Kementrian Lembaga: DPR RI

  • Andre Rosiade Salurkan Bantuan ke Korban Bencana Alam di Padang

    Andre Rosiade Salurkan Bantuan ke Korban Bencana Alam di Padang

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Andre Rosiade menyalurkan bantuan untuk korban pengungsi banjir dan longsor di Sumatera Barat. Bantuan tersebut diharapkan mampu meringankan beban para korban.

    Adapun penyaluran bantuan itu dilakukan saat Andre meninjau tujuh titik banjir dan longsor di Kota Padang, Kamis (27/11/2025). Di lokasi-lokasi pengungsian, Andre membagikan ribuan nasi bungkus dan bantuan tunai kepada warga yang terdampak.

    Turut hadir dalam kegiatan itu, Wali Kota Padang Fadly Amran, Wakil Wali Kota Maigus Nasir, anggota DPRD Sumbar Verry Mulyadi, Wakil Ketua DPRD Kota Padang Mastilizal Aye, Ketua Fraksi Gerindra DPRD Padang Wahyu Hidayat, serta sejumlah tokoh masyarakat.

    Di setiap titik, Andre langsung menyalurkan nasi bungkus kepada warga yang mengaku kesulitan mendapatkan makanan. Dia juga memberikan bantuan tunai Rp 5 juta per lokasi.

    “Hari ini kita turun melihat langsung dan berdialog dengan para korban bencana. Kami turut berduka atas musibah ini. Bagi warga di pengungsian, mohon sabar dan ikuti instruksi Pemko Padang,” kata Andre dalam keterangannya, Jumat (28/11/2025).

    Di kawasan itu, Andre meninjau satu kompleks berisi sekitar 40 rumah yang masih terendam. Didampingi Camat Nanggalo Amrizal Rengganis, dia meminta Fraksi Gerindra DPRD Padang menurunkan alat berat untuk mengangkat kayu yang menghambat aliran air.

    Di Pulau Terlena, Kampung Lapai, Andre kembali menyalurkan nasi bungkus dan memberi semangat kepada seorang ibu hamil di pos pengungsian.

    “Kita semua harus sabar dan tetap bersemangat,” tuturnya.

    “Beberapa alat HK sudah turun di titik banjir dan longsor di Sumbar. Nanti akan ditambah untuk Padang,” katanya.

    Camat Fizlan kemudian membawa Andre meninjau lokasi lain seperti Gaduang, KPIK, serta perumahan Lumin Park di Lubuk Minturun yang diterjang banjir bandang hingga menelan lima korban jiwa.

    Kunjungan berlanjut ke dua titik pengungsian di Sungai Lareh Koto Tangah, yakni BPSPL Padang dan Masjid Nurul Falah.

    “Kami akan terus memberikan bantuan kepada warga terdampak banjir dan longsor ini,” tutur Andre.

    Sementara itu, Fadly Amran mengapresiasi bantuan dan kepedulian Andre. Menurutnya, bantuan yang diberikan bisa memberikan manfaat bagi para korban bencana alam.

    “Terima kasih atas kedatangan dan bantuannya. Kami berharap Bang Andre dapat membantu mendatangkan alat berat untuk percepatan perbaikan intake PDAM dan dukungan lainnya dari pusat,” tutup Fadly.

    (ega/ega)

  • Deretan Upaya DJP Tagih Tumpukan Piutang Pajak Hampir Rp140 Triliun

    Deretan Upaya DJP Tagih Tumpukan Piutang Pajak Hampir Rp140 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat saldo piutang pajak neto sudah dikurangi penyisihan piutang awal 2025 tercatat sebesar Rp35,25 triliun. 

    Pada rapat dengar pendapat (RDP) lanjutan dengan Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2025), Dirjen Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa sebagian besar nilai saldo piutang tersebut merupakan piutang dengan umur sampai dengan satu tahun.

    Namun demikian, Bimo mengungkap terdapat lonjakan satu piutang hingga senilai Rp139,83 triliun. 

    “Dalam catatan kami sampai dengan 30 September 2025 terdapat penambahan satu piutang sebesar Rp139,83 triliun. Di periode yang sama terdapat pelunasan piutang Rp81,297 triliun,” terang Bimo kepada Komisi Keuangan DPR, dikutip Jumat (28/11/2025). 

    Bimo lalu memaparkan bahwa pihaknya melakukan serangkaian tindakan penagihan aktif mulai dari persuasif hingga hard collection.  

    Pertama, penyampaian surat reminder melalui email blast dengan pendekatan behavioral insight, penerbitan surat teguran, penyampaian surat paksa serta pelaksanaan sita. 

    Upaya pencairan juga dilakukan khususnya terhadap 201 penunggak pajak terbesar nasional yakni dengan memblokir rekening mereka, termasuk juga terhadap 15 penunggak pajak besar.

    Kedua, pemblokiran SABH yang ada di bawah Ditjen AHU Kementerian Hukum, pemblokiran layanan PNBP, serta pelaksanaan lelang bersama dengan Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu. 

    Ketiga, upaya pencegahan ke luar negeri dan penyanderaan atas penanggung pajak. “[Upaya dilanjutkan dengan] pembatasan kebebasan berup cekal dan kalau perlu sampai penyanderaan,” terang Dirjen Pajak lulusan Taruna Nusantara itu. 

    Keempat, kerja sama dengan aparat penegak hukum serta antarunit eselon I Kemenkeu, perbankan dan PPATK. 

    Adapun secara terpisah, Ditjen Pajak juga mencatat khusus untuk 201 penunggak pajak besar, otoritas telah mencairkan Rp11,99 triliun per 24 November 2025 lalu. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut pihaknya menargetkan pengumpulan Rp20 triliun dari penunggak pajak besar itu sampai akhir 2025.

  • 97.384 Orang Terdampak Banjir dan Longsor di Aceh, Terbanyak di Aceh Timur

    97.384 Orang Terdampak Banjir dan Longsor di Aceh, Terbanyak di Aceh Timur

    Jakarta

    Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem telah menetapkan status tanggap darurat bencana usai banjir dan longsor yang terjadi di Aceh. Total lebih dari 13 ribu orang di Aceh tinggal di pengungsian saat ini.

    Berdasarkan data yang diterima detikcom dari Kantor SAR Banda Aceh, Jumat (28/11/2025), jumlah pengungsi akibat banjir dan longsor di Aceh mencapai 13.174 orang. Angka itu merupakan jumlah kalkulasi dari data yang terkumpul pada Kamis (27/11) pukul 18.00 WIB.

    Secara keseluruhan ada 97.384 orang terdampak akibat bencana tersebut. Kabupaten Aceh Timur menjadi wilayah yang paling parah dengan 29.706 orang terdampak banjir dan longsor di lokasi di mana 2.456 warga terpaksa mengungsi.

    Sebanyak 22.190 jiwa terdampak banjir dan longsor di Kabupaten Pidie Jaya. Sementara ada 25.827 orang terkena imbas banjir di Kabupaten Aceh Singkil.

    Data dari Kantor SAR Banda Aceh juga menunjukkan ada 3.690 orang terdampak banjir dan longsor di Kabupaten Aceh Utara. Sebanyak 1.444 orang harus dipindah ke pengungsian saat ini.

    Aceh Darurat Bencana

    “Hari ini saya Gubernur Aceh menetapkan status keadaan tanggap darurat bencana hidrometeorologi di Aceh,” kata Mualem di Banda Aceh, dilansir Antara, Kamis (27/11).

    Pernyataan itu disampaikannya usai menghadiri Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terkait penetapan Rancangan Qanun Aceh tentang APBA 2025 di ruang serbaguna DPR Aceh, di Banda Aceh. Penetapan status tanggap darurat bencana ini berlangsung selama 14 hari sejak 28 November.

    “Kami sampaikan bahwa pemerintah Aceh melalui SKPA terkait telah memberikan bantuan dalam penanganan bencana tersebut,” ujarnya.

    Dengan ditetapkannya status darurat, diharapkan dapat mempercepat mobilisasi logistik, evakuasi, dan dukungan lintas lembaga untuk menangani bencana yang kini meluas di berbagai daerah di Aceh.

    Di sisi lain, Mualem menyebutkan bahwa saat ini akses transportasi mulai lumpuh di sejumlah daerah, termasuk putusnya jembatan di jalan nasional Banda Aceh-Medan, yang menyebabkan distribusi bantuan dan mobilisasi petugas terhambat.

    “Kita minta kepada Kapolda Aceh agar menyediakan helikopter untuk keperluan peninjauan ke wilayah-wilayah terisolasi banjir,” kata Mualem.

    (ygs/eva)

  • Dulu Kalau Ada yang Minta Dikawal Polisi Harus Layani, Sekarang Nggak Bisa Lagi

    Dulu Kalau Ada yang Minta Dikawal Polisi Harus Layani, Sekarang Nggak Bisa Lagi

    Jakarta

    Aktivitas pengawalan yang dilakukan kepolisian makin diperketat. Kalau sebelumnya polisi harus melayani permintaan, kini tak bisa sembarangan lagi.

    Korlantas Polri telah membekukan penggunaan ‘Tot Tot Wuk Wuk’ alias strobo dan sirene. Ini lantaran penggunaannya mengganggu masyarakat. Meski begitu, aktivitas pengawalan masih tetap ada. Tapi aktivitas pengawalan itu kian diperketat. Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri irjen Pol. Agus Suryonugroho menyebut kini pengawalan tak bisa asal dilakukan. Aturannya makin ketat, tak seperti dulu kalau ada permintaan pengawalan pihak kepolisian harus melayani.

    “Jadi banyak yang kami tarik, karena polisi juga ketika seseorang minta dikawal, minta, harus kami layani. Tetapi sekarang tidak, ada aturannya yang jelas dan untuk pengawalan ada prioritas,” tegas Agus dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR.

    Menurut Agus, pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Sekretariat Negara untuk menentukan daftar pejabat yang berhak mendapat prioritas sekaligus pengawalan. Langkah ini dilakukan agar penggunaannya jadi lebih tertib.

    “Dan kami sedang koordinasi dengan Setneg jadi mana yang harus dikawal dan mana yang tidak harus dikawal. Kalau anggota dewan kita kawal semuanya, Pak. Tidak berani kami, Pak,” sambung Agus.

    Siapa Pejabat Boleh Dikawal?

    Untuk diketahui, pejabat memang mendapat pengawalan. Pengawalan yang dilakukan kepolisian terhadap pejabat itu diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 4 tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara RI di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Disebutkan dalam pasal 8, penugasan sebagai ajudan atau personel pengamanan dan pengawalan pejabat negara diberikan kepada:

    – Pejabat negara Republik Indonesia
    – Pejabat negara asing yang berkedudukan di Indonesia
    – Mantan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia
    – Suami atau istri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
    – Kepala badan/lembaga/komisi
    – Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia, atau
    – Pejabat lainnya atas persetujuan Kapolri

    Lebih lanjut pada pasal 8 ayat 2 dijelaskan, pejabat negara sebagaimana disebutkan pada pasal 8 ayat 1 meliputi:

    1. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
    2. Ketua/Wakil Ketua MPR
    3. Ketua/Wakil Ketua DPR dan DPD
    4. Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Agung
    5. Hakim Agung
    6. Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
    7. Ketua/Wakil Ketua Komisi Yudisial
    8. Ketua/Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
    9. Menteri atau pejabat setingkat Menteri
    10. Gubernur/wakil gubernur
    11. Bupati atau Walikota

    Pejabat tersebut mendapat masing-masing dua personel yang bertugas sebagai ajudan. Kemudian ada juga enam personel untuk setiap pejabat, bagi penugasan sebagai personel pengamanan dan pengawalan.

    (dry/din)

  • Suasana Rutan KPK Jelang Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dibebaskan Hari Ini

    Suasana Rutan KPK Jelang Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dibebaskan Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Direktur Utama (Dirut) ASDP Ira Puspadewi dikabarkan akan menghirup udara bebas usai mendapatkan rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di Rutan KPK 05.30 WIB, nampak keluarga sudah berkumpul untuk menunggu kebebasan Ira Puspadewi.

    Terlihat, dari rombongan keluarga itu terdapat suami Ira, Zaim Ucrowi yang sudah datang sejak 05.00 WIB di gedung KPK.

    Selain itu, nampak juga keluarga dari rekan Ira, yakni Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf telah hadir menunggu momen kebebasan ini.

    Di lain sisi, dari dalam Rutan KPK masih belum ada pergerakan dari karyawannya. Petugas pengamanan pun belum nampak disiagakan di lokasi pembebasan Ira Puspadewi dan dua rekannya.

    Kuasa Hukum Ira, Firmansyah mengatakan saat ini pihaknya masih menunggu informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Keppres rehabilitasi kliennya.

    “Kami dapat info sih, dapatnya itu jam 05.30. Jam 05.30 dapat info. Namun kami belum tahu di dalam apakah sudah diterima, yaitu Keppres-nya, suratnya,” ujar Firmansyah di sekitar Rutan KPK, Jakarta, Jumat (28/11/2025).

    Dia menambahkan kliennya seharusnya dipastikan bebas pada hari ini. Sebab, berdasarkan hitungan pacavonis PN Jakpus, hari ini terhitung sudah mencapai batas pengajuan banding atau masa pikir-pikir.

    “Hari ini dipastikan. Harus hari ini ya, karena kan memang hitungannya sudah sudah ini ya, sudah selesai ya, hitungan dari tujuh hari. Insyaallah hari ini,” pungkasnya.

    Sebelumnya, kabar rehabilitasi diumumkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Mensesneg Prasetyo Hadi, dan Seskab Teddy Indra Wijaya di Istana Negara pada Selasa (25/11/2025).

    Surat rehabilitasi tersebut merupakan tindak lanjut dari berbagai aspirasi masyarakat yang masuk ke DPR sejak kasus yang menjerat jajaran direksi ASDP mulai diselidiki pada Juli 2024.

    Setelah itu, DPR RI kemudian meminta kepada komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap perkara untuk mulai dilakukan penyelidikan sejak bulan Juli 2024. Singkatnya, hasil kajian ini disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.

    Berdasarkan kewenangannya, Presiden pun membuat keputusan untuk memberikan rehabilitasi terus Ira Puspadewi dkk di kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh ASDP.

    Adapun, Ira Puspadewi sejatinya sudah ditetapkan bersalah melakukan korupsi akuisisi PT JN. Ira kemudian divonis 4,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta. 

    Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp250 juta.

  • DPR Usul Korlantas Polri jadi Balantas yang Dipimpin Jenderal Bintang 3

    DPR Usul Korlantas Polri jadi Balantas yang Dipimpin Jenderal Bintang 3

    Bisnis.com, JAKARTA — DPR mengusulkan agar korps lalu lintas (Korlantas) Polri agar bisa diubah menjadi badan lalu lintas alias Balantas.

    Hal tersebut disampaikan DPR dalam kesimpulan usai melakukan rapat bersama Korlantas Polri dan Ditlantas jajaran di kompleks Parlemen, Kamis (27/11/2025).

    “Mengingat tantangan dan beban kerja yang semakin Kompleks Komisi 3 DPR RI merekomendasikan Korlantas Polri menjadi Badan Lalu Lintas Polri, Balantas Polri,” ujar Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Pandjaitan.

    Dia menambahkan badan teranyar itu bakal dipimpin oleh anggota kepolisian dengan pangkat Komisaris Jenderal (Komjen) alias bintang tiga.

    “Berpangkat bintang 3 sesuai dengan kebijakan Kapolri tentang transformasi organisasi Polri dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” Imbuhnya.

    Selain itu, DPR juga telah menyimpulkan agar Kakorlantas bisa meningkatkan pengamanan dan pelayanan lalu lintas dalam menghadapi liburan Nataru 2025-2026.

    Peningkatan itu dilakukan dengan menjaga keamanan dengan mengedepankan kegiatan-kegiatan preventif, sehingga keselamatan ketertiban dan kelancaran berlalu lintas di seluruh wilayah Indonesia dapat diwujudkan.

    Adapun, DPR juga mendukung Korlantas Polri untuk melakukan optimalisasi kerja di bidang penegakan hukum melalui tilang elektronik alias ETLE dan pelayanan bidang regident publik melalui sejumlah aplikasi.

    “Mendukung kinerja Korlantas Polri dalam melakukan optimalisasi revitalisasi kerja ETLE di bidang penegakan hukum lalu lintas pelayanan publik dan di bidang regident melalui perangkat SIGNAL dan SINAR serta Indonesia Safety Driving Center [ISDC] untuk mewujudkan penegakan hukum lalu lintas yang transparan dan akuntabel,” pungkas Hinca.

  • Kegerahan Rakyat dan "Recall" Anggota DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 November 2025

    Kegerahan Rakyat dan "Recall" Anggota DPR Nasional 28 November 2025

    Kegerahan Rakyat dan “Recall” Anggota DPR
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    KEGERAHAN
    publik terhadap kinerja sebagian anggota DPR sesungguhnya bukan gejala baru, tapi akumulasi frustrasi yang makin mengental seiring makin tertutupnya mekanisme koreksi terhadap para wakil rakyat.
    Demokrasi elektoral memberi ruang bagi rakyat untuk memilih, tetapi nyaris tidak memberi kanal bagi rakyat untuk menghentikan wakil yang gagal, abai, atau bahkan
    nyeleneh
    dalam menjalankan mandat.
    Di tengah defisit akuntabilitas ini, gugatan terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d
    UU MD3
    ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi wujud kepedulian publik—khususnya generasi muda—untuk menuntut kembalinya logika dasar demokrasi: bahwa mandat berasal dari rakyat, dan seharusnya dapat dicabut oleh rakyat.
    Dalam putusannya, MK menolak permohonan tersebut dan mempertahankan bahwa kewenangan pemberhentian antarwaktu (PAW) adalah hak penuh partai politik.
    MK beralasan mekanisme
    recall
    merupakan konsekuensi logis dari sistem pemilu yang berbasis partai, sebagaimana tertuang dalam Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945.
    “Pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-recall anggota DPR atau DPRD dimaksud,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang pleno (
    Kompas.com
    , 27 November 2025).
    MK menegaskan bahwa evaluasi publik atas anggota parlemen “cukup” dilakukan setiap lima tahun melalui pemilu, bukan melalui mekanisme
    recall
    oleh pemilih.
    Kendati demikian, respons hukum tersebut justru memperlebar jarak antara rakyat dan wakilnya.
    Dengan mempertahankan monopoli
    recall
    di tangan partai politik, MK secara tidak langsung menempatkan rakyat sebagai subjek pasif demokrasi—pemilih hanya aktif sekali dalam lima tahun, lalu kehilangan daya tawar ketika wakilnya bertindak di luar mandat moral dan politik yang dulu dijanjikan.
    Padahal, pengalaman empiris menunjukkan partai politik sering kali menggunakan PAW sebagai alat kontrol internal, bukan sebagai mekanisme akuntabilitas publik.
    Kegerahan rakyat terhadap perilaku anggota DPR yang
    nyeleneh
    tidak menemukan saluran konstitusional memadai, sementara gugatan seperti perkara 199/PUU-XXIII/2025 justru dipatahkan oleh tafsir yang menempatkan stabilitas prosedural di atas kedaulatan substantif.
    Persoalan
    recall
    hanyalah salah satu wajah dari ketidaksinkronan struktural yang lebih dalam dalam UU MD3.
    Sejak DPRD dipindahkan pengaturannya sepenuhnya ke dalam UU Pemerintahan Daerah, kedudukannya tidak lagi sejajar dengan DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan dalam satu rumpun yang sama.
    Namun, UU MD3 tetap mempertahankan struktur lama seolah tidak ada perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan.
    Akibatnya, undang-undang ini mengatur entitas yang secara yuridis sudah berada dalam rezim berbeda.
    Kekeliruan konseptual seperti ini membuat MD3 kehilangan ketepatan desain dan tidak lagi mencerminkan arsitektur politik yang berjalan.
    Inkonsistensi ini semakin tampak ketika dilihat dari fungsi dan hubungan antarlembaga. DPRD kini berada dalam tata kelola pemerintahan daerah, bukan dalam relasi legislasi nasional sebagaimana DPR dan DPD.
    Namun, MD3 tetap menyajikan seluruhnya dalam satu paket. Ketika satu institusi telah berpindah “rumah yuridis”, sementara kerangka UU-nya dibiarkan, yang muncul adalah regulasi saling tumpang tindih dan sulit dibenarkan secara sistematik.
    Undang-undangnya bicara satu hal, struktur ketatanegaraannya berjalan dengan logika lain. Kesenjangan ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai peran, fungsi, dan relasi kekuasaan antar-lembaga.
    Di tengah kekacauan desain seperti itu, tidak mengherankan jika mekanisme akuntabilitas yang lahir dari MD3 juga tidak bekerja optimal.
    Ketika fondasi regulasinya saja tidak presisi, mekanisme seperti
    recall
    mudah terjebak dalam logika organisasi politik ketimbang logika kedaulatan rakyat.
    Alih-alih memperbaiki struktur MD3 agar sesuai dengan konfigurasi kelembagaan saat ini, negara justru mempertahankan skema
    recall
    yang tersentralisasi di tangan partai politik.
    Ketidaksinkronan inilah yang mempersempit ruang rakyat untuk mengoreksi wakilnya, sementara undang-undang yang seharusnya menjadi kerangka representasi justru semakin jauh dari prinsip dasar demokrasi.
    Kegerahan rakyat terhadap
    wakil rakyat
    sebenarnya lahir dari ketimpangan yang sangat mendasar: rakyat memiliki hak memilih, tetapi hampir tidak memiliki hak untuk mengoreksi ketika wakilnya melenceng.
    Ketika perilaku anggota DPR yang abai, tidak etis, atau bahkan
    nyeleneh
    muncul ke permukaan, publik hanya bisa menyuarakan kemarahan melalui media sosial, petisi, atau aksi jalanan—tanpa satu pun mekanisme konstitusional yang benar-benar mengaitkan suara tersebut dengan keberlanjutan mandat wakil rakyat.
    Dalam suasana seperti ini, kegerahan publik berubah menjadi frustrasi yang tertahan, karena tidak ada jalur formal yang memberikan dampak langsung pada kedudukan sang wakil.
    Di sinilah gugatan terhadap UU MD3 menemukan konteks sosiologisnya. Publik tidak sedang mencari sensasi, apalagi ingin mengganggu stabilitas politik; mereka sedang menuntut agar hubungan wakil–diwakili tidak berhenti pada momen pencoblosan.
    Kegerahan rakyat yang terus berulang menunjukkan bahwa demokrasi elektoral lima tahunan tidak cukup untuk menjamin akuntabilitas.
    Ketika wakil rakyat sudah jauh dari ekspektasi konstituen, logika demokrasi mestinya memberi ruang agar rakyat bisa bertindak.
    Namun, mekanisme yang tersedia saat ini justru memaksa publik untuk bergantung pada partai politik—institusi yang tidak selalu memiliki insentif untuk merespons aspirasi akar rumput.
    Ketiadaan kanal pelampiasan yang efektif membuat kegerahan rakyat berubah menjadi krisis kepercayaan. Publik melihat bagaimana sebagian anggota DPR bertindak seenaknya, namun tidak pernah tersentuh koreksi karena recall dikunci di tangan partai politik.
    Sementara itu, imbauan bahwa rakyat “cukup” menunggu pemilu berikutnya terasa mengabaikan realitas: penyimpangan mandat terjadi hari ini, dampaknya dirasakan hari ini, tetapi mekanisme koreksinya baru boleh dilakukan lima tahun kemudian.
    Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kegelisahan rakyat memuncak—sebab negara tidak menyediakan instrumen yang memadai untuk memastikan bahwa mandat yang diberikan dengan susah payah dapat dicabut ketika dikhianati.
    Kegerahan rakyat terhadap wakilnya sejatinya merupakan cermin dari struktur politik yang menempatkan pemilih hanya sebagai ‘sumber legitimasi awal’, tetapi tidak sebagai pengendali keberlanjutan mandat.
    Ketika rakyat tidak memiliki instrumen koreksi yang memadai, sementara perilaku wakil rakyat dapat melenceng kapan saja, relasi representasi berubah menjadi hubungan satu arah: rakyat memberikan mandat, tetapi kehilangan otoritas untuk mencabutnya.
    Dalam konfigurasi semacam ini, kekuasaan legislatif menjadi semakin terlepas dari kontrol publik karena mekanisme
    recall
    dikuasai partai politik, bukan oleh pihak yang menjadi sumber legitimasi sesungguhnya.
    Dalam kondisi tersebut, anggapan bahwa pemilu lima tahunan merupakan jalan evaluasi yang memadai justru memperlihatkan kegagalan membaca dinamika penyimpangan mandat.
    Penyimpangan tidak menunggu pergantian periode; melainkan muncul dalam kejadian sehari-hari, melalui tindakan yang merugikan publik, melanggar etika, atau menunjukkan ketidakmampuan menjalankan fungsi representasi.
    Memaksa rakyat menunggu lima tahun untuk mengoreksi perilaku demikian bukan hanya tidak logis, tetapi juga menormalisasi ketimpangan kekuasaan.
    Waktu menjadi perisai bagi wakil rakyat, sementara kegerahan rakyat tidak memiliki signifikansi hukum apa pun.
    Maka, reformasi MD3 harus mengarah pada pemulihan kontrol rakyat, bukan sekadar merapikan struktur yang sudah lama tidak sinkron.
    Mekanisme
    recall
    oleh pemilih seharusnya dipahami sebagai instrumen kedaulatan, bukan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik.
    Tanpa kanal yang memungkinkan rakyat mencabut mandat ketika terjadi penyimpangan, demokrasi hanya berfungsi sebagai rangkaian prosedur yang menyamarkan dominasi partai politik di balik retorika perwakilan.
    Kegerahan yang terus berulang adalah indikator bahwa demokrasi elektoral sedang kehilangan substansinya, dan bahwa pembenahan menyeluruh diperlukan untuk memastikan mandat publik tidak lagi dibiarkan tergantung pada kalkulasi internal partai, melainkan kembali berada di tangan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DMFI Apresiasi Larangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing di Jakarta

    DMFI Apresiasi Larangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing di Jakarta

    Jakarta: Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) menyampaikan apresiasi kepada Gubernur DKI Jakarta atas diterbitkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 36 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 199 Tahun 2016 tentang Pengendalian Hewan Penular Rabies.

    Pergub ini juga secara resmi melarang perdagangan dan penjagalan anjing serta kucing untuk tujuan pangan di wilayah DKI Jakarta.

    Langkah monumental ini menandai terobosan besar di Indonesia karena menutup praktik perdagangan daging anjing dan kucing, sekaligus memperkuat upaya nasional dalam pencegahan zoonosis, perlindungan kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan hewan.

    Kebijakan ini merupakan tindak lanjut konkret dari Surat Edaran (SE) Dinas KPKP Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022. Dengan diterbitkannya Pergub Nomor 36 Tahun 2025, Pergub DKI Jakarta menjadi provinsi yang menindaklanjuti SE tersebut dengan kebijakan hukum yang mengikat, sekaligus komitmen kuat terhadap perlindungan hewan dan kesehatan publik.
     

    Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2025 secara tegas menetapkan:
    – Larangan memperjualbelikan hewan penular rabies (HPR), termasuk anjing dan kucing, untuk tujuan pangan (Pasal 27A).
    – Larangan kegiatan penjagalan atau pembunuhan HPR untuk pangan (Pasal 27B).
    – Sanksi administratif tegas bagi pelanggar, mulai dari teguran tertulis, penyitaan hewan atau produk, hingga penutupan tempat usaha dan pencabutan izin (Pasal 29 dan 29A).

    Pergub ini juga menugaskan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) bersama Satpol PP dan perangkat daerah terkait untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum di lapangan.

    Koalisi Dog Meat Free Indonesia menyampaikan apresiasi sekaligus terima kasih kepada Gubernur DKI Jakarta beserta jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas penerbitan Pergub ini.

    “Kami mengapresiasi langkah bersejarah Gubernur DKI Jakarta yang menjadikan Jakarta sebagai contoh nyata bagi daerah lain di Indonesia. Kebijakan ini bukan hanya melindungi hewan, tetapi juga melindungi masyarakat dari risiko penyakit dan mencerminkan nilai kemanusiaan bangsa yang beradab,” ujar perwakilan Koalisi Dog Meat Free Indonesia, Karin Franken.
     
    Seruan untuk daerah lain

    Lebih lanjut, DMFI berharap langkah progresif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini dapat menjadi model kebijakan nasional yang bisa diadopsi oleh provinsi dan kabupaten/kota lain di seluruh Indonesia.

    “Jakarta telah membuka jalan. Kini saatnya seluruh daerah mengikuti langkah berani ini untuk Indonesia yang lebih sehat, beradab, dan melindungi masyarakat dari ancaman penyebaran penyakit rabies,” terang Karin.

    Sementara itu, Adrian Hane S.H., selaku legal manager DMFI juga mendorong Badan Legislasi DPR-RI untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan (RUU Linkesrawan) agar larangan ini memiliki payung hukum nasional yang kuat dan seragam.

    Jakarta: Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) menyampaikan apresiasi kepada Gubernur DKI Jakarta atas diterbitkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 36 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 199 Tahun 2016 tentang Pengendalian Hewan Penular Rabies.
     
    Pergub ini juga secara resmi melarang perdagangan dan penjagalan anjing serta kucing untuk tujuan pangan di wilayah DKI Jakarta.
     
    Langkah monumental ini menandai terobosan besar di Indonesia karena menutup praktik perdagangan daging anjing dan kucing, sekaligus memperkuat upaya nasional dalam pencegahan zoonosis, perlindungan kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan hewan.

    Kebijakan ini merupakan tindak lanjut konkret dari Surat Edaran (SE) Dinas KPKP Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022. Dengan diterbitkannya Pergub Nomor 36 Tahun 2025, Pergub DKI Jakarta menjadi provinsi yang menindaklanjuti SE tersebut dengan kebijakan hukum yang mengikat, sekaligus komitmen kuat terhadap perlindungan hewan dan kesehatan publik.
     

     
    Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2025 secara tegas menetapkan:
    – Larangan memperjualbelikan hewan penular rabies (HPR), termasuk anjing dan kucing, untuk tujuan pangan (Pasal 27A).
    – Larangan kegiatan penjagalan atau pembunuhan HPR untuk pangan (Pasal 27B).
    – Sanksi administratif tegas bagi pelanggar, mulai dari teguran tertulis, penyitaan hewan atau produk, hingga penutupan tempat usaha dan pencabutan izin (Pasal 29 dan 29A).
     
    Pergub ini juga menugaskan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) bersama Satpol PP dan perangkat daerah terkait untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum di lapangan.
     
    Koalisi Dog Meat Free Indonesia menyampaikan apresiasi sekaligus terima kasih kepada Gubernur DKI Jakarta beserta jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas penerbitan Pergub ini.
     
    “Kami mengapresiasi langkah bersejarah Gubernur DKI Jakarta yang menjadikan Jakarta sebagai contoh nyata bagi daerah lain di Indonesia. Kebijakan ini bukan hanya melindungi hewan, tetapi juga melindungi masyarakat dari risiko penyakit dan mencerminkan nilai kemanusiaan bangsa yang beradab,” ujar perwakilan Koalisi Dog Meat Free Indonesia, Karin Franken.
     

    Seruan untuk daerah lain

    Lebih lanjut, DMFI berharap langkah progresif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini dapat menjadi model kebijakan nasional yang bisa diadopsi oleh provinsi dan kabupaten/kota lain di seluruh Indonesia.
     
    “Jakarta telah membuka jalan. Kini saatnya seluruh daerah mengikuti langkah berani ini untuk Indonesia yang lebih sehat, beradab, dan melindungi masyarakat dari ancaman penyebaran penyakit rabies,” terang Karin.
     
    Sementara itu, Adrian Hane S.H., selaku legal manager DMFI juga mendorong Badan Legislasi DPR-RI untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan (RUU Linkesrawan) agar larangan ini memiliki payung hukum nasional yang kuat dan seragam.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (PRI)

  • TNI Jaga Kilang Minyak, Menteri Bahlil Bahas Soal Sabotase

    TNI Jaga Kilang Minyak, Menteri Bahlil Bahas Soal Sabotase

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menilai keterlibatan prajurit TNI dalam pengamanan fasilitas kilang merupakan hal yang wajar dan penting dalam menjaga aset strategis negara.

    Hal itu disampaikan Bahlil usai menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (26/11/2025).

    Saat ditanya mengenai informasi dari Kementerian Pertahanan terkait penugasan prajurit TNI untuk menjaga kilang tertentu, Bahlil menegaskan bahwa seluruh institusi negara memang perlu bekerja sama dalam menjaga objek vital nasional.

    “Saya pikir semua institusi negara harus berkolaborasi untuk mengamankan apa yang menjadi hal-hal penting bagi kepentingan negara,” ujar Bahlil.

    Ketika ditanya apakah penugasan tersebut menimbulkan masalah, dia memastikan tidak ada persoalan yang perlu diperdebatkan.

    “Nggak ada masalah. Daripada orang sabotase menjadi aparat keamanan TNI, polisi, itu penting,” katanya.

    Bahlil juga menyebut bahwa ancaman terhadap objek vital selalu menjadi kemungkinan yang harus diperhitungkan.

    “Ya kita lihat. Kalau itu ancamannya kita lihat. Potensi itu kan selalu kemungkinan ada,” tandas Bahlil.

    Sebelumnya pengiriman Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengamankan kilang minyak dan terminal milik Pertamina disampaikan langsung oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Menurutnya, Pertamina bagian dari instalasi strategis milik pemerintah dan pengamanan termasuk dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

    “Sebagai contoh, kilang dan terminal Pertamina, ini juga bagian yang tidak terpisahkan daripada gelar kekuatan kita.Tugas-tugas pengamanan instalasi strategis, khususnya yang dimiliki oleh Pertamina, ini juga bagian dari OMSP,” kata Sjafrie usai melaksanakan rapat tertutup dengan Komisi I DPR dan Panglima TNI di DPR, Senin (24/11/2025).

    Pengerahan pasukan dilakukan mulai Desember 2025 dengan menugaskan pasukan-pasukan dari TNI Angkatan Darat dan juga dipantau oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS).

    Upaya ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus memitigasi ancaman bagi Pertamina maupun kedaulatan negara. Selain itu, Menhan tengah menggenjot pembangunan 150 Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan per tahun, terhitung sejak 2025.

    “Ini tentunya tidak dimaksudkan untuk kebutuhan ambisi teritorial, tetapi semata-mata untuk menjaga keutuhan wilayah dan pengamanan serta menyelamatkan kepentingan nasional, serta menjaga industri strategis yang mempunyai kaitan dengan kedaulatan negara,” ungkapnya.

    Menhan mengungkapkan telah menerapkan tiga Center of Gravity atau lokasi prioritas untuk dijaga pertahanannya. Hal ini guna menunjang kegiatan sosial, ekonomi, serta pembangunan

    “Yang pertama, Jakarta sendiri kita amankan. Jakarta itu dari 360 derajat. Baik dari pengamanan pantai, maupun pengamanan udara, serta pengamanan di darat kita lakukan.

    Kemudian Center of Gravity yang kedua adalah Aceh, sebab ini adalah bagian barat dari wilayah kita. Kemudian, Center of Gravity ketiga, adalah Papua,” ungkapnya.

    Di Papua, tim pengamanan menerapkan metode Smart Approach yang didalamnya terdiri Soft Approach, pendekatan teritorial, dan Hard Approach yaitu operasi taktis.

    Selain di dalam negeri, personel TNI dikerahkan untuk pengamanan luar negeri. Panglima TNI Agus Subiyanto mempersiapkan pasukan kontingen penjaga perdamaian di Gaza, Palestina

    Agus menyebut, Jenderal Bintang 3 akan memimpin tiga brigade komposit yang terdiri dari beberapa batalyon.

    “Nanti di bawah Brigade Komposit itu terdiri dari: satu Batalyon Kesehatan, satu Batalyon Zeni Konstruksi, kemudian Batalyon Bantuan, dan ada lagi Bantuan Mekanis,” kata Agus.

    TNI juga mengirimkan helikopter, kemudian pesawat C-130 Hercules, dan dua Kapal Rumah Sakit dari Angkatan Laut lengkap dengan helikopter yang ada di pesawat (kapal) tersebut.

  • IPB: Kebijakan afirmatif atasi kebun rakyat dalam kawasan hutan

    IPB: Kebijakan afirmatif atasi kebun rakyat dalam kawasan hutan

    Kota Bogor (ANTARA) – Kepala Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Budi Mulyanto mendorong pemerintah segera menetapkan kebijakan afirmatif untuk menyelesaikan persoalan kebun rakyat yang terlanjur masuk dalam kawasan hutan.

    Hal itu ia ungkapkan di sela Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Menakar Pansus Konflik Agraria dalam Perspektif Klaim Kawasan Hutan” yang berlangsung di IPB International Convention Center (IICC), Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

    Ia menjelaskan keresahan petani sawit meningkat karena banyak kebun yang dibangun lebih dari 30 tahun lalu dan memiliki legalitas lengkap, justru kemudian diklasifikasikan sebagai kawasan hutan melalui penetapan peta kehutanan.

    Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat, termasuk mereka yang menjadi peserta program transmigrasi, PIR, serta berbagai program pembangunan masa lalu yang didorong pemerintah.

    “Banyak kebun yang sudah punya sertifikat tiba-tiba masuk kawasan hutan. Itu menjadi tantangan besar bagi petani,” kata Prof Budi.

    Ia menegaskan persoalan tersebut bersumber dari peta kawasan hutan yang sejak tahun 80-an memasukkan banyak wilayah permukiman dan kebun rakyat ke dalam batas kawasan, meskipun secara hukum agraria tanah itu diakui.

    Prof Budi mencontohkan pernyataan Dirjen Planologi masa lalu yang mengakui garis luar kawasan hutan sering kali menutup wilayah yang sesungguhnya bukan kawasan hutan, sehingga perlu koreksi kebijakan.

    “Ini bisa menjadi patokan saat kita melakukan proses pembelaan terbaik. Pemerintah perlu segera membuat affirmative policy untuk menyelesaikan persoalan masyarakat,” ujarnya.

    Ia menekankan penyelesaian harus memperhatikan tiga prinsip utama, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan agar tidak menciptakan konflik baru dan memberikan manfaat, baik bagi masyarakat maupun negara.

    Prof Budi juga menyoroti kondisi di Bogor, di mana terdapat sekitar 73 desa yang diklaim berada dalam kawasan hutan, termasuk Desa Sukawangi yang disebut memiliki 700 hektare lahan terimbas kebijakan tersebut.

    “Apa gunanya mempertahankan itu sebagai kawasan hutan kalau sudah dikelola masyarakat secara baik dan legal?” katanya.

    Ia menilai Pansus Konflik Agraria DPR RI perlu melakukan verifikasi lapangan secara menyeluruh untuk memastikan tata kelola penguasaan tanah, pemetaan sengketa, serta harmonisasi aturan antar-kementerian.

    Menurut dia, solusi yang diambil pemerintah tidak boleh menimbulkan pendekatan konfrontatif. Negara harus memprioritaskan solusi bersama masyarakat dalam kerangka agraria yang berkeadilan.

    “Highlight saya, segera membuat solusi afirmatif. Kalau tidak, persoalan ini akan terus muncul,” kata Prof Budi.

    Pewarta: M Fikri Setiawan
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.