Anggota DPR Maruli Siahaan Sebut Masyarakat Tak Punya Hak Tuntut Penutupan PT TPL
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi XIII DPR Maruli Siahaan mengatakan, masyarakat tidak mempunyai hak untuk meminta penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Hal tersebut disampaikan Maruli dalam rapat dengar pendapat (RDP) Direktorat Jenderal (Dirjen) Penguatan HAM Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) dan
PT TPL
, pada Rabu (26/11/2025).
“Jadi tidak ada hak masyarakat mengatakan tutup TPL, ya itu tidak ada haknya. Adalah hukum yang berbicara, itu harus betul-betul kita patuhi,” ujar Maruli dalam siaran langsung di akun Youtube
Komisi XIII DPR
, dikutip (Kamis (11/12/2025).
Politikus Partai Golkar itu menyebut, PT TPL telah memaparkan proses perizinan hingga tindakan nyata terhadap kesejahteraan masyarakat setempat.
Namun, ia menyorot adanya unjuk rasa yang menuntut
penutupan PT TPL
yang seharusnya didorong dengan bukti yang kuat.
“Yang bermasalah sekarang adalah unjuk rasa yang besar-besaran, bahkan mengatakan ‘tutup TPL, tutup TPL’. Ini juga sebenarnya ini suara masyarakat banyak, tapi kita harus bisa membuktikan fakta apa sebenarnya yang menutup TPL ini,” ujar Maruli.
Maruli mengatakan, sampai saat ini belum ada putusan berkekuatan hukum atau inkrah yang menyatakan PT TPL merusak lingkungan dan melanggar Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Bahkan laporan-laporan yang ditangani polisi adalah dari pihak TPL dan itu sudah juga mendapat hukuman. Nah ini, apakah TPL pernah dilaporkan oleh masyarakat mengenai kerusakan lingkungan? itu dulu,” ujar Maruli.
“Kalau memang ada dan sejauh mana prosesnya. Karena apa? menutup pabrik yang sudah mempunyai izin pemerintah, mengeluarkan izin, tidak sembarangan ini untuk mengatakan tutup,” sambungnya menegaskan.
Anggota DPR daerah pemilihan (Dapil) I Sumatera Utara itu menduga, adanya pihak tertentu yang menunggai
tuntutan penutupan PT TPL
.
“Saya terus terang saya adalah putra daerah, saya miris dengan keributan ini. Sepertinya ada pihak-pihak lain yang menunggangi ini. Ini perlu jadi catatan buat kita dari kementerian juga,” ujar Maruli.
ANTARA FOTO/Yudi Manar Sejumlah masyarakat suku batak berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan, Senin (10/11/2025). Dalam aksi tersebut mereka menuntut agar Gubernur Sumatera Utara menutup PT. Toba Pulp Lestari (TPL) karena dianggap sudah merusak tanah suku batak di Kabupaten Toba.
Pada Senin (10/11/2025), ribuan orang menuntut agar Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang beroperasi di Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu, menegaskan bahwa mereka ingin memastikan Bobby menutup PT TPL.
“Kita ingin memastikan Gubernur menutup TPL. Sampai gubernur datang menjumpai kita,” kata Rocky Pasaribu dari atas mobil komando, di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara.
Ia menambahkan bahwa gerakan ini merupakan aksi kolektif dari warga yang telah menderita akibat intimidasi yang dilakukan oleh perusahaan PT TPL.
Massa aksi tidak hanya terdiri dari mahasiswa, tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar Danau Toba dan warga Tapanuli Selatan.
Terbaru pada Senin (24/11/2025), Bobby mengatakan akan menandatangani surat rekomendasi penutupan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) pada Senin (1/12/2025).
Bobby menyampaikan hal itu seusai rapat dengan Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis, Ephorus HKPB, Pdt. Dr. Victor Tinambunan, dan Masyarakat Adat di Kantor Gubernur Sumut, Senin (24/11/2025).
“Satu minggu ini. Tadi kita sepakat, jadi minggu depan biar bisa saya teken,” kata Bobby saat diwawancarai wartawan usai rapat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: DPR RI
-
/data/photo/2025/12/11/693a3f9080648.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anggota DPR Maruli Siahaan Sebut Masyarakat Tak Punya Hak Tuntut Penutupan PT TPL
-

BGN soal Usulan Dana MBG Dialihkan Bantu Bencana: Itu Kewenangan Presiden
Jakarta –
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Dadan Hindayana menanggapi usulan Komisi V DPR RI agar dana tak terserap program Makan Bergizi Gratis (MBG) dialihkan sementara untuk korban bencana di Utara Sumatera. Dadan mengatakan keputusan pengalihan merupakan kewenangan Presiden Prabowo Subianto.
“Itu kewenangan Presiden dan secara administratif dilaksanakan oleh Menkeu (Menteri Keuangan),” kata Dadan kepada wartawan, Kamis (11/12/2025).
Dadan menambahkan saat ini BGN justru sedang dalam proses Anggaran Belanja Tambahan (ABT). Namun, dia tetap menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada pemerintah pusat.
“BGN sedang proses ABT,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi V DPR RI Lasarus mengatakan bantuan Rp 4 miliar per kabupaten/kota terdampak bencana tidak cukup. Dia meminta pemerintah mengalihkan anggaran tidak terserap untuk membantu pemulihan bencana.
Lasarus menilai bantuan Rp 4 miliar tak mampu menyelesaikan tanggap darurat. Bahkan, kata dia, Rp 4 miliar tak cukup untuk membangun satu jembatan kecil.
“Saya pernah ngomong kemarin, udah… keluarin tuh duit yang ada di BI. Kemudian mungkin ada yang di MBG yang tidak terserap sampai tanggal segini, misalnya masih ada sisa berapa ratus miliar misalnya MBG yang belum terserap, atau masih berapa triliun yang belum terserap misalnya. Ya sudah, semua alokasikan ke lokasi bencana,” ujarnya.
(amw/dek)
-
/data/photo/2025/07/07/686ba358e7906.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kunker ke Semarang, Komisi VI DPR Soroti Serapan Gula Rakyat oleh Pabrik
Kunker ke Semarang, Komisi VI DPR Soroti Serapan Gula Rakyat oleh Pabrik
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) menyoroti persoalan serapan gula rakyat oleh pabrik saat melaksanakan kunjungan kerja (kunker) reses ke Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Rabu (10/12/2025).
Ketua
Komisi VI DPR RI
Anggia Ermarini menegaskan bahwa Komisi VI berpihak pada petani tebu rakyat dalam menyikapi rendahnya serapan tebu rakyat dan kebocoran gula rafinasi yang kerap berulang.
“Serapan tebu rakyat harus maksimal. Informasi dari PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN memang sudah ada pergerakan yang lebih baik, meskipun belum maksimal. Dan kebocoran gula rafinasi itu sangat merugikan,” ujarnya, dilansir dari laman
dpr.go.id
, Kamis (11/12/2025).
Politisi fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menekankan bahwa kasus-kasus terkait
serapan gula
harus diselesaikan hingga ke akarnya. Pasalnya, masalah ini sering kali dianggap sudah sembuh, tetapi selalu kambuh lagi.
“Kami perlu adakan rapat lanjutan dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), ID Food, dan PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN, untuk mencari solusi menyeluruh agar
tata niaga gula
lebih tertib,” tegas Anggia.
Lebih lanjut, Komisi VI juga membahas pengembangan lahan tebu di Jateng yang dinilai masih belum optimal.
Anggia menyebut, sejumlah opsi tengah dipertimbangkan, mulai dari pemanfaatan kebun rakyat, perluasan lahan oleh PTPN, hingga ekstensifikasi ke luar Jawa. Ia juga mendorong penerapan metode
bongkar ratoon
untuk meningkatkan rendemen tebu.
“Bongkar ratoon itu menarik, tetapi banyak petani menganggapnya memakan waktu. Padahal tanpa itu, rendemennya sangat rendah, sayang sekali,” ucap Anggia.
Dalam kesempatan tersebut, Anggia mengungkapkan bahwa wacana pendanaan Rp 20 triliun untuk penguatan sektor pangan, khususnya program Makan Bergizi Gratis (
MBG
), masih dalam proses kajian oleh PT Danantara Asset Management (Persero).
Ia menegaskan bahwa pendanaan tersebut bertujuan memperkuat sumber protein nasional sekaligus mendorong kesejahteraan peternak.
“Dana Rp 20 triliun itu masih dalam proses kajian untuk menentukan skemanya. Tetapi tujuannya jelas, memperkuat MBG sebagai sumber protein yang paling visibel, sekaligus mengangkat peternak rakyat,” kata Anggia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2022/10/26/6358affcaa88c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Parpol Musiman dan Hilangnya Kedekatan dengan Masyarakat Nasional
Parpol Musiman dan Hilangnya Kedekatan dengan Masyarakat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Partai politik menjadi salah satu jembatan komunikasi antara rakyat dengan penguasa.
Pada masanya,
partai politik
pernah menjadi jalur komunikasi yang baik, menjadi tempat memberikan aspirasi untuk didengar oleh penguasa.
Namun, di
era digital
, jalur komunikasi tersebut sudah
by-pass
, langsung.
Dengan menyebut akun Prabowo Subianto di media sosial, masyarakat sudah bisa menyalurkan satu aspirasi tertentu.
Era internet ini mengubah cara partai politik berkomunikasi dan merayu suara rakyat.
Partai berbasis massa semakin menipis, sedangkan basis elektoral semakin banyak, atau dikenal dengan partai musiman.
Hal ini disampaikan Pengamat Politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, dalam acara diskusi yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, di Novotel Cikini, Jakarta Pusat, Rabu.
Dia mengatakan, teknologi yang hadir di abad 21, khususnya terkait dengan dunia digital, memberikan akses langsung masyarakat kepada penguasa.
Peristiwa ini membuat fungsi partai politik yang sebelumnya sebagai penyalur aspirasi hilang.
Partai berbasis massa kemudian mulai bergeser, beradaptasi dengan pola elektoral, muncul saat dibutuhkan, dan hadir musiman saat pemilu.
“Maka ada kecenderungan partai untuk menjadi partai elektoral. Jadi, dia hadir ya karena memang dia perlu hadir di masyarakat waktu pemilu saja,” ucap dia.
Lektor Kepala dan Ketua Program Doktoral Ilmu Politik di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) ini mengatakan, perubahan pola dari partai berbasis massa menjadi partai elektoral membuat suara partai politik tidak lagi relevan sebagai representasi masyarakat secara luas.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris.
Djayadi menyebut, di negara-negara digdaya pusat peradaban demokrasi tersebut, sudah mulai mengalami defisit keanggotaan partai politik.
Alasannya sama, yakni partai mulai mengubah pola komunikasi mereka dari yang berbasis massa, dekat dengan rakyat dan memperjuangkan aspirasi rakyat, menjadi partai musiman yang hanya turun ketika pemilu akan berlangsung.
“Di era sekarang memang sudah sulit mengharapkan (ada parpol berbasis massa). Kita cek lah di seluruh dunia, di Australia, di Amerika, di Inggris, jumlah orang yang menjadi anggota partai itu makin berkurang jumlahnya,” imbuh dia.
Peneliti senior Pusako Unand, Muhammad Ichsan Kabullah, memiliki pandangan yang mirip terkait dengan pergeseran tren parpol berbasis massa menjadi parpol berbasis elektoral.
Namun, Ichsan menilai, peristiwa ini bukan sebagai pola komunikasi baru di perpolitikan Indonesia, melainkan fenomena yang disebabkan oleh pragmatisme partai politik.
Menurut dia, pola komunikasi musiman ini terjadi karena tak ada lagi parpol yang memperjuangkan ideologi mereka secara jelas dan tegas.
“Kita tidak bisa membedakan partai Islam A dengan partai Islam B. Semuanya sama saja jualannya sama. Atau partai nasionalis misalnya hari ini, karena kita miskin ideologi. Nah, itu problemnya. Sehingga ini yang membuat kita berjarak,” ucap dia.
Dia memberikan contoh, saat peristiwa bencana banjir di Sumatera, tidak ada partai politik yang menyinggung penyebab bencana, sekalipun sudah diketahui penyebab utamanya adalah deforestasi kawasan hutan Sumatera.
Sekalipun itu partai politik lokal yang berada di Aceh.
Menurut Ichsan, keengganan partai politik untuk memberikan gagasan idealis tentang peristiwa saat ini memberikan bukti bahwa parpol sendirilah yang menjaga jarak dengan masyarakat.
Ichsan kemudian mengutip salah satu tulisan seorang antropolog politik India, Akhil Gupta, dalam
Blurred Boundaries
.
Dalam tulisan itu disebutkan, masyarakat India sering memberikan posisi partai politik sebagai perpanjangan komunikasi dengan pemerintah.
Kantor parpol dan aktor parpol dianggap menjadi salah satu titik poin komunikasi, sehingga partai politik bisa menjalankan fungsi utama mereka, termasuk menjadi bagian untuk menyalurkan program pemerintah.
Di Indonesia bukan tak pernah terjadi.
Program pangan murah juga pernah dilakukan beberapa partai politik.
“Tapi itu kan sifatnya sangat event, seremonial, dan sebagainya (sebagai pemikat elektoral semata),” tutur dia.
Djayadi Hanan kemudian menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum nasional dengan pemilihan umum tingkat daerah sebagai jalan tengah untuk memaksa kembali partai politik hadir lebih intens di tengah masyarakat.
Putusan MK tersebut mengamanatkan agar ada jeda 2-2,5 tahun untuk penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional maupun lokal.
Mengapa hal ini dianggap sebagai jalan tengah?
Djayadi menyebut, partai politik dengan basis elektoral akan mencari simpati masyarakat pada saat pemilu.
Dengan pola pemilu yang semakin banyak, partai politik akan semakin sering mendengar dan mendekatkan diri dengan masyarakat.
Dia memberikan contoh Amerika Serikat yang secara formal memiliki pemilu 2 tahun sekali, khususnya untuk anggota DPR mereka.
Pilpres berlangsung empat tahun sekali, sedangkan senat 1/3 kursi diperebutkan setiap 2 tahun sekali.
“Jadi, anggota DPR di Amerika itu sibuk sekali menghubungi masyarakat, baru selesai pemilu harus menghubungi lagi karena dia dalam dua tahun harus (mencari dukungan untuk) terpilih lagi,” kata dia.
Rutinitas pemilihan di Amerika ini memberikan ruang interaksi antara partai politik dan masyarakat yang akan disuarakan aspirasinya kepada eksekutif.
Sebab itu, Djayadi berharap, lebih banyak pemilu lebih baik untuk mengembalikan kehadiran parpol di tengah masyarakat.
Dia bahkan sempat mengusulkan agar pemilihan dipisah pada tiga tahap, yakni pemilihan nasional, tingkat provinsi, dan terakhir kabupaten/kota.
Namun, menurut dia, putusan MK menjadi jalan tengah terbaik saat ini untuk diakomodir pembentuk undang-undang sebagai upaya perbaikan menghadirkan kembali partai politik di tengah masyarakat.
“Maka moderatnya saya kira ya keputusan MK itu moderatnya. Ya 2,5 tahun ada pemilu,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Bangun Sistem Peringatan Dini Bencana yang Tepat untuk Tekan Risiko Dampak Cuaca Ekstrem
Jakarta: Keseluruhan data cuaca dan peta risiko bencana harus mampu dipahami semua pihak agar mampu mewujudkan sistem peringatan dini yang baik, untuk menekan risiko bencana dampak cuaca ekstrem yang terjadi.
“Bencana memang tidak bisa dihindari sepenuhnya, namun risikonya bisa ditekan dengan membangun sistem peringatan dini bencana yang tepat, sehingga mampu melindungi lebih banyak nyawa dalam menghadapi dampak cuaca ekstrem di tanah air,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Potensi Ancaman Fenomena Hidrometeorologi Menjelang Libur Natal dan Tahun Baru yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu 10 Desember 2025.
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Ardhasena Sopaheluwakan (Deputi Bidang Klimatologi – BMKG) dan Melva Harahap (Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/Walhi) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Mori Hanafi (Anggota Komisi V DPR RI) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, dengan pemahaman terhadap data dan peta risiko yang ada, para pemangku kepentingan setiap daerah diharapkan mampu mengambil langkah antisipasi yang tepat.
Sistem peringatan dini bencana, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, harus mudah dipahami masyarakat dan para pengambil keputusan, sehingga mitigasi bencana yang diterapkan dapat dilakukan dengan efektif.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI itu mendorong agar kolaborasi antarpihak terkait dalam menyikapi potensi cuaca ekstrem di setiap wilayah harus terus diperkuat.
Apalagi, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, menjelang akhir tahun, belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, dampak cuaca ekstrem berpotensi mengancam sejumlah aktivitas masyarakat di tanah air.
Rerie berharap adanya peningkatan kewaspadaan yang tinggi antara lain pada sektor transportasi, pengelola kawasan wisata, dan wilayah padat penduduk, dalam menghadapi ancaman cuaca ekstrem di musim libur akhir tahun ini.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan mengungkapkan, potensi bencana hidrometeorologi setiap tahun bervariasi.
Pada awal tahun (Desember, Januari, dan Februari), ujar Ardhasena, biasanya akan terjadi hujan deras yang menyebabkan banjir, longsor, dan gelombang tinggi.
Sementara pada Maret, April, dan Mei, tambah dia, berpotensi terjadi puting beliung, petir dan hujan es.
Pada Juni, Juli, dan Agustus, diperkirakan terjadi peningkatan suhu bumi dan antara lain menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, serta gelombang tinggi air laut.
Sedangkan, pada September, Oktober, dan November, menurut Ardhasena, kembali terjadi puting beliung, hujan es, hingga curah hujan tinggi.
Menurut Ardhasena, dinamika cuaca yang mendorong terjadinya curah hujan ekstrem di Sumatra beberapa waktu lalu, antara lain disebabkan terjadinya pusaran badai, konvergensi yang membentuk awan secara masif pada wilayah pertemuan angin, dan konveksi akibat pemanasan permukaan air laut yang membentuk awan secara masif.
Ardhasena memperkirakan pada rentang Januari-Juni 2026 akan terjadi curah hujan yang tinggi di kawasan Selatan khatulistiwa.
Kondisi tersebut, jelas dia, perlu diantisipasi dengan langkah-langkah yang tepat.
Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana, Walhi, Melva Harahap mengungkapkan bencana di tanah air yang berdampak pada kerusakan daya dukung lingkungan dikelompokkan sebagai bencana ekologis.
Melva mengakui, BMKG dengan segala sarana dan prasarana yang dimiliki sudah menyediakan data cuaca dan iklim, sebagai bagian dari mekanisme peringatan dini.
“Pertanyaannya apakah informasi-informasi yang sudah ada itu mendapatkan perhatian serius dari masyarakat secara luas,” ujar Melva.
Menurut Melva, yang harus dilakukan adalah memastikan masyarakat memiliki kapasitas yang cukup untuk memanfaatkan data cuaca yang ada.
Selain itu, tegas Melva, para pemangku kebijakan harus mampu memastikan daya dukung lingkungan di setiap daerah mampu menghadapi potensi cuaca ekstrem yang akan terjadi.
Menurut Melva, bencana yang terjadi akibat perubahan iklim dan kegagalan pengelolaan alam dan lingkungan hidup, bila tidak segera diatasi dengan langkah tepat akan berulang di musim mendatang.
Melva sangat berharap upaya perbaikan lingkungan, mitigasi bencana, dan membangun sistem peringatan dini bencana yang dipahami masyarakat luas, harus segera diwujudkan.
Menurut dia, dalam membangun sistem peringatan dini bencana alam, penting juga memanfaatkan kearifan lokal untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat.
Anggota Komisi V DPR RI, Mori Hanafi mengungkapkan, pada liburan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 diperkirakan 119 juta orang akan melakukan perjalanan dengan berbagai moda transportasi.
Sehingga, ujar Mori, perkiraan BMKG terkait fenomena hidrometeorologi yang akan terjadi jelang Tahun Baru ini bukan sekadar persoalan cuaca, lebih dari itu terkait mengupayakan keselamatan 119 juta warga negara yang melakukan perjalanan pada liburan akhir tahun ini.
Data yang disampaikan BMKG, jelas Mori, harus menjadi pedoman bagi masyarakat.
Sangat disayangkan, tambah dia, masyarakat belum peduli terhadap data BMKG dalam menyikapi ancaman cuaca ekstrem yang dihadapi.
Wartawan senior, Usman Kansong berpendapat, lengkapnya data cuaca dan iklim yang dimiliki BMKG ternyata tidak mampu mencegah parahnya dampak bencana yang terjadi beberapa waktu lalu.
“Saya khawatir kita sudah menjadi bangsa yang antisains,” ujar Usman.
Data cuaca dan iklim yang disampaikan BMKG selama ini, tambah Usman, adalah sains.
Selama ini, ujar Usman, data BMKG belum disikapi masyarakat dan pengambil kebijakan dengan memadai.
“Bagaimana kita menyikapi hal itu. Kebijakan apa yang lahir dari data yang disampaikan BMKG selama ini,” ujarnya.
Usman berharap para pemangku kepentingan dan masyarakat mau kembali memanfaatkan sains untuk memitigasi bencana dengan baik di masa datang.
Jakarta: Keseluruhan data cuaca dan peta risiko bencana harus mampu dipahami semua pihak agar mampu mewujudkan sistem peringatan dini yang baik, untuk menekan risiko bencana dampak cuaca ekstrem yang terjadi.
“Bencana memang tidak bisa dihindari sepenuhnya, namun risikonya bisa ditekan dengan membangun sistem peringatan dini bencana yang tepat, sehingga mampu melindungi lebih banyak nyawa dalam menghadapi dampak cuaca ekstrem di tanah air,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Potensi Ancaman Fenomena Hidrometeorologi Menjelang Libur Natal dan Tahun Baru yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu 10 Desember 2025.
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Ardhasena Sopaheluwakan (Deputi Bidang Klimatologi – BMKG) dan Melva Harahap (Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/Walhi) sebagai narasumber.Selain itu hadir pula Mori Hanafi (Anggota Komisi V DPR RI) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, dengan pemahaman terhadap data dan peta risiko yang ada, para pemangku kepentingan setiap daerah diharapkan mampu mengambil langkah antisipasi yang tepat.
Sistem peringatan dini bencana, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, harus mudah dipahami masyarakat dan para pengambil keputusan, sehingga mitigasi bencana yang diterapkan dapat dilakukan dengan efektif.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI itu mendorong agar kolaborasi antarpihak terkait dalam menyikapi potensi cuaca ekstrem di setiap wilayah harus terus diperkuat.
Apalagi, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, menjelang akhir tahun, belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, dampak cuaca ekstrem berpotensi mengancam sejumlah aktivitas masyarakat di tanah air.
Rerie berharap adanya peningkatan kewaspadaan yang tinggi antara lain pada sektor transportasi, pengelola kawasan wisata, dan wilayah padat penduduk, dalam menghadapi ancaman cuaca ekstrem di musim libur akhir tahun ini.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan mengungkapkan, potensi bencana hidrometeorologi setiap tahun bervariasi.
Pada awal tahun (Desember, Januari, dan Februari), ujar Ardhasena, biasanya akan terjadi hujan deras yang menyebabkan banjir, longsor, dan gelombang tinggi.
Sementara pada Maret, April, dan Mei, tambah dia, berpotensi terjadi puting beliung, petir dan hujan es.
Pada Juni, Juli, dan Agustus, diperkirakan terjadi peningkatan suhu bumi dan antara lain menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, serta gelombang tinggi air laut.
Sedangkan, pada September, Oktober, dan November, menurut Ardhasena, kembali terjadi puting beliung, hujan es, hingga curah hujan tinggi.
Menurut Ardhasena, dinamika cuaca yang mendorong terjadinya curah hujan ekstrem di Sumatra beberapa waktu lalu, antara lain disebabkan terjadinya pusaran badai, konvergensi yang membentuk awan secara masif pada wilayah pertemuan angin, dan konveksi akibat pemanasan permukaan air laut yang membentuk awan secara masif.
Ardhasena memperkirakan pada rentang Januari-Juni 2026 akan terjadi curah hujan yang tinggi di kawasan Selatan khatulistiwa.
Kondisi tersebut, jelas dia, perlu diantisipasi dengan langkah-langkah yang tepat.
Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana, Walhi, Melva Harahap mengungkapkan bencana di tanah air yang berdampak pada kerusakan daya dukung lingkungan dikelompokkan sebagai bencana ekologis.
Melva mengakui, BMKG dengan segala sarana dan prasarana yang dimiliki sudah menyediakan data cuaca dan iklim, sebagai bagian dari mekanisme peringatan dini.
“Pertanyaannya apakah informasi-informasi yang sudah ada itu mendapatkan perhatian serius dari masyarakat secara luas,” ujar Melva.
Menurut Melva, yang harus dilakukan adalah memastikan masyarakat memiliki kapasitas yang cukup untuk memanfaatkan data cuaca yang ada.
Selain itu, tegas Melva, para pemangku kebijakan harus mampu memastikan daya dukung lingkungan di setiap daerah mampu menghadapi potensi cuaca ekstrem yang akan terjadi.
Menurut Melva, bencana yang terjadi akibat perubahan iklim dan kegagalan pengelolaan alam dan lingkungan hidup, bila tidak segera diatasi dengan langkah tepat akan berulang di musim mendatang.
Melva sangat berharap upaya perbaikan lingkungan, mitigasi bencana, dan membangun sistem peringatan dini bencana yang dipahami masyarakat luas, harus segera diwujudkan.
Menurut dia, dalam membangun sistem peringatan dini bencana alam, penting juga memanfaatkan kearifan lokal untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat.
Anggota Komisi V DPR RI, Mori Hanafi mengungkapkan, pada liburan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 diperkirakan 119 juta orang akan melakukan perjalanan dengan berbagai moda transportasi.
Sehingga, ujar Mori, perkiraan BMKG terkait fenomena hidrometeorologi yang akan terjadi jelang Tahun Baru ini bukan sekadar persoalan cuaca, lebih dari itu terkait mengupayakan keselamatan 119 juta warga negara yang melakukan perjalanan pada liburan akhir tahun ini.
Data yang disampaikan BMKG, jelas Mori, harus menjadi pedoman bagi masyarakat.
Sangat disayangkan, tambah dia, masyarakat belum peduli terhadap data BMKG dalam menyikapi ancaman cuaca ekstrem yang dihadapi.
Wartawan senior, Usman Kansong berpendapat, lengkapnya data cuaca dan iklim yang dimiliki BMKG ternyata tidak mampu mencegah parahnya dampak bencana yang terjadi beberapa waktu lalu.
“Saya khawatir kita sudah menjadi bangsa yang antisains,” ujar Usman.
Data cuaca dan iklim yang disampaikan BMKG selama ini, tambah Usman, adalah sains.
Selama ini, ujar Usman, data BMKG belum disikapi masyarakat dan pengambil kebijakan dengan memadai.
“Bagaimana kita menyikapi hal itu. Kebijakan apa yang lahir dari data yang disampaikan BMKG selama ini,” ujarnya.
Usman berharap para pemangku kepentingan dan masyarakat mau kembali memanfaatkan sains untuk memitigasi bencana dengan baik di masa datang.
Cek Berita dan Artikel yang lain diGoogle News
(RUL)
-

Negara Harus Lindungi Pers, tapi Jangan Sampai Terkurung
Jakarta –
Gubernur Lemhannas Ace Hasan Syadzily menegaskan negara memiliki tanggung jawab melindungi pers sebagai pilar penting demokrasi. Namun, ia mengingatkan perlindungan negara tidak boleh berubah menjadi bentuk pengungkungan atau kontrol yang justru membatasi kebebasan pers.
Hal itu disampaikan Ace dalam Diskusi Publik bertajuk ‘Negara dan Tanggung Jawab Menjadi Pilar Demokrasi’ di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu (10/12/2025). Ace menegaskan bahwa demokrasi Indonesia hanya bisa berdiri kokoh jika pers tetap independen dan bebas dari intervensi penguasa.
“Saya mengidealkan pers sebebas-bebasnya. Dan harus independen. Termasuk dari kungkungan negara,” ujar Ace.
Ia mengakui setiap kekuasaan, termasuk dirinya sebagai kepala lembaga negara, memiliki kecenderungan merasa nyaman tanpa kritik. Karena itu, media yang independen menjadi alarm penting dalam sistem demokrasi.
“Kalau tidak ada kritik dari luar, itu bahaya. Tidak ada alarm,” ungkapnya.
Menurutnya, bantuan semacam itu rawan menjadikan media berutang budi kepada negara. “Saya punya kekhawatiran. Ada interest tertentu. Dikasih (bantuan), tapi nanti kalau tidak sejalan, dicabut. Itu bisa membuat pers kehilangan independensi,” jelasnya.
Dia menegaskan, pers harus tetap berdiri di atas kredibilitas, objektivitas, dan integritasnya, bukan di atas dukungan finansial dari negara yang penuh risiko politis. Ia pun tak menampik kalau pemerintah pasti menyukai media yang dapat dikendalikan.
Ace juga menyoroti perubahan pola konsumsi informasi masyarakat akibat disrupsi teknologi. Ia menilai dinamika ini menimbulkan tantangan serius bagi media arus utama, bukan hanya dari sisi bisnis tetapi juga eksistensi.
“Kalau tidak adaptasi, media akan hilang. Tapi saya percaya masyarakat tetap mencari berita yang kredibel,” ungkapnya.
Ia meyakini pada akhirnya publik akan melakukan self-censorship, memilah sendiri mana informasi yang layak dipercaya dan meninggalkan media yang menyebarkan hoax atau tidak objektif.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Nurul Arifin yang hadir dalam forum tersebut juga sepakat bahwa media tidak boleh bergantung kepada bantuan negara. Menurutnya, independensi media justru menjadi nilai jual utama kepada publik.
“Media yang independen menjaga marwahnya sendiri. Publik bisa menilai mana yang jujur, mana yang tidak,” kata Nurul.
(bel/fca)
-

Maling Tak Selalu Pikul Kayu, Bisa Berlindung di Balik Izin Juga!
GELORA.CO – Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji menyatakan bahwa maling tidak selalu memikul kayu, akan tetapi bisa juga berlindung di balik izin.
Hal demikian dinyatakan Susno merespons permasalahan 20 izin perusahaan pengolala hutan yang masih ditutup rapat-rapat oleh Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni.
Raja Juli Antoni sebelumnya memastikan pencabutan izin akan dilakukan terhadap 20 perusahaan yang mengelola kawasan hutan dengan total luasan mencapai sekitar 750.000 hektare.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya penertiban tata kelola hutan, sekaligus respons atas rangkaian bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera hingga Aceh.
Menurut Susno, karena banyak aspek yang bisa ditelusuri, mulai dari penerbitan izin hingga pihak-pihak yang terlibat, maka aparat penegak hukum (APH) harus mengusutnya sampai tuntas.
“Maling itu tidak selalu memikul kayu. Maling bisa yang berlindung di balik izin. Ini semua bisa ditelusuri,” kata Susno dalam sebuah wawancara dikutip Monitorindonesia.com, Rabu (10/12/2025).
Dia pun mengajak seluruh institusi, mulai dari Polri, Kejaksaan, KPK hingga PPATK, untuk turun bersama. “Jangan cuma satgas. Ini sudah ‘korban nasional’. Ribuan jiwa melayang. Jangan sampai hilang begitu saja seperti kasus-kasus yang dulu,” tegasnya.
Di lain sisi, Susno menilai Raja Juli menunjukkan sikap tidak transparan karena enggan menyebut 20 perusahaan yang izinnya akan dicabut.
“Tidak wajar seorang menteri berkata begitu. Mengapa tidak wajar? Itu tanggung jawab teknis dia. Jangan melempar tanggung jawab pada presiden,” kata Susno.
Presiden Prabowo, ungkapnya, sudah memberikan kewenangan penuh kepada Menhut terkait pengelolaan izin kehutanan. Maka dari itu, alasan Raja Juli harus menunggu arahan presiden dalam urusan yang bersifat teknis patut dipertanyakan.
“Presiden banyak tugasnya. Urusan teknis kehutanan sudah diserahkan pada menteri. Dia yang tanda tangan, dia yang bertanggung jawab,” katanya.
Soal banyaknya korban jiwa dan kerugian besar akibat banjir, Susno pun menilai DPR wajar meminta data lengkap kepada Raja Juli. “Ini korbannya sudah ribuan loh. Wajar DPR minta data itu ke Menhut. Di jawab dong, tidak harus minta izin presiden dulu,” katanya geram.
Integritas Raja Juli sebagai pembantu Presiden pun harus dipertanyakan. “Menteri macam apa ini? Kalau semua menteri seperti itu, kita dalam masalah. Kasihan presiden,” katanya.
“Dikit-dikit presiden, jangan melempar masalah pada presiden. Dia pembantu presiden dan yang harus bertanggung jawab. Harus bertanggung jawab,” tambahnya.
Maka dari itu, Susno menilai langkah mundur bisa menjadi pilihan jika Raja Juli merasa gagal menjalankan kewajiban sebagai orang nomor satu di Kementerian Kehutanan. “Kalau merasa bersalah, mundur saja lah. Anda melihat dengan sudah terjadinya bencana, mundur menjadi jawaban,” tegasnya.
Selain tanggung jawab sosial, kemungkinan pelanggaran hukum juga harus ditelusuri. “Salah satu tanggung jawab sosial, mundur. Kemudian tanggung jawab hukum. Kalau memang itu ada pelanggaran hukum, ikuti sesuai norma hukum yang berlaku,” ungkap Susno.
Tak hanya itu saja, Susno juga menyinggung komitmen Presiden Prabowo yang berjanji memberangus praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. “Makanya perlu ini diselidiki, izinnya itu benar apa tidak,” tandasnya.


