Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Refleksi Kontroversi Penjabat Kepala Daerah
Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar”99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait waktu pelaksanaan Pilkada Serentak dua tahun dari Pemilu Nasional 2029, bagi penulis yang berkutat di bidang komunikasi massa, sontak mengingatkan pada polah komunikasi penjabat gubernur/wali kota/bupati periode 2022-2024 lalu.
Hal ini penting karena cepat atau lambat, suka tak suka, periode PJ akan segera dilaksanakan terhadap 551 pemerintah daerah (38 provinsi dan 513 kabupaten/kota). Dengan sendirinya, lebih dari 250 juta rakyat Indonesia akan mereka pimpin.
Sebagai bentuk menjaga ingatan kolektif sehingga bisa pasang “kuda-kuda” ke depan, penulis menghimpun sejumlah kontroversi komunikasi publik para PJ.
Misal, Heru Budi Hartono selaku Penjabat Gubernur DKI Jakarta, dengan polemik komunikasi, antara lain mengganti slogan “Jakarta Kota Kolaborasi” tanpa dialog publik memadai.
Tagline warisan Anies Baswedan itu oleh Heru diubah menjadi, “Sukses Jakarta untuk Indonesia” dengan momen bersamaan mulai
ground breaking
IKN.
Sulit untuk tidak menyambungkan situasi ini dengan posisi Heru sebagai ASN yang bertugas di lingkungan Istana.
Kemudian, Heru juga menghapus anggaran jalur sepeda, serta memotong layanan JakWifi secara sepihak.
Bahkan, kebijakan infak 50 persen dari masjid untuk bantuan bencana diambil tanpa perencanaan komunikasi matang, sehingga memicu resistensi dari komunitas Betawi dan warganet.
Alhasil, gaya komunikasinya dinilai lebih menyerupai administrator pusat ketimbang pemimpin yang terhubung dengan denyut publik Jakarta.
Di Aceh, PJ. Gubernur Achmad Marzuki mengeluarkan Surat Edaran penutupan warung kopi pada pukul 00.00 WIB, demi mendukung pelaksanaan syariat Islam.
Namun, pendekatan sepihak ini dianggap menutup ruang publik dan melemahkan kegiatan ekonomi rakyat kecil di malam hari.
Gaya kepemimpinannya yang berasal dari latar militer juga dinilai terlalu “komando-is”, dengan komunikasi tertutup dan minim pelibatan masyarakat sipil.
Penggantinya, Bustami Hamzah, memang membawa angin baru lewat pengaktifan kembali wacana Qanun Disabilitas, tetapi pendekatannya pun masih elitis.
Di tingkat kabupaten dan kota, komunikasi publik terkait mereka tidak kalah gaduh. Ery Putra, yang menjabat singkat sebagai Penjabat Bupati Indragiri Hilir, dilantik dengan proses yang dipersoalkan DPRD setempat karena dianggap terburu-buru dan minim dialog.
Sementara itu, penunjukan Pj Bupati Pati, Pulau Morotai, dan dua kabupaten di Sulawesi Tenggara menuai protes karena dilakukan tanpa persetujuan atau usulan dari pemerintah provinsi.
Gubernur Sulawesi Tenggara bahkan menolak melantik Pj yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri, menegaskan bahwa proses ini sarat politisasi dan miskin legitimasi sosial.
Ketika kepala daerah hadir tanpa basis dukungan lokal, maka komunikasi publik menjadi sulit dibangun secara otentik dan akuntabel.
Apakah kinerja bidang pemerintahan tak cukup cakap berkomunikasi publik? Laporan hal ini sudah dibuat organisasi nonpemerintah Transparency International berjudul “Dampak Kinerja Pj Gubernur Terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak” pada 2023 lalu.
Hasilnya? Rata-rata skor nasional hanya berada di angka 2,92 dari total skor maksimal 9 poin –pada penelitian di 25 provinsi.
Artinya, kinerja para Pj Gubernur hanya mencapai sepertiga dari capaian ideal. Evaluasi ini dilakukan terhadap tiga klaster penting: perencanaan dan penganggaran, pelayanan publik, serta pengawasan.
Masing-masing klaster dianalisis berdasarkan lima dimensi: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, inklusivitas, dan manfaat.
Hasilnya menunjukkan, kehadiran Pj Gubernur bukan hanya gagal memperkuat demokrasi lokal, tetapi justru menegaskan lemahnya sistem pemerintahan yang responsif terhadap kelompok rentan.
Dalam klaster perencanaan dan penganggaran, hampir seluruh provinsi menunjukkan lemahnya akses dan partisipasi publik.
Dokumen seperti RPJMD, RKPD, hingga APBD memang tersedia secara daring di banyak daerah, tetapi hanya menyajikan informasi umum.
Publik, terutama kelompok rentan, tidak bisa mengetahui alokasi anggaran yang menyasar kebutuhan mereka secara rinci.
Banyak pemerintah daerah hanya melibatkan masyarakat sebagai pemenuhan formalitas, bukan sebagai mitra deliberatif.
Usulan yang masuk pun lebih sering dicatat daripada diakomodasi. Implikasinya, kebijakan perencanaan tetap bias pada kepentingan dominan dan gagal menjawab disparitas sosial.
Sementara itu, pelayanan publik juga dinilai masih jauh dari inklusif. SOP layanan memang tersedia di situs resmi pemerintah daerah, tetapi tidak mudah diakses dan tidak disosialisasikan dengan baik.
Banyak kantor pelayanan publik yang belum menyediakan fasilitas dasar seperti jalur disabilitas atau ruang laktasi.
Kondisi lebih memprihatinkan tampak dalam klaster pengawasan yang cenderung eksklusif dan tertutup.
Pemerintah daerah umumnya berpegang pada regulasi yang menyatakan bahwa hasil pengawasan tidak dapat dipublikasikan.
Konsekuensinya, masyarakat tidak memiliki informasi atas hasil audit atau tindak lanjut atas laporan mereka.
Kanal pengaduan tersedia tetapi sulit diakses, minim respons, dan tidak memberikan jaminan perubahan.
Proses pengawasan hanya berjalan normatif dan baru digerakkan bila isu sudah viral di media sosial. Fenomena ini menunjukkan lemahnya etika kepemimpinan serta nihilnya budaya akuntabilitas publik.
Singkat kata, memang
Putusan MK
ini sudah final dan mengikat. Namun, bagaimana persiapan kita ke depan, tentu tak bersifat permanen; seluruh pihak bisa bercermin pada kinerja holitik PJ. kepala daerah 2022-2024 lalu.
Mari melihat sejarah dan lalu menggeliat. Jangan yang terjadi di negeri sebesar Indonesia pada 2031 ke depan, “Lagi-lagi begini.”
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: DPRD
-
/data/photo/2024/12/20/67654f702b08d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Putusan MK Pisah Pemilu Nasional-Daerah Ringankan Beban KPU Nasional 28 Juni 2025
Putusan MK Pisah Pemilu Nasional-Daerah Ringankan Beban KPU
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com-
Ketua Komisi Pemilihan Umum (
KPU
) RI Mochammad Afifuddin mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penyelenggaraan pemilihan umum (
pemilu
) nasional dan daerah yang dipisah bakal meringankan beban KPU.
Afifuddin beralasan, desain
pemilu nasional dan daerah
yang sebelumnya beririsan bahkan bersamaan membuat KPU harus bekerja sangat keras.
“Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” kata Afifuddin, Jumat (27/6/2025), dikutip dari
Antara
.
Oleh karena itu, KPU pun menghormati
putusan MK
yang menyatakan pemilu nasional dan daerah mesti dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan.
“Kami menghormati putusan MK dan akan pelajari secara detail putusan MK tersebut,” kata Afifuddin.
Diberitakan sebelumnya, MK memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Hal tersebut tertuang dalam
Putusan MK
Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk
Pemilu
dan Demokrasi (Perludem).
Di samping itu, MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
“Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra, Kamis (26/6/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2020/02/26/5e5620fa7573a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kemendagri Akan Pelajari Putusan MK soal Pemilu Nasional-Lokal Nasional 27 Juni 2025
Kemendagri Akan Pelajari Putusan MK soal Pemilu Nasional-Lokal
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian Dalam Negeri (
Kemendagri
) akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan
pemilu serentak
menjadi nasional dan lokal.
“Kami di Kemendagri akan terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar, dalam siaran persnya, Jumat (27/6/2025).
Kemendagri juga akan membahas dampak putusan tersebut terhadap berbagai regulasi yang ada, khususnya Undang-Undang (UU) tentang Pemilu, UU tentang Pilkada, dan UU tentang Pemerintahan Daerah.
Kemendagri juga akan menjalin komunikasi dengan penyelenggara pemilu. Kemendagri bersama kementerian dan lembaga terkait juga akan berkomunikasi dengan DPR.
“Perubahan jadwal penyelenggaraan pemilu tentu akan memengaruhi banyak aspek, termasuk regulasi yang menjadi dasar pelaksanaannya. Oleh karena itu, komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” kata Bahtiar.
Kemendagri bersama kementerian/lembaga terkait akan menyusun skema penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal yang efektif agar tujuan dari pemisahan waktu pelaksanaan tersebut tercapai.
Skema tersebut akan disusun dengan tetap mengacu pada efisiensi, termasuk dalam hal pembiayaan.
Putusan MK itu adalah putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
MK juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Legislator: Orang tua perlu dikenakan sanksi ketika anaknya tawuran
Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Justin Adrian Untayana mengusulkan agar orang tua perlu dikenakan sanksi ketika anaknya terlibat tawuran untuk memberikan efek jera dan tanggung jawabnya.
“Saya kira ada waktunya juga di Jakarta untuk menerapkan sanksi terhadap orang tua juga,” kata Justin di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, tawuran di Jakarta yang kerap terjadi itu perlu ditanggulangi, diantaranya dengan memberikan sanksi kepada orang tua yang anaknya terlibat tawuran.
Oleh karena itu, sekolah tidak bisa disalahkan ketika anak didiknya terlibat tawuran sebab rerata anak-anak lebih sering berada di rumah ketimbang di sekolah.
Untuk itu, peran orang tua dalam pengasuhan anak juga mempengaruhi karakter anaknya sehingga orang tua harus bertanggung jawab atas tumbuh kembang anaknya.
“Orang tua juga yang menentukan prilaku anak. Dan jangan sampai anak usia 14 tahun, 15 tahun, dibiarkan keluyuran sampai pagi tanpa ada pengawasan,” ujarnya.
Justin mengusulkan ketika sekolah gratis diterapkan di Jakarta, nantinya orang tua juga harus bertanggung jawab penuh, di mana ketika anak-anak tidak masuk sekolah atau tawuran maka orang tua harus dikenakan sanksi atau denda.
“Kita butuh kerja sama dari semua pihak yang ada. Jadi saya kira sudah waktunya di Jakarta, orang tua juga dilibatkan. Harus ada perdanya untuk keterlibatan orang tua,” kata dia.
Diketahui bahwa tawuran di Jakarta kerap dilakukan oleh pelajar atau usia sekolah, mereka tidak segan melukai lawannya dengan menggunakan senjata tajam.
Tawuran juga kerap menimbulkan korban, baik mengalami luka-luka maupun meninggal dunia, untuk itu peran orang tua dibutuhkan dalam mendidik anak-anaknya.
Pewarta: Khaerul Izan
Editor: Syaiful Hakim
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4971601/original/004787300_1729156501-WhatsApp_Image_2024-10-17_at_12.39.18.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
MK Putuskan Pemilu Lokal dan Nasional Dipisah, PAN: Biaya Akan Makin Besar – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno merespons soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah atau lokal. Dia menilai, adanya pemisahan itu, bakal membuat biaya politik makin tinggi.
“Bagaimana konsekuensi biaya dengan pelaksanaan terpisah itu juga merupakan satu hal yang sedang kita pertimbangkan,” kata Eddy, melalui keterangan tertulis, Jumat, (27/6/2025).
Eddy mengatakan, biasanya anggota DPR, DPRD provinsi, serta kabupaten/kota dapat bekerja secara tandem untuk sukses di pemilu serentak. Ke depannya diyakini tak bisa lagi dan bakal bekerja secara mandiri.
“Sekarang sudah tidak bisa diperpanjang lagi. Sehingga, biaya akan semakin besar untuk masing-masing anggota,” ujar Eddy.
Dia menyebut, di internal PAN, secara keseluruhan masih mempelajari pemisahan pemilu tersebut. Termasuk soal pemilu tingkat daerah baru bisa digelar 2031.
“Jabatan kepala daerah yang dilantik 2024 begitu jatuh tempo 2029 diperpanjang 2 tahun lagi menjadi 2031. Begitu juga anggota DPRD provinsi kabupaten/kota yang berakhir masa jabatan 2029 diperpanjang dua tahun otomatis,” imbuh Eddy.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025), dikutip dari Antara.
-

Tak Ada Lagi Pemilu Serentak, Demokrat: Ini Akhir dari Kekacauan Pemilu!
Mulai tahun 2029, pelaksanaan pemilu nasional akan dipisahkan dari pemilu lokal.
Artinya, pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden (Pemilu Nasional) tidak lagi dilakukan bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah (Pemilu Lokal).
Putusan ini menghapus skema Pemilu Serentak 5 kotak suara yang selama ini diterapkan.
Pemisahan waktu penyelenggaraan tersebut, menurut MK, ditujukan untuk menciptakan proses pemilu yang lebih sederhana, mudah dipahami pemilih, dan menghasilkan demokrasi yang berkualitas.
Keputusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Sidang pengucapan putusan digelar pada Kamis, (26/6/2025), di ruang pleno Mahkamah Konstitusi.
MK juga mengkritisi belum adanya perubahan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, meskipun sejak tahun 2020 Mahkamah telah menyampaikan arah reformasi lewat Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Mahkamah menilai saat ini pembentuk undang-undang tengah mempersiapkan revisi secara menyeluruh terhadap peraturan terkait pemilu.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, menegaskan bahwa model penyelenggaraan pemilu yang sudah berlangsung selama ini tetap sah secara konstitusi.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” kata Saldi.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5266382/original/046300200_1750999557-IMG-20250627-WA0002.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Sita Aset Tersangka Korupsi Hibah Jatim, Termasuk 3 Bidang Tanah Untuk Tambang Pasir – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita tiga bidang tanah milik tersangka kasus korupsi dana hibah kelompok masyarakat (Pokmas) dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2021–2022. Tanah tersebut berlokasi di kawasan Tuban dan rencananya akan dijadikan area penambangan pasir.
“Dilakukan pemasangan tanda penyitaan pada 3 lokasi tanah di Tuban yang rencananya akan dijadikan area penambangan pasir oleh salah satu Tersangka,” ujar Plt Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Jumat (27/6/2025).
Selain tiga bidang tanah di Tuban, penyidik KPK juga menyita sebuah rumah milik tersangka di Surabaya. Rumah tersebut ditaksir bernilai sekitar Rp1,3 miliar.
KPK telah memeriksa lima saksi, salah satunya anggota DPR RI Anwar Sadad, untuk mendalami mekanisme dan alokasi dana hibah.
“Saksi hadir dan didalami terkait dengan alokasi dana hibah dan mekanisme penganggarannya,” ujar Budi mengenai pemeriksaan Anwar di kantor BPKP Jawa Timur pada Kamis, (26/6/2025).
Selain Anwar, penyidik juga memeriksa anggota DPRD Jatim Mathur Husyairi, dua pihak swasta, serta seorang pengurus Kacong Mahhud Institute.
KPK telah menetapkan 21 orang tersangka dalam perkara ini. Rinciannya, 4 penerima dan 17 pemberi, termasuk di antaranya penyelenggara negara dan staf pemerintahan.
-
/data/photo/2025/06/27/685e1f971bf41.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Dukung Sweeping Jam Malam, Ketua Komisi A: Tapi Jangan Represif dan Bikin Anak Trauma Surabaya 27 Juni 2025
Dukung Sweeping Jam Malam, Ketua Komisi A: Tapi Jangan Represif dan Bikin Anak Trauma
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
–
DPRD Surabaya
meminta agar pelaksanaan penertiban anak-anak di luar batas
jam malam
atau sweeping dilakukan secara humanis, jauh dari tindakan represif.
Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko setuju dengan kebijakan ini.
Namun dia menegaskan sweeping jam malam untuk anak-anak harus dilakukan secara edukatif.
“Kami mendukung langkah Pemkot untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Tapi saya tekankan, jangan sampai sweeping ini berujung tindakan represif atau intimidatif kepada anak-anak,” kata Yona, Jumat (27/6/2025).
Pria yang akrab disapa Cak YeBe tersebut mengatakan, tindakan yang mengedepankan anti kekerasan ini ditekankan untuk petugas Satpol PP, Linmas atau aparat terkait yang bertugas melakukan penertiban.
Sebab, dia menilai anak-anak yang terjadi dalam penertiban pembatasan jam
malam bukanlah pelaku kriminal sehingga tidak perlu ada tindakan intimidatif.
“Intinya sweeping ini harus humanis dan mendidik, bukan malah membuat anak-anak trauma,” ungkap politisi Gerindra tersebut.
Dia juga meminta agar Satgas keamanan terkait melakukan sosialisasi penuh di lingkungan sekolah dan masyarakat tentang kebijakan ini.
“Operasi penertiban harus dibarengi dengan edukasi positif ke sekolah-sekolah. Anak-anak perlu tahu kenapa jam malam ini diberlakukan, tujuannya melindungi mereka, bukan mengekang,” tuturnya
Lebih lanjut, Cak YeBe menilai tindakan yang represif dan intimidatif berpotensi menimbulkan rasa traumatis pada anak.
“Kita bicara soal anak-anak, masa depan mereka jangan sampai rusak karena salah penanganan,” bebernya.
Sebelumnya, Wali Kota Surabaya
Eri Cahyadi
, kebijakan ini bertujuan membatasi aktivitas anak di bawah 18 tahun.
Sedangkan, aturan itu berlaku mulai pukul 22.00 WIB sampai 04.00 WIB.
Eri mengaku, tidak ingin hanya menangkap dan memberi hukuman kepada pelaku yang melanggar jam malam.
Namun, dia berharap orangtua akan memberikan pelajaran ke anaknya sendiri.
Eri mewanti-wanti, anak dilarang melakukan aktivitas di luar rumah dan berkumpul di tempat umum tanpa pengawasan orangtua.
Terutama, yang mengarah ke tindakan kriminalitas.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Sosiolog: Pemerintah libatkan warga selesaikan sengketa Pulau Tujuh
Pangkalpinang (ANTARA) – Sosiolog Universitas Bangka Belitung (UBB) Dr Fitri Ramdhani Harahap M.Si menyatakan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung serta Kepulauan Riau perlu melibatkan tokoh dan warga lokal untuk menyelesaikan sengketa Pulau Tujuh.
“Perpindahan wilayah administratif tanpa partisipasi penuh masyarakat lokal tentunya berpotensi melahirkan disorientasi identitas,” kata Fitri Ramdhani Harahap di Pangkalpinang, Jumat.
Ia mengatakan Keputusan Kementerian Dalam Negeri yang menetapkan Pulau Tujuh sebagai bagian dari wilayah administrasi Provinsi Kepulauan Riau telah memicu reaksi keras dari Pemerintah Provinsi Bangka Belitung. Pemerintah daerah, bersama DPRD Babel, menyatakan penolakan tegas dan bahkan berencana membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi.
“Di balik dinamika tersebut, ada pertanyaan mendasar yang kerap terabaikan yaitu bagaimana nasib masyarakat lokal yang tinggal di Pulau Tujuh,” katanya.
Menurut dia, sengketa Pulau Tujuh ini bukan sekadar perkara batas wilayah atau peta administratif saja dan jika dilihat dari perspektif sosiologis, konflik semacam ini memiliki dampak sosial yang mendalam seperti identitas masyarakat, hak atas pelayanan publik dan rasa keadilan yang selama ini dibangun oleh relasi sosial dan kultural.
“Ketika masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari laut dihadapkan pada ketidakjelasan otoritas pemerintahan, mereka bukan hanya mengalami kebingungan administratif, tetapi juga potensi marginalisasi. Akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan dan infrastruktur bisa terhambat karena tarik-menarik kewenangan antara dua provinsi ini,” ujarnya.
Lebih dari itu, perpindahan wilayah administratif tanpa partisipasi penuh masyarakat lokal berpotensi melahirkan disorientasi identitas. Masyarakat bisa merasa tercabut dari akar sejarah dan budaya yang mereka yakini selama ini.
“Dalam banyak kasus, pemaksaan administratif tanpa rekognisi terhadap dimensi historis dan sosial berujung pada konflik horizontal, perpecahan komunitas, hingga munculnya ketegangan antara elite politik dan warga akar rumput,” katanya.
Ia menilai sengketa ini bahkan dapat memperkeruh relasi antarprovinsi dan mengalihkan perhatian dari hal yang lebih substantial yakni, peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan.
Lantas, bagaimana sebaiknya penyelesaian dilakukan? Pendekatan hukum tentu diperlukan, tetapi tidak cukup. Persoalan ini menuntut ruang dialog yang lebih luas, terbuka, dan partisipatif.
“Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, perlu memfasilitasi pertemuan yang melibatkan tidak hanya pemerintah provinsi, tetapi juga tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan komunitas lokal,” ujarnya.
Ia menekankan suara masyarakat harus menjadi bagian penting dalam proses pengambilan keputusan. Kajian historis, kultural, dan sosial perlu dihadirkan sejajar dengan argumentasi administratif.
Jika tidak tercapai kesepakatan final soal status wilayah, maka solusi alternatif seperti pengelolaan bersama (co-management) dapat dipertimbangkan. Dalam skema ini, kedua provinsi berbagi tanggungjawab dalam pelayanan publik, pengelolaan sumber daya alam, dan perlindungan hak-hak masyarakat.
“Model semacam ini telah diterapkan di sejumlah wilayah perbatasan di dunia dan terbukti menjaga stabilitas sosial tanpa harus memaksakan batas administratif yang kaku. Karena pada akhirnya, yang paling terdampak bukanlah para pejabat yang saling bersilang pendapat, melainkan masyarakat pesisir yang hidup dari laut dan telah lama menjaga wilayah ini,” demikian Fitri Ramdhani Harahap.
Pewarta: Aprionis
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
