Kementrian Lembaga: DPRD

  • Pemkab Bojonegoro Bidik Kenaikan Pajak untuk Kerek Pendapatan Asli Daerah

    Pemkab Bojonegoro Bidik Kenaikan Pajak untuk Kerek Pendapatan Asli Daerah

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Penurunan signifikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2026 memaksa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro berupaya keras menjaga stabilitas fiskal daerah.

    Pemkab Bojonegoro kini mengambil langkah strategis dengan berupaya mengerek Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor pajak tertentu dan optimalisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

    Sekretaris Daerah (Sekda) Bojonegoro, Edi Susanto, menegaskan bahwa upaya peningkatan PAD ini tidak dilakukan dengan menaikkan pajak secara membabi buta. Pihaknya membidik sektor spesifik, yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Minyak dan Gas (Migas), bukan pajak yang membebani masyarakat umum.

    Mantan Sekretaris DPRD Bojonegoro itu menjelaskan bahwa saat ini Pemkab tengah berkoordinasi intensif dengan pemerintah pusat untuk mengajukan kenaikan PBB Migas. Langkah ini dinilai paling rasional untuk menambal celah pendapatan tanpa mengganggu ekonomi warga.

    “Pajak yang dimaksud adalah pajak tertentu dan tidak secara keseluruhan. Kami sedang berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menaikkan PBB Migas. Sedangkan untuk PBB P2 bagi masyarakat, tidak ada kenaikan,” tegas Edi Susanto, Jumat (28/11/2025).

    Pernyataan ini sekaligus menepis kekhawatiran bahwa upaya mendongkrak PAD akan berimbas pada kenaikan pajak properti atau tanah milik warga sipil di Bojonegoro.

    Selain membidik sektor pajak migas, “amunisi” lain yang disiapkan Pemkab Bojonegoro adalah menggenjot kinerja BUMD. Edi menyebut, pembenahan manajemen menjadi prioritas utama.

    Belakangan, Pemkab telah melakukan pengisian sejumlah jabatan strategis di BUMD yang selama ini kosong. Langkah ini diharapkan mampu mengakselerasi program kerja perusahaan pelat merah tersebut agar lebih produktif menyumbang dividen bagi daerah.

    “Dengan pengisian jabatan itu, diharapkan bisa mengoptimalkan program yang bisa menyumbang PAD secara signifikan,” tambahnya.

    Langkah agresif Pemkab dalam mencari sumber pendapatan baru ini bukan tanpa alasan. Dalam Rapat Paripurna DPRD Bojonegoro yang digelar Rabu (26/11/2025) malam, APBD 2026 disepakati dan ditetapkan sebesar Rp6,5 triliun, dengan proyeksi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp1,9 triliun.

    Angka ini dipengaruhi oleh penurunan drastis transfer ke daerah (TKD) terutama dalam komponen Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat. Pemkab Bojonegoro pada tahun 2025 mendapat Rp2,92 triliun. Sedangkan DBH Migas tahun 2026 hanya sebenarnya Rp1,24 triliun. [lus/suf]

  • Wakil Ketua DPRD Jember Widarto Mendadak Diguyur Tepung

    Wakil Ketua DPRD Jember Widarto Mendadak Diguyur Tepung

    Jember (beritajatim.com) – Widarto, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, mendapat kejutan pada akhir rapat finalisasi pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2026, di gedung parlemen, Jumat (28/11/2025) sore.

    Rapat finalisasi ini dipimpin Ketua DPRD Jember Ahmad Halim dan dihadiri anggota Badan Anggaran dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Ini pembahasan terakhir sebelum sidang paripurna pengesahan APBD Jember.

    Saat Halim menutup rapat, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Edi Cahyo Purnomo mendadak menginterupsi. Saat perhatian peserta rapat teralihkan ke Purnomo, diam-diam Ketua Komisi C Ardi Pujo Prabowo mendekati Widarto yang duduk di sebelah Halim.

    Mendadak Ardi mengguyurkan tepung ke tubuh Widarto, diikuti sejumlah anggota DPRD Jember lainnya seperti Ketua Fraksi Nasdem David Handoko Seto, politisi Partai Golkar Agung Budiman, Ketua Komisi B Candra Ary Fianto, dan politisi PPP Ahmad Ibnu Baqir.

    Rupanya rapat pembahasan APBD Jember ini bersamaan dengan hari ulang tahun ke-43 Widarto. “Aku kok ya gak antisipasi,” katanya tertawa sembari membersihkan butir-butir tepung dari wajahnya.

    Widarto adalah politisi yang saat ini menjabat Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan Jember. Saat masih mahasiswa, dia dikenal sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Dia terpilih menjadi anggota DPRD Jember 2024-2029 dengan dukungan 10.845 suara pemilih di Daerah Pemilihan 2. [wir]

  • Polemik Pembangunan Batalyon di Lekok–Nguling Menghangat, Warga Desak Kejelasan Legalitas Tanah

    Polemik Pembangunan Batalyon di Lekok–Nguling Menghangat, Warga Desak Kejelasan Legalitas Tanah

    Pasuruan (beritajatim.com) – Polemik rencana pembangunan Batalyon di wilayah Lekok–Nguling kembali memasuki tahap krusial setelah pembahasan kembali digelar di DPRD Kabupaten Pasuruan. Rapat dengar pendapat (RDP) Jumat (28/11) menjadi forum besar yang mempertemukan Forkopimda, camat, kepala desa, perwakilan warga, serta jajaran TNI AL.

    Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Samsul Hidayat, menyampaikan bahwa forum ini dibuka untuk memberi ruang kepada semua pihak yang mengajukan keberatan maupun dukungan. “Kami ingin semua suara didengar, karena keputusan ini menyangkut hajat hidup masyarakat,” ujarnya.

    Perwakilan warga tetap mempertanyakan legalitas tanah yang selama ini menjadi sumber konflik terkait proyek tersebut. Ketua Forum Komunikasi Tani Antar Desa, Lasminto, menegaskan bahwa SHP tahun 1992 tidak memenuhi prosedur karena didasarkan pada peta situasi 1987 yang dianggap tidak memuat informasi lengkap tentang hak atas tanah.

    Ia menambahkan bahwa sejumlah dokumen lama menunjukkan peruntukan tanah seluas sekitar 600 hektare adalah permukiman, bukan pertahanan. Lasminto juga menyebut stagnasi revisi RTRW sejak 2019 semakin membuat warga terhimpit dan berharap Forkopimda memfasilitasi pertemuan langsung dengan Kementerian Pertahanan.

    Keluhan juga datang mengenai dampak sosial dan fasilitas umum yang dinilai terhambat akibat status tanah yang belum tuntas. Ketua BPD Semedusari, Amir, menyebut pembatasan pemasangan trafo listrik hingga kerusakan akses jalan berdampak pada pelayanan publik dan mobilitas pendidikan anak.

    Dari pihak TNI AL, Komandan Kolatmar Brigjen TNI (Mar) Agus Dwi Laksana Putra menegaskan bahwa perbedaan pandangan hukum tidak seharusnya membentuk sekat antara institusi dan masyarakat. “Semua putusan sudah jelas, mulai PN Bangil hingga kasasi, tapi kami tidak ingin memperlebar perbedaan,” ujarnya.

    Agus menambahkan bahwa Batalyon 15 bukan batalyon tempur dan rencananya berfungsi untuk upaya ketahanan pangan dan pembangunan wilayah. Ia juga memastikan tidak ada warga yang akan tergusur dan menyatakan pihaknya sejalan dengan warga dalam hal tidak merugikan masyarakat sekitar.

    Sumber ketegangan, menurut Agus, muncul dari misinformasi yang berkembang di tengah masyarakat. Ia menyampaikan bahwa Kementerian Pertahanan telah menyiapkan sejumlah alternatif penyelesaian dan para pejabat pusat dijadwalkan turun langsung ke wilayah.

    Anggota DPRD Kabupaten Pasuruan asal Nguling, Eko Suryono, menyebut bahwa 40 ribu warga tinggal di atas tanah yang disengketakan seluas 3.676 hektare dengan berbagai bangunan fasilitas umum yang dibangun menggunakan instruksi dan dana pemerintah. Ia menilai kondisi saat ini sebagai anomali.

    “Di sisi lain, ada larangan membangun jalan, irigasi, bahkan mengurus KTP dan KK. Ini situasi yang sangat anomali bagi kami. Negara harus hadir menyamakan persepsi. Presiden pun menegaskan komitmen pemberantasan mafia tanah,” jelasnya.

    Menutup rapat, Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Samsul Hidayat, menegaskan bahwa persoalan tanah Lekok–Nguling sudah berulang kali dibahas dan tiga pansus telah dibentuk. Ia menambahkan bahwa penyelesaian berada di kewenangan pemerintah pusat dan pihaknya akan mengirim surat agar konflik ini masuk dalam pembahasan Pansus Agraria DPR RI untuk memastikan ada keputusan yang adil dan tidak menghambat pembangunan daerah. (ada/kun)

  • Paripurna Memanas! Fraksi PKB Tolak Penyertaan Modal Perseroda di Probolinggo

    Paripurna Memanas! Fraksi PKB Tolak Penyertaan Modal Perseroda di Probolinggo

    Probolinggo (beritajatim.com) – Rapat paripurna DPRD Kota Probolinggo berlangsung tegang ketika Fraksi PKB menyatakan penolakan terhadap Raperda Penyertaan Modal kepada Perseroda Bahari Tanjung Tembaga. Sikap penolakan itu disampaikan setelah seluruh fraksi mendengarkan hasil pembahasan Pansus dan evaluasi Gubernur Jawa Timur.

    PKB menilai raperda tersebut belum memenuhi standar kelayakan regulasi dan terlalu cepat dipaksa untuk disahkan. Mereka menganggap ada potensi persoalan besar terhadap keuangan daerah jika perda tetap dilanjutkan.

    Juru Bicara Fraksi PKB, Eko Purwanto, menegaskan bahwa raperda ini masih penuh ketidakjelasan dan belum memaparkan arah pengelolaan modal secara transparan. “Fraksi PKB tidak bisa menerima raperda yang disusun secara tergesa-gesa tanpa kesiapan perusahaan dan instrumen pengawasan,” tegasnya.

    Fraksi PKB juga menyoroti bahwa penyertaan modal harus berdampak langsung pada pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat. Mereka menilai tujuan tersebut masih jauh dari tercapai karena konsep bisnis perseroda belum dipaparkan secara konkret.

    Rekomendasi Pansus yang sudah dibahas melalui kajian panjang dinilai diabaikan saat penyusunan raperda final. Hal ini membuat PKB mempertanyakan komitmen pemerintah daerah dalam menghasilkan regulasi yang berkualitas.

    Dalam kesempatan yang sama, Eko Purwanto kembali menyoroti ketidakjelasan investor dan potensi beban APBD. “Jika investor tidak jelas kontribusinya, maka modal akan ditanggung penuh oleh pemerintah daerah dan itu sangat berisiko bagi fiskal kota,” ungkapnya.

    Fraksi PKB juga memperingatkan bahwa penempatan anggaran tanpa peruntukan yang jelas membuka celah penyalahgunaan. Mereka menekankan bahwa hingga kini belum ada RAB, belum ada tanda tangan direksi, bahkan legalitas direksi disebut belum terdaftar di Kemenkumham.

    Kekhawatiran PKB bertambah ketika mempertimbangkan kemungkinan anggaran justru mengendap di BPKAD tanpa kepastian proyek berjalan. Mereka mempertanyakan siapa yang berhak atas bunga anggaran jika kondisi tersebut terjadi.

    Selain itu, PKB menilai mustahil menetapkan penyertaan modal ketika direksi dan komisaris perseroda belum terbentuk. Ketidakjelasan penerima modal disebut sebagai alasan mengapa raperda dianggap tidak realistis untuk dilanjutkan.

    Atas seluruh temuan dan pertimbangan itu, Fraksi PKB menutup pandangan akhirnya dengan penolakan tegas. Mereka menyatakan raperda tersebut tidak layak ditetapkan sebagai perda hingga memenuhi seluruh aspek regulasi dan kesiapan manajerial. (ada/kun)

  • Paripurna Memanas! Fraksi PKB Tolak Penyertaan Modal Perseroda di Probolinggo

    Paripurna Memanas! Fraksi PKB Tolak Penyertaan Modal Perseroda di Probolinggo

    Probolinggo (beritajatim.com) – Rapat paripurna DPRD Kota Probolinggo berlangsung tegang ketika Fraksi PKB menyatakan penolakan terhadap Raperda Penyertaan Modal kepada Perseroda Bahari Tanjung Tembaga. Sikap penolakan itu disampaikan setelah seluruh fraksi mendengarkan hasil pembahasan Pansus dan evaluasi Gubernur Jawa Timur.

    PKB menilai raperda tersebut belum memenuhi standar kelayakan regulasi dan terlalu cepat dipaksa untuk disahkan. Mereka menganggap ada potensi persoalan besar terhadap keuangan daerah jika perda tetap dilanjutkan.

    Juru Bicara Fraksi PKB, Eko Purwanto, menegaskan bahwa raperda ini masih penuh ketidakjelasan dan belum memaparkan arah pengelolaan modal secara transparan. “Fraksi PKB tidak bisa menerima raperda yang disusun secara tergesa-gesa tanpa kesiapan perusahaan dan instrumen pengawasan,” tegasnya.

    Fraksi PKB juga menyoroti bahwa penyertaan modal harus berdampak langsung pada pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat. Mereka menilai tujuan tersebut masih jauh dari tercapai karena konsep bisnis perseroda belum dipaparkan secara konkret.

    Rekomendasi Pansus yang sudah dibahas melalui kajian panjang dinilai diabaikan saat penyusunan raperda final. Hal ini membuat PKB mempertanyakan komitmen pemerintah daerah dalam menghasilkan regulasi yang berkualitas.

    Dalam kesempatan yang sama, Eko Purwanto kembali menyoroti ketidakjelasan investor dan potensi beban APBD. “Jika investor tidak jelas kontribusinya, maka modal akan ditanggung penuh oleh pemerintah daerah dan itu sangat berisiko bagi fiskal kota,” ungkapnya.

    Fraksi PKB juga memperingatkan bahwa penempatan anggaran tanpa peruntukan yang jelas membuka celah penyalahgunaan. Mereka menekankan bahwa hingga kini belum ada RAB, belum ada tanda tangan direksi, bahkan legalitas direksi disebut belum terdaftar di Kemenkumham.

    Kekhawatiran PKB bertambah ketika mempertimbangkan kemungkinan anggaran justru mengendap di BPKAD tanpa kepastian proyek berjalan. Mereka mempertanyakan siapa yang berhak atas bunga anggaran jika kondisi tersebut terjadi.

    Selain itu, PKB menilai mustahil menetapkan penyertaan modal ketika direksi dan komisaris perseroda belum terbentuk. Ketidakjelasan penerima modal disebut sebagai alasan mengapa raperda dianggap tidak realistis untuk dilanjutkan.

    Atas seluruh temuan dan pertimbangan itu, Fraksi PKB menutup pandangan akhirnya dengan penolakan tegas. Mereka menyatakan raperda tersebut tidak layak ditetapkan sebagai perda hingga memenuhi seluruh aspek regulasi dan kesiapan manajerial. (ada/kun)

  • Pemkab Jember Tak Kabulkan 17 Aspirasi Publik di Bidang Peternakan yang Diusulkan DPRD

    Pemkab Jember Tak Kabulkan 17 Aspirasi Publik di Bidang Peternakan yang Diusulkan DPRD

    Jember (beritajatim.com) – Pemerintah daerah tidak mengabulkan 17 aspirasi publik di bidang peternakan yang diusulkan anggota DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, untuk dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2026.

    Enam belas usulan yang tidak dikabulkan itu berasal dari tiga legislator PDI Perjuangan, yakni Widarto (sembilan usulan), Candra Ary Fianto (lima usulan), dan Edi Cahyo Purnomo (satu usulan). Satu usulan lagi berasal dari legislator Gerindra, Ahmad Hoirozi.

    Semua usulan tersebut ditujukan kepada Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jember, di antaranya berupa sosialisasi dan pembinaan tentang peternakan benih dan pakan maupun pemeliharaan ternak kelompok masyarakat, di Desa Katangpring, Klungkung, Pakusari, Pakis, Nogosari, Sukorambi, Sidomukti, Kelurahan Antirogo, Desa Jubung, Dukuh Mencek, Sukosari, Panduman, Sumberkalong, dan Sumberdanti.

    Usulan tersebut diperoleh anggota DPRD Jember dari pertemuan dengan konstituen pada masa reses, dan terangkum dalam pokok pikiran atau pokir yang kemudian disampaikan anggota Dewan kepada organisasi perangkat daerah teknis.

    Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jember Widodo Julianto mengatakan, verifikasi sudah dilaksanakan pada Maret-Mei 2025 dan ditemukan adanya ketidaksesuaian antara kamus usulan dengan proposal pokir yang masuk.

    “Contoh usulan pembinaan, tapi yang muncul adalah bantuan ternak. Ini yang menjadi agak mis,” katanya, dalam rapat dengar pendapat membahas APBD 2026 di ruang Komisi B DPRD Jember, Kamis (27/11/2025).

    Sementara itu Kepala Bidang Peternakan Dinas Ketahanan Pangan Peternakan dan Perikanan Jember Elok Kristanti mengatakan, tidak ada plafon anggaran untuk 17 usulan tersebut dalam APBD 2026.

    Tidak dikabulkannya usulan pokir ini bukan hal baru. Sebelumnya dalam APBD Jember 2025, ada usulan pokir bantuan sektor peternakan untuk 34 kelompok masyarakat yang tertolak setelah Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan melakukan verifikasi.

    Anggota Komisi B DPRD Jember Wahyu Prayudi Nugroho memperoleh informasi adanya kesalahan kode rekening yang membuat usulan pokir tidak terealisasi. “Menurut informasi yang saya terima, kode rekening yang awalnya adalah barang dan jasa yang diserahkan kepada masyarakat, setelah melakukan diskusi ke kejaksaan, yang betul kode rekeningnya adalah hibah dan bansos,” katanya.

    Alasan ini bikin Nugroho bingung. “Di beberapa OPD tidak ada kode rekening bansos dan hibah, tapi tetap kode rekening barang dan jasa yang diserahkan kepada masyarakat. Ini ada kontradiksi. Kenapa kok antara sesama OPD berbeda-beda?” katanya.

    Elok Kristanti mengatakan, belanja langsung barang dan jasa yang diusulkan untuk diserahkan kepada masyarakat tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2025.

    Berdasarkan permendagri itu, lanjut Elok, belanja barang dan jasa untuk masyarakat dari pemerintah daerah dibatasi untuk barang dan jasa yang memiliki nilai manfaat kurang dari 12 bulan. “Sementara belanja sapi, nilai usia pemanfaatannya lebih dari satu tahun,” katanya.

    Usulan pokir, lanjut Elok, lebih sesuai dengan menggunakan mekanisme hibah. “Ini karena sifatnya bottom to up. Mekanisme bottom to up sering digunakan dalam konteks perencanaan pembangunan, misal saat masyarakat atau kelompok menyampaikan aspirasi ke pemda saat penyusunan APBD. Sementara belanja barang untuk diserahkan kepada masyarakat adalah top down. Misalnya bantuan pemerintah untuk program prioritas pengetasan kemiskinan,” katanya.

    Anggota DPRD Jember Dianggap Membual
    Tidak direalisasikannya usulan pokir ini membuat Nilam Noor Fadilah Wulandari, anggota Komisi B dari Golkar, geram. “Ada konstituen saya yang mengabarkan sudah disurvei Dinas di lapangan. Ternyata sampai sekarang belum dikeluarkan. Katanya diambil gambarnya saja,” katanya.

    Nilam mengaku berkali-kali ditagih oleh warga karena urusan usulan bantuan dari pemerintah ini. “Kebanyakan selalu hanya dicek oleh Dinas, tapi realisasinya tidak ada. Makanya saya sampai dibilang anggota Dewan yang cukup cerpak (omong kosong atau membual, bahasa Madura),” katanya.

    Hal ini membuat Nilanm sakit hati dan pesimistis dengan pembahasan APBD Jember. “Kalau dibilang carpak satu kali, enggak apa-apa. Kalau berkali-kali ya agak ruwet juga. Akhirnya memang saya menyimpulkan satu tahun ini, kalau Dewan harus bertumpu pada APBD kayaknya zonk semua deh,” katanya.

    Padahal, Nilam mengaku sudah mengeluarkan uang pribadi untuk membantu kelompok masyarakat memenuhi aspek legalitas administrasi di Kementerian Hukum. Ada sepuluh kelompok masyarakat yang difasilitasinya untuk memperoleh legalitas dari Kementerian Hukum sebagai syarat memperoleh bantuan pemerintah. “Biayanya Rp 2,5 juta per kelompok. Kalau sepuluh kelompok, lumayan juga,” katanya.

    Widodo Julianto mengatakan tidak ada niat untuk tidak merealisasikan usulan pokir anggota Dewan. “Sebenarnya kita ingin realisasikan. Itu semangat kita sebenarnya. Apa yang diusulkan Dewan, kami survei. Itu niatan awal kita, benar-benar akan merealisasikan,” katanya.

    Namun selain karena faktor regulasi, menurut Widodo, ada temuan bermacam-macam dari hasil survei Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan. Bukan hanya soal legalitas kelompok. tim survei menemukan ada kelompok tanpa anggota dan calon penerima pokir yang bukan peternak.

    “Banyak hal di situ yang akhirnya agar sama-sama adil dan untuk kebersamaan, (pokir) tahun anggaran 2025 tidak kami realisasi,” kata Widodo.

    Di luar usulan pokir anggota Dewan untuk masyarakat, menurut Widodo, ada bantuan domba untuk sepuluh kelompok dari Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, yang bekerja sama dengan Kementerian Pertanian pada awal Desember 2025.

    Setiap kelompok akan memperoleh bantuan sepuluh ekor domba. Mereka yang dibantu adalah warga yang termasuk dalam kategori Desil 1 hingga Desil 3 berdasarkan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional. “Kami hanya mendampingi untuk verifikasi dan validasi,” kata Widodo.

    Sementara itu untuk 2026, Widodo menegaskan, tidak ada sama sekali alokasi anggaran untuk barang yang diserahkan kepada masyarakat, baik di peternakan maupun di kesehatan hewan.

    Mangku Heri, anggota Komisi B dari Partai Keadilan Sejahtera, memperoleh informasi bahwa pokir usulan DPRD Jember hanya diperuntukkan pembangunan infrastruktur. “Oleh sebab itu kami sangat berharap dinas mitra komisi bisa sedikit memfasilitasi kami untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat,” katanya.

    Mangku percaya program kerja Pemkab Jember berdampak luar biasa terhadap masyarakat. “Tapi kami sebagai wakil masyarakat di daerah pemilihan, kalau tidak bisa memperjuangkan satu pun program kan lucu juga,” katanya. [wir]

  • Fraksi Gerindra Soroti Kekalahan Delta Tirta di Pengadilan: Direktur Utama Diingatkan Soal Etika Pelayanan Publik

    Fraksi Gerindra Soroti Kekalahan Delta Tirta di Pengadilan: Direktur Utama Diingatkan Soal Etika Pelayanan Publik

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Kekalahan Perumda Delta Tirta dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 994/PDT/2025/PT DKI, yang mewajibkan perusahaan membayar lebih dari Rp1,2 miliar kepada vendor, memicu reaksi keras dari Ketua Fraksi Gerindra DPRD Sidoarjo, H. Ahmad Muzayin Safrial.

    “Fraksi Gerindra Kab. Sidoarjo menyebut putusan tersebut menjadi bukti nyata bahwa pengelolaan kewajiban perusahaan daerah tidak dapat dianggap sebagai urusan administratif internal semata, melainkan berkaitan langsung dengan kepatuhan hukum dan etika penyelenggara layanan publik,” tulisnya melalui rilis yang diterima beritajatim.com, Jumat (28/11/2025).

    Dalam konteks itu, pernyataan Direktur Utama Delta Tirta, Dwi Hary Soeryadi, yang sebelumnya mengklaim bahwa proses reklasifikasi utang usaha meragukan telah sesuai standar akuntansi dan hukum, dinilai tidak etis oleh Fraksi Gerindra.

    Muzayin mengingatkan bahwa sebagai penyelenggara pelayanan publik, seorang direktur utama terikat pada ketentuan etik sebagaimana tercantum dalam Pasal 4, Pasal 17, dan Pasal 34 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Aturan tersebut mewajibkan pejabat memberikan informasi yang benar, tidak menyesatkan, transparan, serta menghormati proses hukum.

    “Kewajiban etis ini diperkuat dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terutama asas kecermatan, keterbukaan, kepastian hukum, dan kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kewenangan,” tegasnya.

    Menurutnya, ketika direktur utama memberikan pernyataan sepihak mengenai kepatuhan hukum tanpa dokumen pendukung, terlebih saat perusahaan baru saja kalah di pengadilan, maka komunikasi tersebut dapat berpotensi melanggar kode etik pelayanan publik.

    Muzayin menjelaskan bahwa pelanggaran etika memiliki konsekuensi nyata. Berdasarkan UU 25/2009 serta ketentuan tata kelola BUMD dalam PP 54/2017, pejabat yang memberikan informasi tidak akurat atau menyesatkan dapat dikenai teguran, evaluasi kinerja, pembinaan, bahkan pemberhentian apabila mengakibatkan kerugian publik atau merusak kepercayaan masyarakat.

    Selain itu, tindakan yang tidak cermat atau melanggar asas kepastian hukum berpotensi dikategorikan sebagai maladministrasi dan menjadi objek pemeriksaan Ombudsman. Jika kemudian menimbulkan kerugian keuangan, keputusan tersebut juga bisa berimplikasi pada tanggung jawab pribadi pejabat terkait.

    Fraksi Gerindra menegaskan bahwa penghapusan utang usaha meragukan, terutama terhadap vendor yang dianggap tidak merespons, tidak bisa dilakukan sepihak tanpa dasar legal formal yang kuat. Ia menyoroti bahwa dalam hukum administrasi negara, diamnya pihak lain tidak dapat menjadi dasar penghapusan hak tagih.

    Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Delta Tirta tetap berkewajiban membayar barang yang telah diterima sejak 2015, menurutnya, semakin memperjelas bahwa kewajiban hukum tidak bisa hilang hanya melalui penataan akuntansi internal.

    “Saya menilai bahwa pernyataan direktur utama tentang reklasifikasi justru memperlihatkan kurangnya kehati-hatian dalam komunikasi publik,” tukasnya.

    Ia menilai bahwa dalam kondisi perusahaan baru saja menerima putusan pengadilan yang merugikan, pejabat publik seharusnya menunjukkan sikap hormat terhadap proses hukum, bukan membentuk opini publik seolah-olah seluruh proses internal perusahaan telah sempurna.

    Fraksi Gerindra meminta Delta Tirta membuka seluruh dokumen pendukung reklasifikasi untuk diperiksa secara menyeluruh, mulai dari bukti transaksi, korespondensi dengan vendor, catatan hukum, hingga dasar keputusan manajemen.

    Menurut Muzayin, transparansi penuh sangat penting agar pembenahan tata kelola BUMD berjalan berdasarkan prinsip hukum dan etika publik, bukan sekadar narasi pembenaran internal.

    “Sebagai penyelenggara layanan air minum, Delta Tirta harus menjaga integritas publik, bukan hanya membangun citra kelembagaan,” tegasnya. [isa/beq]

  • Andre Rosiade Salurkan Bantuan ke Korban Bencana Alam di Padang

    Andre Rosiade Salurkan Bantuan ke Korban Bencana Alam di Padang

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Andre Rosiade menyalurkan bantuan untuk korban pengungsi banjir dan longsor di Sumatera Barat. Bantuan tersebut diharapkan mampu meringankan beban para korban.

    Adapun penyaluran bantuan itu dilakukan saat Andre meninjau tujuh titik banjir dan longsor di Kota Padang, Kamis (27/11/2025). Di lokasi-lokasi pengungsian, Andre membagikan ribuan nasi bungkus dan bantuan tunai kepada warga yang terdampak.

    Turut hadir dalam kegiatan itu, Wali Kota Padang Fadly Amran, Wakil Wali Kota Maigus Nasir, anggota DPRD Sumbar Verry Mulyadi, Wakil Ketua DPRD Kota Padang Mastilizal Aye, Ketua Fraksi Gerindra DPRD Padang Wahyu Hidayat, serta sejumlah tokoh masyarakat.

    Di setiap titik, Andre langsung menyalurkan nasi bungkus kepada warga yang mengaku kesulitan mendapatkan makanan. Dia juga memberikan bantuan tunai Rp 5 juta per lokasi.

    “Hari ini kita turun melihat langsung dan berdialog dengan para korban bencana. Kami turut berduka atas musibah ini. Bagi warga di pengungsian, mohon sabar dan ikuti instruksi Pemko Padang,” kata Andre dalam keterangannya, Jumat (28/11/2025).

    Di kawasan itu, Andre meninjau satu kompleks berisi sekitar 40 rumah yang masih terendam. Didampingi Camat Nanggalo Amrizal Rengganis, dia meminta Fraksi Gerindra DPRD Padang menurunkan alat berat untuk mengangkat kayu yang menghambat aliran air.

    Di Pulau Terlena, Kampung Lapai, Andre kembali menyalurkan nasi bungkus dan memberi semangat kepada seorang ibu hamil di pos pengungsian.

    “Kita semua harus sabar dan tetap bersemangat,” tuturnya.

    “Beberapa alat HK sudah turun di titik banjir dan longsor di Sumbar. Nanti akan ditambah untuk Padang,” katanya.

    Camat Fizlan kemudian membawa Andre meninjau lokasi lain seperti Gaduang, KPIK, serta perumahan Lumin Park di Lubuk Minturun yang diterjang banjir bandang hingga menelan lima korban jiwa.

    Kunjungan berlanjut ke dua titik pengungsian di Sungai Lareh Koto Tangah, yakni BPSPL Padang dan Masjid Nurul Falah.

    “Kami akan terus memberikan bantuan kepada warga terdampak banjir dan longsor ini,” tutur Andre.

    Sementara itu, Fadly Amran mengapresiasi bantuan dan kepedulian Andre. Menurutnya, bantuan yang diberikan bisa memberikan manfaat bagi para korban bencana alam.

    “Terima kasih atas kedatangan dan bantuannya. Kami berharap Bang Andre dapat membantu mendatangkan alat berat untuk percepatan perbaikan intake PDAM dan dukungan lainnya dari pusat,” tutup Fadly.

    (ega/ega)

  • Kegerahan Rakyat dan "Recall" Anggota DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 November 2025

    Kegerahan Rakyat dan "Recall" Anggota DPR Nasional 28 November 2025

    Kegerahan Rakyat dan “Recall” Anggota DPR
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    KEGERAHAN
    publik terhadap kinerja sebagian anggota DPR sesungguhnya bukan gejala baru, tapi akumulasi frustrasi yang makin mengental seiring makin tertutupnya mekanisme koreksi terhadap para wakil rakyat.
    Demokrasi elektoral memberi ruang bagi rakyat untuk memilih, tetapi nyaris tidak memberi kanal bagi rakyat untuk menghentikan wakil yang gagal, abai, atau bahkan
    nyeleneh
    dalam menjalankan mandat.
    Di tengah defisit akuntabilitas ini, gugatan terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d
    UU MD3
    ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi wujud kepedulian publik—khususnya generasi muda—untuk menuntut kembalinya logika dasar demokrasi: bahwa mandat berasal dari rakyat, dan seharusnya dapat dicabut oleh rakyat.
    Dalam putusannya, MK menolak permohonan tersebut dan mempertahankan bahwa kewenangan pemberhentian antarwaktu (PAW) adalah hak penuh partai politik.
    MK beralasan mekanisme
    recall
    merupakan konsekuensi logis dari sistem pemilu yang berbasis partai, sebagaimana tertuang dalam Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945.
    “Pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-recall anggota DPR atau DPRD dimaksud,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang pleno (
    Kompas.com
    , 27 November 2025).
    MK menegaskan bahwa evaluasi publik atas anggota parlemen “cukup” dilakukan setiap lima tahun melalui pemilu, bukan melalui mekanisme
    recall
    oleh pemilih.
    Kendati demikian, respons hukum tersebut justru memperlebar jarak antara rakyat dan wakilnya.
    Dengan mempertahankan monopoli
    recall
    di tangan partai politik, MK secara tidak langsung menempatkan rakyat sebagai subjek pasif demokrasi—pemilih hanya aktif sekali dalam lima tahun, lalu kehilangan daya tawar ketika wakilnya bertindak di luar mandat moral dan politik yang dulu dijanjikan.
    Padahal, pengalaman empiris menunjukkan partai politik sering kali menggunakan PAW sebagai alat kontrol internal, bukan sebagai mekanisme akuntabilitas publik.
    Kegerahan rakyat terhadap perilaku anggota DPR yang
    nyeleneh
    tidak menemukan saluran konstitusional memadai, sementara gugatan seperti perkara 199/PUU-XXIII/2025 justru dipatahkan oleh tafsir yang menempatkan stabilitas prosedural di atas kedaulatan substantif.
    Persoalan
    recall
    hanyalah salah satu wajah dari ketidaksinkronan struktural yang lebih dalam dalam UU MD3.
    Sejak DPRD dipindahkan pengaturannya sepenuhnya ke dalam UU Pemerintahan Daerah, kedudukannya tidak lagi sejajar dengan DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan dalam satu rumpun yang sama.
    Namun, UU MD3 tetap mempertahankan struktur lama seolah tidak ada perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan.
    Akibatnya, undang-undang ini mengatur entitas yang secara yuridis sudah berada dalam rezim berbeda.
    Kekeliruan konseptual seperti ini membuat MD3 kehilangan ketepatan desain dan tidak lagi mencerminkan arsitektur politik yang berjalan.
    Inkonsistensi ini semakin tampak ketika dilihat dari fungsi dan hubungan antarlembaga. DPRD kini berada dalam tata kelola pemerintahan daerah, bukan dalam relasi legislasi nasional sebagaimana DPR dan DPD.
    Namun, MD3 tetap menyajikan seluruhnya dalam satu paket. Ketika satu institusi telah berpindah “rumah yuridis”, sementara kerangka UU-nya dibiarkan, yang muncul adalah regulasi saling tumpang tindih dan sulit dibenarkan secara sistematik.
    Undang-undangnya bicara satu hal, struktur ketatanegaraannya berjalan dengan logika lain. Kesenjangan ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai peran, fungsi, dan relasi kekuasaan antar-lembaga.
    Di tengah kekacauan desain seperti itu, tidak mengherankan jika mekanisme akuntabilitas yang lahir dari MD3 juga tidak bekerja optimal.
    Ketika fondasi regulasinya saja tidak presisi, mekanisme seperti
    recall
    mudah terjebak dalam logika organisasi politik ketimbang logika kedaulatan rakyat.
    Alih-alih memperbaiki struktur MD3 agar sesuai dengan konfigurasi kelembagaan saat ini, negara justru mempertahankan skema
    recall
    yang tersentralisasi di tangan partai politik.
    Ketidaksinkronan inilah yang mempersempit ruang rakyat untuk mengoreksi wakilnya, sementara undang-undang yang seharusnya menjadi kerangka representasi justru semakin jauh dari prinsip dasar demokrasi.
    Kegerahan rakyat terhadap
    wakil rakyat
    sebenarnya lahir dari ketimpangan yang sangat mendasar: rakyat memiliki hak memilih, tetapi hampir tidak memiliki hak untuk mengoreksi ketika wakilnya melenceng.
    Ketika perilaku anggota DPR yang abai, tidak etis, atau bahkan
    nyeleneh
    muncul ke permukaan, publik hanya bisa menyuarakan kemarahan melalui media sosial, petisi, atau aksi jalanan—tanpa satu pun mekanisme konstitusional yang benar-benar mengaitkan suara tersebut dengan keberlanjutan mandat wakil rakyat.
    Dalam suasana seperti ini, kegerahan publik berubah menjadi frustrasi yang tertahan, karena tidak ada jalur formal yang memberikan dampak langsung pada kedudukan sang wakil.
    Di sinilah gugatan terhadap UU MD3 menemukan konteks sosiologisnya. Publik tidak sedang mencari sensasi, apalagi ingin mengganggu stabilitas politik; mereka sedang menuntut agar hubungan wakil–diwakili tidak berhenti pada momen pencoblosan.
    Kegerahan rakyat yang terus berulang menunjukkan bahwa demokrasi elektoral lima tahunan tidak cukup untuk menjamin akuntabilitas.
    Ketika wakil rakyat sudah jauh dari ekspektasi konstituen, logika demokrasi mestinya memberi ruang agar rakyat bisa bertindak.
    Namun, mekanisme yang tersedia saat ini justru memaksa publik untuk bergantung pada partai politik—institusi yang tidak selalu memiliki insentif untuk merespons aspirasi akar rumput.
    Ketiadaan kanal pelampiasan yang efektif membuat kegerahan rakyat berubah menjadi krisis kepercayaan. Publik melihat bagaimana sebagian anggota DPR bertindak seenaknya, namun tidak pernah tersentuh koreksi karena recall dikunci di tangan partai politik.
    Sementara itu, imbauan bahwa rakyat “cukup” menunggu pemilu berikutnya terasa mengabaikan realitas: penyimpangan mandat terjadi hari ini, dampaknya dirasakan hari ini, tetapi mekanisme koreksinya baru boleh dilakukan lima tahun kemudian.
    Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kegelisahan rakyat memuncak—sebab negara tidak menyediakan instrumen yang memadai untuk memastikan bahwa mandat yang diberikan dengan susah payah dapat dicabut ketika dikhianati.
    Kegerahan rakyat terhadap wakilnya sejatinya merupakan cermin dari struktur politik yang menempatkan pemilih hanya sebagai ‘sumber legitimasi awal’, tetapi tidak sebagai pengendali keberlanjutan mandat.
    Ketika rakyat tidak memiliki instrumen koreksi yang memadai, sementara perilaku wakil rakyat dapat melenceng kapan saja, relasi representasi berubah menjadi hubungan satu arah: rakyat memberikan mandat, tetapi kehilangan otoritas untuk mencabutnya.
    Dalam konfigurasi semacam ini, kekuasaan legislatif menjadi semakin terlepas dari kontrol publik karena mekanisme
    recall
    dikuasai partai politik, bukan oleh pihak yang menjadi sumber legitimasi sesungguhnya.
    Dalam kondisi tersebut, anggapan bahwa pemilu lima tahunan merupakan jalan evaluasi yang memadai justru memperlihatkan kegagalan membaca dinamika penyimpangan mandat.
    Penyimpangan tidak menunggu pergantian periode; melainkan muncul dalam kejadian sehari-hari, melalui tindakan yang merugikan publik, melanggar etika, atau menunjukkan ketidakmampuan menjalankan fungsi representasi.
    Memaksa rakyat menunggu lima tahun untuk mengoreksi perilaku demikian bukan hanya tidak logis, tetapi juga menormalisasi ketimpangan kekuasaan.
    Waktu menjadi perisai bagi wakil rakyat, sementara kegerahan rakyat tidak memiliki signifikansi hukum apa pun.
    Maka, reformasi MD3 harus mengarah pada pemulihan kontrol rakyat, bukan sekadar merapikan struktur yang sudah lama tidak sinkron.
    Mekanisme
    recall
    oleh pemilih seharusnya dipahami sebagai instrumen kedaulatan, bukan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik.
    Tanpa kanal yang memungkinkan rakyat mencabut mandat ketika terjadi penyimpangan, demokrasi hanya berfungsi sebagai rangkaian prosedur yang menyamarkan dominasi partai politik di balik retorika perwakilan.
    Kegerahan yang terus berulang adalah indikator bahwa demokrasi elektoral sedang kehilangan substansinya, dan bahwa pembenahan menyeluruh diperlukan untuk memastikan mandat publik tidak lagi dibiarkan tergantung pada kalkulasi internal partai, melainkan kembali berada di tangan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengesahan APBD 2026, Ketua DPRD Klungkung Tekankan Efisiensi dan Pengawasan

    Pengesahan APBD 2026, Ketua DPRD Klungkung Tekankan Efisiensi dan Pengawasan

    Klungkung: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Klungkung menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2026. Keputusan strategis ini diambil dalam Rapat Paripurna.

    Dalam rapat yang dihadiri Bupati I Made Satria dan jajaran Forkopimda tersebut, Ketua DPRD Klungkung Anak Agung Gde Anom berhasil membawa seluruh fraksi mencapai kata sepakat tepat waktu.

    Usai mengetok palu pengesahan, politisi senior PDI Perjuangan ini mengingatkan bahwa persetujuan anggaran tersebut, khususnya terkait skema pinjaman daerah, harus disertai dengan catatan pengawasan yang serius.

    “Persetujuan APBD 2026 ini kami ambil demi menjaga kesinambungan pembangunan infrastruktur yang mendesak bagi masyarakat,” kata Anak Agung Gde Anom.

    Dia mengingatka Pemda Klungkung semua dana yang bersumber dari pinjaman daerah harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian. “Kami di legislatif tidak akan segan melakukan evaluasi ketat jika penggunaannya melenceng dari target produktif atau sekadar habis untuk kegiatan seremonial,” ujarnya.

    Peringatan dari pimpinan dewan ini beralasan, mengingat struktur APBD 2026 menghadapi tantangan defisit yang cukup lebar. Pendapatan Daerah dirancang sebesar Rp1,48 triliun, sedangkan Belanja Daerah melonjak hingga Rp2,05 triliun.

    Untuk menutup celah tersebut, DPRD menyetujui langkah pembiayaan melalui Pinjaman Daerah (PT SMI) sebesar Rp229 miliar dan penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp351 miliar.

    Bupati Klungkung, I Made Satria, menyambut baik keputusan pimpinan dewan tersebut. Dalam pendapat akhirnya, Bupati menyampaikan apresiasi atas dukungan DPRD yang telah menyetujui opsi pinjaman daerah sebagai solusi percepatan pembangunan.

    “Saya mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Klungkung yang telah membahas dan menyetujui Pinjaman Daerah. Persetujuan ini saya nilai sebagai wujud dukungan kepada kami dalam upaya percepatan pembangunan,” kata Bupati Satria.

    Jalannya rapat paripurna juga diwarnai sejumlah masukan yang diakomodasi pimpinan sidang. Fraksi Partai Gerindra menyoroti perlunya efisiensi anggaran dengan mengevaluasi kegiatan seremonial seperti festival, serta proyek lampu penerangan jalan agar tidak membebani biaya tambahan.

    Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan menekankan pentingnya penerapan kebijakan pariwisata yang berbasis lingkungan hidup dan berkelanjutan.

    Dokumen APBD yang telah disahkan ini selanjutnya akan segera diserahkan kepada Gubernur Bali untuk proses evaluasi dalam kurun waktu tiga hari ke depan.

    Klungkung: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Klungkung menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2026. Keputusan strategis ini diambil dalam Rapat Paripurna.
     
    Dalam rapat yang dihadiri Bupati I Made Satria dan jajaran Forkopimda tersebut, Ketua DPRD Klungkung Anak Agung Gde Anom berhasil membawa seluruh fraksi mencapai kata sepakat tepat waktu.
     
    Usai mengetok palu pengesahan, politisi senior PDI Perjuangan ini mengingatkan bahwa persetujuan anggaran tersebut, khususnya terkait skema pinjaman daerah, harus disertai dengan catatan pengawasan yang serius.

    “Persetujuan APBD 2026 ini kami ambil demi menjaga kesinambungan pembangunan infrastruktur yang mendesak bagi masyarakat,” kata Anak Agung Gde Anom.
     
    Dia mengingatka Pemda Klungkung semua dana yang bersumber dari pinjaman daerah harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian. “Kami di legislatif tidak akan segan melakukan evaluasi ketat jika penggunaannya melenceng dari target produktif atau sekadar habis untuk kegiatan seremonial,” ujarnya.
     
    Peringatan dari pimpinan dewan ini beralasan, mengingat struktur APBD 2026 menghadapi tantangan defisit yang cukup lebar. Pendapatan Daerah dirancang sebesar Rp1,48 triliun, sedangkan Belanja Daerah melonjak hingga Rp2,05 triliun.
     
    Untuk menutup celah tersebut, DPRD menyetujui langkah pembiayaan melalui Pinjaman Daerah (PT SMI) sebesar Rp229 miliar dan penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp351 miliar.
     
    Bupati Klungkung, I Made Satria, menyambut baik keputusan pimpinan dewan tersebut. Dalam pendapat akhirnya, Bupati menyampaikan apresiasi atas dukungan DPRD yang telah menyetujui opsi pinjaman daerah sebagai solusi percepatan pembangunan.
     
    “Saya mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Klungkung yang telah membahas dan menyetujui Pinjaman Daerah. Persetujuan ini saya nilai sebagai wujud dukungan kepada kami dalam upaya percepatan pembangunan,” kata Bupati Satria.
     
    Jalannya rapat paripurna juga diwarnai sejumlah masukan yang diakomodasi pimpinan sidang. Fraksi Partai Gerindra menyoroti perlunya efisiensi anggaran dengan mengevaluasi kegiatan seremonial seperti festival, serta proyek lampu penerangan jalan agar tidak membebani biaya tambahan.
     
    Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan menekankan pentingnya penerapan kebijakan pariwisata yang berbasis lingkungan hidup dan berkelanjutan.
     
    Dokumen APBD yang telah disahkan ini selanjutnya akan segera diserahkan kepada Gubernur Bali untuk proses evaluasi dalam kurun waktu tiga hari ke depan.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (FZN)