MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu
Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
DEMOKRASI
Indonesia seperti masakan tanpa juru masak atau “chef”. Untuk pertama kali negeri kita menggelar pemilu nasional dan pemilu lokal (pemilihan kepala daerah) secara serentak pada 2024.
Serentak di sini tidak menunjuk pada hari yang sama, melainkan tahun yang sama–berjarak 9,5 bulanan.
Ini adalah kelanjutan dari sifat serentak di Pemilu 2019 saat pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (Pileg) dilaksanakan berbarengan atau di hari yang sama dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres). Sebut saja “Pemilu 5 Kotak”.
Pemilu serentak tahun 2019 itu menerjemahkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013.
Sebelumnya, mulai dari 2004 hingga 2014, seluruh pemilu dilakukan terpisah dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota mendahului pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sekarang, dua pilar dalam “Pemilu 5 Kotak” itu dicopot oleh MK lewat putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Mulai 2029 mendatang, pemilihan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota akan masuk satu rumpun dengan pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota).
Untuk gampangnya ini disebut pemilu lokal atau daerah. Putusan MK ini dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025.
Yang lebih drastis dan dramatis, MK memutuskan pemilu nasional dan pemilu lokal atau daerah tidak lagi digelar pada yang sama seperti 2024, tapi terpisah.
MK menetapkan waktu pemungutan suara pemilu lokal paling singkat dua tahun atau paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR atau DPD atau pelantikan presiden dan wakil presiden.
Mulai 2029, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, anggota DPD serta presiden dan wakil presiden. Pendek kata susut menjadi “Pemilu 3 Kotak”.
Kali ini MK menggantikan peran
chef
bagi demokrasi Indonesia, setidaknya dalam “masakan” yang bernama pemilihan umum dan bagaimana pemilu nasional dan pemilu lokal harus dilaksanakan.
Keputusan MK tak pelak mengganti model penyelenggaraan pemilu di level nasional dan lokal, dari serentak dalam tahun yang sama menjadi terpisah dengan jarak waktu paling singkat dua tahun.
Putusan MK dapat dibilang maju, revolusioner dan agak keluar dari fungsi MK sebagai “negative legislator”.
I Dewa Gede Palguna saat masih menjadi Hakim Konstitusi (2008) menyatakan, meskipun MK dapat membatalkan undang-undang, tapi MK tidak dapat membuat putusan untuk melakukan perubahan terhadap UU. Itulah “negative legislator” yang melekat pada MK.
Menurut MK, putusan itu untuk menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pemilih secara cermat dan tidak terburu-buru.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, partisipasi pemilih di
Pilkada
2024 sebesar 68,2 persen. Itu lebih rendah dibandingkan Pemilu 2024 di mana partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen.
Apakah ini menjelaskan jarak waktu antara gelaran pemilu nasional dengan Pilkada (pemilu lokal) yang cuma 9,5 bulan bikin rakyat jenuh?
Bisa iya, bisa tidak. Dulu, sebelum ada rekayasa sistemik untuk menyelenggarakan Pilkada secara serentak, Pilkada bisa digelar setiap tiga hari sekali.
Pilkada dimaksud berlangsung di tiga daerah berbeda, bisa tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Hal ini bikin jenuh dan bosan rakyat di lapis bawah. Seolah-olah tiada hari tanpa Pilkada.
Saban tahun ada saja daerah yang menghelat Pilkada. Begitu jika kita menengok sejak Pilkada langsung pertama kali diadaptasi di Pilkada tahun 2005.
Pemilu serentak rangkap dua, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun yang sama sesungguhnya adalah ikhtiar untuk memotong “persaingan politik” yang berlangsung maraton dan menyebabkan rakyat bosan dan jenuh dengan politik.
Pilkada serentak pada 27 November 2024 itu, juga dilatarbelakangi keperluan sinkronisasi antara pusat dan daerah.
Di masa Presiden Joko Widodo, mencuat isu sinergitas dan koordinasi sehingga mendorong ide pemilu serentak di tahun yang sama untuk mengisi pemimpin di pusat dan daerah.
Pemilu nasional dan pemilu lokal serentak di tahun yang sama baru dipraktikkan di tahun 2024. Rasanya terlampau tergesa-gesa jika harus dirombak, diubah dan dibangun ulang.
Ibarat kata “masakan” DPR, lewat UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada, baru saja disajikan kepada rakyat Indonesia, kok cepat-cepat dicap agar disingkirkan dari daftar menu.
Sembilan hari sebelum MK menerbitkan putusan yang mengubah keserentakan pemilu, Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman mengeluh soal MK.
“Di DPR ini kadang-kadang kami capek bikin Undang-undang, dengan gampangnya dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi),
Tempo.co
, 18 Juni 2025.
Keluhan ini dapat dibaca bermacam-macam. MK dianggap menjadi institusi yang “mentorpedo” produk legislasi DPR atau ia sedang frustrasi dengan putusan-putusan MK?
Selama MK konsisten dengan fungsi dan peran yang diamanatkan konstitusi, publik pasti akan berada di belakangnya.
Namun, sebagai institusi, MK pernah tergelincir tatkala memutuskan alias mengubah syarat usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden, tahun 2023 lalu.
Putusan itu memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden saat itu Joko Widodo, untuk berlaga di pemilu 2024.
Jadi, putusan nomor 135 ini pun harus ditakar untung dan ruginya, manfaat dan mudharatnya bagi gelaran pemilihan umum serta demokrasi Indonesia.
Konsekuensi pertama, jika pemilu lokal digelar dua tahun atau 2,5 tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden, berarti seluruh provinsi, kabupaten dan kota akan mengalami kekosongan pemimpin dari 2029-2031.
Dan itu kolosal, meliputi 545 daerah, yakni 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Saat masa jabatan kepala daerah usai, maka pemerintah pusat harus mengisi atau menempatkan orang sebagai penjabat gubernur/bupati/wali kota.
Selama ini penjabat kepala daerah adalah orang pilihan presiden atau menteri dalam negeri atau kementerian dalam negeri. Keberadaan mereka ditunjuk, ditugaskan, dan bukan dipilih sebagaimana seorang kepala daerah.
Sudah pasti legitimasi penjabat kepala daerah itu rendah, tapi mengambil keputusan penting, bahkan strategis di daerah mereka bertugas. Ini dilema penjabat yang terbaca di masa Jokowi.
Konsekuensi kedua, bagaimana dengan kursi anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan DPRD kota selama masa transisi menuju pemilu lokal serentak 2031 (jeda dua tahun atau 2,5 tahun dari pelantikan anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil presiden)? Siapa yang akan dan bagaimana mengisinya?
Total kursi DPRD kabupaten/kota saja menembus 17.510. Belum lagi anggota DPRD tingkat provinsi. Haruskah anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota periode 2024-2029 diperpanjang masa jabatannya hingga pemilu lokal atau Pilkada serentak 2031?
Apakah model transisi begini sehat untuk menjalankan fungsi
checks and balances
? Tidakkah ini mengurangi kesempatan politikus lain di tingkat lokal atau kader partai di provinsi/kabupaten/kota yang mengincar kursi legislator tadi?
Konsekuensi terakhir, berkaitan dengan aspek pendanaan. Biaya Pilkada serentak 2024 sekitar Rp 41 triliun. Adapun anggaran pemilu nasional sebesar Rp 71,3 triliun. Total biaya pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun 2024 menembus Rp 112,3 triliun.
Dengan memasukkan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota ke rumpun pemilu lokal, apakah biaya total pemilu yang digelar terpisah bakal tetap? Atau sebaliknya kian besar karena faktor inflasi?
Kini, kerumitan, keruwetan, hingga dilema yang muncul menyusul keputusan MK ini perlu dikaji oleh pemerintah, DPR, KPU, organisasi sipil, peneliti hingga akademisi yang
concern
terhadap pemilu dan demokrasi di Tanah Air.
Momentum merevisi atau mengubah UU Pemilu dan UU Pilkada seyogyanya menjadi “moment of the truth” untuk memasak (baca: melahirkan) penyelenggaraan pemilihan umum yang meningkatkan kualitas demokrasi di negeri kita.
Bongkar pasang desain atau rancangan gelaran pemilu yang terlalu sering, bukan zamannya lagi. Itu bisa menerbitkan apatisme publik. Percaya dengan proses, jangan reaksioner.
Dan agar produk legislasi DPR dan pemerintah, tidak kelewat sering diuji-materi (
judicial review
) ke MK, maka dua cabang kekuasaan yang berperan sebagai “positive legislator” itu wajib mengubah pendekatan.
Belakangan tuntutan “partisipasi yang bermakna” kian nyaring disuarakan masyarakat sipil, terutama setelah revisi Undang-Undang Tentara NasionaI Indonesia (UU TNI) dianggap kurang memperhatikannya.
Kritik serupa dialamatkan ke DPR dan pemerintah menyangkut revisi UU BUMN serta revisi UU Mineral dan Batu Bara.
MK lewat putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengartikan
meaningful participation
sebagai: hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (
hukumonline.com
, 13 Juli 2022).
Saya kira panduan MK tadi teramat jelas. Jangan sampai DPR dan pemerintah jatuh di lubang yang sama gara-gara mengangkangi soal partisipasi publik yang bermakna.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: DPRD
-

Legislator DKI minta pemprov tegas tertibkan truk ODOL
Arsip foto – Petugas melakukan evakuasi truk bermuatan pasir yang mengalami kecelakaan di Jalan Tol Tangerang-Merak KM 75, Serang Barat, Banten, Kamis (4/7/2024). Kecelakaan tunggal truk bernomor polisi A 9808 B itu menyebabkan arus lalu lintas di jalan tol yang mengarah ke Jakarta mengalami kemacetan panjang. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Legislator DKI minta pemprov tegas tertibkan truk ODOL
Dalam Negeri
Editor: Widodo
Minggu, 29 Juni 2025 – 23:19 WIBElshinta.com – Anggota DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth meminta Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo lebih tegas dan ketat dalam menertibkan truk ODOL yang kerap beroperasi di jalan protokol maupun kawasan padat penduduk.
“Saya menerima banyak laporan dari masyarakat soal truk ODOL yang beroperasi di luar jam operasional dan melintasi jalur yang seharusnya tidak boleh dilewati kendaraan berat. Ini jelas bisa membahayakan dan merusak fasilitas umum,” kata Kenneth di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, kendaraan berat dengan muatan dan dimensi berlebih atau yang biasa disebut truk ODOL (Over Dimension Over Loading) masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah di Indonesia termasuk di DKI Jakarta.
Keberadaan truk ODOL tidak hanya membahayakan keselamatan pengguna jalan lainnya, tetapi juga mempercepat kerusakan infrastruktur seperti jalan hingga jembatan.
Kenneth menilai, keberadaan truk dengan dimensi dan muatan berlebih tersebut bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat, pengendara lainnya serta mempercepat kerusakan infrastruktur jalan di Jakarta.
“Pak Gubernur Pramono Anung Wibowo harus membuat aturan yang ketat dan tegas terkait permasalahan truk ODOL ini,” ujarnya.
Bang Kent–sapaannya–menyatakan bahwa perlu adanya kerja sama lebih intensif antara Pemprov DKI dan Kementerian Perhubungan dalam mengintegrasikan sistem pemantauan kendaraan ODOL melalui teknologi, seperti CCTV dan sistem tilang elektronik.
Hal itu karena permasalahan truk ODOL ini bukan hanya soal pelanggaran lalu lintas, tapi menyangkut keselamatan dan kerugian fasilitas umum.
“Saya mendorong langkah kolaboratif lintas instansi agar penanganannya lebih efektif,” kata Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI) PPRA Angkatan LXII itu.
Kent pun meminta Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta bersama aparat kepolisian untuk meningkatkan patroli dan razia terhadap kendaraan ODOL, khususnya pada malam hingga dini hari yang kerap melintas secara ilegal.
“Saya meminta Dishub dan Satpol PP tidak tutup mata, jangan sampai ketegasan hanya di atas kertas saja. Truk ODOL ini harus ditindak tegas, termasuk pemilik dan pengusaha angkutannya,” kata Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta.
Berdasarkan data dari Korlantas Polri, terdapat 27.337 kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang pada tahun 2024.
Sementara, data dari Jasa Raharja menunjukkan bahwa kendaraan ODOL jadi penyebab kecelakaan nomor dua. Pada tahun 2024 tercatat ada 6.390 korban meninggal dunia yang diberikan santunan.
Lalu terkait dengan kerusakan infrastruktur, diperkirakan butuh anggaran sekitar Rp43,47 triliun per tahun untuk melakukan perbaikan jalan rusak, termasuk yang disebabkan oleh kendaraan ODOL.
Kent pun meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan agar tegas dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Padahal kebijakan pelarangan truk ODOL itu sudah digagas sejak 2017 silam, tapi hingga saat ini implementasinya tidak pernah terealisasikan. Artinya kebijakan ini sudah mangkrak 16 tahun lamanya,” katanya.
Kent menambahkan, Indonesia khususnya Jakarta harus “Zero ODOL”, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Perlu adanya insentif bagi pelaku usaha yang mematuhi aturan, dan sangsi tegas bagi yang melanggar.
“Selain itu, edukasi publik dan transparansi pengawasan juga harus ditingkatkan,” ujar legislator dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut.
Menurut Kent, truk ODOL sering menyebabkan kecelakaan fatal karena muatan yang berlebih sehingga membuat kendaraan sulit dikendalikan, terutama saat menanjak, menurun, atau mengerem mendadak.
Banyak kasus truk ODOL yang menabrak kendaraan kecil, pejalan kaki atau terguling di jalan padat, yang berujung pada korban jiwa luka-luka hingga meninggal dunia.
Kent pun berharap Pemprov DKI Jakarta serius dalam mendukung target nasional menuju Indonesia bebas ODOL pada tahun 2026. Ia juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dengan melaporkan temuan truk ODOL melalui kanal resmi Pemprov.
Masyarakat harus melaporkan keberadaan truk ODOL. Harapannya, partisipasi aktif masyarakat dapat mempercepat upaya bersama menuju jalan raya yang aman dan layak. “Saya harap pada tahun 2026 itu Jakarta bisa ‘zero’ kendaraan ODOL,” ujarnya.
Sumber : Antara
-

Harta Kekayaan Wakil Ketua DPRD Banten, Viral Titip Siswa di SPMB 2025
PIKIRAN RAKYAT – Wakil Ketua DPRD Banten, Budi Prajogo, viral titip siswa di SPMB 2025, berikut harta kekayaan sang pejabat. Namanya menjadi perbincangan di media sosial karena diduga menggunakan kekuasaannya bukan untuk kepentingan umum.
Salah satu akun yang mengungkapkan kabar tentang sang pejabat adalah Instagram @aliansimahasiswapenggugat pada Sabtu 28 Juni 2025. Budi diduga menitipkan murid dalam Seleksi Penerimaan Murid Baru tahun ini bahkan dengan menyertakan stempel basah DPRD Provinsi Banten dalam memonya.
“Beredar lembaran kertas SMPB online 2025-2026 yang dibubuhi tanda tangan Wakil Ketua DPRD Provinsi, Dr H Budi Prajogo. Di atas tanda tangan itu juga dibubuhi stampel basah DPRD Provinsi Banten,” kata akun tersebut.
“Kemudian, tertulisan juga memo ‘mohon dibantu dan ditindaklanjuti’ yang diduga ada kaitannya dengan proses penerimaan siswa baru SMA Negeri di Cilegon. Kemudian turut disertakan kartu nama yang bersangkutan. Setelah ditelusuri, yang bersangkutan adalah salah satu pimpinan DPRD dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS),” ujarnya melanjutkan.
Budi Prajogo ngaku tidak kenal dengan siswa yang dititipkannya
Wakil Ketua DPRD Banten Budi Prajogo menyebut ia tidak kenal dengan siswa SMA negeri di Kota Cilegon yang disebutkan dalam surat “titip siswa” berstempel tersebut. Ia menyatakan memo itu dibuat salah satu staf di DPRD Provinsi Banten untuk diminta ditandatangani.
Tak hanya itu, Budi juga mengaku tidak kenal dengan keluarganya dan urusan diterima atau tidak usulan “titip siswa” itu diserahkan kepada pihak sekolah, tidak mengintervensinya. Tak lupa pria 54 tahun itu minta maaf atas kegaduhan yang terjadi. Sementara itu, siswa dimaksud tidak diterima SPMB jalur domisili di sekolah yang dituju.
Harta Kekayaan Budi Prajogo
Wakil Ketua DPRD Banten, Budi Prajogo, terakhir kali lapor harta kekayaan pada 21 Maret 2025 atau periode 2024 dengan total harta Rp6,2 miliar. Berikut rinciannya:
Tanah dan Bangunan Seluas 112 m2/45 m2 di KAB / KOTA TANGERANG, HASIL SENDIRI, Rp1.200.000.000 Tanah dan Bangunan Seluas 66 m2/36 m2 di KAB / KOTA TANGERANG, HASIL SENDIRI, Rp600.000.000 Tanah Seluas 20900 m2 di KAB / KOTA LEBAK, HASIL SENDIRI, Rp2.000.000.000 Tanah Seluas 10200 m2 di KAB / KOTA SERANG, HASIL SENDIRI, Rp220.000.000 Tanah Seluas 8160 m2 di KAB / KOTA SERANG, HASIL SENDIRI, Rp200.000.000 Tanah dan Bangunan Seluas 162 m2/68 m2 di KAB / KOTA KOTA SERANG, HASIL SENDIRI, Rp400.000.000 Tanah Seluas 400 m2 di KAB / KOTA KOTA SERANG, HASIL SENDIRI, Rp420.000.000 Tanah Seluas 54 m2 di KAB / KOTA SERANG, HASIL SENDIRI, Rp28.000.000 Tanah Seluas 112 m2 di KAB / KOTA KOTA TANGERANG SELATAN, HASIL SENDIRI, Rp435.000.000 Tanah Seluas 250 m2 di KAB / KOTA KOTA TANGERANG SELATAN, HASIL SENDIRI, Rp400.000.000
Total tanah dan bangunan: Rp5.903.000.000
Daftar kendaraan milik Budi Prajogo MOTOR, HONDA SEPEDA MOTOR Tahun 2013, HASIL SENDIRI, Rp5.000.000 MOBIL, HONDA FREED MINIBUS Tahun 2012, HASIL SENDIRI, Rp125.000.000 MOTOR, KAWASAKI B3175A Tahun 2019, HASIL SENDIRI, Rp17.000.000
Total kendaraan: Rp147.000.000
Harta lainnya milik Budi Prajogo HARTA BERGERAK LAINNYA: Rp43.000.000 SURAT BERHARGA: Rp0 KAS DAN SETARA KAS: Rp126.586.315 HARTA LAINNYA: Rp0
Total harta kekayaan: Rp6.219.586.315
Profil Wakil Ketua DPRD Banten Budi Prajogo
Berikut profil sang pejabat:
Nama lengkap: Budi Prajogo Nama lengkap dan gelar: Dr. H. Budi Prajogo, S.E., M.Ak. TTL: Semarang, 4 Januari 1971 Alamat: Jln. Pelikan Blok G3 No 5 Komplek Vila Dago Tol RT/02/20 Serua Kecamatan Ciputat Tangerang Selatan Partai politik: PKS Instagram @budi_prajogo (KLIK DI SINI, kolom komentar ditutup)
Demikian harta kekayaan Wakil Ketua DPRD Banten Budi Prajogo yang titip siswa di SPMB 2025. Total hartanya ternyata mencapai Rp6,2 miliar pada periode 2024.***
-

Kenneth DPRD DKI Minta Gubernur Pramono Buat Aturan Tegas & Ketat Soal Truk ODOL
Jakarta –
Kendaraan berat dengan muatan dan dimensi berlebih, atau yang biasa disebut truk ODOL (Over Dimension Over Loading), masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta. Keberadaan truk ODOL tidak hanya membahayakan keselamatan pengguna jalan lainnya, tetapi juga mempercepat kerusakan infrastruktur seperti jalan hingga jembatan.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth menilai, keberadaan truk dengan dimensi dan muatan berlebih tersebut bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat, pengendara lainnya serta mempercepat kerusakan infrastruktur jalan di Jakarta.
“Saya menerima banyak laporan dari Masyarakat soal truk ODOL yang beroperasi di luar jam operasional, dan melintasi jalur yang seharusnya tidak boleh dilewati kendaraan berat. Ini jelas bisa membahayakan dan merusak fasilitas umum,” kata Kenneth dalam keterangannya, Minggu (29/6/2025).
Pria yang akrab disapa Bang Kent itu juga meminta kepada Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo supaya menerapkan aturan lebih tegas dan ketat dalam menertibkan truk ODOL yang kerap beroperasi di jalan-jalan protokol, maupun kawasan padat penduduk.
“Pak Gubernur Pramono Anung Wibowo harus membuat aturan yang ketat dan tegas terkait permasalahan truk ODOL ini. Perlu adanya kerja sama lebih intensif antara Pemprov DKI dan Kementerian Perhubungan dalam mengintegrasikan sistem pemantauan kendaraan ODOL melalui teknologi, seperti CCTV dan sistem tilang elektronik. Karena permasalahan truk ODOL ini bukan hanya soal pelanggaran lalu lintas, tapi menyangkut keselamatan dan kerugian fasilitas umum. Saya mendorong langkah kolaboratif lintas instansi agar penanganannya lebih efektif,” beber Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI) PPRA Angkatan LXII itu.
Kent pun meminta Dinas Perhubungan DKI Jakarta bersama aparat kepolisian untuk meningkatkan patroli dan razia terhadap kendaraan ODOL, khususnya pada malam hingga dini hari, waktu di mana truk-truk tersebut kerap melintas secara ilegal.
Berdasarkan data dari Korlantas Polri mencatat, terdapat 27.337 kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang pada tahun 2024. Sementara, data dari Jasa Raharja menunjukkan bahwa kendaraan ODOL jadi penyebab kecelakaan nomor dua, di mana pada tahun 2024 tercatat ada 6.390 korban meninggal dunia yang diberikan santunan. Lalu terkait dengan kerusakan infrastruktur, diperkirakan butuh anggaran sekitar Rp43,47 triliun per tahun untuk melakukan perbaikan jalan rusak, termasuk yang disebabkan oleh kendaraan ODOL.
Kent pun meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dinas Perhubungan agar tegas dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut Kent, Truk ODOL sering menyebabkan kecelakaan fatal karena muatan yang berlebih sehingga membuat kendaraan sulit dikendalikan, terutama saat menanjak, menurun, atau mengerem mendadak. Banyak kasus di mana truk ODOL menabrak kendaraan kecil, pejalan kaki, atau terguling di jalan padat, yang berujung pada korban jiwa luka-luka hingga meninggal dunia.
“Truk dengan dimensi tidak sesuai kerap kehilangan kendali atau sulit bermanuver, berisiko tinggi menyebabkan kecelakaan fatal. Hal itu juga beresiko kepada sopir truk yang membawa beban berlebihan di jalan. Karena permasalahan truk ODOL ini bisa menimbulkan kerugian material yang besar, baik bagi pengemudi, pemilik usaha, maupun pemerintah. Selain kerusakan kendaraan dan infrastruktur, waktu dan produktivitas masyarakat juga terhambat akibat kemacetan juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan,” beber Kepala Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta itu.
Kent pun berharap Pemprov DKI Jakarta serius dalam mendukung target nasional menuju Indonesia bebas ODOL pada tahun 2026. Ia juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dengan melaporkan temuan truk ODOL melalui kanal resmi Pemprov.
“Masyarakat harus melaporkan keberadaan truk ODOL. Harapannya, partisipasi aktif masyarakat dapat mempercepat upaya bersama menuju jalan raya yang aman dan layak. Saya harap pada tahun 2026 itu Jakarta bisa Zero kendaraan ODOL,” tutupnya.
(mpr/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-

Menbud Tegaskan Komitmen Pelestarian, Pagelaran Budaya Karo di Banten
JAKARTA — Warna-warni budaya Karo terlihat di tengah Kota Serang. Ribuan pasang mata terpukau saat Tarian Lima Serangkai, Piso Surit, dan Tari Lima Marga menari di panggung Pagelaran Budaya Karo yang digelar Komunitas Karo Banten Bersatu (KBB) di Gedung Aspirasi Pemerintah Provinsi Banten, Sabtu, 28 Juni.
Di tengah riuh tepuk tangan, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, berdiri di barisan terdepan. Ia datang bukan hanya sekadar tamu. Dalam sambutannya, ia menegaskan komitmen kuat untuk memastikan Budaya Karo tak punah digerus zaman.
“Senang sekali bisa hadir menyaksikan kekayaan budaya Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Rote,” kata Fadli. “Saya sudah mengunjungi 101 negara. Tapi tidak ada yang sebanding dengan budaya kita.”
Menurutnya, Budaya Karo adalah salah satu warisan tak ternilai. Seni tari, musik tradisional, pakaian adat, hingga kearifan lokalnya menjadi bagian penting mozaik Indonesia.
“Kita harus pastikan budaya ini tetap hidup. Tidak boleh hilang ditelan waktu. Generasi muda harus mengenali dan bangga pada warisannya,” ujarnya.
Fadli menekankan, budaya sama rapuhnya dengan bahasa. Jika tidak dirawat, pelan-pelan lenyap. Arus informasi global juga menjadi tantangan besar. “Kalau tidak kita teruskan pada anak-anak kita, sangat berbahaya. Mereka bisa asing dengan budayanya sendiri,” tambahnya.
Baginya, pagelaran ini bukan sekadar pertunjukan. Ini momentum penting menuju Indonesia Emas 2045. “Budaya adalah fondasi pembangunan bangsa, amanah konstitusi,” tegasnya.
Dalam catatan Kementerian Kebudayaan, Budaya Karo sudah diakui sebagai warisan budaya takbenda nasional. Mulai dari arsitektur rumah adat, Tari Guru-Guru Arom, Tortor Sombah, ritual Merdang Merdem, hingga ekspresi lisan Berahoi. “Dalam setiap tarian, lagu, bahasa, pakaian adat, tersimpan nilai luhur yang tidak bisa dinilai dengan materi,” jelas Fadli.
Ia pun mengutip peribahasa Karo Erbahan peraten budaya si Megersing, yang bermakna budaya lahir dari kebiasaan dan perilaku yang dijaga tekun.
Pagelaran ini dihadiri sekitar 1.000 undangan. Sejumlah tokoh hadir, antara lain Tokoh Karo Musa Bangun, ulama Abuya Muhtadi, Gubernur Banten Andra Soni, Ketua Umum KBB Karpen Ginting, Pembina Batak Karo Banten Bersatu Dr. Ucok Damenta, Ketua DPRD Banten Fahmi Hakim, Kapolda Banten Irjen Pol Suyudi Ario Seto, dan Danrem 064 Maulana Yusuf.
Selain penampilan tari, penyanyi muda Lyodra Margareta Ginting yang menjuarai ajang pencarian bakat turut memukau penonton. Puncak acara ditandai penobatan Duta Budaya Karo sebagai simbol regenerasi pelestari budaya.
Ketua Panitia, Arifin Suang, menegaskan tujuan pagelaran ini bukan hanya hiburan. “Kami ingin generasi muda di perantauan mengenal asal-usul mereka, meski jauh dari Tanah Karo,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Menteri Fadli didampingi Direktur Pemberdayaan Nilai Budaya Yayuk Sri Budi Rahayu dan Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII Lita Rahmiati.
Di akgir sambutan, Fadli menyampaikan harapan besar. “Budaya Karo harus dikenal, dipelajari, dan dicintai bukan hanya oleh masyarakat Karo, tapi seluruh bangsa, bahkan dunia.”
Ia menegaskan, Kementerian Kebudayaan akan terus mendukung pelestarian budaya sebagai bagian pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
-
/data/photo/2024/11/11/673221d07f5fa.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu? Nasional 29 Juni 2025
Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Putusan
Mahkamah Konstitusi
(MK) yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029 dinilai sebagai momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pemilu.
Putusan ini dinilai bisa meringankan beban penyelenggara pemilu, dan berpotensi meningkatkan kualitas
partisipasi rakyat
dalam pesta demokrasi.
Lebih jauh, putusan MK tersebut juga dianggap membuka jalan dilaksanakannya revisi besar-besaran terhadap undang-undang kepemiluan melalui pendekatan
omnibus law
.
Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan daerah tidak lagi dilakukan secara serentak.
Pemilu nasional akan difokuskan pada pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.
Sementara itu, pemilu daerah yang mencakup pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan pada waktu berbeda.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (
UU Pemilu
) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Meski begitu, MK tidak menentukan secara pasti tenggat waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah. Namun, MK mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
“Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” kata Saldi Isra.
Putusan MK tersebut disambut baik oleh penyelenggara pemilu dan kelompok masyarakat pegiat demokrasi.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengatakan, pemisahan waktu pemilu akan mengurangi beban kerja teknis lembaganya.
“Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” kata Afifuddin, Jumat (27/6/2025).
Afif menambahkan, KPU akan mempelajari secara detail isi putusan tersebut dan menyesuaikan tahapan ke depan.
Dari sisi masyarakat sipil, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (
Perludem
) menilai putusan MK ini menjawab persoalan mendasar dalam keserentakan pemilu yang selama ini hanya formalitas.
“Keserentakan pemilu itu mesti betul-betul menjaga kualitas kedaulatan rakyat, tidak hanya formalitas datang ke TPS, dapat surat suara, nyoblos, selesai,” ujar Program Manajer Perludem, Fadli Ramadhanil.
Fadli menilai desain keserentakan sangat menentukan kualitas pilihan rakyat dalam bilik suara. Ia menyebut bahwa sejak awal, Perludem telah lama mengusulkan pemisahan tersebut.
Dari sisi legislatif, putusan ini direspons positif oleh Komisi II
DPR RI
yang membidangi urusan pemerintahan dan kepemiluan.
Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menilai putusan MK telah menegaskan bahwa struktur politik Indonesia terdiri dari dua entitas: nasional dan daerah.
Oleh karena itu, penyesuaian regulasi diperlukan agar selaras dengan konstitusi.
“Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” kata Zulfikar.
Dia juga menilai pemisahan jadwal pemilu akan memperkuat kelembagaan penyelenggara pemilu, memudahkan pemilih menggunakan haknya, serta berpotensi melahirkan budaya politik baru yang lebih efektif di daerah.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak selama ini justru memperkuat praktik pragmatisme, termasuk politik uang, dan mengaburkan isu-isu lokal dalam hiruk-pikuk pemilu nasional.
“(Isu-isu) menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat, jadi nggak penting. Nah, bahayanya, dampaknya adalah itu adalah bagian yang memperkuat praktik pragmatisme Pemilu,” kata Doli dalam diskusi di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
Doli juga menyinggung soal kejenuhan masyarakat terhadap pemilu yang terlalu berdekatan, serta waktu yang terlalu sempit bagi partai politik menyiapkan kader-kadernya.
“Jadi masyarakat (beranggapan), ‘ah, ngapain lagi kita? Kita sudah datang kemarin waktu pemilihan presiden, sudah lah cukup itu aja, kita serahkan aja. Presiden kan bisa ngatur semuanya’, itu ada juga terjadi di masyarakat kita di bawah ini,” tutur Doli.
“Termasuk partai politik, partai politik kemudian tidak punya waktu yang leluasa, lebih maksimal mengatakan siapa yang menjadi kader atau orang yang kuat dalam waktu yang sesingkat itu. Nah, Jadi saya dalam posisi secara pribadi, mendukung putusan Mahkamah Konstitusi itu,” jelas Doli.
Kendati demikian, ada konsekuensi lebih jauh dengan adanya putusan tersebut, yakni perlunya penyusunan ulang seluruh arsitektur hukum kepemiluan.
Doli berpandangan bahwa putusan tersebut seolah memerintahkan revisi UU Pemilu menggunakan omnibus law.
Sebab, membuat DPR dan pemerintah selaku pembuat UU harus mengubah total aturan pelaksanaan kepemiluan.
“Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah, merevisi UU ini secara omnibus law,” kata Doli dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
Doli merinci, ada sejumlah undang-undang yang perlu diubah.
Mulai dari UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), hingga UU tentang Pemerintahan Daerah.
Oleh karena itu, omnibus law dianggap bisa menjadi solusi cepat dan menyeluruh agar semua UU terkait dapat direvisi sekaligus secara sistematis, walaupun masih harus dikaji secara mendalam oleh DPR bersama pemerintah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Ketua DPD RI Minta Penyelenggara Pemilu Perhatikan Data Pemilih Usai Putusan MK
Jakarta –
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamudin menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah. Sultan mengingatkan penyelenggara pemilu dan pemerintah agar mengantisipasi dinamika perubahan data pemilih.
“Pembaharuan data pemilih akan sangat cepat dan menjadi tantangan tersendiri, sehingga membutuhkan upaya yang ekstra bagi penyelenggara. Karena jarak waktu 2 tahun (jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan daerah) adalah waktu yang signifikan mempengaruhi jumlah penduduk dan daftar pemilih tetap,” ujar Sultan kepada wartawan, Sabtu (28/6/2025).
Sultan berharap pemisahan jadwal penyelenggaraan pemilu ini dapat meningkatkan partisipasi politik warga. Selain itu juga diharapkan dapat memperkuat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
“Harapannya pemisahan pemilu nasional dan lokal semakin meningkatkan partisipasi politik masyarakat dan memperkuat hubungan antara pusat dan daerah. Namun pembuat UU perlu melihat secara hati-hati dan komprehensif dalam menerjemahkan keputusan MK ini ke dalam material UU pemilu,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sultan mengatakan penyederhanaan, inovasi Pemilu melalui rekayasa konstitusional perlu disesuaikan dengan struktur lembaga politik dan tuntutan kepentingan pembangunan nasional dan daerah. Perlu juga dilakukan penyesuaian dan sinkronisasi pada beberapa UU yang terkait dengan Pemilu seperti UU MD3.
“Keputusan MK ini cukup baik dan penting, tidak hanya dalam mengurai persoalan beban kerja para penyelenggara pemilu, tapi juga merupakan momentum untuk menata kembali struktur kekuasaan legislatif kita dalam UU MD3. Karena DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah telah dimasukkan dalam kelompok Pemilu lokal,” terangnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.
“Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai,” ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan Amar Putusan, Kamis (26/6).
(fca/fca)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2024/12/04/675020cc96a30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

