perkim). Dana tersebut berasal dari pencairan uang muka proyek.
    Parwanto dan Robi Vitergo sebagai pihak penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Sementara itu, Ahmat Thoha dan Mendra SB sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korupsi PUPR OKU, KPK Tahan Wakil Ketua DPRD dan 3 Tersangka Baru

    Korupsi PUPR OKU, KPK Tahan Wakil Ketua DPRD dan 3 Tersangka Baru

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Wakil Ketua DPRD Ogan Komering Ulu (OKU) 2024-2029, Purwanto, bersama tiga tersangka baru dalam kasus dugaan suap pengaturan proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) OKU tahun anggaran 2024-2025. Ketiga tersangka lainnya adalah Robi Vitergo (Anggota DPRD OKU 2024-2029), serta dua pihak swasta, Ahmat Thoha dan Mendra SB.

    “Para tersangka ditahan untuk 20 hari pertama sejak 20 November sampai 9 Desember 2025 di Rutan KPK Gedung Merah Putih,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/11/2025).

    Penahanan empat tersangka ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) Maret 2025. Dalam OTT itu, KPK terlebih dahulu menetapkan enam tersangka yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Palembang. Mereka terdiri dari Ferlan Julianysah (anggota DPRD OKU), Muhammad Fakhrudin (ketua Komisi III DPRD OKU), Nopriansyah (kadis PU OKU), Umi Hariati (ketua Komisi III DPRD OKU), serta dua pihak swasta, Muhammad Fauzi dan Ahmad Sugeng Santoso.

    Asep menjelaskan, kasus korupsi ini bermula dari perencanaan APBD 2025 Pemkab OKU, yang disinyalir disetir untuk mengakomodasi jatah pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD menjadi proyek fisik di Dinas PUPR. Total jatah pokir disepakati mencapai Rp 45 miliar, sebelum akhirnya diturunkan menjadi Rp 35 miliar akibat keterbatasan anggaran.

    Dalam pembahasan anggaran, anggota DPRD juga meminta fee sebesar 20% dari total nilai proyek atau sekitar Rp 7 miliar. Kejanggalan semakin terlihat ketika anggaran Dinas PUPR melonjak dari Rp 48 miliar menjadi Rp 96 miliar saat APBD disahkan.

    “Sudah menjadi praktik umum di Pemkab OKU, jual-beli proyek dengan pemberian fee kepada pejabat Pemkab OKU dan DPRD,” tegas Asep.

    KPK menemukan setidaknya sembilan paket proyek yang dikondisikan sebagai jatah DPRD dan diproses melalui e-katalog oleh Kadis PUPR Nopriansyah. Paket tersebut meliputi, rehabilitasi rumah dinas bupati Rp 8,39 miliar dan rehabilitasi rumah dinas wakil bupati Rp 2,46 miliar.

    Selain itu, pembangunan kantor Dinas PUPR Rp 9,88 miliar dan sejumlah proyek peningkatan jalan dan pembangunan jembatan bernilai Rp 983 juta-Rp 4,92 miliar.

    Kesembilan proyek itu ditawarkan kepada ketua Komisi III DPRD OKU dengan komitmen fee 22%, terdiri dari 2% untuk Dinas PUPR dan 20% untuk anggota DPRD.

    Untuk Purwanto dan Robi Vitergo (penerima suap) disangkakan Pasal 12 huruf a, 12 huruf b, atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 ayat (1) KUHP. Sementara itu,  Ahmat Thoha dan Mendra SB (pemberi suap) disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    KPK menegaskan akan terus menelusuri aliran dana dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam praktik jual-beli proyek di lingkungan Pemkab OKU.

  • KPK Tahan Waka dan Anggota DPRD OKU Terkait Suap di Dinas PUPR

    KPK Tahan Waka dan Anggota DPRD OKU Terkait Suap di Dinas PUPR

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka sekaligus menahan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Periode 2024-2029, Parwanto (PW) dan anggota DPRD OKU 2024-2029 Robi Vitergo (RV) diduga terkait suap di Dinas PUPR OKU.

    KPK juga menetapkan dan menahan Ahmat Thoha (AT) selaku pihak swasta dan Mendra SB (MSB) selaku wiraswasta.

    “Para Tersangka ditahan untuk 20 hari pertama terhitung sejak 20 November sampai dengan 9 Desember 2025, di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, Kamis (20/11/2025).

    Dalam konstruksi perkara, anggaran tahun 2025 Pemkab OKU terjadi pengkondisian jatah pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD yang diubah menjadi proyek fisik di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten OKU.

    Jatah pokir disepakati sebesar Rp45 miliar dengan pembagian untuk Ketua DPRD dan Wakil Ketua DPRD Rp5 miliar, serta masing-masing anggota senilai Rp1 miliar.

    Namun, nilai anggaran turun menjadi Rp35 miliar. Anggota DPRD OKU meminta jatah 20% sehingga total fee adalah sebesar Rp7 miliar. Lalu, APBD tahun 2025 Kabupaten OKU disetujui, pembahasan anggaran Dinas PUPR mengalami peningkatan Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar.

    Dalam hal ini, Ahmat bersama Muhammad Fauzi (MFZ) yang lebih dulu ditetapkan tersangka serta Mendra bersama-sama dengan Ahmad Sugeng Santoso (ASS) selalu swasta menjadi pihak pemberi. Sedangkan Robi dan Parwanto merupakan pihak penerima uang dari pihak swasta. 

    Parwanto dan Robi selaku pihak penerima disangkakan Pasal 12huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jopasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Sementara Ahmat dan Mendra sebagai pihak pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1KUHPidana.

  • Kejati NTB Tahan 2 Tersangka Kasus Dana Siluman DPRD NTB

    Kejati NTB Tahan 2 Tersangka Kasus Dana Siluman DPRD NTB

    NTB, Beritasatu.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) menahan dua tersangka kasus dugaan gratifikasi dana siluman DPRD NTB. Kedua tersangka yaitu IJU alias IJU dan MNI alias Acip. Penahanan dilakukan setelah keduanya menjalani pemeriksaan intensif selama hampir lima jam.

    Berdasarkan pantauan, IJU dan Acip tiba di kantor Kejati NTB dan menjalani pemeriksaan tertutup di ruang pidana khusus (Pidsus). Sekitar pukul 14.50 Wita, IJU merupakan ketua DPW Partai Demokrat NTB digiring menuju mobil tahanan. Ia bungkam saat ditanya awak media.

    Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Zulkifli Said membenarkan penahanan keduanya.

    “Hari ini kami melakukan penahanan terhadap dua tersangka dalam kasus gratifikasi DPRD NTB, berinisial IJU dan MNI,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (20/11/2025).

    Zulkifli Said menjelaskan sebelum penetapan tersangka, penyidik melakukan pengesahan saksi, kemudian menaikkan status keduanya menjadi tersangka setelah seluruh unsur alat bukti terpenuhi.

    “Setelah diperiksa sebagai tersangka, akhirnya kita lakukan penahanan untuk 20 hari ke depan,” tegasnya.

    IJU dititipkan di rumah tahanan (Rutan) Kuripan, Lombok Barat, sementara Acip ditempatkan di Rutan Lombok Tengah. Keduanya dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terkait pemberian atau penerimaan gratifikasi.

    Penahanan ini dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan dan menelusuri kemungkinan bukti tambahan.

    Kasus gratifikasi dana siluman DPRD NTB disebut memiliki potensi melebar. Informasi internal Kejati menyebutkan bahwa penyidik sudah memeriksa sejumlah pihak lain, dan tidak menutup kemungkinan munculnya tersangka baru.

    Penyidik memastikan penanganan kasus dilakukan tanpa tebang pilih, termasuk jika aliran dana mengarah pada pejabat aktif di pemerintahan maupun legislatif.

    Dengan penahanan dua tersangka selama 20 hari, penyidik menargetkan pendalaman bukti tambahan, termasuk menelusuri dugaan aliran dana ke pihak lain.

    Skandal dana siluman DPRD NTB diprediksi menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang menyita perhatian publik hingga akhir tahun.

  • Fraksi PDIP Dorong Tata Kelola Hutan Berkeadilan Lewat Raperda Kehutanan Jatim

    Fraksi PDIP Dorong Tata Kelola Hutan Berkeadilan Lewat Raperda Kehutanan Jatim

     

    Surabaya (beritajatim.com) – Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur, Wara Sundari Renny Pramana, menyebut Raperda Penyelenggaraan Kehutanan sebagai langkah penting untuk memperbaiki tata kelola hutan di Jawa Timur.

    Dia menilai aturan ini harus memastikan pengelolaan hutan berjalan adil, terbuka, dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

    Bunda Renny sapaan lekatnya menjelaskan bahwa fraksinya memberi perhatian serius terhadap Nota Gubernur terkait Raperda tersebut, termasuk dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.

    Menurutnya, kebijakan kehutanan tidak boleh berhenti di tataran regulasi, tetapi harus memberi kepastian hukum dan arah pengelolaan yang jelas.

    “Fraksi PDI Perjuangan mendukung penuh pembentukan Raperda ini. Tapi lebih dari sekadar agenda legislasi, kami memandangnya sebagai tanggung jawab ideologis untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam demi kemakmuran rakyat Jawa Timur serta kelestarian bumi pertiwi,” ujar Bunda Renny di Surabaya, Kamis (20/11/2025).

    Bunda Renny menegaskan pentingnya keterbukaan data agar masyarakat bisa terlibat dalam pengawasan hutan. Dia menilai akses terhadap informasi spasial, izin pemanfaatan, dan hasil evaluasi sangat menentukan keberhasilan kebijakan ini.

    “Pemerintah daerah perlu membentuk forum komunikasi kehutanan yang melibatkan akademisi, LSM, dan masyarakat adat untuk memperkuat akuntabilitas publik,” tambah politisi yang juga Bendahara DPD PDIP Jatim itu.

    Fraksi PDIP menilai sektor kehutanan harus menjadi motor ekonomi hijau yang tidak mengorbankan fungsi ekologis. Model jasa lingkungan dan perdagangan karbon dapat menjadi sumber pembiayaan rehabilitasi hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan.

    Selain itu, fraksi juga mendorong penguatan kelembagaan, koordinasi lintas pemerintah, serta pemberdayaan masyarakat desa hutan melalui skema perhutanan sosial. Pengawasan terpadu yang melibatkan masyarakat dianggap penting untuk mencegah pelanggaran kehutanan.

    “Hasil ekonomi dari model tersebut harus dikelola secara transparan dan dikembalikan untuk pembiayaan rehabilitasi hutan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Skema pembagian manfaat harus adil dan berpihak kepada rakyat, bukan kepentingan korporasi,” pungkas dia.[asg/ted]