Kementrian Lembaga: DPRD

  • Tanggapan Bupati Lumajang soal Putusan MK Pisahkan Pemilu
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        30 Juni 2025

    Tanggapan Bupati Lumajang soal Putusan MK Pisahkan Pemilu Surabaya 30 Juni 2025

    Tanggapan Bupati Lumajang soal Putusan MK Pisahkan Pemilu
    Tim Redaksi
    LUMAJANG, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai tahun 2029.
    Pemilu nasional
    akan difokuskan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Presiden dan Wakil Presiden.
    Sementara itu, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) minimal dua tahun setelah
    pemilu nasional
    .
    Dengan keputusan ini,
    pemilu daerah
    diperkirakan akan berlangsung pada tahun 2031, yang berarti masa jabatan kepala daerah akan diperpanjang satu tahun.
    Sebelumnya, masa jabatan kepala daerah dijadwalkan berakhir pada tahun 2030, namun kini akan berakhir pada tahun 2031.
    Menanggapi keputusan tersebut, Bupati Lumajang,
    Indah Amperawati
    , menyatakan bahwa pilihan untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah sangat bijak.
    Ia menjelaskan bahwa perpanjangan masa jabatan akan memastikan bahwa program-program daerah untuk masyarakat dapat terus berjalan tanpa terputus.
    “Sepertinya akan diperpanjang, ini juga baik karena program daerah juga akan terus berjalan,” kata Indah di Lumajang, Senin (30/6/2025).
    Namun, Indah juga mengakui bahwa perubahan jadwal pemilu ini akan menambah beban bagi partai politik.
    Dengan adanya dua kali agenda pemilu dalam kurun waktu lima tahun, partai akan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam hal akomodasi dan sumber daya manusia.
    “Pusingnya bertambah, beban partai pasti bertambah baik akomodasi maupun tenaga yang dikeluarkan,” imbuh Indah.
    Sebagai informasi tambahan, putusan MK mengenai pemisahan pemilu nasional dan daerah ini juga berpotensi menambah masa jabatan anggota DPRD selama dua tahun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Repons PKS usai MK Putuskan Pemilu dan Pilkada Terpisah

    Repons PKS usai MK Putuskan Pemilu dan Pilkada Terpisah

    Bisnis.com, Jakarta — PKS akan mendorong revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada menyusul adanya putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah.

    Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Jazuli Juwaini meminta semua pihak untuk menghormati putusan MK yang sudah final dan mengikat terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah.

    Menurut Jazuli, proses revisi tersebut harus dilakukan secara hati-hati, cermat, dan partisipatif, karena menyangkut desain besar demokrasi bangsa, termasuk aspek teknis penyelenggaraan dan pengisian masa jabatan kepala daerah serta anggota DPRD pada masa transisi.

    “Putusan ini membawa implikasi yang perlu ditindaklanjuti dengan perubahan regulasi, tidak hanya soal waktu pelaksanaan, tetapi juga menyangkut kesiapan dari regulasi, kelembagaan penyelenggara, hingga kepastian hukum bagi jabatan-jabatan publik di daerah selama masa jeda 2029–2031,” tuturnya di Jakarta, Senin (30/6).

    Dia mengemukakan revisi UU nantinya tidak hanya sebatas penyesuaian teknis, tetapi juga momentum untuk memperkuat kualitas demokrasi, partisipasi rakyat, dan efektivitas tata kelola pemilu agar lebih efisien, transparan, dan akuntabel.

    “DPR dan pemerintah serta penyelenggara pemilu akan bekerja sama memastikan transisi ini berjalan mulus, konstitusional, dan tetap menjamin hak pilih rakyat serta stabilitas pemerintahan di pusat dan daerah,” katanya.

    Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengubah skema waktu pelaksanaan Pemilu menjadi dua tahap: Pertama, Pemilu Serentak Nasional yaitu Presiden, DPR, dan DPD tetap dilaksanakan pada tahun 2029. 

    Kedua, Pemilu Daerah Pilkada dan Pemilihan Anggota DPRD digeser dua tahun kemudian pada tahun 2031, dan disatukan pelaksanaannya.

  • 2
                    
                        Wagub Erwan Blak-blakan Hubungannya dengan Sekda Jabar Retak: Sudah di Luar Batas!
                        Bandung

    2 Wagub Erwan Blak-blakan Hubungannya dengan Sekda Jabar Retak: Sudah di Luar Batas! Bandung

    Wagub Erwan Blak-blakan Hubungannya dengan Sekda Jabar Retak: Sudah di Luar Batas!
    Editor
    KOMPAS.com – 
    Wakil Gubernur
    Jawa Barat
    Erwan Setiawan mengakui bahwa hubungannya dengan Sekretaris Daerah (Sekda)
    Jabar
    , Herman Suryatman, mengalami keretakan.
    Hal itu disampaikan Erwan saat ditemui di Gedung Sate, Senin (30/6/2025). Ia mengatakan bahwa meskipun ruang kerjanya berada di lantai yang sama dengan Sekda, mereka tak pernah saling berinteraksi.
    “Memang ada keretakan, kenyataan. Saya di ruang, (ruangan saya di sini). Sekda di ruang sana, satu lantai, saya lewat tidak ada,” ujar Erwan.
    Erwan juga menilai bahwa banyak tugas yang seharusnya menjadi wewenang Wakil Gubernur justru diambil alih oleh Sekda.
    “Sudah di luar batas. Saya katakan sudah di luar batas. Sudah di luar kewenangan-kewenangan dia. Terakhir kemarin, di Rindam (kelulusan siswa barak militer gelombang kedua). Itu kan bukan juga seorang Sekda di Rindam. Orang bisa menilai,” katanya.
    Menurut Erwan, tugas seorang sekretaris daerah seharusnya fokus pada urusan administratif dan mengkonsolidasikan kepala dinas atas arahan dari Gubernur dan Wakil Gubernur yang turun langsung ke lapangan.
    “Sebenarnya perlu dipahami, namanya sekretaris daerah itu mengkoordinir sekretariat daerah. Seharusnya Pak Sekda selalu ada di kantor. Pak Gubernur di lapangan, saya ke lapangan,” ucapnya.
    Keretakan hubungan antara Wagub dan Sekda ini juga sempat mencuat ke publik saat sidang paripurna DPRD Jabar pada Kamis (19/6/2025).
    Dalam forum resmi itu, Erwan menyindir ketidakhadiran Herman yang dinilai jarang hadir baik dalam sidang maupun di kantor.
    Menanggapi pernyataan tersebut, Herman Suryatman menyampaikan permohonan maaf dan menjelaskan bahwa ketidakhadirannya dikarenakan sedang menjalankan tugas dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
    Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Wagub Erwan Akui Keretakan dengan Sekda Jabar: Kerja di Lantai yang Sama Tapi Tak Pernah Bertemu
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Politisi PKS setuju putusan MK soal Pemilu 2029

    Politisi PKS setuju putusan MK soal Pemilu 2029

    Sumber foto: Pranoto/elshinta.com.

    Politisi PKS setuju putusan MK soal Pemilu 2029
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 30 Juni 2025 – 17:32 WIB

    Elshinta.com – Politisi PKS yang juga Anggota DPR RI Dapil Jawa Tengah I Muh Haris setuju putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pelaksanaan Pemilu 2029 digelar dua tahap, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.

    Muh Haris menyebut,  keputusan MK terkait pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal merupakan upaya untuk memperkuat demokrasi.  

    “Karena Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal waktunya dipisahkan maka untuk pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR RI dan DPD RI tetap dilaksanakan di tahun 2029, selanjutnya Pemilu Lokal dilaksankaan dua tahun sesudahnya untuk memilih Gubernur, Bupati,  Wali Kota dan DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota,  sedangkan untuk  jabatan Gubernur, Bupati,  Wali Kota yang kosong itu seraya menunggu pelaksanaan Pemilu Lokal maka sebaiknya diisi atau  dijabat seorang PJ dan jabatan DPRD  ditambah dua tahun lagi masa jabatannya,” jelasnya di Salatiga, Sabtu (28/5/2025).

    Dengan ada jeda  waktu yang tidak bersamaan pelaksanaan pemilu  itu lanjut Haris,   maka kualitas pemilu akan lebih baik.

    “Pemilihan Anggota DPR RI dan DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang tidak bersamaan  akan berdampak baik,   yakni isu nasional tidak akan berimplikasi ke isu daerah, masing-masing politisi yang maju anggota DPR akan bisa memainkan isu daerah masing-masing,” pungkasnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Pranoto, Senin (30/6).

    Sumber : Radio Elshinta

  • Kuasai Dukungan DPD II, Munafri Arifuddin Tunggu Restu DPP Menuju Musda Golkar Sulsel

    Kuasai Dukungan DPD II, Munafri Arifuddin Tunggu Restu DPP Menuju Musda Golkar Sulsel

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR – Kekuatan figur jelang Musda DPD I Golkar Sulawesi Selatan mulai nampak. Dari sekian nama yang digadang-gadang bakal maju bertarung, terselip nama Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin.

    Bahkan Munafri yang lebih populer dengan sapaan Appi, dinilai paling punya potensi dan layak membesarkan partai berlambang beringin rindang di Sulawesi Selatan.

    Selain menjabat Wali Kota Makassar, Munafri juga dinilai sosok loyal dan punya komitmen kuat membesarkan partai.

    Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan menambah kursi di DPRD, dan juga sukses menempatkan partai Golkar Makassar di papan klasemen peraih suara terbanyak pada pileg 2024.

    Sambil menunggu restu DPP untuk maju bertarung di Musda, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Makassar ini telah melakukan konsolidasi dengan beberapa petinggi Golkar di daerah.

    Hasilnya, Appi mendapat restu dan dukungan maju bertarung memperebutan kursi ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD II) Sulawesi Selatan.

    Bahkan restu dan dukungan terus mengalir ke Munafri Arifuddin. Di mana hitungan jumlah ke Appi telah memenuhi persyaratan untuk maju mencalonkan diri di Musda.

    Minggu 29 Juni 2024, beberapa petinggi Golkar kembali bertemu dengan Munafri di Novotel. Tentunya pertemuan silaturahim bisa jadi salah satu bentuk konsolidasi jelang Musda.

    Para ketua DPD II Golkar dari berbagai daerah hadir dan bertemu Munafri Arifuddin di ajang silaturahmi tersebut.

    Mereka adalah Andi Kaswadi Razak Golkar Soppeng, Ambas Syam Gowa, Bantaeng Liestiaty Fachrudi, Victor Datuan Batara Tana Toraja, Iksan Iskandar Jenepoto, dan beberapa daerah lainnya.

  • Presiden Prabowo Komitmen Kembangkan Pesantren, Wakil Ketua DPR Minta Pemda Jalankan UU Pesantren

    Presiden Prabowo Komitmen Kembangkan Pesantren, Wakil Ketua DPR Minta Pemda Jalankan UU Pesantren

    Presiden Prabowo Komitmen Kembangkan Pesantren, Wakil Ketua DPR Minta Pemda Jalankan UU Pesantren
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Cucun Ahmad Syamsurijal meyakini bahwa
    Presiden Prabowo
    Subianto memiliki komitmen kuat dalam mengembangkan pesantren di Indonesia.
    Komitmen tersebut tercermin dari keseriusan Prabowo mendorong implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, termasuk penguatan alokasi anggaran dari pemerintah daerah (
    pemda
    ) melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
    “Saya yakin Pak Prabowo serius merealisasikan amanat
    UU Pesantren
    . Beliau sangat paham bahwa pendidikan harus dioptimalkan dan (dalam pelaksanaannya) bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga pemda,” ujar Cucun, dilansir dari laman
    dpr.go.id
    , Minggu (29/6/2025).
    Pernyataan tersebut Cucun sampaikan usai menghadiri pertemuan di Konferensi Internasional Transformasi Pesantren (ICTP) 2025 di Jakarta, Jumat (27/6/2025).
    Legislator Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menegaskan bahwa sumber pendanaan pesantren sudah jelas diatur dalam UU Pesantren, yakni berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta APBD.
    Oleh karena itu, Cucun mengingatkan kepada sejumlah pemda yang belum menjalankan ketentuan dalam UU Pesantren agar segera menindaklanjutinya secara konkret.
    “Kalau ada daerah yang belum melaksanakan amanat UU Pesantren, harus segera dievaluasi. Bahkan, peraturan daerah (perda) yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus diikuti,” katanya.
    Cucun menegaskan bahwa peraturan turunan perda, seperti peraturan gubernur (pergub) dan peraturan bupati (perbup) juga harus diikuti agar implementasi UU Pesantren berjalan selaras di lapangan.
    Menurut Cucun, hadirnya UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) seharusnya memberikan kekuatan baru bagi daerah untuk mengalokasikan anggaran secara tepat guna, termasuk untuk sektor pendidikan nonformal seperti pesantren.
    Namun, ia menyoroti masih adanya daerah yang belum memanfaatkan peluang tersebut secara optimal akibat kebijakan efisiensi yang belum sinkron.
    “Banyak APBD yang masih habis untuk belanja pegawai. Padahal, UU HKPD seharusnya membuat pemda bisa lebih fleksibel dan fokus pada penguatan fungsi anggaran sesuai peruntukan,” tegas anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Barat II ini.
    Cucun juga menekankan bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN maupun APBD bukan hanya untuk pendidikan formal.
    Pesantren, kata dia, juga berhak mendapatkan alokasi tersebut berdasarkan pengakuan resmi dari UU Pesantren.
    “APBD ini masih banyak yang belum disiplin. Kami harus dorong terus agar alokasi pendidikan, termasuk untuk pesantren, benar-benar dijalankan. Ini bukan sekadar kebijakan, tetapi mandat konstitusi,” pungkas Cucun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisi II rapat dengan pimpinan DPR bahas putusan MK terkait pemilu

    Komisi II rapat dengan pimpinan DPR bahas putusan MK terkait pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Komisi II DPR RI menggelar rapat bersama pimpinan DPR RI yang membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    “Komisi II ini adalah komisi yang memang mengurusi permasalahan-permasalahan KPU ya, termasuk juga pemilu. Tetapi karena keputusan MK ini bersifat final and binding, tadi kami sudah diundang rapat konsultasi dengan pimpinan DPR,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

    Dede menuturkan rapat tersebut turut dihadiri pula oleh pimpinan Komisi III DPR RI, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, hingga Menteri Hukum (Menkum) RI Supratman Andi Agtas, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Tito Karnavian, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

    Dia menyebut rapat tersebut bahkan turut dihadiri oleh perwakilan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang mengajukan gugatan uji materi terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah ke MK.

    Legislator itu menjelaskan bahwa rapat itu membahas putusan MK tersebut dari berbagai peninjauan, termasuk sumber-sumber gugatan yang diajukan oleh Perludem selaku koalisi masyarakat sipil.

    Dia mengaku rapat tersebut di dalamnya berlangsung perdebatan yang cukup panjang, misalnya terkait konsekuensi pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah yang dipisah dengan pemilu nasional.

    Hal tersebut, lanjut dia, akan berdampak pada harus dilakukannya perpanjangan masa jabatan hingga perombakan sejumlah undang-undang terkait, seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Otonomi Khusus, hingga Undang-Undang Partai Politik.

    “Kalau DPRD-nya dipisah berarti ada masa perpanjangan, baik kepala daerah maupun juga DPRD dalam jangka waktu dua tahun atau bahkan lebih 2,5 tahun. Nah, ini nanti korelasinya harus merubah berbagai undang-undang lainnya,” tuturnya.

    Dia lantas berkata, “Tidak semudah itu. Artinya mungkin ada empat atau lima undang-undang lain yang akan terevisi dengan hal seperti ini. Ini pasti akan jadi satu concern yang amat besar terutama juga bagi para partai politik, bagi DPR, lembaga-lembaga lain, termasuk juga kementerian lainnya.”

    Untuk itu, dia mengatakan rapat itu menghasilkan kesepakatan bahwa masing-masing komisi terkait di DPR RI akan melakukan kajian akademik terlebih dahulu guna menindaklanjuti putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah untuk diteruskan pada rapat selanjutnya dengan berbagai lembaga dan komisi di DPR RI.

    “Kami pada prinsipnya siap-siap saja ya (menindaklanjuti putusan MK), tetapi kita juga harus melihat dari berbagai undang-undang lain yang harus terevisi karena konteks keputusan yang terkait ini,” kata dia.

    Terpisah, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengkonfirmasi bahwa rapat tersebut dilangsungkan secara mendadak pada Senin pagi, sesaat sebelum Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan sejumlah mitra kerja.

    Rapat tersebut dilangsungkan antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini; Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif Fakrulloh; Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik; hingga para kepala daerah yang mengikuti rapat secara daring.

    “Kami tadi mendadak harus menghadiri rapat pimpinan DPR terkait dengan beberapa isu strategis yang menjadi tugas konstitusional Komisi II DPR RI,” kata Rifqi saat membuka jalannya rapat.

    Sebelumnya, Kamis (26/6), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ijazah Jokowi Disebut Dicetak di Pasar Pramuka, Anak Buah Megawati: Jangan Seret PDIP

    Ijazah Jokowi Disebut Dicetak di Pasar Pramuka, Anak Buah Megawati: Jangan Seret PDIP

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Politikus Senior PDI Perjuangan, Prasetyo Edi Marsudi membantah keras pengakuan tentang keterlibatan Beathor Suryadi dalam tim pemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012.

    Bantahan itu sebagai respons atas pernyataan Beathor yang menyebutkan adanya penggunaan ijazah palsu Jokowi dalam pendaftaran Pilkada DKI Jakarta 2012.

    “Informasi yang disampaikan Beathor itu tidak benar. Saya tahu betul proses pendaftaran pada (Pilkada) 2012. Yang mendaftarkan ke KPUD saat itu ada saya sendiri, Marihodna Pinupulu selaku Kepala Sekretariat Tim Pemenangan Jokowi-Ahok, dan Isnaini dari Solo yang membawa fotokopi ijazah Jokowi yang sudah dilegalisasi basah oleh UGM,” ujar Prasetyo di Jakarta, dikutip pada Senin (30/6/2025).

    Prasetyo juga menepis kabar bahwa dirinya memiliki ijazah palsu, seperti yang ditudingkan dalam pernyataan Beathor tersebut.

    “Awalnya saya tidak mau menanggapi. Tapi karena nama saya disebut dan bahkan dikaitkan dengan ijazah palsu, saya harus meluruskan. Jangan asal bicara, apalagi sampai menyeret-nyeret nama PDI Perjuangan,” ungkap mantan ketua DPRD DKI Jakarta itu.

    Prasetyo lantas mempertanyakan sikap Beathor yang tiba-tiba muncul dan menyampaikan informasi yang menurutnya tidak benar.

    Ia mengaku heran karena Beathor tidak pernah terlibat dalam tim pemenangan Jokowi-Ahok 2012, namun kini justru mengaku mengetahui proses internal tim.

    Ia memastikan proses pendaftaran pasangan calon ke KPUD DKI Jakarta sudah sesuai aturan, termasuk soal dokumen administrasi seperti ijazah.

  • PUSaKO Unand paparkan dampak positif pemisahan jadwal pemilu

    PUSaKO Unand paparkan dampak positif pemisahan jadwal pemilu

    Padang (ANTARA) – Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat (Sumbar) memaparkan dampak positif pemisahan jadwal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

    “Secara garis besar putusan ini membawa angin segar bagi demokrasi di Indonesia,” kata pakar hukum sekaligus peneliti PUSaKO Unand Muhammad Ichsan Kabullah di Padang, Senin.

    Menurut Ichsan, Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah akan memperkuat peran serta masyarakat terhadap iklim demokrasi, termasuk juga penguatan sosialisasi oleh penyelenggara pemilu terutama KPU dan Bawaslu.

    Selain itu, PUSaKO melihat jeda waktu pemilu nasional dengan pemilu daerah yakni dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan bisa menjadi pertimbangan tersendiri bagi masyarakat untuk menentukan sosok yang tepat untuk memimpin daerah selama lima tahun ke depan.

    Tidak hanya itu, dengan adanya pemisahan waktu antara pemilu di tingkat nasional dan daerah secara tidak langsung juga menyadarkan konstituen bahwa pemilu bukan hanya tentang memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga memilih gubernur, bupati dan walikota hingga anggota DPRD.

    “Tidak bisa kita pungkiri ketika pemilu dilakukan serentak, maka atensi orang lebih banyak tertuju ke pemilihan presiden dan wakil presiden,” ujarnya.

    Putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal juga dinilai tepat dari sisi kesehatan mental dan fisik penyelenggara. Apalagi, pada 2019 KPU mencatat terdapat ratusan petugas meninggal dunia yang diduga karena kelelahan.

    “Kajian kami di PUSaKO Unand, pemilu serentak yang dilakukan lebih banyak berimplikasi negatif, salah satunya Pemilu 2019 yang menyebabkan ratusan petugas meninggal dunia,” sebut dia.

    Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

    “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

    Pewarta: Muhammad Zulfikar
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Bukan Perkara Mudah

    Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Bukan Perkara Mudah

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD sebagai konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2031 dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Aria Bima menilai putusan MK atas uji materi yang diajukan sejumlah pihak, termasuk Perludem, akan membawa implikasi ketatanegaraan yang tidak sederhana.

    Oleh karena itu, perlu dicermati secara mendalam agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam sistem demokrasi dan tatanan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

    “Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Kita perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” ujar Aria Bima di Jakarta, Senin (30/6/2025).

    Ia menilai bahwa kondisi tersebut membuka urgensi untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru secara lebih menyeluruh.

    Menurutnya, pembahasan RUU tersebut idealnya tidak cukup hanya melalui panitia kerja (panja), tetapi bisa dipertimbangkan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi mengingat kompleksitas persoalan yang akan timbul ke depan.

    “Apakah nantinya kita akan menambahkan pasal peralihan atau menyisipkan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini soal desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” tegas legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah V tersebut.