Kementrian Lembaga: DPRD

  • Legislator minta Pemprov tambah CCTV di lokasi rawan kejahatan

    Legislator minta Pemprov tambah CCTV di lokasi rawan kejahatan

    Ilustrasi – Kamera pengawas atau \’closed circuit television\’ (CCTV) terpasang di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (23/1/2020). Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya akan menerapkan tilang elektronik atau \’electronic traffic law enforcement\’ (ETLE) untuk pengendara sepeda motor di sepanjang Jalan Sudirman – MH Thamrin dan jalur koridor 6 Trans-Jakarta Ragunan-Dukuh Atas mulai awal Februari 2020. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp)

    Legislator minta Pemprov tambah CCTV di lokasi rawan kejahatan
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Selasa, 05 Agustus 2025 – 07:19 WIB

    Elshinta.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI agar menambah kamera pengawas (CCTV) dan layanan internet gratis JakWifi, terutama di lokasi yang rawan kejahatan serta fasilitas umum.

    “Penambahan titik CCTV dan JakWifi harus dilakukan berdasarkan pemetaan kebutuhan aktual dan analisis tingkat kerawanan wilayah,” kata Anggota Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta Jupiter saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.

    Menurut dia, penting bagi Pemprov DKI untuk memetakan penambahan CCTV dan JakWifi dengan mengidentifikasi area prioritas, seperti area publik rawan kejahatan, persimpangan jalan, dan fasilitas umum. Beberapa area publik yang perlu ditambah CCTV, antara lain gang sempit, area parkir gelap, dan tempat umum lainnya yang dianggap rawan tindak kejahatan.

    Penambahan CCTV dan JakWifi tersebut, lanjut dia, bertujuan meningkatkan keamanan dan ketertiban, sesuai dengan rekomendasi Komisi A DPRD DKI Jakarta. Dia juga meminta Pemprov DKI agar segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja JakWifi, termasuk tingkat utilisasi serta dampak layanannya.

    Evaluasi itu dinilai penting untuk mengukur efektivitas dan efisiensi program tersebut bagi masyarakat, termasuk perubahan maupun perbaikan dalam implementasinya.

    “Titik-titik yang kurang produktif perlu direlokasi ke lokasi-lokasi yang lebih tepat,” kata dia.

    Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengatakan saat ini DKI memiliki 1.500 unit kamera pengawas atau CCTV yang tersebar di seluruh wilayah.

    “Sebenarnya, CCTV secara keseluruhan sudah ada 1.400, hari ini ditambah 100, jadi 1.500. Ditempatkan di tempat-tempat strategis, termasuk 12 taman yang baru dan taman yang kita buka 24 jam,” kata Pramono, Rabu (25/5).

    Sementara itu, dikutip dari laman resmi jakarta.go.id, layanan internet gratis atau JakWifi telah tersedia di sejumlah kota dan kabupaten, yakni, Jakarta Barat sebanyak 1.743 titik, Jakarta Pusat sebanyak 2.021 titik, Jakarta Selatan sebanyak 2.250 titik, Jakarta Timur sebanyak 1.074 titik, Jakarta Utara sebanyak 1.115 titik dan Kabupaten Kepulauan Seribu sebanyak 35 titik.

    Sumber : Antara

  • Komisi VII DPR minta izin wisata di Taman Nasional Komodo dikaji ulang

    Komisi VII DPR minta izin wisata di Taman Nasional Komodo dikaji ulang

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty meminta Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengkaji ulang pemberian Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

    Apalagi, sebut dia, sudah ada peringatan dari UNESCO terkait status warisan dunia Taman Nasional Komodo.

    Evita dalam keterangan di Jakarta, Selasa mendesak pembangunan infrastruktur di kawasan TNK dihentikan apabila tidak sejalan dengan prinsip konservasi, pembangunan pariwisata berkelanjutan, serta berpotensi merugikan masyarakat lokal.

    Hal itu disampaikan Evita menanggapi protes dari masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, DPRD setempat, dan berbagai pihak lainnya terhadap rencana pembangunan resort dengan 619 fasilitas wisata oleh PT Kencana Watu Lestari (PT KWT) di Pulau Padar serta perusahaan lain yang beroperasi di kawasan TNK.

    “Kita menyadari pentingnya dukungan infrastruktur pariwisata, terutama di destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun, jika pembangunan resort dan infrastruktur dilakukan secara masif di Pulau Padar, Pulau Rinca, dan pulau-pulau lain di dalam kawasan TNK, maka hal itu harus dihentikan apabila bertentangan dengan semangat konservasi,” ujarnya.

    Ia melanjutkan “Apalagi hal ini berpotensi merusak Outstanding Universal Value (OUV) TNK sebagaimana yang telah diingatkan oleh UNESCO. Bila ingin membangun, sebaiknya dilakukan di luar kawasan taman nasional”.

    Sebagai informasi, PT KWT memperoleh konsesi di Pulau Padar seluas 426,07 hektar berdasarkan SK No. 796/Menhut-II/2014. PT KWT sendiri disebut memiliki konsesi selama 55 tahun di kawasan tersebut.

    Sementara, PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) mendapat konsesi seluas 22,10 hektar di Loh Buaya, Pulau Rinca, melalui SK No. 7/1/IUPSWA/PMDN/2015.

    Pemberian izin tersebut dimungkinkan setelah terjadinya perubahan zonasi TNK pada tahun 2012, dari zona konservasi menjadi zona pemanfaatan yang diduga saat itu tidak dilaporkan kepada UNESCO. Undang-Undang di Indonesia memang memperbolehkan pembangunan di zona pemanfaatan, namun tidak berlaku untuk zona inti dan rimba.

    Adapun Taman Nasional Komodo telah ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak tahun 1991, jauh sebelum izin-izin usaha tersebut diberikan. Pada tahun 2021, UNESCO bahkan telah mengeluarkan peringatan kepada Pemerintah Indonesia terkait pembangunan yang terlalu masif di kawasan TNK.

    Menteri Kehutanan sebelumnya sempat mengeluarkan SK evaluasi terhadap izin IUPSWA melalui SK No.SK.01/MenLHK/Setjen/Kum.1/1/2022, namun izin-izin tersebut tampaknya tetap berjalan.

    “Mengkaji ulang izin-izin tersebut, termasuk perubahan zonasi sejak tahun 2012 adalah hal yang sangat wajar,” kata Evita.

    Jika perubahan zonasi tersebut terbukti mengganggu habitat komodo, lanjut Evita, maka sudah seharusnya dikembalikan ke zonasi sebelumnya, yakni dari zona pemanfaatan menjadi zona inti atau zona rimba.

    “Artinya, tidak boleh ada pembangunan resort atau fasilitas wisata dalam kawasan taman nasional, dan seluruh aktivitas semestinya diarahkan ke luar kawasan,” ucapnya.

    Evita mengingatkan bahwa hewan Komodo adalah satwa liar yang bergerak bebas tanpa mengenal batas zonasi. Jika pembangunan dilakukan secara masif di dalam kawasan, menurutnya, ruang hidup Komodo akan semakin terdesak karena peningkatan aktivitas manusia.

    “Oleh karena itu, penataan ruang harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh sembarangan diubah-ubah. Kita mendengar bahwa UNESCO sangat prihatin terhadap perubahan zonasi tahun 2012 tersebut,” ungkap Evita.

    Pimpinan Komisi Pariwisata DPR itu meminta TNK yang juga merupakan situs Warisan Dunia UNESCO untuk diperhatikan secara khusus. Evita mendorong pemerintah lebih serius mengurus keberlanjutan destinasi wisata Indonesia berkelas dunia tersebut.

    “Status taman nasional ini tidak bisa disamakan dengan taman nasional lain. Setiap proyek pembangunan harus dinilai secara menyeluruh dengan pendekatan analisis dampak dalam konteks situs warisan dunia,” ujarnya.

    Evita pun mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sebagaimana Pasal 33 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengubah keutuhan zona inti taman nasional.

    Sementara, dalam Pasal 35 disebutkan bahwa pemerintah berwenang menghentikan pemanfaatan dan bahkan menutup taman nasional jika dibutuhkan.

    “Kita juga mendorong adanya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi seluruh aktivitas yang berkaitan dengan taman nasional. UU Nomor 5 Tahun 1990 menegaskan bahwa konservasi adalah tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan masyarakat. Sayangnya, masyarakat justru seringkali tidak dilibatkan,” tuturnya.

    Evita juga meminta pemerintah melakukan audit independen terhadap seluruh proyek pariwisata yang sedang berjalan di TNK. Ia menekankan setiap proyek harus sejalan dengan standar perlindungan situs warisan dunia UNESCO.

    “Sekali lagi, saya minta agar suara UNESCO benar-benar diperhatikan. Jangan sampai status warisan dunia Komodo ini dicabut karena aktivitas bisnis yang mengancam kelestarian komodo serta nilai alam dan budaya kawasan ini,” ujar Evita.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RUU BUMD Jangan Melemahkan Otonomi Ekonomi Daerah

    RUU BUMD Jangan Melemahkan Otonomi Ekonomi Daerah

    Surabaya, Beritasatu.com – Anggota Komisi C DPRD Jawa Timur, Lilik Hendarwati, mengingatkan pemerintah agar penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak sampai melemahkan semangat otonomi dan kemandirian ekonomi daerah.

    Menurut Lilik, semangat utama dari regulasi tersebut seharusnya mendukung peran BUMD sebagai motor penggerak ekonomi lokal yang berbasis pada potensi dan kearifan masing-masing daerah, bukan justru menyeragamkan visi pembangunan secara nasional.

    “Yang harus diwaspadai adalah potensi sentralisasi kewenangan dan intervensi pusat terhadap kebijakan ekonomi daerah,” ujar Lilik sepeti dilansir Antara, Selasa (5/8/2025).

    Lilik mengingatkan, jika seluruh kebijakan BUMD dikendalikan dari pusat, hal itu bisa menghambat inovasi dan menurunkan daya saing antar daerah. “BUMD tidak bisa disamaratakan. Tiap daerah punya kekhasan. Justru BUMD harus menjadi instrumen inovasi dan penguatan ekonomi berbasis lokalitas,” tegasnya.

    Diketahui, pemerintah tengah menyiapkan draf RUU tentang BUMD untuk diajukan ke Komisi II DPR. Penyusunan regulasi ini dipicu oleh kondisi memprihatinkan di mana sekitar 70% dari total 1.571 BUMD di Indonesia dinyatakan tidak sehat. Padahal, total aset BUMD secara nasional mencapai lebih dari Rp 1.200 triliun.

    Permasalahan utama yang dihadapi BUMD saat ini antara lain lemahnya tata kelola, intervensi politik, serta penempatan manajemen yang tidak kompeten.

  • Penyaluran BSU di Purwakarta Disorot, Anggota DPRD Masuk Daftar Penerima
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        4 Agustus 2025

    Penyaluran BSU di Purwakarta Disorot, Anggota DPRD Masuk Daftar Penerima Bandung 4 Agustus 2025

    Penyaluran BSU di Purwakarta Disorot, Anggota DPRD Masuk Daftar Penerima
    Editor
    PURWAKARTA, KOMPAS.com
    – Penyaluran Bantuan Subsidi Upah (
    BSU
    ) di Kabupaten
    Purwakarta
    menuai sorotan setelah muncul dugaan bahwa sejumlah penerima tidak sesuai kriteria.
    Salah satunya, tercatat ada 35 anggota DPRD yang diduga masuk dalam daftar penerima bantuan, yang semestinya ditujukan bagi pekerja dengan penghasilan rendah.
    Kritik tersebut disampaikan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (PC SPAMK) FSPMI Purwakarta, Wahyu Hidayat. Ia menilai proses distribusi BSU belum optimal dan perlu evaluasi menyeluruh.
    “Kami meminta peninjauan ulang data penerima dengan mengajukan permintaan resmi ke BPJS Ketenagakerjaan atau Kemnaker untuk mempublikasikan daftar
    penerima BSU
    di Purwakarta (tanpa melanggar privasi), guna memastikan tidak ada penyalahgunaan, seperti kasus anggota DPRD,” kata Wahyu dikutip dari Tribun Jabar, Senin (4/8/2025).
    Wahyu menyebut, dugaan masuknya nama-nama anggota legislatif ke dalam daftar penerima mencerminkan adanya kekosongan dalam proses validasi data.
    Padahal, berdasarkan Permenaker Nomor 5 Tahun 2025, BSU seharusnya hanya diberikan kepada pekerja swasta, bukan aparatur negara seperti ASN, TNI, atau Polri.
    Namun, tidak ada ketentuan eksplisit yang menyebutkan anggota DPRD sebagai pihak yang dikecualikan. Hal ini membuka ruang interpretasi yang berbeda di publik.
    Salah satu
    anggota DPRD Purwakarta
    dari Fraksi Gerindra, Zusyef Gunawan, mengaku terkejut saat mengetahui namanya masuk dalam daftar penerima BSU.
    “Waduh enggak tahu itu, kok bisa ya terdaftar di BSU. BSU itu untuk yang berhak, saya harap ke depan jangan sampai terulang kembali,” ujar Zusyef.
    Sementara itu, Supervisor Enterprise Business Kantor Pos Purwakarta, Rani Destrianti Sari, menyampaikan bahwa hingga batas akhir pencairan awal pada Minggu (3/8/2025), masih ada 1.274 penerima yang belum mencairkan BSU, dengan total dana mencapai Rp764,4 juta.
    “Kami sudah mencoba berbagai upaya mulai dari penyebaran informasi di media sosial, koordinasi dengan RT/RW, hingga menyurati perusahaan melalui personalia, tapi pencairan belum maksimal,” ujar Rani.
    Pemerintah kemudian memutuskan untuk memperpanjang masa pencairan hingga Selasa (5/8/2025) demi mengoptimalkan penyaluran.
    16.951 Warga Terdaftar sebagai
    Penerima BSU
    di Purwakarta
    Program BSU tahun ini diberikan satu kali untuk periode Juni-Juli 2025, dengan total bantuan sebesar Rp600.000 per orang.
    Di Kabupaten Purwakarta, total penerima tercatat sebanyak 16.951 orang, dengan 15.677 di antaranya sudah mencairkan bantuan melalui Kantor Pos Purwakarta dan 14 kantor cabang pembantu lainnya.
    Proses pencairan mensyaratkan penerima membawa e-KTP asli, fotokopi, dan barcode pengambilan, serta dilakukan di beberapa titik pelayanan seperti MPP Bale Madukara.
    Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul 35 Angota DPRD Purwakarta Diduga Terdaftar Jadi Penerima BSU, Serikat Pekerja Desak Transparansi
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Partai NasDem ingatkan Pemkab Langkat ikuti suara masyarakat

    Partai NasDem ingatkan Pemkab Langkat ikuti suara masyarakat

    Sumber foto: M Salim/elshinta.com.

    Partai NasDem ingatkan Pemkab Langkat ikuti suara masyarakat
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 04 Agustus 2025 – 21:11 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara Ricky Anthony menyoroti lambannya progres pembangunan di Kabupaten Langkat. Capaiannya pun harus dikebut dan diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat secara luas, khususnya di Kabupaten Langkat negeri bertuah. Hal ini disampaikan Ricky Anthony, saat menggelar rapat rutin DPRD Sumut Dapil Binjai-Langkat dengan DPRD Langkat Fraksi Partai NasDem, di Stabat, Kabupaten Langkat, Sabtu (2/8). 

    Dalam pertemuan internal tersebut, banyak hal yang dibahas. khususnya bidang infrastruktur harus dikebut. Mengingat, kebutuhan akan hal ini merupakan sebagai penunjang peningkatan ekonomi masyarakat. “Kita mengingatkan, Pemkab Langkat agar mengikuti suara masyarakat. Pembangunan infrastruktur jalan adalah hal yang patut diprioritaskan,” kata legislator muda yang biasa disapa RA ini, Senin (4/8) pagi.

    Politisi dari Partai NasDem ini menerangkan, mereka selalu rutin turun ke desa-desa. Di tingkat tapak, banyak diserap laporan masyarakat terkait permohonan perbaikan jalan. “Pembangunan infrastruktur harus dikebut untuk mengejar keterlambatan tersebut. Jangan ada lagi anggaran yang tidak pada prioritas sesuai keinginan masyarakat,” tegas RA.

    Selain infrastruktur, dalam pertemuan itu juga dibahas soal Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang baru dibentuk. Direksi dan Komisarisnya sudah pun terpilih dengan tahapan seleksi yang ketat. Dari terbentuknya BUMD tersebut, sangat diharapkan bisa membawa angin segar bagi masyarakat. Manfaat positif serta lapangan kerja yang sehat, semestinya bukan hanya jadi isapan jempol belaka.

    “Kami ingatkan, agar BUMD ini benar-benar bermanfaat bagi pembangunan daerah. Khususnya untuk kemaslahatan masyarakat di Negeri Bertuah ini,” tuturnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, M Salim, Senin (4/8). 

    Peringatan hari kemerdekaan RI sudah diambang mata. Makna kemerdekaan yang sesungguhnya, sangat diharapkan masyarakat untuk benar-benar dirasakan. Birokrasi yang sehat, merupakan wujud dari kemerdekaan dalam kehidupan sosial.

    “Sebentar lagi, negara kita akan merayakan kemerdekaan yang ke-80 tahun. Masyarakat Langkat harus merasakan kemerdekaan dengan pembangunan yang merata di Bumi Bertuah nan Religi ini,” cetusnya.

    Sumber : Radio Elshinta

  • Pengibar Bendera One Piece di Tuban Mengaku Didatangi Aparat 
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        4 Agustus 2025

    Pengibar Bendera One Piece di Tuban Mengaku Didatangi Aparat Surabaya 4 Agustus 2025

    Pengibar Bendera One Piece di Tuban Mengaku Didatangi Aparat
    Tim Redaksi
    TUBAN, KOMPAS.com
    – Pengibaran bendera replika dari simbol bajak laut dalam serial manga dan anime asal Jepang One Piece menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025 terjadi di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
    Bendera bergambar anime tengkorak yang memakai topi warna kuning dan dua tulang menyilang tersebut diketahui berkibar di tiga lokasi, yakni di Kecamatan Kerek, di Kecamatan Montong, dan di Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban.
    Namun, pengibaran bendera One Piece yang menjadi simbol kebebasan dan perlawanan oleh sejumlah orang tersebut tidak berlangsung lama.
    Pelaku pengibaran bendera sengaja menurunkannya sendiri setelah mendapatkan penjelasan dari sejumlah petugas kepolisian, TNI, dan satuan polisi pamong praja yang mendatanginya.
    Pelaku pengibaran bendera One Piece berinisial A (26), asal Kecamatan Kerek, Tuban.
    Ia mengaku hanya mengikuti tren yang didengungkan melalui media sosial.
    “Kebetulan juga suka gambarnya dan tidak ada tujuan lain, hanya mengikuti tren yang ada di TikTok,” kata A, dikonfirmasi
    Kompas.com
    , Senin (4/8/2025).
    Keesokan harinya, bendera yang telah dikibarkan tersebut pun diturunkan sendiri, dan beberapa petugas gabungan sempat mendatangi rumahnya.
    Kedatangan petugas tersebut bermaksud memberikan penjelasan dan sekaligus teguran agar tidak mengulangi tindakan serupa dan mengajak warga lainnya untuk tidak berbuat demikian.
    Selain itu, petugas gabungan yang hadir di rumahnya saat itu juga meminta bendera One Piece yang dibelinya melalui aplikasi
    online.
    “Kami hanya diingatkan agar tidak mengulangi lagi dan tidak berbuat yang tidak baik yang melanggar aturan negara,” ujarnya.
    Pelaku lainnya berinisial G (37), warga Kecamatan Singgahan, mengaku menyukai gambar bendera One Piece sejak melihat film serial manga dan anime asal Jepang tersebut.
    Sementara itu, ajakan untuk mengibarkan bendera One Piece sendiri juga ramai di media sosial, sehingga dia tertarik mengibarkannya dan membeli bendera secara
    online.
    “Saya menyukai gambar anime bendera One Piece itu sebelum di media sosial ramai ajakan pengibaran,” kata G kepada wartawan.
    Sekretaris Daerah Kabupaten Tuban, Budi Wiyana mengajak warga Kabupaten Tuban untuk mengikuti aturan pengibaran bendera yang telah diedarkan oleh pemerintah pusat menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Peringatan Hari Kemerdekaan ini merupakan momen sakral yang harus dihormati setiap warga masyarakat dengan memasang Bendera Merah Putih.
    “Kita ikuti saja apa yang sudah menjadi aturan pemerintah pusat terkait pengibaran bendera menjelang peringatan hari kemerdekaan,” kata Budi Wiyana kepada Kompas.com, Senin (4/8/2025).
     
    Sementara itu, Wakil Ketua 1 DPRD Tuban, Miyadi menilai kejadian ini bisa jadi merupakan bentuk pencarian perhatian di tengah kemudahan akses media sosial saat ini.
    “Kalau aksi tersebut ditemukan melanggar aturan negara, aparat penegak hukum harus turun tangan untuk mencegahnya,” kata Miyadi saat dikonfirmasi
    Kompas.com.
    Miyadi mendorong adanya proses klarifikasi dan edukasi agar masyarakat memahami bahwa tindakan semacam itu tidak dapat dibenarkan, apalagi dilakukan menjelang peringatan HUT ke-80 RI.
    Ia juga mengajak masyarakat untuk memperingati hari kemerdekaan itu dengan cara yang tepat, penuh penghormatan, dan mencerminkan semangat nasionalisme.
    “Kemerdekaan itu tidak mudah diraih, mari kita hargai bersama momen peringatan hari kemerdekaan di Bulan Agustus ini,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Warga DIY kesulitan rekening diblokir, legislator sebut PPATK lampau kewenangan

    Warga DIY kesulitan rekening diblokir, legislator sebut PPATK lampau kewenangan

    Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.

    Warga DIY kesulitan rekening diblokir, legislator sebut PPATK lampau kewenangan
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 04 Agustus 2025 – 17:23 WIB

    Elshinta.com – Kebijakan pemblokiran rekening yang tidak aktif selama 3 bulan oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) membuat warga di Daerah Istimewa Yogyakarta merasa kesulitan. Akibat pemblokiran itu banyak warga mengadu ke Komisi A DPRD DIY dan menyatakan kebijakan tersebut membuat susah masyarakat.

    “Pemblokiran secara umum atas status rekening dormant tanpa ada indikasi tindak pidana merupakan kebijakan keliru karena bertentangan dengan UU Dasar sekaligus bertentangan dengan pembukaan UUD 45 dimana pemerintah negara Indonesia yang didalamnya ada PPATK berkewajiban melindungi rakyat. Maka kepada PPATK agar segera menghentikan atau membatalkan kebijakan pemblokiran rekening yang tidak aktif 3 bulan,” ujar Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto pada konferensi pers di kantor DPRD DIY, Jl Malioboro, Yogyakarta, Senin (4/8). 

    Warga yang mengadu kebanyakan dari kalangan petani, peternak atau pelaku usaha yang tidak setiap bulan menerima gaji seperti PNS atau pegawai swasta. Karena tiba-tiba rekeningnya diblokir mereka kesulitan untuk membayar kebutuhan seperti pendidikan anak, kebutuhan ternak dan lain sebagainya. Sementara untuk membuka rekening yang diblokir membutuhkan waktu dan tenaga bahkan banyak diantara mereka juga jauh jaraknya untuk ke bank.

    Menurut Eko yang juga politisi PDIP Kota Yogyakarta tersebut, mengatakan bahwa  pemblokiran rekening hanya dibenarkan apabila dugaan tindak pidana, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, transaksi narkoba, atau penggunaan dokumen palsu. Berdasarkan Pasal 12 Ayat 2 Peraturan PPATK No. 18 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa pemblokiran hanya sah bila ada dugaan kuat bahwa rekening digunakan untuk menampung hasil tindak pidana. 

    “Beberapa yang datang ke kita menyampaikan bahwa mereka menabung untuk anaknya sekolah, ada yang bertanya, jadi menabung hanya pada waktu-waktu tertentu, ada juga yang menabung untuk dana kesehatan keluarga. Dengan pemblokiran ini ada hak warga negara yang dilanggar, pertama hak untuk mendapat penjelasan mengapa rekeningnyadiblokir, dan hak untuk mengklarifikasi darimana sumber dananya,” imbuhnya.

    Oleh karena itu, Komisi A DPRD DIY mendesak PPATK untuk segera menghentikan dan membatalkan kebijakan tersebut serta mengembalikan fungsi lembaga sesuai peraturan yang berlaku. Bagu warga DIY yang terdampak atas kebijakan ini agar turut menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini.

    “Masyarakat dirugikan dengan kebijakan ini, rekening tidak bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari seperti pendidikan, kesehatan, bahkan untuk keperluan untuk beli alat pertanian dan lainya. PPTAK seharusnya kembali pada peraturan perundangan, pemblokiran harus dengan alasan hukum, misal tindakan pidana korupsi, terorisme, kejahatan itu silahkan. Tetapi jangan uangnya masyarakat diblokir. Proses membuka blokir juga memakan waktu. PPATK harus stop, hentikan, batalkan dan kembali pada peraturan perundangan,” pungkasnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Senin (4/8). 

    Sumber : Radio Elshinta

  • Dinilai Pramono Aneh, DPRD Justru Anggap Usulan Kartu Janda Jakarta Bentuk Kepedulian

    Dinilai Pramono Aneh, DPRD Justru Anggap Usulan Kartu Janda Jakarta Bentuk Kepedulian

    JAKARTA – Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Muhammad Thamrin memandang usulan kartu janda Jakarta yang digulirkan DPRD merupakan bentuk kepedulian terhadap masyarakat rentan.

    Usulan ini sebelumnya diungkapkan Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta. Merespons, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menilai usulan kartu janda adalah hal aneh.

    “Gagasan ini merupakan bentuk kepedulian terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan kepala keluarga yang sering menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan psikologis pasca kehilangan pasangan,” kata Thamrin saat dihubungi, Senin, 4 Agustus.

    Jika Pemprov DKI berkenan dan ingin menjalankan program ini, Thamrin menyebut perlu disertai rancangan dan landasan hukum yang kuat.

    Selain itu, perlu juga dilakukan perencanaan anggaran yang matang tidak membebani APBD secara berlebihan dan tetap sesuai dengan prinsip efisiensi.

    “Kami juga mengingatkan pentingnya menjaga aspek sosial dan martabat penerima, termasuk dalam pemilihan nama program agar tidak menimbulkan stigma. Pendekatan berbasis data tetap menjadi prinsip utama dalam merancang kebijakan publik,” jelas Thamrin.

    Sebelumnya, Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta mengusulkan Pemprov DKI menerbitkan program bansos untuk para janda yang telah ditinggal suaminya.

    Hal ini disampaikan Wakil Bendahara Fraksi Gerindra DPRD DKI Jamilah Abdul Gani dalam rapat paripurna pemandangan umum fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2025.

    “Fraksi Gerindra meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempertimbangkan penerbitan program kartu janda Jakarta atau KJJ,” kata Jamilah di gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Senin, 21 Juli.

    Jamilah berujar, usulan ini merupakan aspirasi dari masyarakat yang disampaikan kepada anggota Fraksi Gerindra dalam kegiatan reses.

    Hanya saja, tidak semua janda diusulkan mendapat kartu janda. Jika Pemprov DKI setuju, warga penerima manfaat bantuan tersebut merupakan perempuan berstatus janda yang berusia 45 tahun.

    Menanggapi terpisah, Pramono Anung menilai hal tersebut usulan yang aneh. “Aneh-aneh aja. Enggak mau jawab, aku,” kata Pramono di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu, 23 Juli.

  • Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Jakarta

    Sudah lewat satu bulan putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2024 dibacakan, pemerintah dan DPR masih belum merespons putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut ke dalam sebuah bentuk kebijakan konkret: revisi UU Pemilu dan Pilkada.

    Dalam putusan tersebut, MK memutus pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal: Pemilu nasional untuk memilih presiden dan DPR/DPD, dan pemilu lokal untuk memilih gubernur, walikota/bupati dan DPRD yang diperpanjang paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pemilu nasional selesai dilaksanakan.

    Alasannya sederhana, MK berkaca pada dua peristiwa pemilu serentak sebelumnya (2019 dan 2024); karena pemilih kebingungan ketika disodorkan banyaknya surat suara dan calon; dekatnya jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang membuat pemilih jenuh; beratnya beban penyelenggara yang berakibat pada kelelahan hingga kematian.

    Selain itu ada juga alasan sulitnya parpol dalam mempersiapkan kader untuk bertarung; dan yang paling penting karena permasalahan daerah kerapkali tidak mendapat perhatian serius akibat tertimpa isu nasional.

    Kontradiksi Norma dan Pilihan Paling Mungkin

    Apabila dicermati, dalam putusan ini MK tidak bertindak dalam fungsinya sebagai negative legislator (pembatal undang-undang), melainkan sebagai positive legislator (pembentuk undang-undang).

    Meskipun MK masuk ke dalam wilayah teknis penyelenggaraan pemilu yang seharusnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (open legal policy), tetap dapat dibenarkan dan putusannya tetap dianggap sah secara hukum (erga omnes).

    Karena, di tengah rusaknya kualitas demokrasi akibat kartelisasi politik yang kuat seperti sekarang ini, MK dapat melakukan penyelamatan demokrasi melalui judicial activism untuk menjembatani kehendak rakyat yang suaranya seringkali diabaikan di dalam ruang pembentukan kebijakan.

    Namun, akibat campur tangan MK dalam membuat norma baru tersebut, kontradiksi hukum tak dapat dielakkan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pemilu lokal yang jadwal pelaksanaannya bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

    Dalam pemilu lokal, MK memutus dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional usai dilaksanakan. Konsekuensinya, akan ada kekosongan masa jabatan dalam waktu yang cukup lama (2-2,5 tahun) yang harus dipikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk diisi oleh siapa dan bagaimana cara pengisiannya.

    Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi, mungkin masih bisa dilakukan penunjukan penjabat (Pj) oleh presiden dan mendagri.

    Meskipun pilihan tersebut bertentangan dengan prinsip yang paling penting di dalam demokrasi, yakni legitimasi, kemungkinan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah demikian. Tapi dengan catatan bahwa masyarakat sipil harus mendesak presiden dan DPR untuk mempersiapkan norma yang membatasi dan mengawasi para Pj tersebut agar tidak menjadi alat politik kekuasaan untuk cawe-cawe memenangkan calon tertentu.

    Sementara, untuk mengisi kekosongan masa jabatan DPRD, belum ada landasan norma yang bisa dijadikan tempat bersandar untuk memperpanjang masa jabatan mereka. Sehingga mau tidak mau harus dibuat aturan mainnya agar tidak terjadi kekosongan jabatan.

    Jika opsi yang dipilih adalah memperpanjang masa jabatan DPRD selama dua tahun, tentu saja kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga DPRD harus berasal dari mandat rakyat yang dipilih secara sah melalui pemilu.

    Jika pun selama dua tahun itu ditunjuk pelaksana tugas, maka juga bertentangan dengan nilai demokrasi yang mengedepankan legitimasi ketimbang legalitas.

    Di antara kebuntuan itu, pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan dibuatnya pemilu sela untuk memilih anggota DPRD yang akan menjabat selama 2 hingga 2,5 tahun sampai dilaksanakannya pemilu lokal di tahun 2032.

    Yang Prosedural dan Yang Substansial

    Jika ditelaah lebih dalam, walaupun putusan tersebut dianggap oleh sebagian pengamat adalah putusan yang progresif, tapi nyatanya, hanya menyentuh persoalan prosedural. Bukan persoalan substansial dari berbagai persoalan pemilu yang sudah-sudah. Mahar politik, politik uang, pengerahan aparat dan birokrat untuk memenangkan calon tertentu, dan lain sebagainya.

    Berharap adanya jeda selama 2 sampai 2,5 tahun agar partai politik bisa bernafas dan mempersiapkan kader secara serius juga adalah sebuah alasan paling utopis yang pernah ada di negeri demokrasi yang mau berumur 80 tahun merdeka ini.

    Dalam Kronik Otoritarianisme Indonesia yang ditulis Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan, Herlambang P. Wiratraman mengatakan, demokrasi di Indonesia cenderung telah didominasi dan difasilitasi oleh sistem politik yang telah terkartelisasi.

    Fenomena ini oleh Richard S Katz dan Peter Mair disebut dengan istilah “partai kartel” yang kenunculannya ditandai dengan hubungan erat antara partai politik dan negara yang saling bekerja sama dalam berkolusi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Salah satunya berkolusi dalam memenangkan pemilu.

    Tak bisa dipungkiri, demokrasi elektoral kita telah dilumuri politik uang. Biaya politik elektoral yang tinggi membuat partai politik memberi karpet merah kepada pemilik modal untuk ikut serta mengendalikan pemilu dan menjadi bagian di dalam negara. Akibatnya, pemilu hanya menjadi sarana bagi oligarki untuk mengontrol kebijakan negara.

    Untuk dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya, partai politik tidak lagi memilih calon legislatif maupun eksekutif berdasarkan standar ideologis. Lebih condong kepada standar pragmatis. Sudah menjadi rahasia umum, mulai dari sejak fase pra pemilu (rekrutmen calon), yang dilihat paling pertama oleh partai politik bukanlah kualitas (kapabilitas), tetapi kuantitas (seberapa besar isi brangkas).

    Alhasil, mengutip laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), yang diperoleh dari pemilu berbiaya tinggi tersebut adalah: Dari total 580 anggota DPR periode 2024- 2029, sekitar 354 orang (61%) terafiliasi dengan sektor bisnis. Dengan kata lain, sebagian besar anggota DPR yang memenangkan pemilu dan duduk di parlemen hari-hari ini adalah politisi pebisnis. Bukan ideolog, bukan pula aktivis, atau politisi yang berasal dari beragam latar belakang.

    Dengan besarnya postur politisi pebisnis yang duduk di DPR saat ini, jangan heran apabila mereka abai melaksanakan demokrasi deliberatif dalam pengambilan keputusan politik negara, terutama dalam proses pembentukan undang-undang kontroversial akhir-akhir ini (UU BUMN, UU Minerba, UU TNI).

    Data ini tidak hanya memperburuk kualitas parlemen dan pemerintahan kita, tapi juga akan memperpanjang nasib demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi. Apalagi, di tahun 2024, menurut data yang dirilis Bank Dunia, angka kemiskinan masyarakat Indonesia mencapai 194,4 juta jiwa atau setara 68,2% dari total populasi sebanyak 285,1 juta penduduk.

    Kondisi ini tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan sekali pukul perubahan jadwal pemilu, tapi juga harus diiringi dengan pembenahan di berbagai sektor: Partai politik, pembiayaan partai politik dan pemilu, hingga sistem pengawasan yang kuat. Jika tidak, kaki-kaki oligarki di dalam tubuh negara akan semakin kokoh, dan pemilu 2029 dan 2032 hanya akan memperluas potensi politik uang yang muaranya akan menghasilkan pemimpin serakah.

    Dengan begitu, mau sistem pemilu seperti apapun, baik serentak ataupun tidak, terpisah antara nasional dan lokal sekalipun, jika tidak diiringi dengan pembenahan lintas sektor, maka pemisahan jadwal pemilu hanya akan memperpanjang peluang oligarki untuk mengontrol kebijakan publik dengan seluruh perangkat yang mereka punya. Uang, media, aparat, dan segenap perangkat lainnya. Pada akhirnya, putusan MK tidak menyumbang apa-apa untuk peningkatan kualitas demokrasi kita.

    Zieyad Alfeiyad Ahfi atau Ziyad Ahfi. Mahasiswa pascasarjana hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang tengah mengambil studi Hukum Tata Negara.

    (rdp/rdp)

  • Eks Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Ditunjuk Jadi Ketua Dewas PAM Jaya
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Agustus 2025

    Eks Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Ditunjuk Jadi Ketua Dewas PAM Jaya Megapolitan 4 Agustus 2025

    Eks Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Ditunjuk Jadi Ketua Dewas PAM Jaya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Ketua DPRD DKI Jakarta,
    Prasetyo Edi Marsudi
    , resmi menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Perumda Air Minum (PAM) Jaya mulai Senin (4/8/2025).
    Kabar tersebut dia umumkan melalui akun Instagram pribadinya @prasetyoedimarsudi, pada Senin (4/8/2025).
    “Bismillahirrahmanirrahim. Saya terima amanah sebagai Ketua Dewan Pengawas
    PAM Jaya
    mulai hari ini, 4 Agustus 2025,” tulis Prasetyo.
    Ia menyatakan, siap turun langsung memastikan target-target PAM Jaya tercapai melalui inovasi, sinergi, dan kolaborasi.
    “Senantiasa memberikan pelayanan maksimal dan optimal, Memastikan air bersih untuk seluruh warga jakarta. Menyediakan akses air bersih yang merata, terjangkau, dan berkelanjutan,” kata dia.
    Ia juga menekankan pentingnya menjaga sumber daya air dan meningkatkan kesadaran lingkungan.
    “Kita melangkah bersama. Bersama-sama menjaga sumber daya air demi masa depan yang berkelanjutan. Edukasi terus air perpipaan, gas kampanye terus kesadaran lingkungan. Gaspolll
    PAM JAYA
    ! Jaya, Jaya Jaya!,” kata Prasetyo.
    Dalam catatan
    Kompas.com
    Prasetyo merupakan politikus senior PDI Perjuangan yang pernah menjabat Anggota DPRD DKI Jakarta (2013-2014) dan Ketua DPRD DKI Jakarta (2014-2024).
    Pada Pilkada 2024, ia juga menjadi Ketua Harian Tim Pemenangan pasangan Pramono Anung-Rano Karno.
    Selain itu, Prasetyo pernah memimpin sejumlah organisasi, seperti Banteng Muda Indonesia DKI Jakarta, Pemuda Demokrat Indonesia DKI Jakarta, dan Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.