Kementrian Lembaga: DPRD

  • Pemkab Ingkari Kesepakatan dengan DPRD Bojonegoro soal Penetapan KUA-PPAS 2026

    Pemkab Ingkari Kesepakatan dengan DPRD Bojonegoro soal Penetapan KUA-PPAS 2026

    Bojonegoro (beritajatim.com) — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat sebelumnya telah sepakat dalam menentukan Kebijakan Umum Anggaran–Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA–PPAS) 2026.

    Namun, belakangan DPRD Bojonegoro baru sadar jika Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) 2026 yang disampaikan Bupati Bojonegoro Setyo Wahono dua pekan lalu, nilainya tidak sama dengan KUA-PPAS 2026 yang telah disepakati bersama.

    Dalam KUA–PPAS 2026, belanja daerah tercatat Rp6,79 triliun. Namun, dalam RAPBD 2026 angkanya Rp5,86 triliun. Turun Rp926 miliar. Selain itu, dalam menentukan Silpa juga ada selisih antara KUA-PPAS dengan RAPBD 2026, nilainya turun dari Rp2,73 triliun menjadi Rp1,8 triliun.

    Menyadari adanya perubahan anggaran dalam KUA-PPAS 2026 dengan RAPBD 2026, DPRD Bojonegoro bersama Pemkab Bojonegoro menggelar rapat di Ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRD Bojonegoro, Selasa (25/11/2025) sore hingga malam.

    Ketua Badan Anggaran sekaligus Ketua DPRD Bojonegoro Abdulloh Umar mengatakan, perbedaan RAPBD 2026 dengan KUA–PPAS 2026 itu masih akan dikaji ulang. Namun, lanjut Umar sapaannya, agak riskan jika RAPBD 2026 diubah lagi menyesuaikan KUA–PPAS 2026. Sebab, bisa melampaui deadline pada 30 November 2025.

    Prinsipnya, kata Umar, selisih itu ada di angka, bukan pada item kegiatan. Dengan mempertimbangkan konsultasi TAPD, Bagian Hukum Pemprov Jatim, hingga efektivitas waktu, tim Banggar DPRD Bojonegoro tetap melanjutkan pembahasan RAPBD tetapi dengan catatan.

    “Untuk konsekuensinya kita serahkan kepada gubernur (Khofifah Indar Parawansa, red). Karena, nanti ada tahapan evaluasi gubernur. Hasilnya terserah gubernur,” ujarnya.

    Jika hasil evaluasi gubernur itu memberi petunjuk bahwa RAPBD 2026 harus diubah lagi atau disesuaikan dengan KUA–PPAS 2026, maka petunjuk dimaksud harus dijalankan. Di luar itu, Umar menegaskan, agar penyusunan dokumen anggaran ke depan lebih tertib dan tidak melenceng dari kesepakatan awal.

    DPRD juga mengingatkan bahwa perubahan besar pada tahap akhir seperti ini berpotensi menyebabkan pembahasan molor dari tenggat 30 November. Belum lagi, jika mendapat penolakan dari gubernur, maka akan menimbulkan dampak bagi pembangunan daerah.

    “Pasti ada dampaknya. Bisa terjadi keterlambatan, dan biasanya ada sanksi administratif. Pembahasan APBD harus sejalan, baik dari eksekutif (Pemkab) maupun legislatif (DPRD),” ujarnya.

    Sementara dalam rapat tersebut, pihak Pemkab Bojonegoro dipimpin Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Bojonegoro Edi Susanto. Edi Susanto mengatakan, perbedaan RAPBD 2026 dengan KUA-PPAS 2026 itu terjadi setelah pihaknya melakukan penyesuaian anggaran berdasarkan beberapa pertimbangan.

    Mantan Sekretaris DPRD (Sekwan) Bojonegoro itu meneruskan, pihaknya ingin APBD 2026 Bojonegoro lebih berkualitas daripada sebelumnya. “(Perbedaan RAPBD dengan KUA–PPAS, red) Ini juga tidak melanggar regulasi. Tidak ada aturan yang dilanggar,” klaim Edi Susanto dalam rapat tersebut. [lus/ian]

  • TII: Pemisahan jadwal Pemilu berpeluang perkuat pengawasan

    TII: Pemisahan jadwal Pemilu berpeluang perkuat pengawasan

    Jakarta (ANTARA) – Lembaga penelitian kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menilai pemisahan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 membuka peluang signifikan untuk memperkuat pengawasan pemilu.

    Namun kebijakan tersebut juga menyisakan tantangan besar, terutama terkait kepastian hukum dan kesiapan regulasi.

    “Jeda waktu antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah adalah kesempatan emas untuk memperbaiki sistem pengawasan. Selama ini beban kerjanya sangat menumpuk,” kata Research Associate The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.

    Hal itu disampaikannya dalam diskusi publik bertajuk Dampak Pemisahan Jadwal Pemilu dengan Pilkada bagi Pengawasan Pemilu yang digelar The Indonesian Institute.

    Arfianto memaparkan empat peluang utama yang muncul dari keputusan MK ini. Pertama, pengurangan beban kerja, sehingga pengawasan dapat dilakukan lebih fokus. Kedua, pengawasan mendalam, karena tidak ada lagi tahapan besar yang berjalan bersamaan.

    Ketiga, perencanaan lebih optimal dengan jeda minimal dua tahun antarpemilihan. Keempat, kesempatan untuk perbaikan strategi jangka panjang, mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga pendidikan politik yang lebih efektif.

    Meski demikian, Arfianto mengingatkan adanya risiko besar yang harus diantisipasi. Ia menyoroti ketidakpastian hukum karena belum adanya revisi UU Pemilu, tumpang tindih kewenangan, serta potensi pelanggaran konstitusional apabila masa jabatan DPRD tidak lagi serempak lima tahunan.

    Menurutnya, pemerintah dan DPR perlu segera melakukan revisi komprehensif terhadap regulasi pemilu sambil memperkuat transparansi dan koordinasi antar-lembaga.

    Hadir dalam diskusi ini yakni Anggota Bawaslu RI, Dr. Puadi, menegaskan bahwa Putusan MK tidak hanya mengubah jadwal pemilu, tetapi juga mengubah total desain penyelenggaraan pemilu.

    Ia menyebut Putusan MK 135/2024 sebagai jawaban atas kritik terhadap pelaksanaan Pemilu Serentak Penuh yang dinilai membebani logistik, administrasi, hingga pengawasan di lapangan.

    “Desain penyelenggaraan pemilu akan berubah dan itu berdampak langsung pada tata kerja dan strategi pengawasan,” ujar Puadi.

    Menurut Puadi, pemisahan pemilu memungkinkan Bawaslu melakukan pengawasan yang lebih mendalam terhadap satu jenis pemilihan dalam satu siklus.

    Hal ini memperkuat kualitas investigasi pelanggaran dan mempermudah penegakan hukum, termasuk dalam kasus-kasus seperti politik uang.

    Ia menjelaskan bahwa Bawaslu kini tengah mengundang para ahli hukum dan mantan hakim MK untuk memperkuat norma hukum acara pengawasan pasca putusan tersebut.

    Puadi juga menilai pemisahan jadwal akan meningkatkan mitigasi risiko, efektivitas koordinasi antar-lembaga, serta pendidikan pemilih yang lebih terstruktur.

    Namun di sisi lain, ia mengungkap sederet risiko: kebutuhan anggaran yang meningkat, kerja pengawasan tanpa jeda lima tahun penuh, potensi kelelahan pengawas, hingga ancaman kekosongan norma transisional jika revisi UU Pemilu tak kunjung dilakukan.

    Pembicara lainnya, Manajer Policy Research Populi Center, Dimas Ramadhan, menyoroti lambannya proses pembahasan revisi UU Pemilu di DPR meskipun Putusan MK 135 sudah keluar sejak awal tahun. Menurutnya, hingga kini belum jelas apakah pembahasan akan dilakukan oleh Baleg atau Komisi II.

    “Progresnya lamban. Padahal revisi ini menentukan desain pemilu ke depan, termasuk bagi pengawasan,” kata Dimas.

    Dimas menggarisbawahi enam prinsip keadilan pemilu yang harus dijadikan acuan dalam merancang aturan baru, antara lain integritas proses, efisiensi administratif, aksesibilitas bagi pemilih, serta independensi penyelenggara.

    Ia juga memaparkan alasan di balik kebutuhan pemisahan pemilu, seperti tumpang tindih tahapan, beban kerja ekstrem penyelenggara, hingga tenggelamnya isu lokal dalam pemilu serentak.

    Menurutnya, dampak bagi Bawaslu bisa positif jika diikuti perencanaan matang.

    “Risiko overload bisa turun, koordinasi antar-lembaga lebih intensif, dan kualitas pengawasan meningkat,” ujarnya.

    Selain itu, Bawaslu dapat memperkuat kemampuan pengawasan tematik: isu nasional seperti pendanaan kampanye dan disinformasi dipisahkan dari kerawanan lokal seperti politik uang atau keberpihakan ASN.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sidang Dugaan Korupsi Ngawi, Keterangan Saksi Ahli Dinilai Janggal

    Sidang Dugaan Korupsi Ngawi, Keterangan Saksi Ahli Dinilai Janggal

    Surabaya (beritajatim.com) – Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Ngawi kembali dilanjut di Pengadilan Tipikor Surabaya. Dua orang didudukkan sebagai Terdakwa dalam kasus ini yakni anggota DPRD Ngawi Winarto dan juga notaris Nafiaturrohmah.

    Sidang yang dipimpin hakim Irlina ini mengagendakan keterangan ahli perdata dari UGM yakni Dr Taufiq El Rahman SH, MHum. Sayangnya ahli tidak bisa datang karena sakit sehingga keterangannya dibacakan oleh JPU dalam persidangan.

    Dengan dibacakannya keterangan ahli ini diklaim oleh kuasa hukum Terdakwa Nafiaturrohmah penuh kejanggalan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Reza Prasetya SH dinilai memaksakan diri membawa kasus ini ke persidangan.

    Hal itu disampaikan tim kuasa hukum Terdakwa Nafiaturrohmah yakni Heru Nugroho SH MH, Sugihartono SH dan Dwi Priyono SH MH.

    Usai sidang Heru menyampaikan, dari awal penetapan tersangka terhadap kliennya yang kemudian dilakukan penahanan pihaknya sudah melakukan upaya hukum praperadilan, namun praperadilan yang diajukan tidak diterima karena Jaksa sudah melimpkahkan pokok perkara ke Pengadilan.

    Heru menambahkan, dalam menangani perkara yang menjerat kliennya. Banyak hukum acara yang dilanggar Jaksa Penuntut Umum (JPU) diantaranya adalah surat ijin dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN).

    “Karena klien kami yakni Terdakwa Nafiaturrohmah ini adalah seorang notaris, sesuai dalam UU Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014 pasal 66 jelas diatur bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib mendapatkan persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN),” ujarnya.

    Kejanggalan kedua lanjut Heru adalah tentang berkas perkara dalam perkara ini dipisah (splitsing) yakni Terdakwa Nafiaturrohmah dan Winarto.

    “Tidak ada larangan pemisahan berkas (splitsing), tapi dalam perkara ini pemeriksaan saksi-saksi tidak dilakukan yang seharusnya karena hanya mengkopi paste dari berkas Winarto ke berkas Nafiaturrohmah. Padahal dalam hukum acara pidana kan tidak boleh seperti itu,” ujarnya.

    Pun demikian dengan keterangan saksi yang mengaudit kerugian negara. Dalam perkara tindak pidana korupsi sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 25 tahun tahun 2016 bahwa kerugian negara itu harus nyata.

    “Minggu kemarin JPU menghadirkan saksi dari auditor Ngawi, kami tanya apakah juga melakukan audit untuk terdakwa Nafiaturrohmah? Saksi tersebut mengatakan bahwa dia tidak mengaudit untuk terdakwa Nafiaturrohmah namun hanya mengaudit untuk terdakwa Winarto,” ujarnya.

    Heru menyayangkan sikap JPU yang menabrak hukum acara sesuai aturan yang ada dan lebih prihatin lagi hal itu juga diakomodir oleh pengadilan Tipikor Surabaya yang melanjutkan perkara sampai saat ini.

    “Karena ini adalah perkara pidana maka harusnya hukum acara ditegakkan, klien kami sudah direnggut kemerdekaannya dengan dilakukan penahanan sejak Juli 2025, ujarnya.

    Terkait ahli yang didatangkan JPU juga semuanya tidak hadir ada yang melalui zoom dan ada yang hanya dibacakan, sehingga pihak Terdakwa tidak bisa menggali lebih jauh dengan apa yang diterangkan ahli.

    “Waktu ahli yang diambil keterangannya melalui zoom, kami masih bisa bertanya. Contohnya kami tanyakan soal audit, apakah audit bisa dipakai terdakwa 1 kemudian dipakai terdakwa 2. Ahli menjawab tidak bisa, tapi ketika ditanya majelis hakim ahli menjawab bisa, ini kan tidak konsisten,” ujarnya.

    Untuk persidangan hari ini di Pengadilan Tipikor, JPU Reza Prasetya SH mendatangkan ahli perdata dari UGM Dr Taufiq El Rahman SH, MHum. Ahli tidak bisa datang karena sakit, namun sayangnya keterangan sakit yang disampaikan JPU sudah dua bulan lalu.

    “Dengan keterangan ahli yang dibacakan maka banyak keterangan ahli yang tidak sesuai. Contohnya, ahli mengatakan apabila ada akta yang tidak ditandatangani maka itu batal demi hukum, padahal faktanya tidak ada satupun akta yang tidak ditandatangani. Saat pada saksi penjual tanah yang di hadirkan di persidangan, faktanya mereka bilang bahwa mereka tanda tangan, ” ujar Heru.

    Dengan pertanyaan yang diajukan JPU terhadap ahli perdata tersebut, Heru menduga adanya upaya framing yang dilakukan JPU bahwa Terdakwa Nafiaturrohmah saat menjalankan tugas sebagai notaris tidak dilakukan dengan benar.

    “Kalau menurut kami ini adalah bentuk kriminaliasi terhadap klien kami sebagai seorang notaris yang sudah melakukan tugasnya sebagai pejabat umum,” ucap Heru.

    Heru juga menyinggung terkait dakwaan Jaksa tentang kekurangan bayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Terkait kekurangan bayar BPHTB menurut Heru harusnya masuk peradilan umum bukan peradilan korupsi karena subjek hukumnya adalah wajib pajak.

    “Tapi setelah persidangan tepatnya dua Minggu lalu yang mana Jaksa mendatangkan saksi dari Badan Keuangan Ngawi yakni Muhammad Arwan, saya tanya kepada saksi, apabila ada kekurangan bayar apa yang dilakukan Basan Keuangan? Saksi menjawab, pihaknya akan menerbitkan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar. Untuk perkara ini, saksi mengaku tidak menerbitkan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tersebut karena memang tidak menemukan kekurangan bayar dalam perkara ini,” beber Heru. [uci/but]

     

  • Gerindra Sidoarjo Warning Risiko Pelanggaran Hukum dalam Kebijakan BUMD

    Gerindra Sidoarjo Warning Risiko Pelanggaran Hukum dalam Kebijakan BUMD

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Fraksi Gerindra DPRD Kabupaten Sidoarjo menyampaikan peringatan keras terkait potensi pelanggaran hukum dalam tata kelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), khususnya Perumda Delta Tirta, saat menyetujui APBD Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 2026 dalam Rapat Paripurna, Selasa (25/11/2025).

    Pandangan tersebut disampaikan oleh juru bicara Fraksi Gerindra, Pratama Yudhianto, S.H. Ia menegaskan bahwa sejumlah kebijakan dalam pengelolaan BUMD berpotensi menimbulkan konsekuensi yuridis apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terutama terkait reklasifikasi utang usaha meragukan menjadi laba bersih Perumda Delta Tirta tahun buku 2024 yang bernilai lebih dari Rp 11 miliar.

    Menurut Pratama Yudhianto, hingga rapat pembahasan terakhir, eksekutif belum memberikan dasar hukum yang memadai atas langkah tersebut, termasuk kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, regulasi pengelolaan BUMD, maupun ketentuan dalam PP 54/2017 dan aturan turunannya.

    Kekosongan penjelasan itu, menurutnya, bukan hanya persoalan administratif, tetapi berpotensi menyeret pihak terkait pada konsekuensi hukum.

    Ia menegaskan bahwa perubahan status utang menjadi laba tanpa landasan aturan yang kuat dapat menimbulkan risiko bagi Bupati Sidoarjo selaku Kuasa Pemilik Modal (KPM) maupun Direksi Perumda Delta Tirta.

    Jika di kemudian hari terbukti tidak sesuai ketentuan, kebijakan tersebut dapat masuk kategori maladministrasi, penyalahgunaan wewenang, bahkan berpotensi mengarah pada indikasi tindak pidana korupsi apabila menimbulkan kerugian keuangan daerah.

    “APBD bukan sekadar dokumen anggaran, tetapi instrumen hukum. Ketika proyeksi PAD dibangun dari data yang tidak sah atau tidak akurat, maka seluruh bangunan fiskal daerah ikut terancam,” tegas Pratama Yudhianto.

    Fraksi Gerindra juga menyoroti ketidakjelasan kebijakan revitalisasi PT Aneka Usaha Perseroda sebagai BUMD pangan. Minimnya arah kebijakan dinilai dapat menciptakan risiko hukum lain terkait efektivitas belanja daerah, akuntabilitas kinerja BUMD, dan kewajiban penyusunan rencana bisnis yang seharusnya diverifikasi sesuai ketentuan.

    Meski memberikan catatan hukum yang tegas, Fraksi Gerindra tetap menyetujui APBD 2026, dengan syarat pemerintah daerah segera membuka klarifikasi resmi terkait reklasifikasi utang, memperbaiki tata kelola BUMD, memastikan belanja prioritas ketahanan pangan berjalan sesuai regulasi, serta menyampaikan laporan triwulanan kepada DPRD.

    “Persetujuan Fraksi Gerindra bukanlah bentuk pembiaran, melainkan langkah konstitusional untuk menjaga fungsi pengawasan DPRD dan memastikan tidak ada kebijakan daerah yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum di masa mendatang,” tutupbya. (isa/but)

  • Bank Sumut ditargetkan naik kelas menjadi KBMI 2 pada 2026

    Bank Sumut ditargetkan naik kelas menjadi KBMI 2 pada 2026

    Targetnya tahun depanlah sudah bisa mencapai Rp6 triliun. Sebulan lagi, mudah-mudahan bisa.

    Medan (ANTARA) – Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution menyatakan, PT Bank Sumut ditargetkan naik kelas menjadi Kelompok Bank Modal Inti (KBMI) 2 yang memiliki modal inti Rp6 triliun pada 2026.

    “Targetnya tahun depanlah sudah bisa mencapai Rp6 triliun. Sebulan lagi, mudah-mudahan bisa,” ujar Bobby menegaskan, di Medan, Selasa.

    Hal itu, kata dia lagi, menyusul persetujuan pemegang saham sebanyak 33 kabupaten/kota se-Sumut secara bulat menyetujui opsi penyertaan modal tidak dalam bentuk uang tunai.

    Tetapi berupa aset atau inbreng bila memenuhi standar penilaian Bank Sumut dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Bank Sumut di Medan, Senin (24/11).

    “Keputusan ini diambil sebagai langkah adaptif di tengah kondisi penyesuaian fiskal pemerintah daerah pada tahun depan,” kata Bobby.

    Gubernur Sumut selaku pemegang saham pengendali menegaskan, inbreng ini memberikan ruang bagi pemerintah daerah memenuhi kewajiban penyertaan modal tanpa mengganggu kas masing-masing daerah.

    Data Bank Sumut sebagai bank pembangunan daerah (BPD) memiliki total modal hingga 31 Maret 2025 sebesar Rp4,4 triliun atau berstatus kategori KBMI 1.

    Bank Sumut berdiri pada 4 November 1961 memiliki tiga kantor cabang koordinator, 34 kantor cabang konvensional, dan enam kantor cabang syariah yang tersebar 155 kantor cabang pembantu (KCP) konvensional, 16 KCP syariah, 87 gerai payment point, serta 354 unit anjungan tunai mandiri (ATM).

    “Bank Sumut hari ini masih kategori KBMI 1, dan rencananya kategori itu akan hilang. Bila tidak naik kelas, otomatis Bank Sumut nanti akan menjadi BPR (Bank Perkreditan Rakyat),” kata Bobby pula.

    Menurutnya, kebijakan ini akan membantu percepatan pemenuhan kebutuhan modal inti Bank Sumut tanpa membebani APBD di kabupaten/kota se-Sumut.

    Pemerintah Provinsi Sumut telah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penambahan Penyertaan Modal ke PT Bank Pembangunan Daerah Sumut yang lebih dikenal Bank Sumut dalam rapat paripurna, di Gedung DPRD Sumut, Jumat (14/11).

    Adapun barang milik daerah yang diajukan sebagai penyertaan modal ke Bank Sumut, yakni tanah dan bangunan gedung Kantor Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi, dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sumut.

    Kemudian, tanah dan bangunan parkir Kantor Gubernur Sumut yang dahulunya bernama Medan Club, serta tanah dan bangunan Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) di Jalan Gatot Subroto Medan.

    “Oleh karena itu ada kewajiban untuk kita menaikkan modal inti menjadi KBMI 2. Itu modalnya harus di atas Rp6 triliun,” kata Bobby.

    Pewarta: Muhammad Said
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPRD Surabaya Temukan Kenaikan Harga Kantin dan Minim Fasilitas di SMPN 37

    DPRD Surabaya Temukan Kenaikan Harga Kantin dan Minim Fasilitas di SMPN 37

    Surabaya (beritajatim.com) – DPRD Surabaya mengungkap temuan serius di SMPN 37 setelah inspeksi lapangan yang dilakukan pada momen Hari Guru Nasional. Kenaikan harga jajanan kantin dan keterbatasan fasilitas sekolah dinilai memberatkan siswa, terutama keluarga dari kelompok tidak mampu.

    “Misalnya gorengan harga Rp2.000 dijual Rp3.000 kemudian ayam keprek dari harga Rp9.000 dijual Rp10.000, berarti per seribu diambil mereka,” ujar Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Imam Syafi’i, saat inspeksi di SMPN 37 Jalan Kalianyar, Genteng, Selasa (25/11/2025).

    Imam menjelaskan bahwa informasi kenaikan harga ini diterima setelah orang tua siswa menyampaikan aduan terkait beban biaya di kantin sekolah.

    Dia menyebut pihak sekolah berdalih bahwa selisih harga sudah melalui kesepakatan dengan pedagang dan dana dihimpun untuk kegiatan pelajar.

    “Kalaupun setiap bulannya bisa dapat Rp2 juta sampai Rp2,5 juta dari 3 atau 4 pedagang. Margin itu terlalu tebal. Ini pertama merugikan siswa, kedua bisa bikin dagangan tidak laku dan merugikan pedagang,” tegasnya.

    Menurut Imam, praktik tersebut mencerminkan masalah yang lebih fundamental, yaitu tidak terpenuhinya fasilitas pendidikan sehingga sekolah mengambil langkah mandiri yang justru menimbulkan masalah baru. Dia menilai inisiatif mencari pemasukan tambahan muncul karena kebutuhan operasional tidak seluruhnya dipenuhi.

    “Ternyata fasilitas untuk kepentingan proses belajar-mengajar sekolah negeri di Surabaya masih belum diberikan semuanya. Akhirnya sekolah atau guru-guru pakai cara sendiri-sendiri,” ujar Imam.

    Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena SMPN 37 memiliki siswa dari keluarga kurang mampu dalam jumlah besar. Terdapat 261 siswa dari total 757 siswa yang masuk kategori MBR, tetapi sekolah ini belum tersentuh program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    “Loh, siswa miskin ini, kalau jajan harga segitu apa tidak menambah beban? Padahal sekolah-sekolah yang MBR-nya sedikit saja sudah dapat MBG,” sindir Imam.

    Imam mengungkap data bahwa dari lebih dari 3.000 sekolah di Surabaya, baru sekitar 80 yang mendapatkan MBG. Dia menilai distribusi program harus menyentuh sekolah-sekolah di kawasan padat penduduk dan kantong kemiskinan agar tepat sasaran.

    “Prioritasnya harus diberikan kepada kawasan seperti Genteng, Simokerto, Tambaksari, dan Semampir. Karena di tempat-tempat itulah banyak anak dari keluarga tidak mampu,” pungkasnya. [asg/ian]

  • DPRD Surabaya Desak Pemkot Percepat Rekrutmen Direksi BUMD Surya Sembada dan KBS

    DPRD Surabaya Desak Pemkot Percepat Rekrutmen Direksi BUMD Surya Sembada dan KBS

    Surabaya (beritajatim.com) – DPRD Surabaya mendesak Pemerintah Kota (Pemkot) segera mempercepat seleksi rekrutmen direksi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang masa jabatannya telah berakhir. Dorongan ini muncul karena posisi penting di dua BUMD masih belum terisi secara definitif.

    “Kami DPRD meminta kepada pemkot dalam hal ini Wali Kota Eri Cahyadi segera melakukan seleksi rekrutmen posisi vital di Direksi BUMD, yang saat ini sudah habis masa jabatan. Baik itu di Direksi Surya Sembada maupun di Direksi Kebun Binatang Surabaya (KBS),” ujar Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, Selasa (25/11/2024).

    Politisi Gerindra yang akrab disapa Cak Yebe ini juga menilai penunjukan Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) direksi tidak cukup untuk mendukung pengambilan keputusan strategis yang dibutuhkan perusahaan daerah. Dia menyebut wewenang PLT sangat terbatas sehingga dapat menghambat arah dan kebijakan pengembangan BUMD.

    “Kalaupun memang telah ditunjuk PLT-nya, maka yang dikhawatirkan PLT ini kan tidak diberikan wewenang mengambil kebijakan strategis terkait dengan operasional BUMD tersebut. Maka lakukanlah proses seleksi maupun rekrutmen,” tutur Cak Yebe.

    Menurut Cak Yebe, ketiadaan direksi definitif akan berdampak langsung terhadap kinerja, program pengembangan, dan kesinambungan operasional BUMD. Dia menilai keputusan strategis jangka panjang tidak dapat diputuskan tanpa keberadaan direksi penuh yang memiliki otoritas legal.

    Cak Yebe mengusulkan agar pola rekrutmen direksi BUMD disusun dengan mekanisme terbuka layaknya seleksi jabatan eselon di lingkungan Pemkot Surabaya. Transparansi proses dinilainya penting untuk memastikan terpilihnya pemimpin yang kompeten dan kredibel.

    “Kami mendorong proses rekrutmen dilakukan transparan dan akuntabel. Bisa diseleksi dengan pola yang sama sebagaimana yang terjadi di beberapa waktu yang lalu. Bagaimana proses Kabag, Kadis di pejabat-pejabat eselon itu, itu dilakukan dengan terbuka,” kata dia.

    Dia juga meminta seleksi direksi melibatkan unsur yang lebih luas untuk menjaring kandidat terbaik. Baik dari kalangan ASN maupun non-ASN dinilai layak diberi kesempatan selama memenuhi potensi, pengalaman, dan integritas sesuai kebutuhan jabatan.

    “Perlu dilibatkan dari unsur organik maupun non-organik. Baik itu dari unsur ASN maupun non-ASN, yang tentunya mereka memiliki potensi dan kredibilitas terkait dengan jabatan. Atau posisi yang dibutuhkan,” pungkas Cak Yebe. [asg/ian]

  • Rehab Gedung PUPR Kota Pasuruan Diduga Molor, DPRD Beri Solusi

    Rehab Gedung PUPR Kota Pasuruan Diduga Molor, DPRD Beri Solusi

    Pasuruan (beritajatim.com) – Pekerjaan rehabilitasi Gedung PUPR Kota Pasuruan diduga mengalami keterlambatan menjelang batas akhir penyelesaian proyek. Dugaan keterlambatan ini mendorong Komisi III DPRD Kota Pasuruan melakukan inspeksi mendadak (sidak) pada Selasa (25/11/2025) untuk memastikan progres di lapangan.

    Sidak dilakukan karena waktu pelaksanaan tinggal sekitar satu pekan, sementara capaian proyek belum menunjukkan angka maksimal. Kondisi tersebut membuat dewan menilai perlu adanya percepatan agar pekerjaan tidak melewati masa kontrak.

    Berdasarkan laporan terbaru, progres fisik rehabilitasi gedung mencapai 89,56 persen sehingga masih menyisakan sekitar 10 persen yang harus dirampungkan. Situasi ini memicu kekhawatiran dewan lantaran beberapa pekerjaan masih terlihat berjalan paralel dan membutuhkan penanganan cepat.

    Ketua Komisi III DPRD Kota Pasuruan, M. Suci Mahardiko, membenarkan adanya ketertinggalan pekerjaan dari target awal. “Progres yang awalnya minus hingga 30 persen, alhamdulillah saat ini sudah membaik menjadi minus 9 persen dalam waktu kurang dari satu minggu,” ujarnya.

    Ia meminta pihak PUPR bersama kontraktor meningkatkan intensitas pekerjaan agar keterlambatan tidak berlanjut hingga melebihi batas waktu. “Waktu tinggal satu mingguan dan kondisi sudah memasuki musim hujan, jadi perlu penambahan SDM dan pengaturan ritme pekerjaan yang lebih ketat,” tambah Mas Kokoh.

    Di sisi lain, pelaksana proyek Ahmad Yandi menegaskan bahwa pihaknya tetap optimistis dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai deadline. Ia memastikan seluruh material telah tersedia dan tinggal memasuki tahap pemasangan akhir.

    “Mengingat seluruh bahan sudah ada di lokasi, tinggal pasang-pasang saja. Ini kita kebut, dan insyaallah minggu ini sudah selesai,” ujar Ahmad Yandi kepada awak media.

    Ia menjelaskan bahwa pekerjaan tersisa meliputi pemasangan tlasaran, plafon, finishing pengecatan, dan pembersihan area. Menurutnya, tim pelaksana telah menambah tenaga untuk memastikan target dapat dikejar.

    “Tim pelaksana berupaya keras agar pembangunan selesai dalam minggu ini, dengan harapan gedung bisa segera dimanfaatkan,” lanjutnya.

    Berdasarkan dokumen kontrak, rehabilitasi Gedung PUPR Kota Pasuruan dikerjakan oleh CV Arjuna Nur Kirana dengan pengawasan CV Wiratama Mandiri. Proyek ini menghabiskan anggaran Rp1.173.385.000 dengan waktu pelaksanaan 120 hari. (ada/but)

  • Pembahasan R-APBD Magetan Rp1,83 T Hanya 2 Hari, Banggar DPRD: Tidak Rasional

    Pembahasan R-APBD Magetan Rp1,83 T Hanya 2 Hari, Banggar DPRD: Tidak Rasional

    Magetan (beritajatim.com) – Pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Kabupaten Magetan Tahun Anggaran 2026 senilai Rp1,83 triliun hanya berlangsung dua hari, situasi yang dinilai Badan Anggaran (Banggar) DPRD Magetan sebagai sesuatu yang tidak rasional dan sangat dipaksakan. Kondisi ini muncul setelah dokumen anggaran baru diserahkan pada 25 November, sementara tenggat pengesahan wajib dilakukan pada 28 November.

    Anggota Banggar DPRD Magetan, Didik Haryono, menyampaikan kekecewaannya terhadap cara kerja yang menurutnya jauh dari ideal. Ia menegaskan bahwa legislatif dipaksa menyelesaikan pembahasan anggaran dalam waktu ekstrem pendek.

    “Kami Badan Anggaran DPRD dipaksa mau tidak mau membahas APBD Rp 1,83 triliun hanya dalam waktu 2 hari. Itu tidak rasional dan sangat dipaksakan,” tegas legislator Partai Golongan Karya itu.

    Didik menjelaskan bahwa beban pembahasan sebesar itu tidak mungkin menghasilkan telaah dan keputusan yang matang jika dipaksakan dalam waktu singkat. Ia menilai situasi tersebut justru berpotensi melemahkan kualitas proses anggaran dan memunculkan keputusan yang tidak berorientasi pada kepentingan publik secara optimal.

    Menurut Didik, akar persoalan ini berasal dari buruknya kinerja Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ia menilai TAPD bekerja tidak simultan, terlambat, dan tidak mempersiapkan tahapan penyusunan anggaran secara benar.

    “Harusnya ada yang melaksanakan program, ada yang menyiapkan tahap depan anggaran. Ini tidak sama sekali. TAPD nunggu semua baru tanggal 19 bahas kuota,” kritiknya.

    Ia menjelaskan bahwa dalam standar penyusunan anggaran, TAPD sudah seharusnya menyiapkan rancangan anggaran lebih awal agar pembahasan dengan legislatif berjalan kondusif. Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya: pembahasan baru dimulai ketika waktu hampir habis.

    Hal ini, katanya, mengganggu ritme kerja Banggar dan membuat pembahasan tidak berjalan sesuai prinsip kehati-hatian. Didik bahkan memberikan catatan khusus kepada Bupati dan Wakil Bupati Magetan untuk mengevaluasi TAPD. Menurutnya, perubahan struktur organisasi dan pergantian Sekretaris Daerah justru berdampak pada menurunnya responsivitas tim anggaran.

    “Ini dampak dari terpilihnya Sekda baru. Efeknya TAPD menjadi apatis. Tahun-tahun ke depan DPRD jangan berharap selalu berbaik hati membahas APBD secara terpaksa seperti ini,” ujarnya.

    Meski begitu, Didik memastikan bahwa Banggar tetap berkomitmen mengejar tenggat pengesahan karena berkaitan langsung dengan kepentingan pelayanan publik di Magetan.

    “Demi masyarakat Magetan, kami tetap komitmen mengesahkan APBD tanggal 28 November meskipun dengan banyak catatan,” lanjutnya.

    Berdasarkan Nota Keuangan R-APBD 2026, total APBD Magetan diperkirakan mencapai Rp1,833 triliun. Struktur belanja masih didominasi oleh belanja operasi dan belanja pegawai. Belanja operasi mencapai Rp1,402 triliun, dengan belanja pegawai sebesar Rp881,4 miliar sebagai komponen terbesar. Belanja modal hanya Rp117,8 miliar, belanja bantuan keuangan Rp286,9 miliar, dan belanja hibah Rp36,7 miliar.

    Sementara itu, pendapatan daerah diproyeksikan Rp1,791 triliun, sebagian besar berasal dari transfer pemerintah pusat dan provinsi. Komposisi pendapatan yang masih bergantung pada transfer membuat ruang fiskal daerah terbatas, sehingga alokasi belanja modal seharusnya mendapat perhatian lebih besar.

    Didik menilai komposisi tersebut perlu dikritisi dalam pembahasan. Ia menyoroti beban belanja pegawai yang tinggi, hibah yang besar, serta bantuan keuangan yang juga signifikan, sementara belanja modal — yang seharusnya menjadi instrumen utama mendorong pertumbuhan ekonomi — belum optimal.

    “Masih ada hibah cukup besar, bantuan keuangan juga tinggi, tapi belanja modal harusnya ditingkatkan. Itu yang akan kita cermati dalam pembahasan,” tegasnya.

    Ia menambahkan bahwa proses pembahasan dua hari tidak boleh menjadi seremonial semata. Banggar, kata dia, akan memaksimalkan seluruh waktu yang tersedia untuk memastikan APBD 2026 benar-benar berpihak kepada masyarakat dan selaras dengan kebutuhan pembangunan daerah.

    “Kami akan memaksimalkan dua hari ini untuk menentukan apakah APBD 2026 benar-benar memihak masyarakat. Eksekutif harus terbuka,” pungkasnya. [fiq/beq]

  • Raperda APBD Bangka Tengah 2026 disepakati Rp811,2 miliar

    Raperda APBD Bangka Tengah 2026 disepakati Rp811,2 miliar

    Koba, Babel (ANTARA) – Pemerintah dan DPRD Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menyepakati Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026 sebesar Rp811,2 miliar atau turun 13,98 persen dibanding target APBD 2025 sebesar Rp943,1 miliar.

    Bupati Bangka Tengah Algafry Rahman di Koba, Babel, Selasa, mengatakan penurunan paling dalam terjadi pada pos pendapatan transfer dari pemerintah pusat.

    “Transfer ke daerah (TKD) tahun anggaran 2026 sebesar Rp632,6 miliar atau turun Rp115 miliar dibanding tahun 2025. Ini merupakan TKD terendah dalam tujuh tahun terakhir,” kata Algafry.

    Pendapatan asli daerah (PAD) juga menurun menjadi Rp138,9 miliar atau berkurang 10,44 persen dari target APBD 2025 sebesar Rp155,1 miliar.

    Penyesuaian dilakukan dengan mempertimbangkan potensi perpajakan dan realisasi PAD tahun berjalan.

    Sementara itu, belanja daerah disepakati sebesar Rp841,2 miliar atau turun 15,03 persen dari alokasi APBD 2025 sebesar Rp990 miliar.

    Belanja daerah difokuskan pada pelayanan dasar publik, belanja wajib dan mengikat, serta program prioritas.

    “Belanja operasi ditetapkan Rp701,4 miliar atau turun 8,69 persen, termasuk penyesuaian belanja tambahan penghasilan pegawai (TPP) ASN sebesar 11,5 persen,” ujarnya.

    Belanja modal dialokasikan sebesar Rp36,4 miliar atau turun signifikan 63,2 persen dari Rp99 miliar tahun sebelumnya.

    Anggaran tersebut diarahkan untuk pembangunan infrastruktur daerah, seperti jalan, gedung, irigasi, dan aset tetap lainnya.

    Belanja tidak terduga disepakati Rp2 miliar atau menyusut 80 persen, sedangkan belanja transfer Rp101,4 miliar atau berkurang 10,2 persen dari alokasi tahun 2025.

    Pada sisi pembiayaan, penerimaan pembiayaan diproyeksikan sebesar Rp30 miliar yang berasal dari estimasi sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) tahun sebelumnya, dengan pengeluaran pembiayaan nihil.

    “Dengan demikian, APBD Bangka Tengah 2026 mengalami defisit Rp30 miliar atau 3,70 persen dari total pendapatan daerah. Defisit tersebut ditutupi sepenuhnya melalui pembiayaan neto sebesar Rp30 miliar,” sebut Algafry.

    Pewarta: Ahmadi
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.