Kementrian Lembaga: DPRD

  • Tunjangan Sunyi Birokrat Jakarta

    Tunjangan Sunyi Birokrat Jakarta

    Oleh: Luqman Hakim

    PUBLIK belakangan ini ramai menyoroti besarnya tunjangan dan fasilitas DPRD. Kritik mengalir deras, mahasiswa turun ke jalan, dan media menggiring isu transparansi legislatif.

    Tapi ada ruang sunyi yang jarang disentuh: birokrasi eksekutif di Jakarta. Di balik meja-meja pejabat Pemprov, ada angka-angka tunjangan yang nilainya fantastis, bahkan melampaui apa yang diterima wakil rakyat.

    Sekretaris Daerah DKI Jakarta, misalnya, setiap bulan menerima tunjangan kinerja hingga Rp127,7 juta. Angka itu nyaris dua puluh lima kali lipat dari UMR Jakarta yang hanya sekitar Rp5,3 juta. Padahal gaji pokok seorang Sekda hanya di kisaran Rp3–6 juta, sisanya murni tunjangan. 

    Artinya, struktur penghasilan birokrat top level di DKI lebih ditopang insentif tambahan ketimbang gaji resmi. Logika publik wajar bertanya jika tunjangan sedemikian besar, di mana letak transparansi dan apa indikator yang digunakan untuk menilainya?

    Lebih mencolok lagi pada posisi Gubernur. Secara administratif, gaji pokok dan tunjangan jabatan seorang Gubernur DKI hanya sekitar Rp8–8,5 juta. Namun begitu masuk perhitungan 

    Biaya Penunjang Operasional (BPO), nilainya melesat hampir Rp8,9 miliar per bulan. Angka jumbo ini bukan berasal dari kalkulasi gaji, melainkan dari persentase tertentu PAD DKI yang memang sangat besar. 

    Alasan hukum memang jelas, PP 109/2000 memberi ruang maksimal 0,15 persen PAD untuk biaya operasional gubernur. Tapi dalam praktiknya, BPO sering menjadi wilayah abu-abu yang minim transparansi. 

    Publik tidak pernah mendapat penjelasan detail, bahwa apakah benar digunakan untuk penanggulangan kerawanan sosial, koordinasi pemerintahan, atau sekadar mengalir ke pos-pos yang sulit diverifikasi?

    Di titik inilah letak kesunyian kritik. Mahasiswa dan publik begitu gencar mendesak evaluasi DPRD, tetapi jarang yang berani mengarahkan sorotan ke birokrat Pemda. Padahal, jika berbicara soal keadilan, DPRD hanyalah separuh panggung. 

    Separuh lainnya ada di eksekutif, yang memegang anggaran, mengatur birokrasi, dan punya ruang diskresi lebih luas. Bila kita hanya menyoroti legislatif, sementara eksekutif dibiarkan, maka transparansi menjadi timpang dan rakyat tetap tidak mendapat jawaban utuh.

    Kritik soal tunjangan dan gaji pejabat daerah harus menyasar dua arah: DPRD sebagai representasi politik, dan birokrasi Pemda sebagai mesin administratif. Jangan sampai ada standar ganda. Kalau anggota dewan wajib membuka rincian fasilitasnya, begitu juga Sekda dan Gubernur. 

    Kalau DPRD harus dievaluasi, birokrat pun wajib mempertanggungjawabkan penggunaan TPP dan BPO mereka.

    Argumen yang kerap dipakai adalah tanggung jawab besar, wajar tunjangan besar. Benar, beban kerja pejabat tinggi memang berbeda dari ASN biasa. Tapi wajar bukan berarti tanpa batas. 

    Wajar bukan berarti tertutup dari pengawasan publik. Wajar justru lahir dari keterbukaan. Tanpa transparansi, angka Rp127 juta per bulan untuk seorang Sekda atau Rp8,8 miliar per bulan untuk seorang Gubernur akan selalu dipandang sebagai ironi di tengah rakyat yang masih berjuang dengan ongkos hidup Jakarta.

    Sudah saatnya mahasiswa dan masyarakat mengubah arah kritik. Jangan hanya terjebak pada DPRD sebagai musuh bersama. 

    Arahkan juga sorotan ke birokrat eksekutif, terutama Pemda Jakarta, yang selama ini terlindungi oleh kesunyian publik. Karena di balik sunyi itulah sering kali ada ruang gelap yang tidak pernah disentuh, padahal uangnya berasal dari rakyat yang sama.

    (Analis politik dan ekonomi di Lingkar Study Data dan Informasi.)

  • Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen Nasional 7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    DUA
    frase “tanda-tanda zaman” dan “pertobatan nasional” saya petik dari Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, sebagai respons moral atas amuk massa selama 28-31 Agustus 2025.
    Hari Minggu, 31 Agustus 2025, di tengah panasnya situasi politik Ibu Kota, saya bersama sejumah teman berbincang dengan Kardinal Suharyo.
    Perbincangan tak lepas dari suasana yang penuh kegelisahan. Negeri sedang tak karu-karuan. Amuk massa belum reda.
    Penjarahan terjadi di rumah beberapa anggota DPR dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani. Gedung DPRD Makassar dibakar. Gedung Grahadi di Surabaya luluh lantak.
    Apa salah dan dosa Gedung Grahadi? Mengapa tak bisa dicegah? Kantor polisi di berbagai daerah turut jadi sasaran. Tuntutan agar DPR dibubarkan berseliweran di ruang publik.
    Dalam percakapan itu, Kardinal Suharyo berkata lirih, tapi tegas, “Elite seharusnya bisa membaca tanda-tanda zaman”.
    Ia tak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “tanda-tanda zaman”. Namun, dalam kesempatan lain, Kardinal menyerukan pertobatan. Sebuah ajakan spiritual yang sarat makna: kesadaran akan kesalahan kolektif, dan dorongan untuk berbalik arah sebelum semuanya terlambat.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, masih menyimpan kabut tebal. Ada unjuk rasa sebagai ekspresi sumpek rakyat, tapi ada juga “Gerakan 28-31 Agustus 2025” dengan tujuan tertentu yang sistematis.
    Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi juga terjadi unjuk rasa besar, seputar penolakan revisi UU KPK (2019), pemberlakuan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Namun, dampak dari ketiga unjuk rasa tidak separah seperti sekarang.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, justru menimbulkan banyak tanya. Pembagian kekuasaan sebenarnya hampir sempurna. Hanya PDIP dan Nasdem yang tak ada dalam kabinet.
    Ormas terbesar sudah berada dalam barisan kekuasaan. Relawan diakomodasi dalam kabinet atau komisaris BUM. Kabinet didukung koalisi super-mayoritas.
    DPR menjadi proksi dari kekuasaan. Kekuasaan sedang menuju otokratisasi sebagaimana kajian
    Varieties of Democracy
    (2024).
    Namun, ada juga pandangan konsolidasi otokratisasi itulah yang menyebabkan disfungsi lembaga pranata demokrasi. Dan, kini konsolidasi otokratisasi mendapatkan perlawanan.
    Situasi 2025, berbeda dengan Peristiwa Malari 1974. Meski berlatarbelakang antimodal asing, Malari 1974 adalah pembelaan warga sipil terhadap demokrasi liberal atas arah demokrasi terpimpin yang dilakukan Presiden Soeharto.
    Sedang pada Agustus 2025, polanya lebih mirip perlawanan warga sipil untuk membela reformasi dalam konteks konsolidasi otokratisasi.
    Spekulasi banyak, analisis berseliweran, narasi bersaing. Namun, di balik semua itu, ada realitas yang hampir pasti bisa dibaca. Sejumlah latar belakang krisis tampak jelas, seperti bara dalam sekam yang lama diabaikan.
    Pertama, akumulasi kekecewaan publik yang menahun. Kesenjangan sosial yang menganga tak tertanggulangi.
    Berdasarkan data Bank Dunia per Juni 2025, ada 194 juta orang miskin di Indonesia. Angka ini tentu bisa diperdebatkan tergantung mistar yang dipakai—Bank Dunia atau BPS—namun rasa lapar tidak bisa disangkal dengan metodologi.
    Pengangguran merajalela. Orang kehilangan pekerjaan, penghasilan menurun, harga-harga naik.
    Dalam siniar saya, Chandra Hamzah dari Forum Warga Negara berkata, “Situasi ini ibarat rumput kering. Tinggal dilempar api.”
    Sayangnya, elite kekuasaan sibuk menyangkal realitas ini. Mereka gagal melihat bahwa ketika harapan publik tidak terpenuhi, dan ketimpangan memburuk, maka benih ledakan sosial sedang ditanam.
    Inilah yang disebut Ted Gurr sebagai
    relative deprivation
    : kemarahan rakyat lahir dari jurang antara ekspektasi dan kenyataan yang makin menjauh.
    Kedua, tata kelola pemerintahan. Pemerintah tampak gamang dan terkesan coba-coba dalam membuat kebijakan.
    Wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen diluncurkan, diprotes publik, lalu dibatalkan.
    Penataan distribusi gas melon 3 kg diusulkan, lalu ditarik. Rencana pemblokiran rekening pasif diumumkan, kemudian diklarifikasi.
    Ada lagi guyonan politik tentang penyitaan tanah mangkrak oleh negara. Wisata Raja Ampat, Papua, dirancang menjadi kawasan tambang nikel.
    Sejarah hendak diluruskan dengan menihilkan tragedi pemerkosaan massal 1998, sebelum akhirnya rencana itu ditunda.
    Bintang Mahaputra diobral. Dana transfer ke daerah dikurangi, menyebabkan pemerintah daerah menaikkan PBB. Meledaklah kasus Pati.
    Semua ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola kebijakan publik—termasuk komunikasi politik yang nir-empati, kasar, dan penuh kepercayaan diri berlebihan.
    Pemerintah kurang peka membaca denyut publik, dan tak mampu mengantisipasi letupan di bawah permukaan.
    Dalam kerangka teori
    fragile states
    (Rotberg, 2003), negara seperti ini kehilangan kapasitas dasar untuk merespons kebutuhan rakyat secara adil dan efektif.
    Ketiga, penegakan hukum mengikuti perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    (Thomas Power: 2020).
    Dalam perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    bukan berarti hukum berhenti bekerja sama sekali, melainkan hukum dijalankan secara manipulatif: ditegakkan terhadap lawan, diabaikan terhadap kawan.
    Putusan MK yang mengubah persyaratan calon wapres, tidak dieksekusinya terpidana dan malah dianugerahi jabatan komisaris, mempertontonkan bagaimana penegakan hukum negeri ini.
    Desakan RUU Perampasan Aset harus ditempatkan dalam konstruksi Indonesia adalah negata hukum.
    Keempat, disfungsi institusi demokrasi. Partai politik kian terasing dari rakyat. Mereka menjelma menjadi kartel politik, sibuk mendekatkan diri ke kekuasaan, bukan memperjuangkan aspirasi konstituen.
    DPR tidak lebih dari proksi kekuasaan eksekutif. Ketua umum partai duduk di kabinet dan semua fraksi berbaur dalam koalisi super mayoritas.
    Lembaga legislatif kehilangan daya kritis dan empati. Bayangkan: di tengah penderitaan rakyat, DPR malah menaikkan tunjangan anggotanya dan berjoget-joget dalam Sidang Tahunan MPR.
    Komunikasi publik mereka
    clometan
    , pongah, dan menyakiti rakyat. Dewan Perwakilan Daerah nyaris tak bersuara. Maka rakyat mencari jalannya sendiri.
    Kelima, organisasi masyarakat sipil gagal menjalankan perannya sebagai
    psychological striking force
    atau kekuatan moral yang ampuh sebagaimana pernah diutarakan Nurcholis Madjid dan diulang Usman Hamid.
    Dalam posisi terkooptasi kekuasaan, organisasi masyarakat sipil sangat melemah posisi tawarnya terhadap absolutisme kekuasaan karena terikat konsesi ekonomi.
    Keenam, teknologi digital dan media sosial mempercepat eskalasi konflik. Dalam suasana kacau, informasi menyebar secara
    real-time

    Namun, bukan hanya kebenaran yang tersebar, tapi juga opini-opini sintetis yang diproduksi oleh pasukan siber.
    Operasi pengaruh ini dijalankan secara sistematis oleh elite politik. Dalam situasi ini, suara publik yang asli justru tenggelam di tengah gelombang manipulasi.
    Inilah yang disebut
    manufactured consent
    —persetujuan publik dibentuk bukan lewat deliberasi rasional, melainkan melalui rekayasa algoritma dan opini sintesis.
    Ketujuh, terjadinya persaingan elite. Seperti dalam Peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998, konflik horizontal di masyarakat sering kali dipicu konflik di kalangan elite.
    Dalam waktu 36 jam sejak tewasnya Affan Kurniawan, negeri seperti tanpa kendali. Polisi tak muncul karena mengalami demoralisasi luar biasa setelah meninggalnya Affan.
    TNI belum bisa bergerak karena belum diminta. Penjarahan terjadi. Media sosial menjadi panggung utama. Negara absen.
    Akibat dari semua ini sangat dalam. Sepuluh orang tewas. Banyak yang ditangkap. Polisi luka-luka. Kompol Cosmas yang berada dalam rantis Brimob dipecat. Katanya, dia hanya menjalankan perintah.
    Fasilitas umum dibakar. Gedung DPR dan kantor polisi—dua simbol supremasi sipil—dihancurkan rakyat.
    Pesannya jelas: simbol negara kehilangan legitimasi di mata publik. Presiden Prabowo Subianto menuding ada makar dan terorisme.
    Apa yang bisa dilakukan? Di berbagai forum, tuntutan rakyat mulai terdengar. Ada suara dari Forum Warga Negara, imbauan dari Gerakan Nurani Bangsa, seruan dari Aliansi Akademisi, juga gelombang mahasiswa. Semua menyuarakan hal serupa.
    Pertama, latar belakang peristiwa 28–31 Agustus, harus diungkap tuntas. Jangan biarkan ruang publik dipenuhi spekulasi soal makar, terorisme, atau faksionalisasi elite.
    Kedua, dibutuhkan reformasi menyeluruh—terhadap kepolisian, DPR, partai politik, dan kebijakan negara.
    Ketiga, reformasi peradilan menjadi keniscayaan. Kardinal Suharyo merangkumnya secara jernih: “Pertobatan di semua cabang kekuasaan.”
    Namun, bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh aktor-aktor yang justru menjadi bagian dari masalah?
    Dalam kondisi
    low trust society
    , kepercayaan publik tak mungkin pulih lewat manuver elite lama. Dibutuhkan satu struktur baru: semacam Komite Independen atau apapun namanya.
    Komite yang berisi tokoh independen dengan integritas tinggi dan rekam jejak tak tercela. Orang yang tak punya beban politik, dan bisa menjadi penjaga moral sekaligus pemandu arah reformasi untuk memperbaiki republik yang sedang sakit.
    Namun untuk terbentuk, inisiatif ini butuh legitimasi. Dan hanya satu pihak yang saat ini memiliki otoritas untuk menginisiasi: Presiden Prabowo Subianto.
    Pertanyaannya: apakah Presiden Prabowo membaca tanda-tanda zaman? Mengutip Sukidi Mulyadi dalam acara
    Satu Meja The Forum
    , “Presiden terisolasi dengan realitas di Indonesia.”
    Jakob Oetama, pendiri
    Kompas
    , dalam banyak perjumpaan pribadi pernah berpesan, “Jaga negeri ini, jangan sampai
    mrucut
    .”
    “Mrucut” dalam pemahaman orang Jawa adalah tergelincir dari jalur yang seharusnya. Bukan sekadar salah arah, tapi kehilangan arah. Kehilangan etika, kehilangan hati nurani, kehilangan jati diri.
    Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Atau “mrucut” ke arah otoritarianisme atau malah sebagaimana dikhawatirkan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid dalam Haul Nucholish Madjid, masuk dalam tahap fasisme.
    Hari ini, ancaman “mrucut” itu nyata. Demokrasi kita menjauh dari substansinya. Keadilan hanya tinggal kata. Simbol negara tak lagi dimuliakan. Kepercayaan rakyat menguap.
    Namun, sejarah bangsa tidak harus berakhir dengan kehancuran. Tanda zaman bukan hanya isyarat murka, tapi juga panggilan untuk bangkit.
    Dari reruntuhan kepercayaan, selalu bisa tumbuh tunas perbaikan. Dari amarah yang meledak, selalu bisa lahir kesadaran kolektif untuk berubah. Kuncinya pada masyarakat sipil!
    Kuncinya: keberanian elite untuk mendengar. Kerendahan hati untuk bertobat. Dan kemauan untuk menyerahkan agenda reformasi pada yang lebih layak, lebih bersih, lebih jernih.
    Sebab hanya dengan keberanian itu, bangsa ini bisa kembali menemukan pijakan—dan berjalan tegak menatap masa depan. Bukan dalam “mrucut”, tapi dalam “waskita”. Dalam kebijaksanaan membaca zaman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Festival Kopi Nusantara 8 dan Tembakau, Bondowoso Catat Kontrak Dagang Rp7,8 Miliar

    Festival Kopi Nusantara 8 dan Tembakau, Bondowoso Catat Kontrak Dagang Rp7,8 Miliar

    Bondowoso (beritajatim.com) – Festival Kopi Nusantara (FKN) ke-8 dan Tembakau yang digelar di Alun-Alun Raden Bagus Asra, 4–6 September 2025, menjadi momentum penting bagi petani dan pelaku usaha kopi-tembakau Bondowoso.

    Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bondowoso, Hendri Widotono, menyampaikan bahwa ajang ini berhasil menghasilkan kontrak dagang hingga 60 ton kopi senilai Rp7,8 miliar.

    “Selain kontrak dagang, kopi Bondowoso juga menembus pasar ekspor ke sejumlah negara dengan total 24,4 ton,” sebut Hendri.

    Di antaranya pasar ekspor itu yaitu Belanda 1,8 ton, Jerman 0,6 ton, Polandia 1,6 ton, Jepang 0,4 ton, Singapura 2 ton, dan Turki 18 ton dengan nilai Rp5,7 miliar.

    Festival yang diikuti peserta dari 14 provinsi dan 20 kabupaten ini menggelar beragam lomba, mulai uji citarasa kopi Arabika-Robusta, brewing V60, cup tester, hingga merajang dan melinting tembakau.

    Dari 30 sampel kopi Arabika yang diuji, 29 di antaranya masuk kategori speciality. Sementara dari 30 sampel Robusta, 16 dinilai berkualitas baik.

    Hendri menegaskan, FKN ke-8 bukan hanya ajang promosi, tetapi juga sarana memperluas jejaring pemasaran, mendorong hilirisasi, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani.

    “Harapannya, produk kopi dan tembakau Bondowoso semakin dikenal, nilai jual meningkat, dan kesejahteraan petani pun naik signifikan,” ujarnya.

    Festival ini terselenggara berkat dukungan Pemkab Bondowoso, Bank Indonesia, Bank Jatim, DPRD, Forkopimda, hingga para pelaku usaha. (awi/ian)

  • Pansus DPRD Pati Akan ke Kemendagri dan BKN, Konfirmasi Temuan soal Kebijakan Bupati Sudewo
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        6 September 2025

    Pansus DPRD Pati Akan ke Kemendagri dan BKN, Konfirmasi Temuan soal Kebijakan Bupati Sudewo Regional 6 September 2025

    Pansus DPRD Pati Akan ke Kemendagri dan BKN, Konfirmasi Temuan soal Kebijakan Bupati Sudewo
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Pati, Teguh Bandang Waluyo, mengungkapkan rencana pihaknya untuk menemui sejumlah pejabat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) di Jakarta.
    Pertemuan ini bertujuan untuk mengonfirmasi hasil temuan terkait kebijakan Bupati Pati, Sudewo, mengenai pengangkatan pejabat dan mutasi jabatan.
    “Kami akan ke Jakarta dari Senin hingga Rabu besok, untuk berkonsultasi dengan Mendagri dan BKN,” ujar Bandang di Gedung DPRD Pati, seperti dikutip dari
    Tribunjateng.com
    pada Sabtu (6/9/2025).
    Bandang menjelaskan bahwa di Kemendagri, pihaknya akan menanyakan tentang pelantikan Aparatur Sipil Negara (ASN) hasil mutasi jabatan yang dilakukan oleh Bupati Sudewo sebelum genap enam bulan menjabat.
    “Pelantikan itu memang ada izin dari Mendagri. Tapi kami harus konfirmasi dulu, karena jumlah yang dilantik melebihi dari yang diizinkan. Misalnya, yang diizinkan hanya 70, tapi yang dilantik 80. Apakah ini benar atau tidak, maka akan kami konfirmasikan,” jelasnya.
    Selain itu, Bandang juga menyatakan bahwa Pansus akan menanyakan kepada BKN mengenai pengangkatan Direktur RSUD RAA Soewondo.
    “Selaiknya, kami juga akan menanyakan apakah mutasi selama ini yang dijalankan sudah sesuai atau tidak. Ini juga menjadi rekomendasi kami yang akan disampaikan. Setelah itu, kami akan mengadakan rapat lagi. Kamis atau Jumat mungkin kami akan mulai lagi rapat Pansus,” tuturnya.
    Bandang menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya Pansus Hak Angket DPRD Pati untuk mendapatkan data yang valid, yang nantinya akan diajukan ke Mahkamah Agung untuk proses selanjutnya setelah proses di DPRD.
    “Kami tidak mau keliru dalam melangkah, sehingga kami konsultasikan dulu,” tandasnya.
    Adapun, DPRD Pati membentuk Pansus hak angket setelah adanya desakan dari masyarakat yang berunjuk rasa pada 13 Agustus 2025 lalu.
     

    Hak angket ini bisa berujung pada pemakzukan Sudewo yang belum setahun menjabat Bupati Pati.
    Ada sejumlah hal yang dibahas Pansus Hak Angket DPRD Pati. 
    Sementara Bupati Sudewo mengatakan, Pansus tidak boleh dimanfaatkan untuk menelanjangi pemerintahannya. Ia pun terus memantau kerja Pansus dan berharap bahasannya tidak melebar ke hal-hal lain. 
    Sudewo meminta Pansus fokus pada bahasan yang diprotes masyarakat yakni kenaikan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). 
     
    Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Konsultasikan Hasil Temuan, Pansus Hak Angket Pemakzulan Bupati Pati Akan Datangi Kemendagri dan BKN. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Yasir Arafat Resmi Pimpin PKS Kabupaten Malang, Tegaskan Siap Dukung Kebijakan Presiden Prabowo

    Yasir Arafat Resmi Pimpin PKS Kabupaten Malang, Tegaskan Siap Dukung Kebijakan Presiden Prabowo

    Malang (beritajatim.com) – Musyawarah Daerah (Musda) Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kabupaten Malang periode 2025–2030 resmi selesai digelar dan diakhiri dengan pengukuhan kepengurusan baru. Acara berlangsung di Hall Puri Pahargyan Bojana Puri, Kepanjen, Sabtu (6/9/2025), disaksikan langsung Bupati Malang HM Sanusi, para petinggi partai politik, serta anggota DPRD Fraksi PKS Kabupaten Malang.

    Prosesi pengukuhan dimulai dengan pembacaan Surat Keputusan DPW PKS Jawa Timur yang menetapkan Yasir Arafat sebagai Ketua DPD PKS Kabupaten Malang periode 2025–2030. Kepemimpinan Yasir akan didampingi Irfan Ardianto sebagai Sekretaris dan Efendi Sudarmono sebagai Bendahara. Setelah itu, jajaran pengurus inti bersama-sama membaca serta menandatangani pakta integritas.

    Pergantian kepengurusan ini ditandai dengan penyerahan pataka bendera PKS dari ketua sebelumnya, Irfan Yuli, kepada Yasir Arafat. Momen tersebut sekaligus menandai estafet kepemimpinan DPD PKS Kabupaten Malang yang baru.

    Dalam sambutannya, Yasir menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat. “Maka ini (amanah kepemimpinan) harus dijalani dengan penuh kesungguhan, keikhlasan, dan rasa takut kepada Allah,” ujarnya.

    Yasir juga menyampaikan sikap PKS terhadap kondisi bangsa terkini. Ia menegaskan permohonan maaf bila peran partai selama ini belum optimal, namun memastikan PKS terus berbenah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. “PKS mendukung penuh pernyataan Presiden RI, Prabowo Subianto, terkait pencabutan tunjangan rumah dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri DPR RI, serta komitmen negara untuk menghormati kebebasan berpendapat,” tegasnya.

    Di tingkat struktur daerah, Yasir menegaskan PKS akan selalu menjaga kondusivitas, persatuan, dan ketertiban masyarakat. Ia juga menyatakan kesiapan partai untuk berkolaborasi dengan semua pihak demi kepentingan rakyat.

    “Mari kita jadikan PKS bukan hanya sebagai partai politik, melainkan juga sebagai mitra bersama masyarakat dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan daerah,” pungkas Yasir. [yog/ian]

  • Muhammad Said Jabat Ketua PKS Jombang 2025-2030, Ini Harapan dan Targetnya

    Muhammad Said Jabat Ketua PKS Jombang 2025-2030, Ini Harapan dan Targetnya

    Jombang (britajatim.com) – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kabupaten Jombang menggelar Musyawarah Daerah (Musda) VI pada Sabtu, 6 September 2025. Dalam acara yang berlangsung di kantor DPTD PKS Jombang dan dihadiri secara virtual melalui zoom meeting, H. Muhammad Said resmi ditetapkan sebagai Ketua DPD PKS Jombang periode 2025–2030.

    Pengukuhan ini sekaligus menggantikan kepemimpinan sebelumnya. Musda kali ini berlangsung sederhana namun tetap sarat makna, dengan tema “Kokoh Bersama Majukan Jombang untuk Indonesia.”

    Acara ini dihadiri oleh para anggota legislatif PKS, pengurus partai, dan kader pelopor PKS dari seluruh DPC PKS di Kabupaten Jombang. Meski sederhana, musda ini memiliki daya tarik tersendiri karena memunculkan berbagai harapan besar untuk perkembangan politik di Jombang.

    Dalam pidatonya, H. Muhammad Said menegaskan bahwa meski dengan segala keterbatasan, PKS Jombang akan terus berjuang bersama rakyat. “Dengan kondisi negeri seperti ini, kami berjuang bersama rakyat meski dengan segala keterbatasan. Seperti lari maraton, endingnya Insyaallah keberkahan untuk masyarakat,” ujar Said.

    Selain itu, Said juga menambahkan bahwa menjadi ketua PKS bukanlah sebuah tugas yang ringan. “Amanah ini tidak lagi masa pacaran. Sudah seperti rumah tangga, harus langsung siap menjalankan tanggung jawab,” kata Said, yang mengibaratkan tugas tersebut sebagai tanggung jawab jangka panjang yang harus dijalankan dengan serius.

    Dalam kesempatan tersebut, Said juga menegaskan target besar PKS Jombang pada Pemilu 2029. Saat ini, PKS hanya memiliki tiga kursi di DPRD, namun dengan kerja kolektif dari seluruh kader dan pengurus, Said yakin bahwa mereka dapat meraih enam kursi pada Pemilu mendatang.

    Bupati Jombang, Warsubi, turut memberikan ucapan selamat atas terpilihnya H. Muhammad Said sebagai ketua. Dalam rekaman video yang disampaikan, Warsubi berharap PKS Jombang semakin kuat dan konsisten bersama rakyat. “Semoga PKS semakin kuat dan konsisten bersama rakyat,” ujarnya.

    Sebagai salah satu partai politik yang cukup berpengaruh di Kabupaten Jombang, PKS diharapkan semakin mendekatkan diri dengan masyarakat. Dalam proses pergantian pengurus ini, berbagai posisi strategis turut mengalami perubahan. [suf]

    Berikut susunan pengurus baru hasil Musda VI PKS Jombang:

    Majelis Pertimbangan Daerah (MPD):

    Ketua: Didik Darmadi

    Sekretaris: Safari Riyanto

    Dewan Pengurus Daerah (DPD):

    Ketua: H. Muhammad Said

    Sekretaris: Abdullah

    Bendahara: Susilo

    Ketua Bidang Kaderisasi: Hilmi Haris

    Dewan Etik Daerah:

    Ketua: Hanan Mahbub

    Sekretaris: M. Arifin

  • Sewa Blok M naik, Pemprov dinilai perlu berpihak pada UMKM

    Sewa Blok M naik, Pemprov dinilai perlu berpihak pada UMKM

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Francine Widjojo menilai masalah di District Blok M sudah mengkhawatirkan dan menyangkut permasalahan ekonomi lebih luas sehingga Pemprov DKI perlu turun tangan dan berpihak kepada UMKM.

    “Isu kenaikan tarif sewa di District Blok M ini tentu menjadi perhatian serius kami di Komisi B karena menyangkut langsung keberlangsungan usaha pelaku UMKM,” kata Francine di Jakarta, Sabtu.

    Menurut dia, kenaikan sewa jelas memprihatinkan, terlebih usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di kawasan tersebut selama ini berkontribusi besar dalam menyerap tenaga kerja dan menggerakkan roda perekonomian Jakarta.

    Francine turut menyorot ketidaksinkronan atau perbedaan informasi dari berbagai pihak, dalam hal ini MRT Jakarta, koperasi, dan pedagang yang masing-masing memiliki versi penjelasan berbeda-beda mengenai isu kenaikan tarif sewa tersebut.

    Untuk itu, penyelesaian masalah ini perlu mengedepankan transparansi agar menjadi jelas, terutama ketika menyangkut duduk perkaranya.

    “Kondisi tarik-menarik informasi antara pedagang, koperasi dan MRT Jakarta semakin menegaskan perlunya kejelasan dan transparansi. Persoalan seperti ini tentu akan menimbulkan ketidakpastian dan rasa tidak aman bagi pelaku UMKM,” ujarnya.

    Francine menambahkan bahwa kebijakan yang berlaku sekarang perlu segera dievaluasi agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan.

    Pada prinsipnya, para pelaku UMKM perlu mendapatkan perlindungan dan pendampingan dari Pemprov DKI Jakarta.

    “Karena itu, kebijakan yang ada perlu dievaluasi secara menyeluruh, evaluasi dalam hal ini bukan hanya membatalkan perjanjian, namun memastikan agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Prinsip yang harus dijaga adalah bahwa UMKM harus dilindungi dan didampingi,” katanya menambahkan.

    Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bakal menggratiskan sewa kios selama dua bulan bagi pedagang Mal Blok M yang mau direlokasi ke lantai dasar lorong B1 pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan tersebut.

    “Kalau mereka (pedagang) mau menggunakan tempat ini, maka nanti selama dua bulan, kami berikan kebebasan atau gratis supaya mereka mau pindah ke tempat ini,” kata Gubernur DKI Pramono Anung di Mal Blok M Jakarta Selatan, Rabu (3/9).

    Pramono menjamin lokasi ini lebih bagus dari sebelumnya lantaran adanya mesin pendingin ruangan (AC) dan tempatnya bersih serta tertata.

    Sebelumnya, viral di media sosial sejumlah pedagang UMKM yang mengeluhkan kenaikan harga sewa kios di Blok M sehingga mereka terpaksa angkat kaki dari tempat tersebut.

    Salah satu video yang viral adalah konten TikTok dari @andremandorr. Dalam videonya, Andre mengaku terpukul karena harga sewa kios di Blok M naik.

    Padahal, dia baru satu bulan menyewa kios di sana untuk berjualan makanan bersama istrinya yang sedang hamil.

    Dia terpaksa pindah karena kaget dengan tagihan harga sewa yang dinilainya tak masuk akal.

    “Kita tiba-tiba dapat tagihan yang nggak masuk akal harganya. Kalau ditanya kenapa gue bingung. Karena gue baru banget nemuin kios yang kayak gini bentukannya, tiba-tiba tagihannya naik Rp15 juta,” kata Andre.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Gaji DPR Masih Rp 65 Juta Usai Tunjangan Rumah Dihapus, Publik: Terlalu Besar, Belum Puas!
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        6 September 2025

    Gaji DPR Masih Rp 65 Juta Usai Tunjangan Rumah Dihapus, Publik: Terlalu Besar, Belum Puas! Megapolitan 6 September 2025

    Gaji DPR Masih Rp 65 Juta Usai Tunjangan Rumah Dihapus, Publik: Terlalu Besar, Belum Puas!
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Penghapusan tunjangan rumah anggota DPR RI yang membuat gaji bersih atau take home pay mereka kini sekitar Rp 65 juta menuai beragam respons dari masyarakat.
    DPR RI sebelumnya menyetujui empat dari total 17+8 tuntutan warga yang disampaikan dengan batas waktu hingga Jumat (5/9/2025).
    Namun, keputusan itu dinilai masih jauh dari harapan publik. Banyak warga beranggapan langkah tersebut belum menyentuh persoalan pokok yang selama ini disuarakan.
    Dedi (41), warga Depok, menilai nominal Rp 65 juta per bulan masih terlalu besar jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata masyarakat. Ia menyebut penghapusan tunjangan rumah hanya sebatas simbolis dan tidak menjawab tuntutan riil warga.
    “Menurut saya sih masih terlalu besar ya. Kalau dibandingkan dengan UMR kita, itu jauh banget. Jadi walaupun ada penghapusan tunjangan rumah, tapi tetap saja gaji mereka masih tinggi banget. Saya pribadi belum merasa puas,” kata Dedi kepada Kompas.com, Sabtu (6/9/2025).
    Ia menambahkan, kebijakan ini hanya terlihat simbolis dan belum menyelesaikan persoalan utama yang menjadi tuntutan publik.
    “Kalau menurut saya ini pencitraan aja ya. Selama 17+8 tuntutan itu belum dipenuhi, ya tetap aja belum ada perubahan,” ujarnya.
    Senada, Nur Aisyah (29), warga Bekasi, menilai pemangkasan fasilitas memang bisa dianggap sebagai langkah kecil yang positif.
    Meski demikian, ia menegaskan kepercayaan publik belum akan pulih selama tuntutan lain belum dipenuhi.
    “Tapi apakah itu bikin warga jadi percaya? Belum tentu. Karena gaji Rp 65 juta itu masih besar sekali. Saya rasa warga belum akan puas kalau tuntutan yang lain belum dituntaskan,” kata Nur.
    Nur juga mengingatkan agar DPR tidak menganggap kritik warga selesai hanya karena satu fasilitas dipotong.
    Menurutnya, masih banyak persoalan yang harus dijawab agar masyarakat benar-benar merasakan perubahan.
    “Patut diapresiasi karena mereka mau dengar suara masyarakat. Tapi jangan berhenti di sini. Kritik masyarakat itu masih banyak, dan DPRD harus berani menjawab semuanya, bukan cuma potong tunjangan rumah,” ungkapnya.
    Sementara itu, Laras (42), warga Semarang, menilai besarnya gaji anggota DPR tidak sebanding dengan kondisi rakyat kecil yang masih banyak hidup di bawah standar kelayakan.
    Ia berharap DPR berani mengevaluasi kembali besaran gaji yang diterima anggotanya agar lebih berpihak kepada masyarakat.
    “Semoga bisa diturunkan lagi lah untuk gaji DPR-nya, kasihannya rakyat-rakyat biasa, gitu,” tutur Laras.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pelantikan PC Fatayat NU, Mbak Wali : Bersama Kita Bangun Kota Kediri yang MAPAN

    Pelantikan PC Fatayat NU, Mbak Wali : Bersama Kita Bangun Kota Kediri yang MAPAN

    Kediri (beritajatim.com) – Wali Kota Kediri Vinanda Prameswati mengajak jajaran PC Fatayat NU Kota Kediri untuk berkolaborasi mewujudkan Kota Kediri yang lebih MAPAN. Hal itu disampaikan saat menghadiri Pelantikan PC Fatayat NU Kota Kediri Masa Khidmat 2025-2030. Pelantikan berlangsung di Aula Masjid Agung, Sabtu (6/9/2025). Pelantikan ini mengambil tema Optimalisasi Peran Fatayat NU Menuju Perempuan Mapan dan Berdaya.

    “Selamat dan sukses atas dilantiknya jajaran PC Fatayat NU Kota Kediri. Semoga amanah yang diberikan dapat dijalankan dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan, dan semangat baru. Mari sama-sama memberikan kontribusi positif baik untuk umat, bangsa dan negara,” ujarnya.

    Mbak Wali menyampaikan Fatayat NU merupakan organisasi perempuan yang memiliki peranan sangat penting dalam bidang pembangunan. Baik di bidang keagamaan, sosial, pemberdayaan perempuan serta pendidikan.

    Tentu semua tahu Fatayat NU ini memiliki kiprah yang luar biasa. Yakni, selalu menanamkan nilai-nilai kebangsaan, serta nilai kesatuan dan persatuan. Inilah nilai-nilai yang sangat penting, perlu diaplikasikan di kehidupan berbangsa dan bernegara.

    “Saya yakin Fatayat NU akan semakin maju, semakin kuat, semakin solid dan sama-sama bisa mewujudkan masyarakat yang berdaya, berakhlak, dan sejahtera. Sehingga ke depan Kota Kediri bisa menjadi kota yang lebih MAPAN. Sesuai tema pelantikan pagi hari ini,” ungkapnya.

    Dalam kesempatan ini, Wali kota termuda ini juga menyampaikan terima kasih kepada jajaran PC Fatayat NU atas kontribusinya dalam membangun Kota Kediri. Diharapkan semua program-program baik dapat terus dilanjutkan. Sementara program yang masih kurang dan perlu dilakukan evaluasi dapat diperbaiki.
    “Dengan kepemimpinan baru saya yakin progran-program yang ada di Fatayat ini akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Saya juga titip pesan agar kolaborasi dan komunikasi dengan Pemkot Kediri terus berjalan. Semangat untuk terus berkontribusi bagi kota kita tercinta,” pungkasnya.

    Pada pelantikan ini, jabatan ketua diemban oleh Dewi Nafi’ah. Wakil Ketua I Himatul Aliyah, Wakil Ketua II Khotim Maslikah, Wakil Ketua III Tri Latifatul Sakdiyah, dan Wakil Ketua IV Laila Na’imatul Muthoharoh. Sekretaris dijabat oleh Alfi Zahiroh dan Bendahara dijabat Amalia Mustikawati.

    Turut hadir, Wakil Wali Kota Qowimuddin, Anggota DPRD Jawa Timur Khusnul Arif, Kepala Kantor Kemenag A. Zamroni, Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU Margaret Aliyatul Maimunah, Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat NU Jawa Timur Siti Maulidah, Ketua PCNU Abu Bakar Abdul Jalil, Ketua TP PKK Faiqoh Azizah Muhammad Qowimuddin.

    Kepala DP3AP2KB Arief Cholisudin, Kepala Bagian Kesra Ahmad Jainudin, Ketua GP Ansor H.M. Baihaqi, Ketua DPD KNPI Munjidul Ibad, dewan kehormatan dan pembina PC Fatayat NU Kota Kediri, Ketua PC Fatayat NU se-Mataraman, Ketua Banom dan Lembaga NU, serta tamu undangan lainnya. [kun]

  • Anggota Dewan di Sultra Jadi Tersangka Kasus Pembunuhan Anak

    Anggota Dewan di Sultra Jadi Tersangka Kasus Pembunuhan Anak

    Liputan6.com, Jakarta Polisi menetapkan anggota DPRD Kabupaten Wakatobi bernama Litao alias La Lita sebagai tersangka kasus pembunuhan di tahun 2014. Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) Komisaris Besar Polisi Iis Kristian mengatakan Litao akan diperiksa sebagai tersangka.

    “Iya benar, yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka. Kami akan melakukan pemanggilan dan selanjutnya akan diproses lebih lanjut sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” kata Iis Kristian.

    Penetapan tersangka tersebut juga tertuang dalam surat penetapan tersangka yang diterbitkan Polda Sultra bernomor Tap/126/VIII/RES.1.7/2025.

    Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Litao merupakan tersangka kasus pembunuhan anak di Lingkungan Topa, Kelurahan Mandati I, Kecamatan Wangiwangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sabtu, 25 Oktober 2014.

    Sementara itu, kuasa hukum keluarga korban pembunuhan dari Kantor Hukum Wa Ode Nur Zainab & Partners, La Ode Muhammad Sofyan Nurhasan, menyambut baik langkah polisi menetapkan anggota DPRD Wakatobi sebagai tersangka kasus pembunuhan tahun 2014 itu.

    Menurut dia, penetapan tersangka itu menjadi harapan baru bagi keluarga korban yang telah mencari keadilan untuk menghukum pembunuh anaknya 11 tahun silam.

    “Kita menyambut baik penetapan tersangka oleh pihak Polda Sultra, meskipun sudah ditetapkan sebagai DPO sejak 2014. Terkait tudingan-tudingan soal politisasi, itu terbantahkan dengan sendirinya karena faktanya pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2014,” jelas Muhammad Sofyan.

    Setelah peristiwa pembunuhan tahun 2014, Litao melarikan diri untuk menghindari proses hukum. Penyelidikan yang berlarut membuat Litao sempat masuk daftar pencarian orang (DPO) Polres Wakatobi.

    Namun, setelah itu, Litao justru bisa lolos menjadi caleg pada Pemilihan Umum 2024 dan terpilih hingga dilantik sebagai anggota DPRD Kabupaten Wakatobi pada 1 Oktober 2024.

    Padahal, keterlibatan Litao dalam kasus penganiayaan berujung meninggalnya korban jelas tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Baubau Nomor: 55/Pid.B/2015/PN.Bau tanggal 29 Juni 2015.

    Litao merupakan satu dari tiga pelaku yang menganiaya anak bernama Wiranto hingga meninggal dunia. Dua pelaku lain telah divonis bersalah dan sudah menjalani proses hukum.