Kementrian Lembaga: DPR RI

  • Polisi buru pengemudi ojol yang tinggalkan penumpang usai kecelakaan

    Polisi buru pengemudi ojol yang tinggalkan penumpang usai kecelakaan

    Jakarta (ANTARA) – Polda Metro Jaya tengah memburu pengemudi ojek online (ojol) yang diduga meninggalkan penumpangnya usai kecelakaan lalu lintas di depan Gedung DPR/MPR RI, pada Senin (20/10).

    “Ini DPO (daftar pencarian orang) Polri, pengemudi ojol yang meninggalkan korban atau penumpangnya laka lantas (kecelakaan lalu lintas) depan gedung DPR RI,” kata Kepala Subdirektorat Pembinaan dan Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, AKBP Ojo Ruslani dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Ruslani menjelaskan kejadian tersebut terjadi pada Senin (20/10) sekitar pukul 05.00 WIB di depan Gedung DPR/MPR RI. Berdasarkan kamera pengawas (CCTV), kendaraan sepeda motor yang dikemudikan ojol tersebut menabrak sebuah truk.

    Namun setelah kecelakaan, pengemudi ojol ini kabur membiarkan penumpangnya ini tergeletak begitu saja di jalan raya.

    “Korban kecelakaan, sempat dirawat di RS Pelni selama satu minggu. Namun, korban akhirnya meninggal dunia,” katanya.

    Menurut dia, terduga pelaku bernama Bambang Sugiono beralamat di Jalan H. Gari RT/RW 2/3, Pesanggrahan, Bintaro, Jakarta Selatan.

    Informasi tersebut juga viral di media sosial instagram melalui akun @kriminal.jakarta. Dalam unggahan akun tersebut dituliskan bahwa kecelakaan tersebut terjadi di depan Gedung DPR/MPR.

    “Orang (pengemudi ojol) ini ngebut dan nabrak truk yang lagi berhenti, nyokap (ibu) gue jatuh dari motor dan digeletakin gitu aja,” tulis akun tersebut.

    Akun tersebut juga menuliskan bahwa korban tutup usia setelah dirawat selama tujuh hari dalam keadaan koma karena mengalami luka serius di bagian kepala.

    “Keluarga korban telah melaporkan kejadian ini ke Polda Metro Jaya dengan membawa bukti riwayat pemesanan dan rekaman CCTV. Status pelaku saat ini sudah buron dan menjadi DPO,” tulis akun tersebut.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ancang-ancang KPK Panggil Pihak-pihak Terkait Kereta Cepat Whoosh

    Ancang-ancang KPK Panggil Pihak-pihak Terkait Kereta Cepat Whoosh

    Ancang-ancang KPK Panggil Pihak-pihak Terkait Kereta Cepat Whoosh
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai melakukan pemanggilan sejumlah pihak terkait penyelidikan dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) atau Whoosh.
    Meski begitu, KPK tak bisa mengungkapkan siapa saja pihak yang sudah dimintai keterangan terkait kasus tersebut.
    “Tim penyelidik melakukan permintaan keterangan dengan mengundang sejumlah pihak, tentunya pihak-pihak yang diduga mengetahui konstruksi perkara ini,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (31/10/2025).
    Budi mengatakan, setiap informasi yang disampaikan pihak-pihak ke KPK akan membantu mengungkap dugaan korupsi kereta cepat.
    “Terkait dengan materi ataupun pihak-pihak yang diundang untuk dimintai keterangan, saat ini kami belum bisa, belum bisa menyampaikan detilnya secara lengkapnya seperti apa, karena ini memang masih di tahap penyelidikan,” ujar dia.
    Selain itu, Budi meminta pihak-pihak yang dipanggil untuk dimintai keterangan agar bersikap kooperatif dengan memenuhi panggilan dan menyampaikan informasi yang dibutuhkan.
    “Kami tentunya juga mengimbau kepada siapa saja pihak-pihak yang diundang dan dimintai keterangan terkait dengan perkara KCIC ini, agar kooperatif dan menyampaikan informasi, data, dan keterangan yang dibutuhkan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Senin (3/11/2025).
    Budi mengatakan, hingga saat ini, pihak yang dipanggil kooperatif dan membantu jalannya penyelidikan.
    Tim penyelidik, kata dia, terus menelusuri pihak-pihak lain untuk mengumpulkan keterangan.
    “Dan tentunya ini masih akan terus bergulir ya, karena tim masih akan terus menelusuri pihak-pihak lain untuk mengumpulkan keterangan-keterangan yang dibutuhkan dalam tahap penyelidikan,” ujar dia.
    Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mewanti-wanti KPK tidak pandang bulu dalam menindak pelaku dugaan korupsi dalam proyek kereta cepat Whoosh.
    Dia mengatakan, siapa pun yang terlibat dalam praktik dugaan korupsi, baik dari kalangan pemerintah, BUMN, maupun pihak swasta, harus diproses sesuai aturan hukum.
    “KPK tidak boleh pandang bulu. Jika dalam penyelidikan ditemukan tindak pidana korupsi, para pelakunya harus diseret ke jalur hukum tanpa pengecualian,” kata Abdullah, lewat keterangan tertulisnya, Kamis (30/10/2025).
    Menurut Politikus PKB ini, KPK tak perlu ragu menindaklanjuti setiap temuan pelanggaran dalam proyek strategis nasional tersebut.
    Sebab, keberadaan kereta cepat Whoosh saat ini tengah menjadi sorotan karena utang besar akibat pembangunannya hingga isu dugaan penggelembungan anggaran.
    Oleh karena itu, kata dia, keseriusan dan keberanian KPK dalam menangani perkara ini penting dilakukan untuk menjawab keresahan publik.
    “KPK tidak boleh takut dalam menangani kasus ini. Dugaan
    mark up
    anggaran dalam proyek kereta cepat harus diusut secara tuntas dan transparan,” kata Abdullah.
    “Proyek sebesar Kereta Cepat Whoosh seharusnya menjadi kebanggaan nasional, bukan malah menjadi beban akibat penyimpangan anggaran. Karena itu, kita harus dukung penuh KPK agar bisa menuntaskan kasus ini,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD), mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), masih menghadapi berbagai tantangan.
    Isu kesetaraan gender dan minimnya kaderisasi partai terhadap politisi perempuan menjadi dua faktor utama yang menghambat peningkatan representasi perempuan di tubuh AKD.
    Situasi ini kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan itu, MK menyoroti perlunya perbaikan dalam posita dan petitum uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) serta perubahan pada UU MD3 Tahun 2018 yang berkaitan dengan UUD 1945.
    Melalui perbaikan petitum, para pemohon meminta agar ditetapkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD.
    Sementara dalam posita, mereka menekankan pentingnya pengarusutamaan gender, pencegahan pembangkangan konstitusi dalam pengaturan representasi perempuan, serta jaminan konstitusional atas keterwakilan tersebut.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengimbau agar DPR dan partai politik mencari formula yang tepat agar keputusan MK bisa dijalankan tanpa mengorbankan efektivitas kerja parlemen.
    “DPR harus mampu mensiasati keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya,” ujar dia ketika dihubungi, Senin (3/11/2025).
    Jamiluddin menilai, kunci utama keberhasilan implementasi keputusan MK ada di tangan partai politik.
    “Ke depan setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi calon legislatif. Caleg yang disiapkan juga harus dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan di setiap AKD,” ujarnya.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas menjadi hal penting. Tantangan ini menjadi PR bagi semua partai menjelang Pileg 2029,” pungkasnya.
    Sementara itu, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambah Titi.
    Titi mengatakan ada bias gender yang memandang bahwa isu perempuan bukanlah prioritas utama. Di sisi lain, keterwakilan perempuan cenderung tak mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” ungkap dia.
    Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik di lingkungan parlemen. 
    Jamiluddin juga menilai implementasi keputusan MK tersebut tidak akan mudah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas legislator perempuan.
    “Bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka keputusan MK dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan. Sebab, jumlahnya tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” jelasnya.
    Hal serupa, lanjutnya, juga berlaku dari sisi kompetensi. Jika kemampuan para legislator perempuan hanya terkonsentrasi di bidang tertentu, distribusi merata di seluruh AKD justru berpotensi kontraproduktif.
    “Kalau kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen itu hanya akan menjadi pemaksaan. Akibatnya, mereka bisa ditempatkan di komisi yang tak sesuai dengan keahliannya,” ucap Jamiluddin.
    Ia menilai hal tersebut bisa berdampak pada menurunnya produktivitas kinerja legislator perempuan dalam menjalankan tiga fungsi utama DPR pengawasan, anggaran, dan legislasi.
    “Kalau hal itu terjadi, legislator perempuan akan sulit melaksanakan fungsinya secara maksimal,” katanya.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.

    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan, hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.
    Terpisah Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri.
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen. Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    Sementara itu, saat ini jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, dan keterwakilan perempuan hanya 127 orang. Sehingga secara persentase masih 21,9 persen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik

    Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik

    “Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,”

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Golkar DPR RI menerima audiensi pengurus Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang dipimpin Armand Maulana dan Nazril Irham (Ariel NOAH) di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.

    Dalam audiensi tersebut, para musisi dari VISI menyampaikan keresahan mereka atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.

    Ketua Fraksi Golkar Muhammad Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

    “Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” kata Sarmuji dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

    Sarmuji menegaskan bahwa inti persoalan ini terletak pada transparansi tata kelola LMKN. Ia menilai perlunya aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.

    Ia menilai langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser, adalah sesuatu yang menggembirakan dan layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.

    Sarmuji menegaskan komitmen partainya untuk mengawal aspirasi para pencipta lagu. Menurutnya, tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit sehingga merugikan pencipta.

    Ia menegaskan agar sistem pembayaran royalti harus sederhana dan memberikan kemudahan. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya.

    Sarmuji menambahkan, dukungan Fraksi Golkar berpijak pada semangat menghadirkan sistem yang adil dan memudahkan semua pihak.

    “Sistemnya memang perlu diperbaiki, dan sistem itu harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha—pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain—mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” tegasnya.

    Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.

    Dia berharap agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Sistem yang sederhana dan jelas akan membuat semua pihak lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya.

    Sementara itu, Ketua Umum VISI Armand Maulana menjelaskan akar permasalahan yang menumpuk di dunia musik Indonesia.

    “Masalah ini bermula dari ketidaksempurnaan kerja, ketidakkompetenan, dan ketidaktransparanan LMK-LMK serta LMKN di masa lalu,” ujar vokalis grup band GIGI itu.

    Akibatnya, muncul berbagai persoalan seperti kasus Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.

    Atas dasar itu, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.

    “Performing rights itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” kata Armand.

    Menurutnya, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.

    “Sering kali seorang penyanyi diminta mendadak untuk menyanyikan lagu tertentu. Kalau tetap diwajibkan izin di muka, maka harus diberi tenggat waktu, misalnya tujuh hari setelah pertunjukan. Jangan sampai penyanyi, bahkan pelajar yang tampil di pensi, justru dikriminalisasi,” ujarnya.

    Armand menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yakni distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.

    “Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambahnya.

    Menanggapi wacana pembentukan lembaga baru khusus untuk konser, Armand menilai langkah itu tidak akan menyelesaikan masalah.

    “Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.

    Ia mengingatkan bahwa kemunculan banyak LMK baru justru bermula dari rasa ketidakadilan dan kurangnya representasi di sistem lama.

    VISI, lanjut Armand, memilih fokus pada reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.

    “Dengan teknologi saat ini, sangat mungkin dibuat sistem digital yang akurat dan transparan. Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.

    Wakil Ketua Umum VISI, Ariel NOAH, turut menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk memihak satu kelompok, melainkan memperjuangkan keseimbangan hak antara pencipta, penyanyi, dan penyelenggara acara.

    “Kita ingin sistem yang adil dan transparan untuk semua pelaku musik. Kalau sistemnya jelas, semua pihak diuntungkan,” ujar Ariel.

    Fraksi Golkar berkomitmen menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

    “Kami akan formulasikan aspirasi VISI dengan aspirasi AKSI untuk disampaikan ke pemerintah,” kata Sarmuji.

    Pertemuan antara Fraksi Golkar dan VISI ini menjadi momentum penting bagi pembenahan tata kelola royalti di Indonesia. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kebangkitan industri musik, sinergi antara dunia politik dan komunitas musisi menjadi kunci agar keadilan royalti tidak hanya menjadi jargon, tetapi juga kenyataan yang dirasakan semua pelaku seni.

    Pertemuan ini juga dihadiri oleh Bendahara Fraksi Sari Yuliati, serta sejumlah pimpinan komisi dari Fraksi Golkar, antara lain Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi VII Lamhot Sinaga, dan Wakil Ketua Komisi XIII Dewi Asmara. Serta Vina Panduwinata dan Sammy Simorangkir yang turut tergabung dalam VISI.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti

    Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti

    Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah musisi yang tergabung dalam serikat musisi, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) menyuarakan keluh kesahnya soal distribusi royalti ke Fraksi Partai Golkar di DPR RI.
    Beberapa musisi dari VISI seperti Armand Maulana, Nazril Irham atau Ariel Noah, Vina Panduwinata, dan Sammy Simorangkir itu datang beraudiensi dengan Fraksi Golkar di Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/11/2025).
    Mereka menyampaikan keresahan atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.
    Ketua Fraksi Golkar M. Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
    “Saya sudah menyimak dua presentasi (dari) AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kita menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” ujar Sarmuji dalam keterangannya.
    Sarmuji mengatakan, tidak transparannya tata kelola LMKN menjadi suatu persoalan sendiri.
    Ia pun menilai perlu ada aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.
    “Kalau ditetapkan aturan bahwa pembayaran royalti pertunjukan dilakukan seminggu setelah konser, bolehlah. Jadi tidak perlu menunggu berbulan-bulan seperti sekarang,” kata Sarmuji.
    Menurut Sarmuji, langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan seperti pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.
    Di hadapan para musisi, ia juga berkomitmen partainya akan mengawal dan menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
    Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini menyebut tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit, apalagi merugikan pencipta lagu.
    “Sistemnya jangan sampai mempersulit. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya,” ujarnya.
    Bagi Sarmuji, sistem soal royalti ini memang perlu diperbaiki dan harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, termasuk dunia usaha.
    Sarmuji berharap jangan sampai ada pelaku usaha yang malah merasa terbebani.
    “Tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha, pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain. Mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” imbuh dia.
    Sementara itu, Ketua Umum VISI, Armand Maulana mengatakan, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.
    Vokalis grup band Gigi itu menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yaitu distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.
    “Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambah Armand.
    Bagi Armand, wacana pembentukan lembaga baru yang khusus untuk konser tidak akan menyelesaikan masalah.
    “Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.
    Di sisi lain, VISI mendorong reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.
    Dengan teknologi saat ini, menurutnya, sangat mungkin dibentuk sistem digital yang akurat dan transparan.
    “Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.
    Armand juga mengungkap akar permasalahan ini bermula dari tidak kompeten serta tidak transparannya kerja dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMKN di masa lalu.
    Hal ini lantas mengakibatkan munculnya berbagai persoalan seperti kasus penyanyi, Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.
    Oleh karenanya, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.

    Performing rights
    itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” tegas Armand.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI masih belum ideal.
    Dari total 580 anggota parlemen, hanya 127 di antaranya perempuan, tepatnya setara 21,9 persen.
    Angka itu masih terpaut cukup lebar dari ketentuan baru yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi Nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa minimal keterwakilan perempuan dalam seluruh AKD harus mencapai 30 persen.
    Mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), hingga Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), BKSAP, MKD, dan BURT.
    Pada akhirnya, putusan ini menjadi penegasan kembali komitmen terhadap politik hukum kesetaraan gender di parlemen.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Terpisah, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa putusan sudah sesuai dengan jumlah yang ada saat ini.
    “Jadi total sekarang kan 127 anggota perempuan dari total 580 anggota. Menurut saya ini menjadi penting, tidak dimaknai untuk bagaimana ini sekadar jumlah. Tapi, bagaimana partai itu betul-betul memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya,”
    “Pendidikan politik yang komprehensif dan mempersiapkan dari mulai sekolah partainya untuk merencanakan perwakilan perempuan itu memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya di bidang itu,” tambah dia.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.
    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Adapun dalam perbaikan bagian posita dan petitum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Diantaranya, perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    “Oleh karena itu menurut saya bahwa penting kiranya kerja politik, karena yang di parlemen itu kan perpanjangan partai sebetulnya, bukan person. Tapi dia institusi kepartaian sehingga itu saja ini harapan saya bisa memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” lanjut Rieke.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen.
    Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    “Kemajuan yang patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” lanjut Puan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ada hambatan utama yang menyebabkan keterwakilan perempuan dalam AKD tak sampai 30 persen.
    “Hambatan utama keterwakilan perempuan di AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin,” kata Titi.
    Dia bilang, hal ini diperparah dengan aturan dalam perekrutan partai dan negosiasi politik di parlemen.
    Ditambah lagi, posisi strategis sering didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, dan bukan prinsip kesetaraan gender.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Di sisi lain, Titi melihat adanya pandangan bias gender dalam partai, yang menilai bahwa isu perempuan bukan prioritas utama. Ditambah lagi, anggota legislatif perempuan yang kebanyakan tidak mendapatkan dukungan dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    Titi menilai dalam upaya mendorong jumlah perempuan dalam AKD, pendidikan politik dalam kaderisasi partai dinilai penting. Pelatihan kepemimpinan dinilai mampu meningkatkan kapasitas dan jaringan politik perempuan dalam partai.

    “Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” lanjut Titi.
    Rieke menambahkan, pada dasarnya mempersiapkan kader-kader perempuan yang siap untuk menjadi calon legislatif bukanlah perkara yang mudah. Dia bilang, kaderisasi parpol terhadap anggota perempuan perlu dilakukan.
    “Memang tidak mudah untuk dari mulai keterpilihan proses dari pencalonan, penjaringan, penyaringan, kemudian penetapan sebagai calon di elektoral. Oleh karena itu menurut saya bahwa penting memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” kata Rieke.
    Rieke juga menilai, pendidikan politik yang komprehensif dapat mempersiapkan kader politik yang tidak hanya mampu bertugas di DPR, dan memiliki kemampuan pilitik yang memumpuni.
    “Partai (perlu) merencanakan perwakilan perempuan itu yang memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan, dipersiapkan untuk menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya,” lanjut dia.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul sekaligus mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M. Jamiluddin Ritonga menegaskan bahwa ke depannya setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg.
    “Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD. Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan,” kata Jamiluddin.
    “Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” lanjut Jamiluddin.
    Dia menegaskan bahwa partai adalah merupakan awal atau cikal – bakal kader politik perempuan tumbuh, memiliku kualitas untuk ditempatkan sebagai wakil rakyat di parlemen.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gubernur Abdul Wahid di OTT KPK, Ini Rekam Jejak Politiknya dengan Kekayaan Rp4,8 Miliar

    Gubernur Abdul Wahid di OTT KPK, Ini Rekam Jejak Politiknya dengan Kekayaan Rp4,8 Miliar

    FAJAR.CO.ID, RIAU — Gubernur Riau, Abdul Wahid yang terjadi orang tangkap tangan OTT oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan sosok pejabat yang tergolong masih muda.

    Betapa tidak, pada 21 November mendatang, dia baru akan merayakan ulang tahunnya yang ke-45 tahun.

    Sayangnya, sebelum genap 45 tahun tersebut, dia diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama beberapa pejabat Dinas PUPR Provinsi Riau.

    Abdul Wahid diketahui merupakan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang terpilih sebagai Gubernur Riau melalui Pilkada 2024 untuk periode 2025-2030.

    Pada Pilkada lalu, dia berpasangan dengan SF Harianto sebagai wakil gubernur. Sebelum menjabat sebagai kepala daerah, Wahid memiliki rekam jejak panjang di dunia politik.

    Ia pernah menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024 mewakili daerah pemilihan Riau II, serta anggota DPRD Riau selama dua periode, yakni sejak 2009 hingga 2019.

    Politikus kelahiran 21 November 1980 itu mewakili Dapil Riau II yang meliputi Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan Pelalawan.

    Harta kekayaan Abdul Wahid yang menjabat Gubernur Riau baru beberapa bulan ini, memiliki total harta kekayaan sebesar Rp 4,8 miliar untuk periodik 2023.

    Harta ini sudah dikurangi dengan utangnya yang mencapai Rp1,5 miliar. Dia terakhir melaporkan harta kekayaan pada 31 Maret 2024 lalu.

    Berdasarkan LHKPN ini, Abdul Wahid banyak memiliki tanah dan bangunan yang bernilai Rp4,9 miliar yang tersebar di beberapa kabupaten kota di Provinsi Riau seperti di Kampar, Pekanbaru, Indragiri Hilir.

  • Perdana Muncul ke Publik, Sahroni Sapa Warga-Jelaskan Kronologi Penjarahan

    Perdana Muncul ke Publik, Sahroni Sapa Warga-Jelaskan Kronologi Penjarahan

    Jakarta

    Politikus Partai NasDem, Ahmad Sahroni, perdana muncul ke publik usai insiden penjarahan pribadi dan penonaktifan dirinya sebagai anggota DPR RI. Momen kemunculan perdana Sahroni saat acara silaturahmi bersama para ulama, perangkat camat, lurah, RW hingga warga di Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

    Acara silaturahmi itu digelar kemarin, Minggu (2/11/2025) di depan kediaman Sahroni yang sempat dijarah. Sahroni tampak mengenakan kemeja berwarna putih memberi sambutan kepada para warga yang duduk mengenakan peci hingga pakaian koko.

    “Oh, kemarin kita buat acara di tempatnya Pak Sahroni yang rumahnya dijarah. Itu kita undang, kita berdoa bersama dan sekaligus bersilaturahmi dengan para ulama peserta undangannya itu 1.200 berikut dengan ulama-ulama serta perangkat RW serta camat, lurah,” kata kerabat Sahroni, Imam, saat dihubungi, Senin (3/11/2025).

    Imam mengatakan acara pengajian itu diinisiasi langsung oleh Sahroni. Ia menyebut Sahroni baru pertama juga kembali ke rumah yang telah dijarah oleh pihak yang tak bertanggungjawab.

    “Betul, kita berdoa bersama. Kebetulan juga Pak Sahroni baru datang ke rumahnya ya. Jadi dia punya inisiatif untuk berdoa bersama,” ungkap Imam.

    “Dari Pak Sahroni sendiri, dari Pak Sahroni sendiri, yang punya inisiatif, Inisiatifnya ya. Ya, kami khususkan undangan memang hanya fokus di Kelurahan Kebon Bawang karena pesertanya hanya 1.200,” ungkap Imam.

    Imam mengatakan Sahroni menyapa warga dalam sambutannya. Sahroni juga disebut menjelaskan kronologis kejadian penjarahan di rumah tersebut.

    “Tapi sudah semenjak kejadian itu kan sudah lama juga nggak bikin acara dan akhirnya lumayan bikin acara. Setelah bikin acara, sembari menyapa, lalu beliau juga cerita soal kronologis kejadian di rumah tersebut,” imbuhnya.

    (dwr/dek)

  • Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar agar setiap pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) memuat keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Pemenuhan angka atau memang mampu menghadirkan anggota DPR berkualitas?
    Alat Kelengkapan Dewan atau AKD terdiri dari komisi-komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
    Putusan MK itu diketok di sidang akhir uji materi untuk perkara nomor 169/PUU-XXII/2024, pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, terdapat perbaikan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Pada perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada
    Kompas.com
    , Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Senada, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka juga menyambut baik putusan MK terkait keterwakilan perempuan dalam AKD.
    “Saya mengapresiasi dan menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi terkait keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD),” ujar Rieke.
    Menurutnya, keputusan MK ini akan berdampak langsung pada penguatan partai politik dalam menyiapkan kader perempuan yang lebih siap dan berdaya saing.
    “Dan tentu saja ini berimplikasi pada bagaimana partai politik menyiapkan kader-kader perempuannya, semakin diperkuat begitu,” ujar dia.
    “Bukan hanya keterwakilan secara kuantitatif, tapi putusan MK ini juga penting dimaknai harus berimbas pada keterwakilan perempuan secara kualitatif,” tambah dia.
    Namun demikian, pemenuhan perempuan dalam AKD masih mengalami tantangan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Menurut Rieke hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Titi menambahkan, ada pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama.
    Sehingga anggota legislatif perempuan minim dukugan struktural dan politik dari partainya.
    “Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    “Minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” tegas Titi.
    Sebagai anggota DPR dari kaum perempuan, Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.

    Sementara itu, Titi Anggraini menilai putusan MK yang mewajibkan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD minimal 30 persen dan persebaran anggota legislatif perempuan di keanggotaan AKD secara proporsional adalah langkah konstitusional yang sangat progresif untuk memperbaiki ketimpangan tersebut.
    “Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal transformasi budaya politik agar parlemen menjadi ruang yang lebih inklusif dan representatif,” jelas Titi.
    “Tantangannya ke depan adalah memastikan implementasinya berjalan konsisten di semua lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Baik untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun MPR,” tegasnya.
    Berbicara soal kuantitas, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M Jamiluddin Ritonga mengatakan pembagian porsi anggota legislatif bisa sesuai dengan amanat MK. Namun tentu hal itu harus merujuk pada jumlah legislator perempuan.
    “Secara kuantitas bila jumlah legislator perempuan dapat dibagi habis minimal 30 persen untuk setiap AKD DPR RI. Namun bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka Keputusan MK tersebut dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan,” ungkapnya.
    “Sebab, jumlah legislator perempuan tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” ungkap dia.
    Hal yang sama juga berlaku dari sisi kualitas. Jamiluddin menegaskan, bila kualitas (kompetensi) legislator perempuan mencerminkan semua AKD DPR RI, maka akan mudah mendistribusikan minimal 30 persen legislator perempuan ke setiap AKD.
    “Sebaliknya, bila kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen kiranya hanya pemaksaan. Sebab, akan banyak legislator perempuan ditempatkan di AKD yang tak sesuai kompetensinya,” kata dia.
    “Kalau hal itu terjadi, akan membuat legislatir perempuan tidak produktif. Setidaknya akan sulit bagi legislator perempuan untuk melaksanakan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi secara maksimal,” tambahnya.
    Dia menegaskan bahwa Keputusan MK sangat baik untuk kesetaraan gender, namun tidak mudah untuk diimplementasikan.
    Karena itu, DPR harus mampu mensiasati Keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya.
    “Legislatif perempuan juga nyaman ditempatkan di AKD tertentu karena sesuai dengan kompetensinya,” ujar dia.
    Saat ini, tercatat ada 127 anggota perempuan dari total 580 anggota DPR RI, atau sekitar 21,97 persen. Rieke berharap, keberadaan perempuan tidak hanya sebatas angka, tetapi juga diikuti peningkatan kapasitas dan peran substantif di berbagai komisi.
    “Menurut saya ini penting tidak dimaknai sekadar jumlah. Partai harus memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya melalui pendidikan politik yang komprehensif,” tegas Rieke.
    Untuk memastikan keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif, Jamiluddin mengimbau agar partai mampu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg. Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD.
    “Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan. Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” ungkap Jamiluddin.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegasnya.
    Senada, Rieke juga menilai bahwa perempuan yang duduk di parlemen, baik di komisi ekonomi, sosial, maupun hukum, harus memahami konteks peran legislatif dalam sistem presidensial Indonesia.
    “Sehingga ketika seseorang ditempatkan, baik laki-laki maupun perempuan, dia sudah mengerti apa tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat. Tidak bisa ini hanya dimaknai persoalan jenis kelamin perempuan harus ada di setiap komisi,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota Komisi I: Pesawat A400M perkuat pertahanan udara RI

    Anggota Komisi I: Pesawat A400M perkuat pertahanan udara RI

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi I DPR RI Oleh Soleh mengatakan kehadiran Airbus A400M yang merupakan pesawat angkut terbesar TNI Angkatan Udara merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem pertahanan udara Indonesia sekaligus mendukung misi kemanusiaan di berbagai daerah.

    “Pesawat A400M bukan hanya simbol modernisasi alutsista, tetapi juga bentuk keseriusan pemerintah dalam memperkuat kedaulatan dan kemampuan mobilitas TNI,” kata legislator urusan pertahanan itu dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin.

    Dia menjelaskan kemampuan pesawat A400M yang dapat digunakan untuk pengangkutan logistik, pasukan, evakuasi medis, serta misi kemanusiaan relevan dengan kebutuhan Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas dan rawan bencana alam.

    “Dengan daya jelajah yang tinggi dan kapasitas angkut besar, pesawat ini akan sangat membantu TNI dalam operasi kemanusiaan maupun penanganan bencana di wilayah terpencil,” ucap Oleh Soleh.

    Di sisi lain, dia menekankan bahwa peningkatan alutsista seperti A400M harus diiringi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan TNI.

    “Kita perlu memastikan bahwa teknologi canggih ini bisa dioperasikan dan dirawat secara optimal oleh personel TNI yang terlatih dan profesional,” katanya menegaskan.

    Selaku anggota Komisi I DPR RI, Oleh Soleh menyatakan pihaknya mendukung langkah pemerintah untuk terus memperkuat sistem pertahanan nasional dengan cara yang efektif, transparan, dan akuntabel.

    “Kehadiran A400M menjadi bukti nyata bahwa modernisasi pertahanan Indonesia berjalan ke arah yang positif. Ini investasi jangka panjang untuk keamanan nasional sekaligus kemanusiaan,” kata dia.

    Pada Senin ini, Presiden RI Prabowo Subianto secara simbolis menyerahkan kunci pesawat angkut Airbus A400M kepada Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

    Kunci pesawat tersebut kemudian diserahkan Panglima TNI kepada Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono.

    Sebelum penyerahan kunci pesawat, Presiden Prabowo melakukan prosesi membuka tirai lambang Skuadron 31 yang menempel di badan pesawat. Presiden juga menyiramkan air kembang ke bagian roda depan pesawat.

    Pesawat A400M TNI AU memiliki panjang 45,1 meter, lebar 42,2 meter, dan tinggi 14,7 meter. Pesawat itu dapat mengangkut muatan hingga 37 ton, dan 116 personel. A400M TNI AU itu juga dilengkapi dengan 4 mesin turboprop Europrop TP400-D6, dan dapat terbang dengan kecepatan maksimal 780 kilometer per jam dengan maksimal daya jelajah mencapai 8.900 kilometer.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.