Kementrian Lembaga: DPRD

  • Mahfud MD: Putusan MK Soal Pemilu Harus Dikaji Ulang

    Mahfud MD: Putusan MK Soal Pemilu Harus Dikaji Ulang

    Surabaya, Beritasatu.com – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan pilkada perlu dikaji ulang secara mendalam.

    Menurut Mahfud, keputusan tersebut berpotensi menciptakan krisis konstitusional dan menghadirkan ketidakpastian hukum, terutama dalam tata kelola pemerintahan daerah.

    Salah satu titik rawan yang ia soroti adalah kekosongan jabatan legislatif di daerah jika pemilu legislatif dan pilkada tidak lagi diselenggarakan serentak.

    “Kritik terhadap MK itu sudah banyak sejak dahulu. Jadi, saya kira bagus untuk perkembangan MK ke depan. Setiap kritik itu ditampung lalu dicarikan solusi ilmiahnya,” ujar Mahfud MD saat ditemui di Universitas dr Soetomo Surabaya, Jumat (4/7/2025).

    Ia menggarisbawahi bahwa apabila pemilu ditunda atau jadwalnya tidak beriringan, masa jabatan anggota DPRD bisa berakhir tanpa pengganti.

    Hal ini menjadi persoalan konstitusional karena tidak seperti kepala daerah yang dapat digantikan oleh penjabat sementara, DPRD tidak boleh diisi oleh pelaksana tugas (plt) atau penjabat.

    “Kalau pemilunya ditunda, padahal masa jabatan DPRD itu tidak boleh kosong. DPRD tidak boleh diisi plt. Kalau bupati atau gubernur bisa penjabat, tapi DPRD bagaimana? Itu saya juga belum tahu apa solusinya dari MK,” lanjut Mahfud.

    Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengubah desain keserentakan pemilu, menurut Mahfud MD, menimbulkan konsekuensi teknis dan hukum yang harus diperhitungkan matang.

    Pemisahan antara pemilu nasional dan pilkada dapat mengganggu kesinambungan pemerintahan daerah jika tidak disertai solusi hukum yang jelas.

    Oleh karena itu, dia menegaskan pentingnya pengkajian ulang terhadap putusan MK tersebut, dengan melibatkan pendekatan ilmiah dan konstitusional yang menyeluruh.

    Mahfud MD berharap MK terbuka terhadap kritik yang konstruktif demi menjaga stabilitas demokrasi di Indonesia.

  • PKS: Ketidakkonsistenan Putusan Perlemah Posisi Hukum MK

    PKS: Ketidakkonsistenan Putusan Perlemah Posisi Hukum MK

    PKS: Ketidakkonsistenan Putusan Perlemah Posisi Hukum MK
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Badan Legislasi DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Zainudin Paru menilai
    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) tidak konsisten ketika memutus memisahkan pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah.
    Pasalnya, MK telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020. Dalam putusan tersebut, MK mengusulkan enam model keserentakan pemilu kepada pembentuk undang-undang.
    Namun, MK justru kembali mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan
    pemilu nasional
    dan daerah.
    “Putusan ini seharusnya masuk dalam ranah manajemen pemilu, bukan konstitusionalitas. Ketidakkonsistenan ini semakin memperlemah posisi hukum MK, apalagi dalam putusan sebelumnya No. 55/PUU-XX/2022,
    Pilkada
    disamakan dengan
    Pemilu
    ,” ujar Zainudin lewat keterangan tertulisnya, Kamis (3/7/2025).
    Ia menilai, MK lewat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 melangkah terlalu jauh dan dan mengambil peran pembentuk undang-undang.
    “MK seolah-olah mengambil alih peran pembentuk UUD, padahal ranah itu bukan kewenangannya. Ini menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita,” ujar Zainudin.
    Di samping itu, memisahkan pemilu nasional dan daerah berdampak terhadap masa jabatan anggota DPRD di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
    Tegasnya, perpanjangan masa jabatan DPRD tidaklah sesuai konstitusi. Sebab, keterpilihan anggota DPRD adalah hasil dari pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
    “Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa Pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional. Hal ini melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, baik dari sisi waktu maupun subjek lembaga yang diatur,” ujar Zainudin.
    Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Dalam pertimbangan hukum, MK mengusulkan agar pemilihan legislatif (Pileg) DPRD yang bersamaan dengan
    pilkada
    digelar paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahfud MD: Putusan MK Soal Pemilu Harus Dikaji Ulang

    Mahfud MD Soroti Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional

    Surabaya, Beritasatu.com – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dengan Pilkada.

    Mahfud menilai, keputusan ini berpotensi menimbulkan krisis konstitusional dan ketidakpastian hukum, terutama dalam pengelolaan pemerintahan daerah.

    Dalam sebuah acara di Universitas dr Soetomo Surabaya, Mahfud menyampaikan, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 patut dikaji ulang secara mendalam.

    Ia mengingatkan kebijakan memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional, yakni pemilihan presiden, DPR, dan DPD dengan Pilkada bisa menimbulkan persoalan struktural yang serius.

    “Kritik terhadap MK itu sudah banyak sejak dahulu. Jadi, saya kira bagus untuk perkembangan MK ke depan. Setiap kritik itu ditampung lalu dicarikan solusi ilmiahnya,” ujar Mahfud MD, Jumat (4/7/2025).

    Salah satu persoalan paling krusial, menurut Mahfud, adalah soal kekosongan jabatan anggota DPRD.

    Dalam sistem pemerintahan, tidak diperbolehkan adanya kekosongan posisi legislatif di daerah, dan juga tidak ada ketentuan tentang penunjukan penjabat atau pelaksana tugas (Plt) untuk DPRD.

    Hal ini berbeda dengan kepala daerah, seperti bupati atau gubernur yang bisa diisi oleh penjabat.

    “Kalau pemilunya ditunda, padahal masa jabatan DPRD itu tidak boleh kosong. DPRD tidak boleh diisi plt. Kalau bupati atau gubernur bisa penjabat, tapi DPRD bagaimana? Itu saya juga belum tahu apa solusinya dari MK,” tegas Mahfud.

    Pemisahan pemilu nasional dan Pilkada memang telah menjadi perdebatan sejak beberapa tahun terakhir. MK, dalam putusan barunya menilai bahwa penyelenggaraan pemilu serentak justru menyulitkan pemilih dan penyelenggara, serta mengaburkan akuntabilitas politik.

    Namun, Mahfud MD berpandangan solusi yang ditawarkan MK justru membuka masalah baru dalam tatanan hukum dan politik lokal.

    Atas dasar itu, Mahfud MD mendesak agar putusan MK soal pemisahan pemilu nasional ini dikaji kembali secara ilmiah dan konstitusional guna memastikan tidak ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keberlangsungan pemerintahan.

    Dia menyoroti putusan MK bukan sebagai bentuk penolakan mutlak, melainkan sebagai ajakan berdiskusi secara terbuka dan akademis demi kematangan sistem politik nasional.

    Mahfud MD juga berharap MK membuka ruang dialog dengan publik dan pakar hukum tata negara untuk mencari jalan tengah atas polemik ini.

  • Ribut Tolak Dedi Mulyadi Tambah Rombel SMA, DPRD Jabar Minta Swasta Tak Hanya Protes
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        4 Juli 2025

    Ribut Tolak Dedi Mulyadi Tambah Rombel SMA, DPRD Jabar Minta Swasta Tak Hanya Protes Bandung 4 Juli 2025

    Ribut Tolak Dedi Mulyadi Tambah Rombel SMA, DPRD Jabar Minta Swasta Tak Hanya Protes
    Editor
    BANDUNG, KOMPAS.com
    — Gubernur
    Jawa Barat

    Dedi Mulyadi
    menyatakan, Pemerintah Provinsi Jabar berencana akan menambah jumlah rombongan belajar (rombel) di
    SMA
    dan SMK negeri dari semula 36 siswa menjadi 50 siswa per kelas.
    Kebijakan ini diamini anggota Komisi V
    DPRD Jabar
    , Hasbullah Rahmad. Bahkan ia meminta Forum Kepala Sekolah SMA (FKSS) Jabar fokus pada peningkatan layanan ketimbang rebut mempermasalahkan penambahan rombel.
    “Kalau sekolahnya bagus, kan orang datang. Walaupun di pinggir gunung, misalnya, orang tetap akan datang,” ujar Hasbullah dikutip dari Tribun Jabar, Jumat (4/7/2025).
    Hasbullah juga mendorong
    sekolah swasta
    untuk introspeksi dan meningkatkan kualitas layanan agar tetap menarik minat masyarakat.
    “Lebih baik fokus ke peningkatan kualitas daripada mempersoalkan ini.
    Sekolah swasta
    sekarang harus introspeksi diri,” ujarnya.
    Menurut Hasbullah, sekolah swasta harus memiliki ciri khas dan kelebihan yang membedakannya dari
    sekolah negeri
    .
    “Misalnya ekstrakurikulernya bagus, siswa baru akan datang dengan sendirinya. Tapi kalau kualitasnya jauh, fasilitas tidak memadai, gurunya sedikit, ya orang enggak mau sekolah di situ,” katanya.
    Hasbullah menegaskan, penambahan rombel tidak akan menggerus jumlah siswa sekolah swasta mengingat populasi Jawa Barat yang hampir 50 juta jiwa.
    “Dengan jumlah sekolah negeri yang ada, belum bisa kita melayani pendidikan di Jawa Barat dan tidak mungkin itu akan diambil oleh sekolah negeri semua,” ucapnya.
    Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Purwanto mengatakan, penambahan rombel ini untuk memberikan layanan pendidikan yang maksimal.
    “Kami ingin memaksimalkan pelayanan, terlebih apabila anak-anak ingin ke sekolah negeri, harus dilayani,” kata Purwanto.
    Purwanto menjelaskan, daya tampung sekolah negeri di Jawa Barat saat ini hanya sekitar 329 ribu siswa. Sementara lulusan SMP mencapai lebih dari 700 ribu per tahun, sehingga sebagian besar siswa tetap akan masuk sekolah swasta.
    Purwanto juga menyampaikan bahwa sekolah swasta tetap memiliki peran penting untuk menampung lulusan SMP yang tidak tertampung di sekolah negeri.
    “Kan, daya tampung sekolah negeri tidak cukup, sehingga separuh lulusan SMP tetap masuk ke sekolah swasta,” pungkasnya.
    Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Soal Penambahan Jumlah Siswa, Anggota DPRD Jabar: Kalau Sekolahnya Bagus Pasti Orang akan Datang
     
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ditantang Dedi Mulyadi, Beranikah Farhan Bongkar Teras Cihampelas Warisan Ridwan Kamil?
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        4 Juli 2025

    Ditantang Dedi Mulyadi, Beranikah Farhan Bongkar Teras Cihampelas Warisan Ridwan Kamil? Bandung 4 Juli 2025

    Ditantang Dedi Mulyadi, Beranikah Farhan Bongkar Teras Cihampelas Warisan Ridwan Kamil?
    Editor
    KOMPAS.com –
    Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menantang Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, untuk menertibkan dan merapikan kembali Jalan Cihampelas.
    Menurut Dedi, pedestrian
    Teras Cihampelas
    justru membuat kawasan yang dulunya dikenal sebagai pusat jeans itu kini semrawut, macet, dan berbau tak sedap.
    “Pak Wali Kota harus merapikan Jalan Cihampelas karena jalannya menyempit dan bau
    haseum
    (asam),” kata Dedi saat bersama Farhan di Bandara Husein Sastranegara Bandung, Rabu (2/7/2025).
    Dedi juga menyinggung keberanian Farhan dalam menertibkan proyek bernilai Rp 48,5 miliar tersebut. Diketahui Teras Cihampelas dibangun saat Ridwan Kamil menjabat Wali Kota Bandung.
    “Pak Wali Kota ini saya lihat pemberani, tetapi ada sedikit takutnya,” ujarnya sambil tertawa.
    Menanggapi itu, Farhan menyatakan kesiapannya untuk melakukan penataan Jalan Cihampelas.
    “Siap, Pak Gubernur, sekarang lagi proses,” kata Farhan.
    Namun, Farhan menegaskan bahwa pembongkaran Teras Cihampelas tak bisa dilakukan begitu saja.
     
    Ia menyebut ada proses administrasi, hukum, hingga perizinan yang panjang sebelum keputusan itu bisa diambil.
    “Sambil menunggu usulan-usulan lainnya, karena saya mesti bicara dengan DPRD, saya mesti bicara dengan Badan Keuangan dan Aset Daerah,” ujarnya.
    Sembari proses berjalan, Farhan mengatakan Pemkot Bandung akan tetap melakukan perbaikan fasilitas dan pengamanan di area tersebut.
    Rencana pembongkaran Teras Cihampelas yang diusulkan Dedi Mulyadi justru ditolak oleh warga dan pedagang kaki lima yang berjualan di sana.
    “Buat apa dibongkar, sudah tanggung, mendingan ditata lagi saja biar lebih nyaman,” ujar Taufik Budi Santoso, warga Cimaung.
    Aan Suherman, pedagang nasi ayam goreng di teras 7, mengaku omzetnya bisa mencapai Rp 800.000 hingga Rp 1,5 juta per hari.
    Ia khawatir akan kehilangan pelanggan jika relokasi dilakukan.
    “Enggak perlu dibongkar, kalau dibongkar saya mau pindah ke mana?” tegasnya.
    Sementara Irahayu, bendahara koperasi paguyuban pedagang, berharap para pemimpin bisa lebih bijaksana.
    “Pak Dedi, Pak Farhan, tolonglah lebih bijaksana, kami dari awal pembangunan sudah berjuang dan bertahan di sini,” ujarnya.
    Menanggapi polemik ini, Ketua DPRD Kota Bandung, Asep Mulyadi, meminta Farhan berkonsultasi dengan ahli tata kota sebelum mengambil keputusan besar seperti pembongkaran infrastruktur senilai Rp 48,5 miliar tersebut.
    “Bandung ini banyak ahli tata kota dan planologi. Menurut saya, perlu ditanyakan dulu, baiknya ke depan seperti apa,” kata Asep.
    Ia mengingatkan bahwa proyek tersebut pasti dibangun dengan perencanaan matang di era Ridwan Kamil, dan sebaiknya dikaji ulang bukan langsung dibongkar.
    “Kita cari kesempurnaannya karena kesempurnaan itu akan lebih banyak manfaatnya,” tuturnya. 
    (Kontributor Bandung Putra Prima Perdana)
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DKI kemarin, rute baru Transjabodetabek hingga subsidi pangan murah

    DKI kemarin, rute baru Transjabodetabek hingga subsidi pangan murah

    Jakarta (ANTARA) –

    Sejumlah berita seputar DKI Jakarta yang terjadi pada Kamis (3/7), mulai dari Transjabodetabek rute Terminal Bekasi-Galunggung resmi diluncurkan hingga DKI siapkan 14 juta paket subsidi pangan murah.

    Berikut berita seputar DKI Jakarta yang masih menarik untuk dibaca kembali.

    1. Transjabodetabek rute Terminal Bekasi-Galunggung resmi diluncurkan

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) resmi meluncurkan rute baru Transjabodetabek Terminal Bekasi – Galunggung (Dukuh Atas).

    “Durasi perjalanannya satu jam. Satu jam sepuluh menit pada saat jam sibuk. Jadi, mudah-mudahan di luar itu bisa kita turunkan waktunya,” kata Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono saat dijumpai di Halte Transjakarta Galunggung, Jakarta Pusat, Kamis.

    Berita selengkapnya di sini

    2. DKI siapkan 14 juta paket subsidi pangan murah

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan sebanyak 14 juta paket subsidi pangan murah selama 2025 dan subsidi itu menjadi anggaran terbesar di Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta.

    “Anggaran dari KPKP yang paling banyak sebenarnya untuk subsidi pangan,” kata Kepala Dinas KPKP DKI Jakarta Hasudungan Sidabalok di Jakarta, Kamis.

    Berita selengkapnya di sini

    3. Kemacetan Jakarta menurun

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menyebut berdasarkan survei dari Tomtom, indeks tingkat kemacetan di Jakarta semakin menurun.

    Berdasarkan survei tersebut, Jakarta mengalami penurunan peringkat dari yang sebelumnya sebagai kota dengan peringkat nomor satu termacet se-Indonesia pada 2023 menjadi menjadi peringkat lima saat ini.

    Berita selengkapnya di sini

    4. Blok M Hub dikunjungi lebih dari 12 ribu orang pada akhir pekan

    Jakarta (ANTARA) – Kawasan Blok M Hub, Jakarta Selatan, yang kini dibuka selama 24 jam dikunjungi lebih dari 12 ribu orang pada akhir pekan.

    “Blok M Hub ini Sabtu-Minggu mungkin dikunjungi lebih dari 12 ribu orang. Sabtu-Minggu sekarang kalau di Blok M sangat terasa,” kata Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno di Balai Kota Jakarta, Kamis.

    Berita selengkapnya di sini

    5. Ranperda KTR akan tegas tapi tak mematikan UMKM

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Panitia Khusus Kawasan Tanpa Rokok (Pansus KTR) DPRD DKI Jakarta Farah Savira mengemukakan bahwa dari hasil pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, peraturan ini akan tegas tetapi tidak mematikan pelaku UMKM.

    “Pesan dari pak gubernur yang pertama, jika memungkinkan jual-beli produk rokok oleh pelaku UMKM, jangan mematikan UMKM di Jakarta,” kata Farah di Jakarta, Kamis.

    Berita selengkapnya di sini

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna

    Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna

    Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Menteri Dalam Negeri (
    Wamendagri
    )
    Bima Arya Sugiarto
    mengatakan, tidak ada pemilihan umum (pemilu) yang sempurna di dunia ini. Sehingga membutuhkan perubahan yang sistematis, bukan secara ekstrem.
    Hal tersebut disampaikannya dalam menyorot putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
    “Karena itu yang kita butuhkan adalah perbaikan yang sistematis dan melembaga, bukan sistem yang berubah-ubah secara ekstrem setiap pemilu. Karena tidak ada sistem pemilu yang sempurna di dunia ini,” kata Bima dalam pesan singkat kepada Kompas.com, Kamis (3/7/2025).
    Ia juga menyorot
    kewenangan MK
    yang sering menyerobot ranah DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.
    Menurutnya, perlu ada penelaahan mendasar kembali ihwal posisi ketatanegaraan MK.
    “Sejauh mana kewenangan MK dalam konteks pembentukan Undang-Undang di Indonesia yang demokratis dengan DPR dan pemerintah sebagai institusi utama,” ujar Bima.
    Kendati demikian, pemerintah akan mempelajari terlebih dahulu putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 secara detail dan teliti.
    Ungkapnya, revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dipastikannya masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2025.
    “Proses
    revisi UU Pemilu
    harus berlandaskan dan ditujukan untuk menjalankan UUD 1945. Materi keputusan MK akan menjadi materi yang didiskusikan, dikaji ulang, dan diselaraskan dengan tujuan UUD 1945,” ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
    Anggota
    Komisi II
    DPR Muhammad Khozin menilai MK telah mencampuri kewenangan pembentuk undang-undang terkait putusan memisahkan pemilu nasional dengan daerah.
    Sebab, ia menilai bahwa penentuan model keserentakan pemilu merupakan ranah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
    “Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk lompat pagar atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” ujar Khozin lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).
    Ia menjelaskan, MK telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020.
    Dalam putusan tersebut, MK mengusulkan enam model keserentakan pemilu kepada pembentuk undang-undang.
    Khozin menegaskan, MK seharusnya menunggu pembentuk undang-undang menindaklanjuti putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 lewat revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
    Namun, MK justru mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang langsung menetapkan pemilu nasional hanya untuk memilih presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan pemilihan DPRD dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    “Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks,” ujar Khozin.
    Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kisruh Belasan Tahun Tak Kunjung Usai, Presiden Prabowo Diminta Turun Tangan Atasi Konflik Kelenteng Tuban

    Kisruh Belasan Tahun Tak Kunjung Usai, Presiden Prabowo Diminta Turun Tangan Atasi Konflik Kelenteng Tuban

    Liputan6.com, Tuban – Pengurus dan umat berharap Presiden Prabowo Subianto turun tangan untuk menyelesaikan kisruh kepengurusan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Kwan Sing Bio Tuban yang telah terjadi selama 13 tahun atau sejak 2012 silam. Langkah itu diambil lantaran konflik internal kembali memanas pasca adanya pemilihan pengurus dan penilik kelenteng pada awal bulan Juni 2025.

    “Aku laporkan ke Pak Presiden Prabowo Subianto. Mohon Bapak Presiden turun tangan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di Kelenteng Tuban,” kata Go Tjong Ping, Ketua Umum Terpilih TITD Kwan Sing Bio Tuban, Kamis (3/7/2025).

    Mantan Anggota DPRD Provinsi Jatim itu merasa prihatin atas polemik kepengurusan di internal TITD Kwan Sing Bio Tuban yang telah terjadi bertahun-tahun tak kunjung selesai. Kisruhnya berdampak terhadap legalitas kepengurusan kelenteng periode 2025-2028 yang diajukan ke Kementerian Agama tidak bisa turun.

    “Sangat disayangkan kelenteng terbesar se-Asia Tenggara ini, cari rekomendasi sangat sulit. Akibatnya, kepengurusan macet tidak dapat rekomendasi dari Kementerian Agama,” tegas Tjong Ping panggilan akrabnya.

    Tjong Ping menyebut sudah tiga kali permohonan legalitas kepengurusan kelenteng yang diajukan ke Kementerian Agama tidak bisa ditindaklanjuti karena masih terjadi sengketa internal. Kejadian pertama pada tahun 2013, 2019, dan kali ini masih terjadi lagi menjelang perayaan hari ulang tahun kelenteng pada 17 Juli 2025.

    “Semoga cepat sadar dan bertobat orang-orang yang buat susah terhadap Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban,” tambah Tjong Ping.

    Dia menuding macetnya kepengurusan selama 13 tahun ini dipicu oleh pihak-pihak yang tidak suka melihat kelenteng Tuban maju dan berkembang. Terbukti, ketika ada pemilihan pengurus yang baru selalu muncul penolakan dengan alasan melanggar aturan, padahal ini demi kebaikan bersama.

    “Semua ini demi kebaikan, dan tolong diingat hidup cuma sekali mengapa kok selalu bikin susah Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban. Selama 13 tahun tidak pernah punya kepengurusan karena selalu disomasi,” beber Tjong Ping.

     

  • DPRD Jakarta: Raperda Kawasan Tanpa Rokok Akan Tegas, tapi Tak Matikan UMKM – Page 3

    DPRD Jakarta: Raperda Kawasan Tanpa Rokok Akan Tegas, tapi Tak Matikan UMKM – Page 3

    Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Pertembakauan Indonesia (AMTI) bersama perwakilan pedagang kecil menyampaikan aspirasi kepada Ketua Pansus Ranperda KTR DPRD Jakarta agar peraturan daerah itu tidak membebani pedagang kecil.

    Ketua Umum AMTI I Ketut Budhyman mengatakan, pihaknya setuju dengan peraturan terkait perilaku merokok, tetapi bukan pelarangan total bagi ekosistem pertembakauan.

    “Jika pelarangan ini tetap menjadi usulan Pemprov DKI Jakarta maka hari ini dapat kami sampaikan bahwa kami tidak setuju dengan Ranperda KTR usulan Pemprov DKI Jakarta,” katanya di Jakarta, Rabu (11/5/2025), .

    Budhyman memaparkan terdapat beberapa pasal dalam Ranperda KTR yang berpotensi menimbulkan konsekuensi sosial dan ekonomi, utamanya di tingkatan pedagang tradisional, warung kelontong, peritel modern perhotelan, kafe, restoran hingga industri kreatif.

    Hal ini, kata dia, berakibat kepada berkurangnya serapan tenaga kerja serta meningkatkan ancaman rokok ilegal.

     

  • PDIP Masih Kaji Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah – Page 3

    PDIP Masih Kaji Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengatakan partainya masih mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    “Kita masih kaji hal tersebut, apakah kemudian ada hal yang dilanggar sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Karena pemilu sesuai dengan Undang-Undang Dasar sudah lima tahun sekali,” kata Puan Maharani kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/7/2025).

    “Semua partai kami juga pimpinan terdiri dari partai-partai politik masih mengkaji. Dan tentu saja karena keputusan ini memberikan efek kepada semua partai,” sambungnya.

    Partai pimpinan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri itu akan lebih dulu melakukan rapat koordinasi untuk menyikapi putusan MK tersebut.

    “Sebagai partai politik, kami nanti akan melakukan rapat koordinasi. Apakah itu secara formal ataupun secara informal untuk sama-sama berbicara, bersama untuk menyatakan pendapat kami. Bersama-sama terkait dengan putusan MK ini,” kata politikus PDIP itu.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.

    Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

    Secara lebih rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

    “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

    Mahkamah Konstitusi RI memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional dan daerah mulai 2029. MK menilai pemilu serentak membuat masyarakat jenuh dan tidak fokus.