Kementrian Lembaga: DPRD

  • Wali Kota Kediri Buka Musda VII LDII, Tekankan SDM Profesional dan Religius

    Wali Kota Kediri Buka Musda VII LDII, Tekankan SDM Profesional dan Religius

    Kediri (beritajatim.com) – Wali Kota Kediri Vinanda Prameswati menghadiri sekaligus membuka Musyawarah Daerah (Musda) VII Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPD LDII) Kota Kediri yang digelar di Gedung Lantai 5 Pondok Pesantren Wali Barokah, Rabu (17/12/2025).

    Dalam sambutannya, Wali Kota Kediri memberikan apresiasi atas konsistensi LDII Kota Kediri dalam pembinaan generasi muda, penguatan nilai-nilai keagamaan, serta aktivitas sosial kemasyarakatan. Peran aktif dan moderat LDII dinilai turut menjaga harmoni sosial dan kondusivitas daerah.

    Tema Musda LDII tahun ini yang menitikberatkan pada penguatan sumber daya manusia profesional dan religius dinilai relevan dengan tantangan pembangunan saat ini. Wali Kota yang akrab disapa Mbak Wali menegaskan bahwa pembangunan tidak lagi semata berorientasi pada infrastruktur.

    “Inilah fondasi utama menuju Indonesia Emas 2045, dan inilah pula yang menjadi roh dari visi Kota Kediri MAPAN,” ujarnya.

    Wali Kota Kediri termuda tersebut menjelaskan, Pemerintah Kota Kediri terus mendorong percepatan pembangunan lintas sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga transformasi digital. Namun, keberhasilan pembangunan hanya dapat dicapai apabila selaras dengan penguatan nilai, etika, dan kepedulian sosial.

    “Di titik inilah peran organisasi keagamaan seperti LDII menjadi mitra strategis Pemerintah Daerah,” imbuhnya.

    Menurutnya, Musyawarah Daerah ke-VII ini menjadi momentum penting untuk memperkuat konsolidasi organisasi, melakukan evaluasi, serta menyusun program kerja yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Selain itu, Musda juga dinilai strategis dalam mempertegas kontribusi LDII bagi pembangunan masyarakat Kota Kediri yang rukun, berakhlak mulia, dan berdaya saing di tengah perubahan global.

    “Saya berharap melalui Musda ke-VII ini, LDII Kota Kediri dapat melahirkan program kerja yang adaptif, inklusif, dan berorientasi pada kemajuan daerah. Selamat dan sukses atas terselenggaranya Musda ke-VII ini. Semoga Musda ini melahirkan keputusan-keputusan strategis dan kepemimpinan yang amanah, yang membawa LDII Kota Kediri semakin maju, semakin solid, dan semakin berkontribusi dalam mewujudkan Kota Kediri MAPAN serta Indonesia Emas 2045,” pungkasnya.

    Usai membuka Musda ke-VII DPD LDII Kota Kediri, Wali Kota Kediri bersama jajaran DPD LDII Kota Kediri menyerahkan secara simbolis paket sembako kepada warga. Kegiatan dilanjutkan dengan penyiraman tanaman sebagai pengganti karangan bunga ucapan Musda, serta peninjauan 15 stan UMKM Pondok Pesantren Wali Barokah sekaligus melarisi dagangan para pelaku usaha.

    Musda tersebut turut dihadiri Ketua DPRD Kota Kediri Firdaus, Wakapolres Kediri Kota Kompol Yanuar Rizal Ardianto, perwakilan Forkopimda Kota Kediri, Ketua DPW LDII Provinsi Jawa Timur KH. Moch. Amrodji Konawi, Ketua DPD LDII Kota Kediri Agung Riyanto, Ketua Yayasan Wali Barokah Achmad Fawwaz Abd. Aziz, Ketua Pondok Pesantren Wali Barokah KH. Sunarto, para alim ulama, peserta Musyawarah Daerah Pleno DPD, pimpinan dan pengurus cabang serta anak cabang LDII Kota Kediri, Kepala Organisasi Perangkat Daerah, Ketua FKUB Kota Kediri Moch. Salim, serta tamu undangan lainnya. [nm/beq]

  • Fraksi PDIP DPRD Jatim Desak Percepatan Perbaikan Jalur Rawan Longsor Pacet dan Malang-Pujon

    Fraksi PDIP DPRD Jatim Desak Percepatan Perbaikan Jalur Rawan Longsor Pacet dan Malang-Pujon

    Surabaya (beritajatim.com) – Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur, Martin Hamonangan, meminta pemerintah provinsi segera mempercepat perbaikan jalan di titik-titik yang teridentifikasi rawan longsor. Permintaan ini menyasar kawasan vital seperti Pacet, jalur Malang–Pujon, serta sejumlah ruas jalan nasional lainnya yang memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan pengguna jalan.

    “Perbaikan jalan di titik-titik rawan longsor harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana,” ujar Martin, Rabu (17/12/2025).

    Martin mendorong dinas terkait, khususnya yang menangani infrastruktur, untuk tidak hanya memperbaiki fisik jalan tetapi juga melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap lingkungan pendukungnya. Pengecekan tersebut harus mencakup seluruh potensi kerawanan bencana.

    “Perlu pengecekan langsung kondisi jalan dan pembersihan saluran air agar potensi longsor bisa dicegah,” katanya.

    Legislator dari Dapil Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso ini menekankan bahwa normalisasi drainase adalah bagian krusial dari upaya mitigasi. Menurutnya, sumbatan aliran air di sepanjang jalan sering menjadi pemicu utama longsor, terutama saat intensitas curah hujan tinggi.

    “Hal-hal kecil seperti membersihkan saluran air sangat membantu dalam mencegah longsor,” ujarnya.

    Martin juga meminta pemerintah provinsi mengevaluasi efektivitas langkah-langkah pencegahan yang sudah dilakukan selama ini. Evaluasi diperlukan agar perbaikan yang akan datang bersifat tepat sasaran, efektif, dan berkelanjutan.

    “Dengan perbaikan jalan di titik-titik rawan longsor, diharapkan risiko bencana dapat dikurangi dan keselamatan pengguna jalan meningkat,” ucapnya.

    Terakhir, Martin menyoroti pentingnya sinergi antarinstansi. Koordinasi lintas dinas harus diperkuat agar penanganan infrastruktur dan mitigasi bencana berjalan optimal.

    “Kita harus bekerja sama untuk mencegah terjadinya bencana,” kata Martin, sembari mengimbau masyarakat agar selalu waspada saat melintas di kawasan rawan longsor. [asg/beq]

  • KPK Sita Dokumen Usai Geledah Kantor-Rumah Dinas Bupati Lampung Tengah

    KPK Sita Dokumen Usai Geledah Kantor-Rumah Dinas Bupati Lampung Tengah

    Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah dokumen setelah menggeledah tiga titik di Lampung Tengah. Penggeledahan itu merupakan tindak lanjut dari kasus dugaan suap yang menyeret Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya.

    Penggeledahan berlangsung di kantor bupati, kantor Bina Marga, dan rumah dinas bupati pada Selasa (16/12/2025). Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menyampaikan pihaknya telah menyegel sejumlah titik di wilayah Lampung Tengah.

    “Dari penggeledahan yang dilakukan secara maraton di tiga titik tersebut, KPK mengamankan sejumlah dokumen,” jelas Budi, dikutip Rabu (17/12/2025).

    Usai menyita dokumen, kata Budi, penyidik akan melakukan analisis untuk menggali informasi guna membongkar praktik dugaan suap hingga Rp5,75 miliar.

     Di sisi lain, Budi menjelaskan bahwa lembaga antirasuah tengah melakukan kajian tindak pidana korupsi di partai politik. Sebab dinilai memiliki banyak celah terjadi tindakan rasuah yang salah satu faktornya adalah laporan keuangan tidak akuntabel. 

    Hal ini dilatar belakangi oleh kasus Ardito membayar utang kampanye Pilkada 2024 sebesar Rp5,25 dari uang suap tersebut.

    Pada perkara ini, Ardito meminta Riki, Anggota DPRD Lampung Tengah untuk memenangkan vendor guna menangani proyek Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) melalui mekanisme penunjukan langsung di e-katalog.

    Ironinya pengkondisian berlangsung setelah Ardito dilantik sebagai Bupati. Dia sudah mengatur vendor yang mengerjakan proyek PBJ itu, yakni perusahaan milik keluarga atau tim kampanye dirinya saat bertarung di Pilkada 2024.

    Dari pengkondisian itu, dia mendapatkan fee Rp5,25 miliar. Tak hanya itu, pada proyek pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan setempat, dia juga mendapatkan fee Rp500 dari Direktur PT Elkaka Mandiri (PT EM) karena telah memenangkan perusahaan itu untuk menjalankan 3 paket pengadaan alat kesehatan di Dinkes dengan total nilai proyek Rp3,15 miliar. Sehingga total uang yang diterima Ardito sebesar Rp5,75 miliar.

    Dalam perkara ini KPK menetapkan 5 tersangka yakni:

    1. Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya 

    2. Riki Hendra Saputra selaku anggota DPRD Lampung Tengah

    3. Ranu Hari Prasetyo selaku adik Ardito

    4. Anton Wibowo selaku Plt. Kepala Badan Pendapatan Daerah Lampung Tengah

    5. Mohamad Lukman selaku pihak swasta yaitu Direktur PT Elkaka Mandiri.

  • Krisis Sampah Membayangi Kabupaten Bogor, Bupati Arahkan Pengelolaan Sampah dari Desa
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        17 Desember 2025

    Krisis Sampah Membayangi Kabupaten Bogor, Bupati Arahkan Pengelolaan Sampah dari Desa Regional 17 Desember 2025

    Krisis Sampah Membayangi Kabupaten Bogor, Bupati Arahkan Pengelolaan Sampah dari Desa
    Tim Redaksi
    BOGOR, KOMPAS.com
    – Pemerintah Kabupaten Bogor mulai mengalihkan penanganan sampah dari hilir ke hulu melalui penguatan pengelolaan sampah di tingkat desa. 
    Hal ini seiring disahkannya Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan
    Sampah
    yang akan mulai diterapkan pada 2026.
    Kebijakan tersebut diambil menyusul terus meningkatnya volume sampah di
    Kabupaten Bogor
    yang berdampak pada kesehatan dan
    pencemaran lingkungan
    .
    Bupati Bogor Rudy Susmanto menuturkan, penanganan dari hulu ini juga untuk menekan ancaman penumpukan dan gunungan sampah di tempat pembuangan akhir atau TPA Galuga, Cibungbulang.

    Pengelolaan sampah
    harus berangkat dari hulu, yaitu dari masyarakat. Masyarakat itu berada di desa, sehingga pengelolaan sampah harus bisa dilakukan di tingkat desa,” kata Rudy usai melaksanakan rapat paripurna penetapan Rancangan Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Bogor tentang Pengelolaan Sampah, Selasa (16/12/2025).
    Rudy menjelaskan, Perda Pengelolaan Sampah menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah untuk mendorong desa-desa mengelola sampah secara mandiri, termasuk melalui pembentukan dan penguatan bank sampah.
    Menurut dia, sampah yang tidak dapat dikelola di tingkat desa barulah akan dibuang ke tempat pembuangan akhir, salah satunya ke TPA Galuga.
    Dengan skema tersebut, beban TPA diharapkan dapat berkurang secara signifikan.
    Untuk mendukung kebijakan tersebut, Pemkab Bogor menyiapkan pembiayaan melalui Bantuan Keuangan (Bankeu) Infrastruktur Desa yang disepakati bersama DPRD Kabupaten Bogor dan akan mulai berlaku pada 2026.
    “Payung hukumnya ada, salah satunya melalui pembiayaan yang kami siapkan dalam bantuan keuangan infrastruktur desa yang disepakati bersama antara DPRD, Pemkab, dan mulai berlaku pada 2026,” katanya.
    Selain itu, akan ada Peraturan Bupati yang mengatur pengelolaan sampah di tingkat desa.
    Ia menambahkan, aspek teknis pengelolaan sampah di hulu, termasuk mekanisme operasional dan besaran dukungan anggaran telah diatur oleh Dinas Lingkungan Hidup.
    Rudy menegaskan, penguatan pengelolaan sampah dari hulu menjadi langkah strategis untuk menekan dampak negatif sampah terhadap kesehatan masyarakat dan pencemaran lingkungan yang selama ini muncul akibat peningkatan volume sampah.
    Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya dilihat dari aspek teknis pengolahan sampah semata, tetapi juga dari dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan.
    Karena itu,  pengesahan Perda Pengelolaan Sampah sekaligus menjadi instrumen perlindungan bagi masyarakat Kabupaten Bogor.
    Jika dari hulu bisa ditangani, maka tekanan di TPA bisa berkurang sehingga persoalan sampah tidak terus menumpuk di hilir.
    “Kami melihat TPA Galuga bukan hanya dari sisi lokasinya, tetapi juga dampaknya. Ada jalan provinsi dan jalan kabupaten yang dilalui, ada beberapa kecamatan dan desa terdampak,” ujarnya. 
    Masyarakat berharap sarana prasarana air bersih yang layak, penerangan jalan umum di seluruh ruas jalan, serta layanan kesehatan yang mencukupi bagi masyarakat sekitar TPA Galuga. 
    Maka, tujuan adanya perda pengelolaan sampah demi melindungi masyarakat Kabupaten Bogor.
    Sebelumnya, Kabupaten Bogor menghadapi persoalan serius dalam pengelolaan sampah.
    Setiap hari, timbulan sampah di wilayah ini mencapai sekitar 2.000 ton, sementara kapasitas Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga sudah tak lagi mampu menampung.
    Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor, Teuku Mulya, menyebut kondisi ini bisa menjadi bom waktu jika tidak segera diantisipasi.
    “Jumlah sampah di Kabupaten Bogor 2.000 ton sehari yang masuk ke Galuga dan sudah tidak sebanding dengan kapasitas,” kata Teuku usai rapat Badan Anggaran (Banggar) di Gedung DPRD Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/8/2025). 
    Menurutnya, kondisi tersebut sudah melebihi kapasitas dan berisiko menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pansus Pastikan Raperda Kampung Cerdas Dorong Layanan Modern Tanpa Kesenjangan

    Pansus Pastikan Raperda Kampung Cerdas Dorong Layanan Modern Tanpa Kesenjangan

    Surabaya (beritajatim.com) – Ketua Pansus Raperda Pengembangan Kampung Cerdas DPRD Surabaya, Azhar Kahfi, menegaskan komitmen menghadirkan modernisasi layanan hingga tingkat kampung. Raperda ini, kata dia, diarahkan agar seluruh kampung mampu berkembang mengikuti zaman tanpa menciptakan kesenjangan antarkawasan.

    “Semangat raperda ini mendorong kampung-kampung di Surabaya itu bisa berbenah lebih modern,” ujar Kahfi usai rapat pansus, Selasa (16/12/2025).

    Politisi Gerindra ini menjelaskan konsep Kampung Cerdas merujuk pada prinsip smart city yang berangkat dari tata kelola pemerintahan. Enam unsur smart yang dibahas dalam pansus diarahkan hadir dan dirasakan di kampung-kampung.

    “Seperti yang disampaikan Prof. Sesung selaku pembuat naskah akademik, yang dinamakan smart city itu smart governance-nya, dan enam branding smart itu ada di kampung-kampung kita,” katanya.

    Menurut Kahfi, pansus memastikan kebijakan ini tidak melahirkan ketimpangan antarwilayah. Kampung dengan keterbatasan sumber daya tetap harus mendapat pendampingan agar tidak tertinggal.

    “Prinsip kita, semangat dari pansus jangan sampai muncul kesenjangan. Jangan ada kampung yang karena tidak mampu membuat branding akhirnya tidak bisa dinyatakan Kampung Cerdas,” tegas Kahfi.

    Dia menegaskan Kampung Cerdas tidak boleh berhenti pada label atau citra semata. Yang utama, kata dia, adalah layanan publik modern yang benar-benar dirasakan warga.

    “Pengembangan Kampung Cerdas ini jangan hanya kampungnya yang terlihat pintar, tapi warganya tidak mendapatkan layanan yang modern. Kita mengawal raperda ini agar layanan modern dirasakan oleh seluruh warga Surabaya,” ucap Kahfi.

    Raperda ini, lanjut Kahfi, dirancang berbeda karena fokus pada pengembangan potensi kampung secara menyeluruh. Dengan payung hukum, pemerintah kota memiliki dasar kuat untuk melakukan intervensi hingga tingkat RW dan kelurahan.

    “Kalau sudah ada perdanya, ini mendorong kampung-kampung mengembangkan potensi kampungnya dari RW sampai kelurahan,” jelasnya.

    Terkait skala prioritas, Kahfi memaparkan Kampung Cerdas akan menjadi tanggung jawab pemerintah kota. Pemerintah hadir mengawal hingga indikator-indikator yang ditetapkan terpenuhi.

    “Betul, ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Ketika kampung berpotensi membentuk branding-nya, pemerintah hadir memberikan intervensi sampai indikator smart tata kelola, lingkungan, dan sosial terpenuhi,” katanya.

    Namun, dia mengakui proses mewujudkan Kampung Cerdas di lebih dari 1.300 RW membutuhkan waktu panjang. Meski demikian, raperda ini disusun untuk jangka panjang agar tetap relevan mengikuti perkembangan zaman.

    “Perda ini tidak untuk jangka pendek atau menengah, tetapi jangka panjang. Tata kelola pemerintahan yang modern harus mengikuti perkembangan zaman,” tutur Kahfi.

    Dia berharap Raperda Kampung Cerdas membuka ruang kreativitas generasi muda di kampung. Anak muda dinilainya memiliki inovasi dan visi untuk mengembangkan potensi wilayahnya. “Dengan adanya perda ini sangat membuka ruang kreativitas anak-anak muda di kampung untuk melihat dan mengembangkan potensi kampungnya,” pungkas Kahfi. [asg/kun]

  • Bawaslu: Demokrasi Indonesia Mundur, Pemilu On The Right Track

    Bawaslu: Demokrasi Indonesia Mundur, Pemilu On The Right Track

    Jember (beritajatim.com) – Saat ini mulai terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia. Namun secara umum pelaksanaan pemilihan umum masih berada di jalur yang benar.

    Hal ini disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia Rahmat Bagja, dalam acara sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan, di kampus Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa (16/12/2025).

    “Sekarang memang mulai declining democracy Tapi bukan hanya milik Indonesia, tapi milik dunia. Skandinavia maju, tapi penduduknya enam juta sampai 15 juta orang,. Masih oke. Kalau sudah di atas 100 juta orang, persoalan akan berbeda. Oleh sebab itu, maka kita lihat Amerika, lihat India yang mulai declining,” kata Bagja.

    Bagja menyebut penyelenggaraan pemilu di Indonesia sangat berat. “Hampir tidak ada negara yang berani membuat satu hari pemungutan suara untuk untuk 204 juta pemilih. Amerika Serikat punya namanya pre-election. Pre-election day itu pre-voting day. Jadi dua minggu sebelum voting day, warga negaranya masih bisa memilih,” katanya.

    Sementara di Indonesia, lanjut Bagja, pemilihan dilakukan dalam waktu bersamaan di tempat pemungutan suara, kecuali pemilihan di luar negeri. “Oleh sebab itu pengawasannya pun agak bermasalah,” katanya.

    “Inilah gambaran negara demokratis yang berbentuk kepulauan. Banyak persoalan iya, tapi harus kita akui sampai saat ini pemilu kita sudah on the track,” kata mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini.

    Kendati sudah berada di jalur yang tepat, Bagja merasa perlu mengkritik tidak adanya kewenangan bagi Bawaslu untuk mengakses Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Keduanya adalah platform digital terintegrasi milik Komisi Pemilihan Umum (KPU).

    Silon digunakan untuk memfasilitasi proses administrasi pencalonan peserta pemilu mulai dari pendaftaran, pengunggahan dokumen, hingga verifikasi, bertujuan untuk mempercepat, mempermudah, mengurangi kertas (less paper), serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proses pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD, dan pilkada, dengan data yang terekam sistematis untuk audit publik.

    Sementara Sipol digunakan untuk memfasilitasi pendaftaran, verifikasi, dan pemutakhiran data partai politik peserta Pemilu (DPR dan DPRD) secara daring. Sistem ini memungkinkan parpol mengunggah data kepengurusan, keanggotaan, dan domisili, serta memberi akses publik untuk cek data nomor induk kependudukan agar mencegah penyalahgunaan data pribadi.

    Bagja mengajak mahasiswa untuk ikut mengawasi, memantau, dan memperhatikan kinerja penyelenggara pemilu. “Kecurangan itu dimulai bukan pada saat pemungutan suara, namun dimulai pada saat penyusunan daftar pemilih,” katanya.

    Pendaftaran pemilih di Indonesia, menurut Bagja, lebih mudah daripada pendaftaran pemilih di Amerika Serikat pada era Presiden Donald Trump. “Calon pemilih di AS mendaftarkan diri sebagai pemilih dipersulit dengan pertanyaan-pertanyaan staf Komisi Pemilihan Umum Amerika Serikat,” katanya.

    Sementara di Indonesia, kata Bagja, penyusunan daftar pemilih merupakan momentum terbuka bagi publik. “Ke depan teman-teman harus mengawasi bagaimana proses pendaftaran yang dilakukan pemilih. Di Indonesia hanya dua syaratnya. Pertama, dia berusia 17 tahun. Kedua, sudah menikah. Ini hal yang agak berbeda dengan negara-negara besar lain,” katanya. [wir]

  • Eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi Meninggal, Kasus Korupsi Dana Hibah Tetap Lanjut untuk 20 Tersangka Lain

    Eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi Meninggal, Kasus Korupsi Dana Hibah Tetap Lanjut untuk 20 Tersangka Lain

    Liputan6.com, Jakarta – Mantan Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi meninggal dunia di RSUD dr Soetomo Surabaya, Jawa Timur pada Selasa (16/12) pukul 14.00. Kasus dugaan korupsi dana hibah jatim tetap berlanjut untuk 20 tersangka lainnya.

    Kusnadi salah satu tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur. Juru bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, lembaga antirasuah akan menghentikan melakukan penyidikan terhadap Kusnadi.

    “Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU 19 tahun 2019, bahwa KPK dapat menghentikan penyidikannya, termasuk atas tersangka yang meninggal dunia,” kata Budi kepada wartawan, Selasa (16/12).

    Sedangkan untuk 20 tersangka lainnya tetap dilakukan penegakan hukum.

    “Sedangkan, untuk 20 tersangka lainnya, penyidikannya tetap berlanjut,” ujarnya.

    Untuk diketahui, korupsi pengelolaan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) Jawa Timur (Jatim) terbongkar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 21 orang menjadi tersangka.

    Mirisnya, eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi dan mantan wakilnya Anwar Sadad serta Achmad Iskandar terlibat. Bahkan, Kusnadi disebut menerima fee sekitar 15-20 persen dari total nilai anggaran. 

    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menceritakan, awal mula dana hibah warga Jatim jadi bancakan Kusnadi dan koleganya.

    Dia menyebut, Kusnadi menggelar pertemuan dengan pimpinan DPRD Jatim bersama fraksi untuk menentukan jatah hibah pokok pikiran (pokir) atau pokmas tahun 2019-2022 bagi setiap anggota DPRD Jatim. 

    Dalam pertemuan itu, diputuskan Kusnadi mendapatkan jatah dana hibah pokmas dengan total Rp 398,7 miliar selama 2019-2022. Dengan rincian Rp 54,6 miliar pada 2019, Rp 84,4 miliar pada 2020, Rp 124,5 miliar pada 2021, dan Rp 135,2 miliar pada 2022.

    Uang tersebut kemudian didistribusikan oleh Kusnadi kepada lima korlap. Pertama, Jodi Pradana Putra (JPP), korlap pengondisian dana pokmas di Kabupaten Blitar, Kota Blitar, dan Kabupaten Tulungagung.

    Kedua, HAS sebagai korlap di Kabupaten Gresik, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Pacitan. Kemudian, SUK, WK, dan AR sebagai korlap di Kabupaten Tulungagung.

    Kelima korlap tersebut kemudian membuat proposal permohonan dana hibah dengan menentukan jenis pekerjaan, membuat rencana anggaran biaya (RAB), dan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada Kusnadi yang menghasilkan kesepakatan pembagian biaya komitmen.

  • Pilkada via DPRD, Solusi Politik Berbiaya Mahal atau Hidupkan Masalah Lama?

    Pilkada via DPRD, Solusi Politik Berbiaya Mahal atau Hidupkan Masalah Lama?

    Pilkada via DPRD, Solusi Politik Berbiaya Mahal atau Hidupkan Masalah Lama?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD kembali mencuat, digaungkan oleh elite partai politik dan pemerintah.
    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai pemilihan kepala daerah dengan cara tak langsung tidak bertentangan dengan hukum.
    “Undang-undang tidak melarang kalau seandainya dilaksanakan sepanjang dilakukan secara demokratis,” ujar Tito di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
    Tito beralasan, demokratis itu bisa berarti dua hal, dipilih secara langsung atau melalui perwakilan di DPRD.
    Dalil pemerintah juga menyebutkan konstitusi negara, Undang-Undang Dasar 1945 tidak melarang adanya pemilihan secara tidak langsung tersebut.
    Selain itu, partai yang santer menyuarakan wacana ini adalah Golkar.
    Pada HUT Ke-61 partai berlambang beringin itu, Ketua Umumnya Bahlil Lahadalia secara terbuka menyebut wacana tersebut.
    “Khusus menyangkut
    pilkada
    , setahun lalu kami menyampaikan kalau bisa pilkada dipilih lewat DPRD saja. Banyak pro-kontra, tapi setelah kita mengkaji, alangkah lebih baiknya memang kita lakukan sesuai dengan pemilihan lewat DPR kabupaten/kota biar tidak lagi pusing-pusing. Saya yakin ini perlu kajian mendalam,” kata Bahlil.
    Anggota Komisi II DPR-RI, Ahmad Doli Kurnia mengatakan, sepanjang pemilihan kepala daerah yang digelar secara langsung, ada ekses yang semakin besar dan tak terkendali.
    Tak lain adalah biaya politik yang terllalu besar yang menyentuh pada penyelenggaraan dan “biaya lain” yang disebut bisa mengancam moral bangsa.
    “Biaya-biaya itu ternyata belum tentu menghasilkan kepala daerah yang ideal, bukan hanya dari aspek kualitas penyelenggaraan pemerintahan, namun ternyata fakta menunjukkan bahwa banyak sekali Kepala Daerah yang terjerat masalah hukum, terutama kasus korupsi,” kata Doli kepada
    Kompas.com
    , Senin (15/12/2025).
    Sebab itu, Doli menilai wacana pemilihan kembali ke DPRD adalah opsi yang patut dipertimbangkan untuk menjaga prinsip
    demokrasi
    dai menjawab masalah politik berbiaya mahal tersebut.
    Selain berbicara sebagai anggota Komisi II, politikus Golkar ini juga menyebut partainya sudah mengkaji fenomena pilkada dengan biaya mahal ini.
    “Dari hasil kajian sementara itu, tentu kami sudah punya beberapa opsi. Terkait Pilkada, kami memang sudah punya kecenderungan untuk melaksanakan Pilkada kembali ke DPRD, terutama untuk pemilihan Gubernur,” ucapnya.
    Doli menjelaskan, meski berangkat dari fenomena politik berbiaya mahal, sikap partai Golkar diambil berdasarkan alasan otonomi daerah.
    Karena menurut kajian partai dengan warna dominan kuning ini, pemilihan gubernur melalui DPRD juga bisa bersifat demokratis dan tidak dilarang konstitusi, persis seperti yang dikatakan Mendagri Tito Karnavian.
    Sikap Golkar ini masih belum final untuk pemilihan di tingkat kabupaten/kota. Doli mengatakan, kepala daerah tingkat dua perlu tetap dipilih secara langsung agar pemimpinnya mendapat legitimasi dari rakyat.
    “Namun, dengan mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang, yang mengharuskan adanya penghematan biaya negara serta untuk menjaga moral bangsa, tentu kita bisa memilih kembali ke DPRD.
    Jadi untuk Pilkada Kabupaten/Kota kami cenderung juga kembali ke DPRD, walaupun kami punya opsi lain, yaitu dilaksanakan secara asimetris/hybrid, ada Kabupaten/Kota yang tetap dilaksanakan secara langsung dan ada dilaksanakan melalui DPRD,” ucapnya.
    Merujuk dua artikel
    Kompas
    berjudul ”Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Anggota Dewan, Kiri-Kanan Oke” (14 Maret 2000) dan ”Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Kejarlah Calon Gubernur, Uang Kutangkap” (15 Maret 2000), yang diulas kembali dalam liputan bertajuk “Jejak Politik Uang Saat Kepala Daerah Masih Dipilih oleh DPRD” politik uang terjadi saat pilkada melalui DPRD.
    Praktik “biaya lain-lain yang merusak moral bangsa” itu digambarkan secara gamblang dalam pemilihan bupati Sukoharjo pada Januari 2000.
    Saat itu, hampir semua bakal calon dilaporkan mengeluarkan dana besar untuk mengamankan dukungan fraksi.
    Sejumlah kandidat disebut menghabiskan hingga Rp 500 juta hanya untuk tahap pencalonan.
    Fenomena serupa muncul di Boyolali pada Februari 2000 ketika suara fraksi mayoritas DPRD justru berpindah dalam pemungutan suara.
    Rumor yang beredar saat itu menyebutkan harga satu suara anggota DPRD berkisar Rp 50 juta hingga Rp 75 juta, disertai praktik ”karantina” anggota dewan di rumah calon menjelang pemilihan.
    Praktik transaksi politik lebih vulgar di Lampung Selatan, dalam proses pemilihan bupati periode 2000–2005, tim sukses calon bupati mendatangi rumah anggota DPRD, menginapkan mereka di hotel, dan memberikan uang tunai dengan nilai bervariasi.
    Sejumlah anggota DPRD mengaku menerima uang antara Rp 10 juta hingga Rp 25 juta, bergantung pada posisi mereka sebagai anggota atau pimpinan fraksi.
    Praktik politik uang tersebut merebak di berbagai daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
    Hal ini yang disebut peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Beni Kurnia sebagai bentuk tidak adanya jaminan biaya pilkada menjadi lebih murah.
    Pasalnya, praktik transaksi di lorong gelap justru akan semakin kuat, seperti yang pernah terjadi pada 25 tahun silam.
    “Yang lebih mungkin terjadi adalah pergeseran
    locus
    politik uang, dari pemilih rakyat ke elit politik di DPRD. Dalam konteks praktik pemerintahan daerah, transaksi politik semacam ini justru lebih sulit diawasi karena berlangsung dalam ruang tertutup dan dibungkus dalam proses politik internal lembaga perwakilan,” katanya.
    Dia juga menegaskan, problem mahalnya biaya pilkada tak bisa dikatakan sejalan dengan bentuk pemilihan secara langsung.
    Pilkada yang mahal, kata Beni, adalah masalah tata kelola pengawasan politik uang dan transaksi tiket pencalonan oleh partai politik yang selama ini sulit untuk dijatuhi sanksi.
    Beni mengatakan, konstitusi memang tidak secara eksplisit memberikan kewajiban pilkada langsung.
    Walakin, perkembangan konstitusi pasca reformasi telah menempatkan rezim pilkada langsung sebagai instrumen demokrasi lokal dan wujud dari kedaulatan rakyat.
    “Problem mahalnya biaya pilkada dan praktik korupsi kepala daerah lebih tepat dibaca sebagai kegagalan tata kelola dan pengawasan, bukan kegagalan sistem pemilihan langsung itu sendiri,” katanya.
    Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Nurcahyadi Suparman atau Armand mengatakan, wacana ini sebagai bentuk kemunduran terhadap kedaulatan rakyat, khususnya di tingkat lokal.
    “Dengan kita memindahkan Pilkada langsung ke ruang-ruang DPR/DPRD, itu sebetulnya sudah atau menjadi langkah mundur dari upaya penguatan demokratisasi lokal itu,” ucapnya.
    Dia juga menyebut ada upaya melempar tanggungjawab dari masalah politik berbiaya mahal.
    Karena menurut Armand, yang menyebabkan politik berbiaya mahal adalah mekanisme transaksi di lorong gelap yang terjadi antara kandidat dan partai politik.
    “Karena itu menurut kami, biaya politik ini sangat mahal karena memang partai politik itu sendiri yang membuat biaya itu mahal,” katanya.
    Sebab itu, Armand menilai jalan keluarnya bukan kembali pada masa kedaulatan rakyat dirampas kembali, tapi pada perbaikan tata kelola dan regenerasi partai politik yang baik.
    “Padahal kalau partai itu punya sistem kaderisasi dan rekrutmen yang bagus, mestinya hal-hal seperti itu (politik berbiaya mahal) bisa disimplifikasi,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Usut Kasus Suap Bupati Lampung Tengah, KPK Geledah Kantor hingga Rumah Dinas

    Usut Kasus Suap Bupati Lampung Tengah, KPK Geledah Kantor hingga Rumah Dinas

    Bisnis.com, JAKARTA — Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah tiga titik di wilayah Lampung Tengah terkait dugaan suap proyek yang menyeret Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya. Penggeledahan berlangsung pada hari ini, Selasa (16/12/2025).

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menjelaskan penggeledahan berlangsung di Kantor Bupati, Dinas Bina Marga, dan rumah dinas Bupati Lampung Tengah. 

    “Dalam lanjutan penyidikan perkara dugaan suap proyek di Lampung Tengah, yang bermula dari kegiatan tertangkap tangan pada pekan lalu tersebut, hari ini penyidik melakukan serangkaian giat penggeledahan di tiga titik, yaitu Kantor Bupati, Dinas Bina Marga, serta Rumah Dinas Bupati Lampung Tengah,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Selasa (16/12/2025).

    Budi menuturkan bahwa penggeledahan bertujuan untuk mencari bukti-bukti tambahan yang dibutuhkan dalam proses penanganan perkara ini sehingga dapat membongkar dugaan praktik suap.

    Kendati demikian, proses yang masih berlangsung sehingga Budi belum dapat menyampaikan apa saja barang bukti yang telah diamankan oleh penyidik lembaga antirasuah.

    Pada perkara ini, Ardito meminta Riki, Anggota DPRD Lampung Tengah untuk memenangkan vendor guna menangani proyek Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) melalui mekanisme penunjukan langsung di e-katalog.

    Ironinya pengkondisian berlangsung setelah Ardito dilantik sebagai Bupati. Dia sudah mengatur vendor yang mengerjakan proyek PBJ itu, yakni perusahaan milik keluarga atau tim kampanye dirinya saat bertarung di Pilkada 2024.

    Dari pengkondisian itu, dia mendapatkan fee Rp5,25 miliar. Tak hanya itu, pada proyek pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan setempat, dia juga mendapatkan fee Rp500 dari Direktur PT Elkaka Mandiri (PT EM) karena telah memenangkan perusahaan itu untuk menjalankan 3 paket pengadaan alat kesehatan di Dinkes dengan total nilai proyek Rp3,15 miliar. Sehingga total uang yang diterima Ardito sebesar Rp5,75 miliar.

  • KPK Geledah Rumah Dinas Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya

    KPK Geledah Rumah Dinas Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menetapkan Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya sebagai tersangka korupsi, sejumlah proyek di lingkungan pemerintah kabupaten Lampung Tengah. Ardianto tidak sendiri, KPK juga menangkap empat orang lainnya terkait kasus ini. Barang bukti yang diamankan berupa uang dan emas.

    “Kegiatan tertangkap tangan ini terkait dengan proyek-proyek pengadaan di wilayah Lampung Tengah, dan yang diamankan dari penyelenggara negara dan juga pihak swasta,” kata juru bicara KPK Budi Prasetyo di Jakarta, Kamis (11/12/2025).

    Total lima tersangka yang ditangkap KPK. Pertama Ardito Wijaya. Kedua, RHS (Riki Hendra Saputra) anggota DPRD Lampung Tengah. Ketiga, RHP (Ranu Hari Prasetyo) adik Bupati Lampung Tengah.

    Keempat, ANW (Anton Wibowo) Plt Kepala Badan Pendapatan Daerah Lampung Tengah sekaligus kerabat dekat Bupati. Kelima, MLS (Mohamad Lukman Sjamsuri) pihak swasta atau Direktur PT EM.

    Plh Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Mungky Hadipratikto mengungkapkan Ardito Wijaya mematok fee 15 hingga 20 persen kepada vendero dari setiap proyek yang ada di wilayahnya, diduga untuk memperkaya diri.

    “Pada Juni 2025, Ardito Wijaya Bupati Lampung Tengah periode 2025-2030 diduga mematok fee sebesar 15%-20% dari sejumlah proyek di Pemkab Lampung Tengah. Di mana diketahui postur belanja berdasarkan APBD Kabupaten Lampung Tengah tahun 2025 mencapai sekitar Rp 3,19 triliun. Dari anggaran tersebut, sebagian besar dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, hingga program prioritas daerah,” kata Mungky saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (11/12/2025).

    Mungky menjelaskan, pada Februari-Maret 2025 atau tepatnya setelah dilantik menjadi Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya memerintahkan Riki Hendra Saputra untuk mengatur pemenang pengadaan barang dan jasa (PBJ) di sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Lampung Tengah melalui mekanisme penunjukkan langsung di e-Katalog.

    “Adapun rekanan atau penyedia barang dan jasa yang harus dimenangkan adalah perusahaan milik keluarga, atau milik tim pemenangan (saat kampanye) Ardito Wijaya saat mencalonkan diri sebagai Bupati Lampung Tengah periode 2025-2030,” jelas Mungky.

    Dalam pelaksanaan pengkondisian tersebut, Ardito meminta Riki untuk berkoordinasi dengan Anton Wibowo dan Iswantoro selaku sekretaris dari Anton untuk berhubungan dengan para SKPD guna pengaturan pemenang PBJ.

    “Atas pengkondisian tersebut, pada periode Februari-November 2025, Ardito diduga menerima fee senilai Rp 5,25 miliar dari sejumlah rekanan atau penyedia barang dan jasa melalui RHS (Riki Hendra Sapura) dan RNP (Ranu Hari Prasetyo) selaku adik Bupati Lampung Tengah,” jelas Mungky.