Kementrian Lembaga: DPRD

  • Dukung Green Policing Polda Riau, Pemkab Meranti Rancang Perda Mangrove

    Dukung Green Policing Polda Riau, Pemkab Meranti Rancang Perda Mangrove

    Kepulauan Meranti

    Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti menunjukkan komitmen kuatnya dalam mendukung program Green Policing Polda Riau dengan mengambil langkah strategis. Pemkab Meranti saat ini tengah merancang Peraturan Daerah (Perda) khusus tentang pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove.

    “Atas perintah Pak Kapolda kami diminta untuk membuat Perda terkait penanaman pohon di Riau ini. Untuk di Kepulauan Meranti ini kan tanamannya yang paling cocok itu mangrove, jadi sekarang kami tengah merancang Raperda tentang pengelolaan mangrove,” ujar Bupati Kepulauan Meranti H Asmar, saat dihubungi wartawan, Sabtu (28/6/2025).

    Asmar menyampaikan saat ini Raperda tersebut tinggal menunggu pengesahan dari DPRD Kabupaten Meranti.

    “Secepatnya, mungkin Juli ini sudah akan disahkan,” imbuhnya.

    Pembentukan Perda ini menjadi bukti nyata keseriusan daerah dalam menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir yang vital, sekaligus memperkuat sinergi antara pemerintah daerah dan kepolisian dalam upaya konservasi.

    Purnawirawan Polri ini menyampaikan pihaknya mendukung penuh gerakan penanaman pohon yang menjadi salah satu aksi nyata dalam konsep Green Policing yang diterapkan Polda Riau. Dengan terbitnya Perda tentang pengelolaan mangrove ini dapat menjaga sekaligus melindungi kawasan Kabupaten Kepulauan Meranti dari ancaman abrasi.

    Raperda tersebut mengatur pengelolaan ekosistem mangrove yang bertujuan untuk meningkatkan manfaat dan menjamin keberadaan serta keberlanjutan fungsi ekosistem mangrove bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pembangunan berkelanjutan di daerah Kabupaten Kepulauan Meranti.

    Lahirnya Perda tersebut nantinya juga diharapkan dapat meningkatkan kapasitas para pihak dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang sesuai dengan daya dukung Kawasan dan didasarkan pada data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, sekaligus memperkuat partisipasi masyarakat lokal sekitar Kawasan dalam perencanaan dan implementasi pengelolaan ekosistem mangrove.

    “Tentu kami sangat mengapresiasi dan menyambut baik adanya Raperda ini sebagai bentuk keseriusan Pemkab Meranti dalam upaya mendukung pelestarian lingkungan hidup yang sejalan dengan program Green Policing yang digagas oleh Pak Kapolda,” kata Aldi.

    (mei/dhn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • MK Putuskan Pemisahan Pemilihan Umum, Tidak Ada Pemilu Serentak Mulai 2029

    MK Putuskan Pemisahan Pemilihan Umum, Tidak Ada Pemilu Serentak Mulai 2029

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum serentak yang selama ini digelar mulai 2029.

    Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), MK memutuskan keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal). memutuskan 

    Untuk itu, Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku. Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.

    Selain itu, MK juga mempertimbangkan hingga saat ini pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan tanggal 26 Februari 2020. 

    Kemudian, secara faktual pula, pembentuk undang-undang sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum.

    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” tegas Wakil Ketua MK Saldi Isra dikutip dari laman resmi MK, Sabtu (28/6/2025).

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan waktu penyelenggaraan pemilihan umum presiden/wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat/pemilih menilai kinerja pemerintahan hasil pemilihan umum presiden/wakil presiden dan anggota legislatif.

    Selain itu, dengan rentang waktu yang berdekatan dan ditambah dengan penggabungan pemilihan umum anggota DPRD dalam keserentakan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.

    Padahal, menurut MK, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden.

    Tak hanya itu, MK mempertimbangkan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 (satu) tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada partai politik—terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum.

    Akibatnya, lanjut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.

    Selain itu, dengan jadwal yang berdekatan, partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden.

    Dengan demikian, agenda yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.

    “Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” terang Arief.

  • Iba Jadi Dalih Waka DPRD Banten Tandatangani Memo Titip Siswa di SPMB 2025
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        28 Juni 2025

    Iba Jadi Dalih Waka DPRD Banten Tandatangani Memo Titip Siswa di SPMB 2025 Regional 28 Juni 2025

    Iba Jadi Dalih Waka DPRD Banten Tandatangani Memo Titip Siswa di SPMB 2025
    Tim Redaksi

    SERANG, KOMPAS.com –

    Wakil Ketua (Waka)
    DPRD Banten
    ,
    Budi Prajogo
    , memutuskan untuk menandatangani memo yang dibuat oleh stafnya karena iba.
    Sebab, calon siswa yang ingin masuk salah satu SMA Negeri di Kota Cilegon berasal dari kalangan keluarga tak mampu.
    Hal itu disampaikan Ketua DPW PKS Provinsi Banten, Gembong E Sumedi, setelah mendapatkan keterangan langsung dari Budi Prajogo.
    “Karena tetangga dari stafnya kebetulan keluarga tidak mampu, ingin masuk sekolah negeri di Cilegon. Nah, Pak Budi yang merasa iba, dengan sadar menandatangani memo tersebut,” kata Gembong melalui pesan WhatsApp kepada Kompas.com, Sabtu (28/6/2025).
    “Sekali lagi, alasan menandatangani memo karena rasa iba-nya. Meskipun secara pribadi siswa maupun keluarganya Pak Budi tidak kenal,” sambung Gembong.
    Meski demikian, Budi kepada partai menyadari tindakan tersebut merupakan keteledoran dan mengaku siap menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku di partai.
    “Pak Budi sudah menyadari itu keteledorannya, dan siap menerima sanksi apapun,” ujar Gembong yang juga anggota DPRD Banten itu.
    Melalui rilis yang diterima wartawan, Budi Prajogo mengakui perbuatannya itu salah.
    Namun, ia hanya diminta oleh stafnya untuk menandatangani memo dengan alasan ingin membantu masyarakat tak mampu.
    Budi pun memastikan tidak mengintervensi sekolah untuk menerima siswa tersebut.
    “Adapun diterima tidaknya, saya serahkan semua kepada pihak sekolah tanpa ada intervensi apapun,” kata Budi.
    Sebelumnya diberitakan, memo permohonan bantuan untuk menerima siswa yang dititipkan Wakil Ketua DPRD Banten Budi Prajogo viral di media sosial.
    Dilihat Kompas.com, memo itu ditulis tangan dengan kalimat “Perihal: Mohon dibantu dan ditindaklanjuti.” Dalam memo itu juga terdapat tanda tangan atas nama Dr. H. Budi Prajogo SE.M.Ak yang ditulis tangan.
    Di atas tanda tangan dari politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dilengkapi cap basah dengan logo dan tulisan DPRD Provinsi Banten.
    Memo itu pun dilengkapi kartu nama dengan wajah Budi Prajogo yang dilengkapi logo DPRD Banten dan partainya, PKS.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Iba Jadi Dalih Waka DPRD Banten Tandatangani Memo Titip Siswa di SPMB 2025
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        28 Juni 2025

    8 Memo Wakil Ketua DPRD Banten Tak Sakti, Siswa Titipannya Tak Lolos di SPMB 2025 Regional

    Memo Wakil Ketua DPRD Banten Tak Sakti, Siswa Titipannya Tak Lolos di SPMB 2025
    Tim Redaksi
    SERANG, KOMPAS.com –
    Wakil Ketua DPRD Banten, Budi Prajogo, mengaku siswa yang dibantunya menggunakan memo tak lolos di salah satu SMAN di Kota Cilegon.
    Memo permohonan bantuan untuk dapat menerima seorang calon siswa itu sebelumnya viral di media sosial.
    “Siswa itu tergeser oleh siswa lainnya pada mekanisme jalur domisili. Pada SPMB (jalur domisili) ini yang memerhatikan nilai rapor dari para siswa,” ujar Budi melalui rilis yang diterima wartawan, Sabtu (28/6/2025).
    Politisi Partai Keadilan Sejahtera (
    PKS
    ) ini mengatakan hanya membantu sekedarnya tanpa adanya intervensi maupun komunikasi secara langsung kepada sekolah yang dituju.
    “Adapun diterima tidaknya, saya serahkan semua kepada pihak sekolah tanpa ada intervensi apapun,” ujar dia.
    Budi pun mengakui hal tersebut tidak dibenarkan meski stafnya yang membuat memo dan membubuhkan cap basah lembaga DPRD Banten.
    Ia menyesali perbuatan yang telah membuat kegaduhan pada proses SPMB tahun 2025 dan siap menerima konsekuensinya.
    “Saya meminta maaf kepada seluruh pihak atas kegaduhan ini,” ucap dia.
    Ketua DPW PKS Banten, Gembong Rudiansyah Sumedi, mengatakan bahwa Budi Prajogo adalah yang membuat memo.
    Namun, memo itu dibuat oleh stafnya untuk membantu tetangganya yang tergolong keluarga tidak mampu.
    Setelah dibuat, stafnya kemudian menyerahkan memo tersebut ke Budi Prajogo untuk ditandatangani.
    Adapun alasan Budi mendatangani memo tersebut karena merasa iba, meskipun secara pribadi calon siswa maupun keluarga tidak dikenalnya.
    Namun, untuk stempel basah berlogo DPRD Banten, bukanlah Budi yang membubuhkannya, melainkan stafnya setelah ditandatangani Budi.
    “Meskipun begitu, Pak Budi sudah menyadari itu keteledorannya, dan siap menerima sanksi apapun yang akan diberikan partai,” tandas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR hormati putusan MK soal pemisahan pemilu

    Anggota DPR hormati putusan MK soal pemisahan pemilu

    “Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, kami menghormati putusan MK ini. Putusan ini bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, harus dijadikan pedoman oleh para pembuat kebijakan, termasuk DPR,”

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Jazuli Juwaini menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun.

    “Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, kami menghormati putusan MK ini. Putusan ini bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, harus dijadikan pedoman oleh para pembuat kebijakan, termasuk DPR,” kata Jazuli dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Jazuli menegaskan bahwa DPR akan menindaklanjuti putusan MK dalam bentuk revisi Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada.

    Menurutnya, proses revisi tersebut harus dilakukan secara hati-hati, cermat, dan partisipatif karena menyangkut desain besar demokrasi elektoral bangsa, termasuk aspek teknis penyelenggaraan dan pengisian masa jabatan kepala daerah serta anggota DPRD pada masa transisi.

    “Putusan ini membawa implikasi yang perlu ditindaklanjuti dengan perubahan regulasi. Tidak hanya soal waktu pelaksanaan, tetapi juga menyangkut kesiapan regulasi, kelembagaan penyelenggara, hingga kepastian hukum bagi jabatan-jabatan publik di daerah selama masa jeda 2029–2031,” tuturnya.

    Anggota DPR Dapil Banten itu pun mengingatkan agar revisi UU nantinya tidak hanya menjadi penyesuaian teknis, tetapi juga momentum untuk memperkuat kualitas demokrasi, partisipasi rakyat, dan efektivitas tata kelola pemilu agar lebih efisien, transparan, dan akuntabel.

    “DPR bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu akan bekerja sama untuk memastikan transisi ini berjalan mulus, konstitusional dan tetap menjamin hak pilih rakyat serta stabilitas pemerintahan di pusat dan daerah,” pungkas Jazuli.

    Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.

    Dalam putusan tersebut, pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan (2,5 tahun).

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi II Nilai Putusan MK Jadi Momen Penyesuaian Pemilu dan Pilkada
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Juni 2025

    Komisi II Nilai Putusan MK Jadi Momen Penyesuaian Pemilu dan Pilkada Nasional 28 Juni 2025

    Komisi II Nilai Putusan MK Jadi Momen Penyesuaian Pemilu dan Pilkada
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (
    pilkada
    ).
    Penyesuaian tersebut dilakukan agar pelaksanaan pemilu dan pilkada sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
    “Putusan MK ini secara substansi menegaskan struktur politik kita terdiri atas dua entitas, yaitu politik nasional dan politik daerah yang pengelolaannya perlu penyesuaian,” kata Zulfikar lewat keterangannya, dilansir dari ANTARA.
    Komisi II, kata Zulfikar, tentu menghormati putusan MK yang memisahkan jadwal pelaksanaan
    pemilu nasional
    dengan daerah.
    Putusan MK tersebut pun final dan mengikat, sehingga DPR disebutnya siap melakukan penyelarasan.
    “Kami menghormati putusan MK tersebut. MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” ujar Zulfikar.
    Menurutnya, putusan MK itu membuat pemilih lebih mudah menggunakan hak pilihnya. Sedangkan untuk penyelenggara pemilu, pelaksanaan setiap tahapannya dinilai akan lebih efektif.
    Di samping itu, Zulfikar menilai putusan MK itu juga mengokohkan kedudukan penyelenggara pemilu sebagai institusi yang tetap, bukan sebagai penyelenggara pemilu lembaga ad hoc.
    “Terakhir, putusan MK ini memperkuat prinsip bahwa kita merupakan negara kesatuan yang didesentralisasikan. Harapannya, bisa memunculkan budaya politik baru yang memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah,” ujar politikus Partai Golkar itu.
    Diketahui, MK memutuskan memisahkan antara pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan
    Pileg DPRD
    provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemendagri Akan Komunikasi dengan DPR soal Jeda Pemilu Nasional-Daerah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Juni 2025

    Kemendagri Akan Komunikasi dengan DPR soal Jeda Pemilu Nasional-Daerah Nasional 28 Juni 2025

    Kemendagri Akan Komunikasi dengan DPR soal Jeda Pemilu Nasional-Daerah
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktur Jenderal (Dirjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (
    Kemendagri
    ) Bahtiar mengatakan, pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dengan daerah.
    Khususnya yang berkaitan dengan jadwal dan jeda waktu antara
    pemilu nasional
    dan daerah yang diputuskan tak lagi serentak.
    Kemendagri juga akan meminta masukan para ahli dan pakar terkait putusan itu, termasuk soal skema pembiayaan
    pemilu nasional dan daerah
    .
    “Kami di Kemendagri terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” ujar Bahtiar, dilansir dari ANTARA, Sabtu (28/6/2025).
    Kemendagri juga akan mengkaji dampak Nomor 135/PUU-XXII/2024 terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang
    Pilkada
    , dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    Bahtiar mengatakan, dipisahkannya waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah juga akan mempengaruhi regulasi yang menjadi dasar pelaksanaannya.
    Oleh karena itu, pihaknya bersama DPR dan kementerian.lembaga terkait akan berkomunikasi terkait putusan MK itu.
    “Komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” ujar Bahtiar.
    Di samping itu, akan disusun pula skema penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah yang efektif, agar tujuan dari pemisahan waktu pelaksanaan tersebut tercapai. Skema tersebut akan disusun dengan tetap mengacu pada efisiensi, termasuk dalam hal pembiayaan.
    Diketahui, MK memutuskan memisahkan antara pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan
    Pileg DPRD
    provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pertimbangannya menjelaskan, MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan
    pilkada
    dan
    pileg DPRD
    dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PKB Kritik Putusan MK yang Dinilai Batasi Pilihan Model Keserentakan Pemilu – Page 3

    PKB Kritik Putusan MK yang Dinilai Batasi Pilihan Model Keserentakan Pemilu – Page 3

    Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025), dikutip dari Antara.

    Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

    Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

    “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

    Pada diktum lainnya, MK menyatakan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

    “Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.”

  • Kemendagri pelajari putusan MK soal jeda pemilu nasional-daerah

    Kemendagri pelajari putusan MK soal jeda pemilu nasional-daerah

    Direktur Jenderal (Dirjen) Polpum Kemendagri Bahtiar (tengah). ANTARA/HO-Puspen Kemendagri

    Kemendagri pelajari putusan MK soal jeda pemilu nasional-daerah
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 28 Juni 2025 – 09:30 WIB

    Elshinta.com – Direktur Jenderal (Dirjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan bahwa Kemendagri tengah mendalami putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal jeda penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah

    Kemendagri juga akan segera meminta masukan dari para pakar dan ahli untuk memperoleh perspektif yang komprehensif terkait denga ndampak dari putusan ini. Kemendagri juga akan membahas di internal pemerintah dampak putusan tersebut, termasuk skema pembiayaan pemilu nasional dan lokal.

    “Kami di Kemendagri terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” ujar Bahtiar di Jakarta yang disiarkan Sabtu pagi.

    Selain itu, Kemendagri juga akan membahas dampak putusan tersebut terhadap berbagai regulasi yang ada, khususnya Undang-Undang tentang Pemilu, UU tentang Pilkada, dan UU tentang Pemerintahan Daerah.

    Kemendagri juga akan menjalin komunikasi dengan penyelenggara pemilu. Kemendagri bersama kementerian dan lembaga terkait juga akan berkomunikasi dengan DPR.

    Perubahan jadwal penyelenggaraan pemilu, kata dia, tentu akan memengaruhi banyak aspek, termasuk regulasi yang menjadi dasar pelaksanaannya.

    “Oleh karena itu, komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” jelasnya.

    Tidak hanya itu, Kemendagri bersama kementerian/lembaga terkait akan menyusun skema penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal yang efektif agar tujuan dari pemisahan waktu pelaksanaan tersebut tercapai. Skema tersebut akan disusun dengan tetap mengacu pada efisiensi, termasuk dalam hal pembiayaan.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.

    Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

    Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

    “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

    Sumber : Antara

  • Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Refleksi Kontroversi Penjabat Kepala Daerah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Juni 2025

    Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Refleksi Kontroversi Penjabat Kepala Daerah Nasional 28 Juni 2025

    Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Refleksi Kontroversi Penjabat Kepala Daerah
    Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar”99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com
    PUTUSAN
    Mahkamah Konstitusi (MK) terkait waktu pelaksanaan Pilkada Serentak dua tahun dari Pemilu Nasional 2029, bagi penulis yang berkutat di bidang komunikasi massa, sontak mengingatkan pada polah komunikasi penjabat gubernur/wali kota/bupati periode 2022-2024 lalu.
    Hal ini penting karena cepat atau lambat, suka tak suka, periode PJ akan segera dilaksanakan terhadap 551 pemerintah daerah (38 provinsi dan 513 kabupaten/kota). Dengan sendirinya, lebih dari 250 juta rakyat Indonesia akan mereka pimpin.
    Sebagai bentuk menjaga ingatan kolektif sehingga bisa pasang “kuda-kuda” ke depan, penulis menghimpun sejumlah kontroversi komunikasi publik para PJ.
    Misal, Heru Budi Hartono selaku Penjabat Gubernur DKI Jakarta, dengan polemik komunikasi, antara lain mengganti slogan “Jakarta Kota Kolaborasi” tanpa dialog publik memadai.
    Tagline warisan Anies Baswedan itu oleh Heru diubah menjadi, “Sukses Jakarta untuk Indonesia” dengan momen bersamaan mulai
    ground breaking
    IKN.
    Sulit untuk tidak menyambungkan situasi ini dengan posisi Heru sebagai ASN yang bertugas di lingkungan Istana.
    Kemudian, Heru juga menghapus anggaran jalur sepeda, serta memotong layanan JakWifi secara sepihak.
    Bahkan, kebijakan infak 50 persen dari masjid untuk bantuan bencana diambil tanpa perencanaan komunikasi matang, sehingga memicu resistensi dari komunitas Betawi dan warganet.
    Alhasil, gaya komunikasinya dinilai lebih menyerupai administrator pusat ketimbang pemimpin yang terhubung dengan denyut publik Jakarta.
    Di Aceh, PJ. Gubernur Achmad Marzuki mengeluarkan Surat Edaran penutupan warung kopi pada pukul 00.00 WIB, demi mendukung pelaksanaan syariat Islam.
    Namun, pendekatan sepihak ini dianggap menutup ruang publik dan melemahkan kegiatan ekonomi rakyat kecil di malam hari.
    Gaya kepemimpinannya yang berasal dari latar militer juga dinilai terlalu “komando-is”, dengan komunikasi tertutup dan minim pelibatan masyarakat sipil.
    Penggantinya, Bustami Hamzah, memang membawa angin baru lewat pengaktifan kembali wacana Qanun Disabilitas, tetapi pendekatannya pun masih elitis.
    Di tingkat kabupaten dan kota, komunikasi publik terkait mereka tidak kalah gaduh. Ery Putra, yang menjabat singkat sebagai Penjabat Bupati Indragiri Hilir, dilantik dengan proses yang dipersoalkan DPRD setempat karena dianggap terburu-buru dan minim dialog.
    Sementara itu, penunjukan Pj Bupati Pati, Pulau Morotai, dan dua kabupaten di Sulawesi Tenggara menuai protes karena dilakukan tanpa persetujuan atau usulan dari pemerintah provinsi.
     
    Gubernur Sulawesi Tenggara bahkan menolak melantik Pj yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri, menegaskan bahwa proses ini sarat politisasi dan miskin legitimasi sosial.
    Ketika kepala daerah hadir tanpa basis dukungan lokal, maka komunikasi publik menjadi sulit dibangun secara otentik dan akuntabel.
    Apakah kinerja bidang pemerintahan tak cukup cakap berkomunikasi publik? Laporan hal ini sudah dibuat organisasi nonpemerintah Transparency International berjudul “Dampak Kinerja Pj Gubernur Terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak” pada 2023 lalu.
    Hasilnya? Rata-rata skor nasional hanya berada di angka 2,92 dari total skor maksimal 9 poin –pada penelitian di 25 provinsi.
    Artinya, kinerja para Pj Gubernur hanya mencapai sepertiga dari capaian ideal. Evaluasi ini dilakukan terhadap tiga klaster penting: perencanaan dan penganggaran, pelayanan publik, serta pengawasan.
    Masing-masing klaster dianalisis berdasarkan lima dimensi: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, inklusivitas, dan manfaat.
    Hasilnya menunjukkan, kehadiran Pj Gubernur bukan hanya gagal memperkuat demokrasi lokal, tetapi justru menegaskan lemahnya sistem pemerintahan yang responsif terhadap kelompok rentan.
    Dalam klaster perencanaan dan penganggaran, hampir seluruh provinsi menunjukkan lemahnya akses dan partisipasi publik.
    Dokumen seperti RPJMD, RKPD, hingga APBD memang tersedia secara daring di banyak daerah, tetapi hanya menyajikan informasi umum.
    Publik, terutama kelompok rentan, tidak bisa mengetahui alokasi anggaran yang menyasar kebutuhan mereka secara rinci.
    Banyak pemerintah daerah hanya melibatkan masyarakat sebagai pemenuhan formalitas, bukan sebagai mitra deliberatif.
    Usulan yang masuk pun lebih sering dicatat daripada diakomodasi. Implikasinya, kebijakan perencanaan tetap bias pada kepentingan dominan dan gagal menjawab disparitas sosial.
    Sementara itu, pelayanan publik juga dinilai masih jauh dari inklusif. SOP layanan memang tersedia di situs resmi pemerintah daerah, tetapi tidak mudah diakses dan tidak disosialisasikan dengan baik.
    Banyak kantor pelayanan publik yang belum menyediakan fasilitas dasar seperti jalur disabilitas atau ruang laktasi.
    Kondisi lebih memprihatinkan tampak dalam klaster pengawasan yang cenderung eksklusif dan tertutup.
    Pemerintah daerah umumnya berpegang pada regulasi yang menyatakan bahwa hasil pengawasan tidak dapat dipublikasikan.
    Konsekuensinya, masyarakat tidak memiliki informasi atas hasil audit atau tindak lanjut atas laporan mereka.
    Kanal pengaduan tersedia tetapi sulit diakses, minim respons, dan tidak memberikan jaminan perubahan.
    Proses pengawasan hanya berjalan normatif dan baru digerakkan bila isu sudah viral di media sosial. Fenomena ini menunjukkan lemahnya etika kepemimpinan serta nihilnya budaya akuntabilitas publik.
    Singkat kata, memang
    Putusan MK
    ini sudah final dan mengikat. Namun, bagaimana persiapan kita ke depan, tentu tak bersifat permanen; seluruh pihak bisa bercermin pada kinerja holitik PJ. kepala daerah 2022-2024 lalu.
    Mari melihat sejarah dan lalu menggeliat. Jangan yang terjadi di negeri sebesar Indonesia pada 2031 ke depan, “Lagi-lagi begini.”
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.