Kementrian Lembaga: DPRD

  • Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) kembali disorot
    DPR
    setelah memutuskan untuk memisah pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah mulai 2029.
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Putusan ini disorot DPR karena MK terkesan melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi atau
    guardian of constitution
    .
    Pasalnya, pemisahan pemilu nasional dan daerah akan berdampak terhadap sejumlah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
    Pemilu
    , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    Namun sebelum putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK sudah beberapa kali melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk dan disahkan oleh DPR.
    Banyak dari produk politik DPR yang berkaitan dengan sistem kepemiluan di Indonesia “direvisi” oleh MK. Apa saja koreksi MK terhadap produk politik buatan DPR terkait kepemiluan? Berikut daftarnya
    Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam
    UU Pemilu
    .
    Pemohon gugatan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
    Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
    Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
    Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
    “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat itu.
    Diketahui, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi gerbang masuk Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo subianto pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
    MK kemudian mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold
    (PT) sebesar 4 persen yang dimuat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
    Perkara yang terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ketua Pengurus Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
    Dalam putusannya, MK menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu atau ambang batas parlemen 4 persen tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilihan anggota DPR pada 2024.
    Selanjutnya,, MK menyatakan aturan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilihan DPR pada 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan berpedoman pada beberapa syarat yang sudah ditentukan.
    Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas 4 persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
    “Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2023).
    Setelah itu, mengatur ulang besaran ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
    MK lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan inkonstitusional Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang mengatur hanya partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mencalonkan kepala daerah.
    Dengan adanya putusan itu, partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah bisa mengajukan calon kepala daerah tanpa harus mendapatkan kursi di DPRD.
    Kemudian, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
    Setelah mengubah parliamentary threshold sebesar 4 persen, MK juga menghapus ambang batas pencalonan presiden atau
    presidential threshold
    sebesar 20 persen.
    Penghapusan presidential threshold ini diputuskan dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
    Diketahui, UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
    MK menilai,
    presidential threshold
    sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta hak politik dan kedaulatan rakyat.
    “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
    Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang
    presidential threshold
    dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
    Terutama, partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
    MK berpandangan, penerapan angka ambang batas minimal persentase tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
    Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
    Terbaru, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.
    Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
    “Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK,” ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.
    Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.
    Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.
    MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi.
    “Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hilang Jabatan Wakil Ketua DPRD Banten Buntut Memo Titip Siswa SPMB

    Hilang Jabatan Wakil Ketua DPRD Banten Buntut Memo Titip Siswa SPMB

    Jakarta

    Ulah Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten, Budi Prajogo terkait kasus memo titip siswa pada Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) SMA Negeri di Kota Cilegon berbuntut panjang. Budi Prajogo kini dicopot dari jabatannya tersebut.

    Memo tersebut viral di media sosial (medsos). Dalam unggahan viral, terlihat dalam lembar SPMB online terdapat tulisan ‘Memo mohon dibantu dan ditindaklanjuti’.

    Selain itu, tertulis jabatan, nama lengkap, tanda tangan dari Budi Prajogo. Tak hanya itu, terdapat cap resmi DPRD Provinsi Banten. Dilampirkan juga kartu nama dari Budi yang berasal dari Fraksi PKS tersebut.

    Budi Pragojo Minta Maaf

    Budi Prajogo sendiri sudah memberikan klarifikasi terkait memo viral itu. Dia menyebut memo tersebut dibuat oleh salah satu staf di DPRD Banten dan diminta untuk ditandatangani. Ia menyebut staf tersebut menceritakan bahwa siswa yang akan dibantu berasal dari keluarga tidak mampu.

    “Staf datang ke saya minta tanda tangan saja, sementara stempel dan foto itu staf yang lakuin. Saya tidak tahu soal stempel itu, dan saya juga tidak kenal dengan siswa maupun keluarganya, hanya dengar dari staf saja,” kata Budi, Sabtu (28/6/2025).

    Ia mengaku membantu ala kadarnya tanpa intervensi maupun komunikasi dengan pihak sekolah di Kota Serang tersebut.

    “Adapun diterima tidaknya, saya serahkan semua kepada pihak sekolah tanpa ada intervensi apa pun,” katanya.

    Diketahui, nama siswa yang berada di memo Budi ini tidak masuk dalam SPMB 2025/2026 di sekolah yang dituju. Siswa itu tergeser oleh siswa lainnya pada mekanisme jalur domisili pada SPMB yang memperhatikan nilai rapor.

    Meski begitu, Budi mengakui bahwa tindakannya yang dilakukan adalah sebuah kesalahan. Ia menyesal, dan akan menjadikan kegaduhan ini sebagai bahan pembelajaran.

    “Saya meminta maaf kepada seluruh pihak atas kegaduhan ini,” ucapnya.

    “Saya tidak kenal anak maupun orang tua. Dan saya tidak pernah menghubungi kepala sekolah untuk memberikan tekanan,” ucapnya.

    Wakil Ketua DPRD Banten Dicopot

    Foto: Tangkapan layar viral

    Budi Prajogo dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD usai ramai soal memo titip siswa pada Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) SMA di Kota Cilegon. DPW PKS Banten menyampaikan permintaan maaf atas kasus tersebut.

    “Terkait dengan kondisi yang sudah, maka Fraksi PKS, DPRD Provinsi Banten, memutuskan untuk me-rolling jabatan pimpinan DPRD, dan yang semula Pak Budi Prajogo digantikan oleh Bapak Imron Rosadi sebagai Wakil Ketua DPRD,” ucap Ketua DPW PKS Banten Gembong R Sumedi, Selasa (1/7).

    “DPW PKS 2019 mengucapkan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya kepada masyarakat yang mungkin terasa terganggu, terasa tersinggung dengan hal yang dilakukan salah satu anggota dewan, yang berasal dari PKS, yaitu Pak Budi,” sambungnya.

    Saat ini, Imron menjabat anggota Komisi V DPRD Banten. Imron juga menjabat Ketua Dewan Syariah Wilayah Banten.

    PKS Banten menekankan konsisten dan berkomitmen mendukung program-program Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Andra Soni dan Dimyati Natakusumah.

    “Termasuk dalam program sekolah gratis, jadi PKS sebagai partai pendukung utama Andra Soni dan Dimyati tetap konsisten dan komitmen untuk mendukung dan menyukseskan program Gubernur dan Wakil Gubernur,” ujarnya.

    Menurut Gembong, Budi siap menerima konsekuensi dari tindakan tersebut. Gembong mengucap terima kasih kepada masyarakat yang telah memberi perhatian.

    “Kami ingin berterima kasih juga atas perhatian dari masyarakat yang begitu memberikan perhatian,” ujarnya.

    Kemendikdasmen Tegaskan Tak Ada Jalur Rekomendasi

    Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng

    Wakil Menteri Dikdasmen Fajar Riza Ul Haq menanggapi viral memo titip siswa dalam seleksi SPMB salah satu SMA Negeri di Kota Cilegon, Banten oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten, Budi Prajogo. Fajar menegaskan SPMB tidak ada jalur rekomendasi.

    “Ya memang peraturannya begitu (tidak boleh mengirim surat rekomendasi). Jalurnya hanya 4, domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi. Tidak ada jalur rekomendasi,” kata Fajar kepada wartawan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (30/6).

    Fajar mengatakan mengikuti pemberitaan tersebut. Dia menekankan SPMB hanya ada empat jalur yaitu domisili, afirmasi, prestasi dan mutasi.

    “Saya mengikuti pemberitaan tersebut, kan beliau juga sudah minta maaf ya. Jadi secara umum kalau kita lihat evaluasi, per hari ini itu tidak ada masalah yang serius sebenarnya,” ucapnya.

    Dia juga mendengar isu jual beli kursi SPMB di Bandung. Namun setelah dilakukan pengecekan hal itu tidak benar.

    “Mungkin rumor itu berkembang sebagai tanda pengingat supaya orang lebih aware, lebih waspada tidak melakukan tindakan itu. Dan saya sudah ngecek ke beberapa daerah, alhamdulillah sih tidak ada kendala yang berarti dan banyak sekolah yang sudah selesai mengumumkan SPMB-nya tinggal masalah daftar ulang,” terangnya.

    Halaman 2 dari 3

    (wnv/wnv)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Putusan MK berpotensi buat sistem ketatanegaraan porak-poranda

    Putusan MK berpotensi buat sistem ketatanegaraan porak-poranda

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    NasDem: Putusan MK berpotensi buat sistem ketatanegaraan porak-poranda
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 01 Juli 2025 – 21:55 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua Umum Partai NasDem sekaligus Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa mengemukakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal berpotensi membuat sistem ketatanegaraan menjadi porak-poranda karena bertentangan dengan konstitusi.

    “Itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda,” kata Saan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

    Untuk itu, Saan mengatakan Partai NasDem menghendaki agar MK konsisten dengan putusan-putusannya terdahulu terkait desain sistem pemilu di Indonesia sebab putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding).

    “Mereka kan sudah memutuskan tahun 2019 yang mengatur keserentakan pemilu, di mana presiden, wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, kabupaten dan kota dengan lima kotak. Itu kan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri,” ujarnya.

    “Bahkan ketika itu digugat lagi, Mahkamah Konstitusi juga tidak mengabulkan, malah memberikan opsi. Termasuk, di dalamnya opsi keserentakan pemilu yang dilakukan di 2019. Kami ingin konsistensi terkait dengan soal itu,” katanya menambahkan.

    Saan menegaskan kembali sikap DPP Partai NasDem terhadap putusan MK yang disampaikan ke publik pada Senin (30/6) malam, bahwa putusan MK apabila dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.

    Dia menjelaskan Pasal 22-E Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kemudian, dijelaskan pemilu diselenggarakan untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.

    Dengan demikian, ketika setelah lima tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.

    “Jadi, kalau misalnya MK mau memisahkan (pemilu nasional dan lokal) ya, dia harus mengubah Undang-Undang Dasar itu tadi. Nah, kalau dia tidak mendasar pada itu, apa yang dikatakan NasDem itu sesuatu yang inkonstitusional dan NasDem berkomitmen untuk menjaga Undang-Undang Dasar,” ucapnya.

    Sebelumnya, pada Kamis (26/6), Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Sumber : Antara

  • Sikap Demokrat Soal Putusan MK Pisah Jadwal Pemilu

    Sikap Demokrat Soal Putusan MK Pisah Jadwal Pemilu

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Demokrat, Dede Yusuf menyampaikan partainya sampai saat ini siap dengan segala opsi yang ada untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan jadwal pemilu.

    Meski begitu, Dede mengaku dirinya masih belum boleh membeberkan opsi-opsi apa saja yang dirinya maksud karena ini berkaitan dengan strategi partainya.

    “Kalau Partai Demokrat sampai saat ini, kita harus siap dengan segala opsi. Jadi jika opsi ini memang harus dijalankan, maka langkah yang harus dilakukan adalah plan 1, 2, 3-nya sudah ada,” bebernya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

    Namun demikian, lanjutnya, partainya juga masih membuka peluang opsi lainnya. Terlebih, saat ini Demokrat masih menunggu pertemuan antar partai di DPR, yang juga sudah dikonfirmasi oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani.

    “Jadi kita dalam posisi bukan soal menolak atau tidak menolak, tapi sekarang kita adalah, jika ini, maka kita dilakukan. Itu jika kita bicara Partai Demokrat,” tegasnya.

    Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan semua partai politik akan berkumpul untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal keserentakan pemilu.

    Puan menuturkan bahwa seluruh partai politik di DPR perlu mencermati putusan MK tersebut. Pasalnya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan pemilu itu digelar atau dilaksanakan dalam 5 tahun sekali.

    “Jadi kita semua partai akan berkumpul setelah kemarin mendengarkan masukan dari pemerintah dan wakil dari masyarakat, dan nanti DPR yang mewakili dari partai politik melalui fraksi-fraksinya tentu saja sikap dari partainya sendiri menjadi satu hal, menjadi suara dari kami partai politik,” katanya.

    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengubah skema waktu pelaksanaan Pemilu menjadi dua tahap: Pertama, Pemilu Serentak Nasional yaitu Presiden, DPR, dan DPD tetap dilaksanakan pada tahun 2029.  

    Kedua, Pemilu Daerah Pilkada dan Pemilihan Anggota DPRD digeser dua tahun kemudian pada tahun 2031, dan disatukan pelaksanaannya.

  • Anggota DPR RI jadi pembicara kunci ANTARA “goes to campus”

    Anggota DPR RI jadi pembicara kunci ANTARA “goes to campus”

    Sukabumi, Jawa Barat (ANTARA) – Anggota Komisi VII DPR RI Iman Adinugraha menjadi pembicara kunci pada kegiatan Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA “goes to campus” yang diikuti sekitar 120 mahasiswa Universitas Nusa Putra, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa.

    Antara goes to campus juga berisi kuliah umum literasi media bertajuk “Peran Media Dalam Membangun Peradaban Bangsa Di Era Digital” yang disampaikan oleh Redaktur Pelaksana Direktorat Pemberitaan Perum LKBN ANTARA Teguh Priyanto.

    Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Barat IV (meliputi Kota dan Kabupaten Sukabumi) itu menuturkan peran media dalam membangun peradaban bangsa di era digital sangat strategis.

    Media sebagai pilar peradaban bangsa, berperan sebagai agen literasi dan Pendidikan. “Media ini sangat penting. Media membantu kita menerima informasi aktif tetapi juga bisa menganalisis, mengevaluasi kebenaran sumber informasi,” katanya.

    Dengan media, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, termasuk dari kalangan mahasiswa. “Mahasiswa juga dapat mengkritisi kiprah DPR RI hingga DPRD di daerah,” kata Iman Adinugraha yang juga Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Sukabumi.

    Media juga bisa menjadi sarana untuk menangkal hoaks, misinformasi, dan disinformasi. “Ini, kan, luar biasa sekarang ini,” kata Wakil Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat ini.

    Sementara itu Teguh Priyanto menyampaikan materi berjudul “Media Massa & Peradaban Bangsa”. Diawali dengan pertanyaan, peradaban bangsa macam apa yang hendak kita bangun?

    Disampaikan bahwa panggilan media untuk membangun peradaban bangsa, dilakukan dengan mengawal jurnalisme Indonesia, menjadi duta informasi bangsa, dan mengawal narasi kebangsaan.

    Posisi atau titik berdiri media massa sebagai penjaga peradaban bangsa, adalah dengan mengembangkan jurnalisme positif. Jurnalisme positif dilakukan dengan membangkitkan optimisme, menginspirasi, dan membangun; mendidik, mencerahkan, memberdayakan masyarakat; menjaga ketenteraman dan kedamaian masyarakat.

    Selain itu juga merajut kebangsaan, dengan menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menjaga dan merawat kebinekaan; serta menangkal sentimen suku, agama ras, dan antargolongan (SARA) dan radikalisme.

    Selanjutnya, menjaga keindonesiaan, dengan melestarikan budaya dan kearifan lokal, mengangkat potensi ekonomi bangsa, mengangkat pembangunan dan pendidikan SDM unggul, dan mengangkat inovasi dan kreativitas anak bangsa.

    Direktur University Office CSA Teddy Lesmana menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada ANTARA atas kegiatan tersebut sehingga dapat memberikan pencerahan kepada para mahasiswa.

    Ia mengatakan ANTARA merupakan media terpercaya dan kredibilitasnya diakui dengan kekuatan wartawan yang tersebar di negeri ini.

    ANTARA “goes to campus” di Universitas Nusa Putra itu merupakan kegiatan pada hari kedua program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) dari Perum LKBN ANTARA setelah pada Senin (30/6) memberikan pelatihan peningkatan kompetensi jurnalistik Teknik Dasar Penulisan Berita Standar Kantor Berita di kampus Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), yang diikuti para mahasiswa UMMI dan dari Universitas Nusa Putra.

    Pewarta: Budi Setiawanto
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemerintah Akan Minta Petunjuk Prabowo soal Putusan MK tentang Pemilu

    Pemerintah Akan Minta Petunjuk Prabowo soal Putusan MK tentang Pemilu

    Pemerintah Akan Minta Petunjuk Prabowo soal Putusan MK tentang Pemilu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintah sedang melakukan kajian untuk menganalisis hasil putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal untuk kemudian dimintakan petunjuk dari Presiden Prabowo.
    “Tentunya nanti beri kami waktu, kami akan minta petunjuk dari Bapak Presiden kalau hasil analisis dari kementerian sudah selesai. Pada waktunya nanti pasti akan kami sampaikan,” kata
    Menteri Sekretaris Negara
    ,
    Prasetyo Hadi
    , di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
    Prasetyo mengatakan bahwa pemerintah telah membentuk tim yang terdiri dari berbagai kementerian terkait, di antaranya Kementerian Hukum serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk mendalami putusan itu.
    Sebab, menurut Prasetyo, putusan itu membawa implikasi yang memang harus dipikirkan dan dianalisis secara matang.
    “Jadi kami, saya Kemensesneg kemudian Kemendagri selama ini yang memang membawahi masalah kepemiluan, ya, kemudian dengan teman-teman di Kementerian Hukum,” ujar Prasetyo.
    “Kami membuat satu tim untuk mengkaji sebuah putusan Mahkamah Konstitusi yang baru kemarin itu,” sambung Juru Bicara Prabowo Subianto.
    Meski begitu, Prasetyo menegaskan bahwa pemerintah tetap menghormati keputusan MK tersebut.
    “Tapi yang pasti secara kelembagaan kita menghormati keputusan dari MK,” tegasnya.
    Lebih jauh, Prasetyo menegaskan bahwa pemerintah sebetulnya sedang fokus bekerja menjalankan program pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto.
    Akan tetapi, ia tetap menghormati hasil putusan MK soal
    pemisahan pemilu
    tersebut.
    “Tentu kita mau fokus untuk bekerja dulu nih, sebenarnya, bahwa sebuah apa namanya pemilu sebagai sistem terhadap demokrasi kita, ya, kita paham. Tapi ini baru 7 bulan, 8 bulan pemerintahan kita sedang semangat-semangatnya ini untuk bekerja,” tambahnya.
    MK baru-baru ini mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang berujung pada pemisahan antara pemilu nasional (presiden dan DPR) dengan pemilu daerah (gubernur, bupati/wali kota, dan DPRD).
    MK memutuskan memisah pemilu nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
    Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    MK dalam pertimbangannya menjelaskan bahwa persoalan daerah cenderung tenggelam jika pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten/kota digabung dengan pemilihan nasional yang memilih presiden-wakil presiden dan DPR.
    Hal ini disebabkan oleh partai politik, kontestan, hingga pemilih yang lebih fokus terhadap pemilihan presiden dan anggota DPR.
    “Masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan MK.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPRD Bandung Barat Lili Suhaeli Meninggal Saat Haji, Dimakamkan di Tanah Suci
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        1 Juli 2025

    Anggota DPRD Bandung Barat Lili Suhaeli Meninggal Saat Haji, Dimakamkan di Tanah Suci Bandung 1 Juli 2025

    Anggota DPRD Bandung Barat Lili Suhaeli Meninggal Saat Haji, Dimakamkan di Tanah Suci
    Tim Redaksi
    BANDUNG BARAT, KOMPAS.com
    – Anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat (KBB),
    Lili Suhaeli
    , meninggal dunia saat menjalankan
    ibadah haji
    di Madinah, Arab Saudi, Selasa (1/7/2025) pukul 03.00 waktu setempat.
    Lili dinyatakan meninggal dunia setelah sempat dirawat selama dua hari di Rumah Sakit King Fahd akibat penyakit jantung yang sudah lama dideritanya.
    Lili yang tergabung dalam Kloter JKS-54 merupakan perwakilan Fraksi Partai Golkar di
    DPRD Bandung Barat
    dan sedang menunaikan ibadah haji bersama rombongan jemaah asal Kabupaten Bandung Barat.
    Kabar duka ini dikonfirmasi langsung oleh Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bandung Barat, Tedi Ahmad Junaedi, yang menyatakan almarhum wafat dalam kondisi sudah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah wajib.
    “Telah berpulang ke rahmatullah Bapak H. Lili Suhaeli di Rumah Sakit King Fahd Madinah pada pukul 03.00 WAS,” ujar Tedi saat dikonfirmasi, Selasa (1/7/2025).
    Tedi menjelaskan bahwa kondisi kesehatan Lili mulai menurun sejak dua hari sebelumnya hingga akhirnya harus dirawat secara intensif oleh tim medis di rumah sakit tersebut.
    “Informasi dari petugas haji menyebutkan beliau sudah sekitar dua hari menjalani perawatan sebelum akhirnya wafat dan dimakamkan di sana,” ungkap Tedi.
    Ia memastikan bahwa seluruh rukun dan wajib haji yang harus dijalani almarhum telah ditunaikan dengan sempurna sebelum yang bersangkutan jatuh sakit.
    “Beliau sudah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji dan tinggal menunggu jadwal kepulangan ke Tanah Air yang rencananya akan berlangsung pada 7 Juli nanti,” kata Tedi menambahkan.
    Kepulangan jemaah haji asal Kabupaten Bandung Barat, termasuk Kloter JKS-54, memang dijadwalkan pada gelombang terakhir sehingga Lili seharusnya kembali ke Indonesia dalam waktu kurang dari sepekan.
    Kemenag Bandung Barat
    menyampaikan dukacita mendalam dan berharap almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan setelah wafat dalam keadaan suci di Tanah Haram.
    “Kami turut berdukacita atas meninggalnya Pak Lili, semoga almarhum husnul khotimah dan seluruh amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT,” ucap Tedi.
    Sementara itu, Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Bandung Barat, Dadan Supardan, menyebut kabar kepergian Lili merupakan pukulan berat bagi keluarga besar partai berlambang pohon beringin tersebut.
    “Kami sudah bertakziah ke kediaman almarhum di Desa Tanimulya, Kecamatan Ngamprah, dan tentu saja kabar ini menjadi duka mendalam bagi kami semua,” kata Dadan.
    Menurut Dadan, Lili yang baru menjabat sebagai anggota DPRD untuk periode pertamanya dikenal sebagai sosok yang gigih, meski harus menjalani aktivitas politik di tengah kondisi kesehatan yang tidak selalu stabil.
    “Beliau memang memiliki riwayat penyakit jantung dan rutin melakukan pengobatan, tapi semangatnya dalam mewakili aspirasi masyarakat tidak pernah surut,” ujar Dadan.
    Ia berharap semangat pengabdian Lili Suhaeli yang wafat saat menunaikan rukun Islam kelima dapat menjadi inspirasi sekaligus diteruskan oleh para kader Golkar di parlemen Bandung Barat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • NasDem: Putusan MK berpotensi buat sistem ketatanegaraan porak-poranda

    NasDem: Putusan MK berpotensi buat sistem ketatanegaraan porak-poranda

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Umum Partai NasDem sekaligus Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa mengemukakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal berpotensi membuat sistem ketatanegaraan menjadi porak-poranda karena bertentangan dengan konstitusi.

    “Itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda,” kata Saan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

    Untuk itu, Saan mengatakan Partai NasDem menghendaki agar MK konsisten dengan putusan-putusannya terdahulu terkait desain sistem pemilu di Indonesia sebab putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding).

    “Mereka kan sudah memutuskan tahun 2019 yang mengatur keserentakan pemilu, di mana presiden, wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, kabupaten dan kota dengan lima kotak. Itu kan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri,” ujarnya.

    “Bahkan ketika itu digugat lagi, Mahkamah Konstitusi juga tidak mengabulkan, malah memberikan opsi. Termasuk, di dalamnya opsi keserentakan pemilu yang dilakukan di 2019. Kami ingin konsistensi terkait dengan soal itu,” katanya menambahkan.

    Saan menegaskan kembali sikap DPP Partai NasDem terhadap putusan MK yang disampaikan ke publik pada Senin (30/6) malam, bahwa putusan MK apabila dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.

    Dia menjelaskan Pasal 22-E Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kemudian, dijelaskan pemilu diselenggarakan untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.

    Dengan demikian, ketika setelah lima tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.

    “Jadi, kalau misalnya MK mau memisahkan (pemilu nasional dan lokal) ya, dia harus mengubah Undang-Undang Dasar itu tadi. Nah, kalau dia tidak mendasar pada itu, apa yang dikatakan NasDem itu sesuatu yang inkonstitusional dan NasDem berkomitmen untuk menjaga Undang-Undang Dasar,” ucapnya.

    Sebelumnya, pada Kamis (26/6), Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Waketum Golkar pertanyakan keserentakan program pusat-daerah imbas putusan MK

    Waketum Golkar pertanyakan keserentakan program pusat-daerah imbas putusan MK

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mempertanyakan jalannya keserentakan program pemerintah pusat dengan pemerintah daerah apabila pelaksanaan pemilu nasional dan lokal dipisahkan sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.

    Sebab, kata dia, program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang saat ini telah berjalan selama hampir satu tahun saja masih belum merata hingga ke seluruh daerah.

    “Kita bisa bayangkan bagaimana seandainya itu terpisah (pelaksanaan pemilu nasional dan lokal) sampai dua tahun setengah, ya kan? Program presiden ini yang baru sekarang setahun aja kan masih belum merata. Kalau dua tahun setengah, kapan itu program presiden bisa berjalan?” kata Adies di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

    Adies merasa skeptis program pusat dapat diterapkan secara utuh hingga ke daerah bila pelaksanaan pemilu nasional dan lokal dipisah.

    “Apakah program presiden yang dicanangkan dalam lima tahun bisa diterapkan dalam waktu dua tahun setengah?” tuturnya.

    Ia lantas berkata, “Padahal ini kan harus sinergi, ya kan? Indonesia kan negara kesatuan. Jadi, memang harus semua terpusat dari atas sampai ke daerah supaya pembangunan itu merata.”

    Bahkan, Adies menyebut putusan MK tersebut memicu perdebatan publik, salah satunya karena penormaan jeda waktu untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal yang dianggap di luar kewenangannya.

    “Mungkin dari sisi MK, mereka di sana merasa putusannya sudah benar, sudah sesuai dengan konstitusi dan lain-lain sebagainya, tapi kan ada juga pihak-pihak yang menyatakan itu di luar kewenangannya atau di luar konstitusi dan lain-lain,” tuturnya.

    Ia juga mempertanyakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat (final and binding) apabila putusan gugatan uji materi terkait persoalan serupa terus berubah dengan keluarnya putusan baru.

    “Karena putusan yang pendapat rata-rata orang ya final dan mengikat, ini kan di mana final mengikatnya? Karena selalu berubah-berubah. Apakah berubah kalau ketua MK-nya atau hakimnya ganti, putusannya berubah lagi? Atau rezimnya ganti?” paparnya.

    Untuk itu, Adies menegaskan Fraksi Partai Golkar di DPR RI saat ini sedang melakukan kajian terhadap putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal beserta implikasi dan dampak lainnya.

    “Makanya kita tidak bisa juga menyalahkan pihak Mahkamah Konstitusi dengan segala dalil-dalilnya, dengan segala keputusannya, tetapi Partai Golkar itu akan mempelajari dan mencermati putusan ini, baik itu dampaknya terhadap partai politik, kemudian dampaknya terhadap pemerintahan ke depan, implikasinya seperti apa,” ucapnya.

    Sebelumnya, pada Kamis (26/6), Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Puan: Semua Parpol di DPR Akan Kumpul Bahas Putusan MK soal Pemisahan Pemilu

    Puan: Semua Parpol di DPR Akan Kumpul Bahas Putusan MK soal Pemisahan Pemilu

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan semua partai politik akan berkumpul untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal keserentakan pemilu.

    Puan menuturkan bahwa seluruh partai politik di DPR perlu mencermati putusan MK tersebut. Pasalnya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan pemilu itu digelar atau dilaksanakan dalam 5 tahun sekali.

    “Karenanya emang ini perlu dicermati oleh seluruh partai politik, imbas atau efek dari keputusan MK tersebut,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

    Maka dari itu, lanjutnya, semua partai politik atau fraksi di DPR akan duduk bersama guna menentukan sikap DPR terkait putusan MK tersebut. 

    “Jadi kita semua partai akan berkumpul setelah kemarin mendengarkan masukan dari pemerintah dan wakil dari masyarakat, dan nanti DPR yang mewakili dari partai politik melalui fraksi-fraksinya tentu saja sikap dari partainya sendiri menjadi satu hal, menjadi suara dari kami partai politik,” katanya.

    Senada, Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal juga mengatakan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) belum bisa menyikapi pasti putusan MK itu. Ini karena partainya akan menunggu perkumpulan partai di DPR terlebih dahulu.

    “Kalau PKB, kita nunggu nanti kan pasti partai-partai akan ngumpul ya, sehingga kita, itu saja seperti yang sampaikan Mbak Puan,” katanya di tempat yang sama.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengubah skema waktu pelaksanaan Pemilu menjadi dua tahap: Pertama, Pemilu Serentak Nasional yaitu Presiden, DPR, dan DPD tetap dilaksanakan pada tahun 2029.  

    Kedua, Pemilu Daerah Pilkada dan Pemilihan Anggota DPRD digeser dua tahun kemudian pada tahun 2031, dan disatukan pelaksanaannya.