Tanpa Dukungan Pusat, Tak Mungkin Aceh Utara Bisa Dibangun Pascabanjir…
Tim Redaksi
ACEH UTARA, KOMPAS.com
– Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, TA Khalid, di depan Ketua MPR RI Ahmad Muzani meminta agar pemerintah pusat mendukung sepenuhnya pemulihan Kabupaten Aceh Utara paska banjir.
Hal itu disampaikan saat meninjau lokasi pengungsian korban banjir di Desa Leubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Kabupaten
Aceh Utara
, Provinsi Aceh, Sabtu (13/12/2025).
Dia menyebutkan, tanpa dukungan pusat tidak mungkin Aceh Utara bisa dibangun pascabanjir.
“Kami sudah merasakan tsunami laut, kali ini “tsunami” darat. Kerusakannya mulai pesisir hingga pinggir gunung. Tanpa dukungan pusat tak mungkin Aceh Utara bisa dibangun pascabanjir,” katanya.
Dia menyatakan komitmen mengawal seluruh dukungan rehabilitasi dan rekontruksi dari Kabupaten Aceh Utara dalam APBN.
“Saya juga akan mengajak teman-teman DPR RI untuk membantu Aceh Utara, ini daerah pemilihan saya, saya pasti akan mendukung sepenuhnya,” terang
TA Khalid
.
Dia berterima kasih atas kehadiran Ketua MPR RI Ahmad Muzani dan Wakil Menteri Kesehatan RI Benjamin Paulus Oktavianus, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Andi Iwan Darmawan Aras. Sehingga dapat membantu pemulihan kabupaten itu pascabanjir.
Sekadar diketahui, 150 orang tewas dalam banjir sejak 22 November 2025 di Aceh Utara.
Ratusan orang mengungsi dan ratusan orang kehilangan tempat tinggal. Ratusan bangunan pemerintah hancur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: DPR RI
-
/data/photo/2025/12/13/693d7747e0300.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tanpa Dukungan Pusat, Tak Mungkin Aceh Utara Bisa Dibangun Pascabanjir… Regional 13 Desember 2025
-
/data/photo/2025/12/13/693d716793ba0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ketua MPR RI: Kerusakan Parah, 100.000 Lebih Pengungsi Belum Tertampung di Aceh Utara Regional 13 Desember 2025
Ketua MPR RI: Kerusakan Parah, 100.000 Lebih Pengungsi Belum Tertampung di Aceh Utara
Tim Redaksi
ACEH UTARA, KOMPAS.com
– Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ahmad Muzani tiba di lokasi pengungsian korban banjir di Desa Leubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, Sabtu (13/12/2025).
Ahmad Muzani
menyatakan setelah melihat langsung dampak banjir, sekitar 100.000 lebih warga belum mendapat tempat pengungsian. Mereka kini tersebar di rumah keluarga dan saudara.
Selain itu, 25 kecamatan mengalami kerusakan parah akibat banjir dan dua kecamatan rusak ringan.
“Praktis seluruh kabupaten itu rusak parah. Kami sudah melihat kondisi
Aceh Utara
dan datang langsung mendengar keluhan warga,” terang Muzani didampingi Bupati Aceh Utara Ismail A Jali.
Dia pun menyebutkan keberpihakan Presiden RI Prabowo Subianto untuk penanganan banjir di Provinsi Aceh.
“Sudah tiga kali Presiden datang ke Aceh, mulai di Aceh Tenggara, Bireuen, Aceh Tamiang, Bener Meriah dan Aceh Tengah,” kata Muzani.
Politisi senior Gerindra ini menyatakan pemerintah memastikan seluruh pemulihan Aceh pascabencana banjir dan longsor akan ditangani dengan baik.
“Kita akan kawal pemulihan Aceh Utara,” katanya.
Muzani datang dengan helikopter menuju daerah pedalaman itu. Dia bersama Wakil Menteri Kesehatan RI Benjamin Paulus Oktavianus, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Andi Iwan Darmawan Aras dan anggota DPR RI Asal Gerindra TA Khalid.
Selain itu, Muzani menyerahkan bantuan 2.000 paket kebutuhan bahan pangan untuk Aceh Utara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

DPP GAN: Prabowo Sedih, Rakyat Sedih, Prabowo Senang Rakyat Juga Harus Senang
Fajar.co.id, Jakarta — Refleksi setahun perjalanan organisasi Garuda Astacita Nusantara (GAN) telah digelar di Jakarta, Jumat, 12 Desember 2025, kemarin.
Wakil Ketua DPP GAN, Mukhtar Tompo menyampaikan GAN adalah organisaso relawan yang konsisten berjuang untuk Prabowo Subianto, bahkan sejak Pilpres 2019 lalu.
”Banyak Relawan militan pak Prabowo di seluruh pelosok Nusantara, yang paling riil itu di tahun 2019 dengan segala pengorbanan materiil dan in materiil,” kata Mukhtar Tompo.
Meteka telah berhadapan dengan berbagai resiko perjuangan, baik secara fisik, Psikis dan politik. Jadi tak boleh ada pihak yang merasa terlalu pahlawan dan membuat pagar pembatas untuk akses ke Prabowo,
“Karena sejatinya perjuangan itu ada di Grassroot. Prabowo sedih rakyat sedih, Prabowo tertawa senang rakyat juga harus senang dan tertawa,” katanya.
Mukhtar dikenal sebagai Patriot pejuang prabwo khususnya pada tahun 2019. Gerakannya membuat heboh ketika menjadi tim Prabowo untuk kawasan timur Indonesia.
Ia bahkan melakukan hijrah partai ke PAN menjadi Caleg DPR RI Dapil Sulsel 1 dengan Tagline “SAYA HIJRAH POLITIK KARENA INGIN GANTI PRESIDEN”.
Gerakan ini memantik patriotisme dan militansi grassroot untuk Prabowo walau dirinya harus menuai berbagai resiko.
Organisasi dibawah pimpinan Ketua Umum GAN, Muh Burhanuddin dan Sekretaris Jenderal DPP GAN, Erlambang Trisakti mengatakan visi besar mereka adalah mengawal Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
“Yakni untuk memajukan bangsa indonesia dan mensejahterahkan rakyat indonesia sebagaimana telah tertulis dalam ASTA CIITA. Lembaga ini konsisten menjalankan berbagai misi dan langkah taktis,” kata Mukhtar Tompo.
-

Pengangkatan Kapolri lewat DPR Disebut Amanat Reformasi
Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan mekanisme pengangkatan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dengan persetujuan DPR merupakan amanat reformasi yang telah diatur secara jelas dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).
Habiburokhman menjelaskan, ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 7 ayat (3) Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang menyebutkan Polri, yang dipimpin oleh kapolri, diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR.
“Ketentuan ini sudah sangat jelas. Usulan agar Kapolri diangkat tanpa persetujuan DPR gagal menjelaskan argumentasi yang kuat,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (13/12/2025).
Habiburokhman menilai anggapan persetujuan DPR membuka ruang intervensi politik terhadap kepolisian merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Menurutnya, jika hak pengawasan DPR selalu dikonotasikan sebagai bentuk intervensi, maka potensi serupa juga bisa terjadi apabila Polri diawasi oleh institusi lain di luar DPR.
“Kalau hak pengawasan dianggap berujung intervensi, maka logika yang sama juga bisa diterapkan pada lembaga pengawas lainnya,” tegasnya.
Habiburokhman juga menanggapi anggapans DPR terlalu lemah dalam merespons pelanggaran yang dilakukan anggota Polri. Namun, ia mempertanyakan konsekuensi yang akan muncul jika persetujuan DPR dalam pengangkatan kapolri justru ditiadakan.
Ia menegaskan DPR merupakan lembaga legislatif yang memiliki legitimasi sebagai representasi konstitusional rakyat. Oleh karena itu, keterlibatan DPR dalam penunjukan kapolri merupakan bagian dari mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan.
“Persetujuan penunjukan kapolri adalah bagian dari pelaksanaan fungsi DPR dalam mengawasi jalannya pemerintahan,” kata Habiburokhman, yang komisinya bermitra langsung dengan Polri.
Sebelumnya, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengusulkan agar calon kapolri ke depan tidak lagi diseleksi oleh DPR demi menjaga independensi kepolisian.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Nasional Peradi, Dwiyanto Prihartono, menilai dalam beberapa tahun terakhir posisi kepolisian kerap terseret berbagai kepentingan politik, termasuk kepentingan partai.
“Bahasa sederhananya, ada posisi tawar-menawar di sana. Dampaknya bisa menembus hingga ke daerah-daerah dan mengganggu sistem komando karena faktor politik lebih dominan dibanding profesionalisme kepolisian,” ujar Dwiyanto dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
-

Stok Gula RI Aman, Bahkan Berlebih
Jakarta –
Pemerintah memastikan pasokan gula konsumsi berada pada level aman menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyampaikan, stok yang tersedia mampu mencukupi kebutuhan masyarakat hingga akhir tahun, bahkan berpotensi menyisakan surplus signifikan pada awal 2026.
Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Bapanas, Rinna Syawal mengatakan memasuki Desember 2025, ketersediaan gula konsumsi berada pada angka 1,67 juta ton. Dengan kebutuhan sekitar 237 ribu ton, stok kita diproyeksikan masih surplus hingga 1,43 juta ton dan akan menjadi stok awal yang kuat memasuki 2026.
“Ini menunjukkan pasokan gula nasional berada pada level aman dan mampu menjaga stabilitas konsumsi masyarakat,” kata dia dalam keterangannya, dikutip Sabtu (13/12/2025).
Adapun produksi gula nasional tercatat mencapai 2,67 juta ton sepanjang 2025. Kemudian stok tahun ini mendapatkan carry over dari tahun lalu sebesar 1,38 juta ton.
Artinya stok berada di posisi 4 juta ton. Jumlah stok ini mencukupi untuk kebutuhan tahun ini yang diperkirakan mencapai 2,8 juta ton.
“Berdasarkan proyeksi neraca pangan per 4 Desember 2025, kebutuhan nasional sepanjang tahun diperkirakan mencapai 2,8 juta ton, dengan konsumsi bulanan sekitar 230-250 ribu ton,” jelasnya.
Pemerintah juga menargetkan Indonesia dapat mencapai swasembada gula konsumsi atau gula kristal putih (GKP). Target ini merupakan komitmen pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat kemandirian pangan sekaligus mendukung keberlanjutan petani dalam negeri.
Upaya percepatan menuju swasembada gula memerlukan peran aktif seluruh pemangku kepentingan. Hal ini disampaikan Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PAN, Ahmad Yohan.
“Program pengembangan tebu harus menjadi prioritas nasional dan mendapat pengawalan serius. Komisi IV DPR RI menekankan pentingnya kolaborasi untuk membangun ekosistem industri gula yang efisien dan berkelanjutan,” jelas Yohan.
Ia menegaskan bahwa keberpihakan pada petani menjadi fondasi penting keberhasilan swasembada. “Yang terpenting, kebijakan swasembada gula harus berpihak pada petani, karena merekalah fondasi utama industri gula nasional,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan petani tebu Pasuruan, Muhamad Hanif, menyampaikan apresiasi atas bantuan bibit yang telah diterima petani. Ia berharap dukungan pemerintah juga mencakup penyerapan hasil panen.
“Kemarin kami mendapat bantuan bibit, alhamdulillah itu sangat membantu. Ke depan, kalau bisa kami juga dibantu dalam pembelian gulanya. Mohon diperhatikan pasca panennya, supaya hasil gula kami terserap dan bisa membantu biaya operasional,” ujarnya.
(ada/fdl)
-

Kompleksitas Persoalan di Sultra Perlu Penanganan Berkelanjutan
Dari target 82.000 aparatur negara, sudah 20.993 yang mengikuti penguatan.
Untuk kategori masyarakat, capaian bahkan melampaui target, dari 9.505 menjadi 10.905 peserta.
Pada komunitas, target 15 meningkat jauh hingga 45 komunitas, sementara pada pelaku usaha, realisasi mencapai 130 dari target awal 15.
Bukan hanya memaparkan capaian, Daniel juga kembali menegaskan perlunya pembentukan Kanwil KemenHAM di Sulawesi Tenggara.
Kata dia, karakter geografis Sultra yang didominasi wilayah kepulauan membuat layanan HAM belum dapat dijangkau secara cepat maupun merata.
“Kompleksitas persoalan di wilayah Sultra, mulai dari pertambangan nikel, konflik agraria, tenaga kerja, perlindungan anak dan perempuan, hingga isu lingkungan, memerlukan penanganan langsung dan berkelanjutan,” Daniel menuturkan.
“Kehadiran Kanwil HAM akan mempercepat koordinasi, memperkuat respon pengaduan, memantau proyek pembangunan, serta memastikan kebijakan daerah lebih berperspektif HAM,” jelasnya.
Ketua Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi XIII DPR RI, Rinto Subekti, memberikan apresiasi atas paparan tersebut.
Ia menyampaikan dukungan penuh terhadap pembentukan Kanwil KemenHAM di Sultra, sekaligus mendorong percepatan pembahasannya di tingkat kementerian.
Rinto juga meminta jajaran Kanwil KemenHAM Sulsel untuk menjaga momentum peningkatan kinerja pada 2026.
Khususnya terkait inovasi layanan, peningkatan kualitas respon pengaduan, serta kolaborasi dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya.
(Muhsin/fajar)
-
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK Nasional
Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DI TENGAH
upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia, keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam.
Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat di kementerian dan lembaga sipil.
Tindakan yang seolah tak mengindahkan keputusan MK ini menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen institusi penegak hukum dalam menjaga integritas dan netralitasnya.
Pembangkangan terhadap putusan MK bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap prinsip dasar negara hukum.
Dengan tetap mengizinkan anggota Polri menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga berpotensi memicu konflik kepentingan.
Situasi ini mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat, di mana polisi seharusnya menjadi penegak hukum yang independen, justru terjerat dalam kebijakan politik sipil.
Tindakan pemerintah dalam menanggapi situasi ini sangat krusial. Di saat masyarakat mendesak agar integritas hukum ditegakkan, langkah berani untuk menarik anggota Polri dari jabatan sipil dan menghentikan implementasi Perpol 10/2025 menjadi penting dan mendesak.
Hanya dengan mematuhi putusan MK dan menjalankan prinsip-prinsip profesionalitas, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada supremasi hukum, bukan pada kekuasaan semata.
Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota Polri aktif menjabat di 17 kementerian dan lembaga sipil terasa seperti tamparan bagi integritas institusi negara.
Aturan ini muncul hanya sebulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang praktik semacam itu melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Putusan MK tersebut bukanlah hal sepele. MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Alasan utamanya adalah untuk menjaga netralitas Polri sebagai penegak hukum, mencegah konflik kepentingan, dan menghindari politisasi institusi kepolisian.
Sebelum putusan ini, polisi aktif sering ditempatkan di posisi strategis sipil, seperti di kementerian atau lembaga negara, yang menurut para pemohon uji materi termasuk aktivis hak asasi manusia, merusak prinsip pemisahan kekuasaan.
Pakar hukum tata negara pun menilai putusan ini berlaku serta merta, mengharuskan polisi aktif yang sedang menjabat segera mundur.
Namun, respons Kapolri justru sebaliknya. Perpol baru tersebut secara eksplisit mengatur bahwa anggota Polri dapat bertugas di 17 instansi sipil, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), KPK.
Ini bukan hanya kontradiktif dengan putusan MK, tapi juga mengabaikan seruan dari DPR RI yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menarik polisi dari jabatan sipil demi menghormati keputusan konstitusi.
Tidak salah jika banyak masyarakat beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang jelas, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi.
Jika keputusan MK, yang seharusnya final dan mengikat, tidak dianggap serius, maka persepsi publik terhadap institusi tersebut bisa runtuh.
Pertanyaan yang muncul adalah, untuk apa adanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dihormati?
Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM berargumen bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, larangan hanya untuk pengangkatan baru, sementara yang sudah menjabat boleh tetap.
Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU), yang melihatnya sebagai cara untuk menghindari kekacauan administratif mendadak.
Namun, argumen ini lemah secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan prinsip non-retroaktif biasanya tidak berlaku untuk isu konstitusional yang menyangkut prinsip dasar negara.
Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya: lembaga eksekutif bisa mengabaikan MK dengan dalih interpretasi sendiri.
Menurut saya, tindakan Kapolri mencerminkan masalah lebih rumit dan ruwet dalam
reformasi Polri
. Reformasi polri juga tampaknya tak berdaya. Benarlah adanya bahwa reformasi Polri itu sekadar
omon-omon
di warung kopi.
Indonesia bukan negara polisi, tapi negara hukum di mana supremasi konstitusi harus diutamakan.
Dengan membiarkan anggota Polri tetap menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya melemahkan netralitas Polri, tapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Tentu saja hal Ini bisa memicu konflik kepentingan, di mana polisi yang seharusnya independen justru terlibat dalam kebijakan sipil, potensial menimbulkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Inilah yang menjadi kekhawatiran saya.
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Presiden Prabowo memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat otoritatif, tetapi juga mencerminkan kewajiban moral untuk menjaga agar seluruh lembaga negara, termasuk Polri, tunduk pada konstitusi.
Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mendesak pemerintah untuk menarik personel Polri dari jabatan sipil. Tindakan ini diharapkan dapat menghormati dan menegakkan keputusan MK yang telah ada.
Langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah bukanlah mempertahankan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025), melainkan melakukan penataan transisi yang sesuai dengan hukum. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, menghentikan sementara implementasi Perpol 10/2025 sampai proses harmonisasi dengan putusan MK selesai. Langkah ini akan memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan regulasi yang ada guna mematuhi keputusan MK.
Kedua, segera menarik anggota Polri aktif dari jabatan sipil yang jelas bertentangan dengan putusan MK. Hal ini esensial untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap profesional dan bebas dari intervensi.
Ketiga, melakukan audit transparan terhadap seluruh bentuk penugasan personel aktif di luar struktur kepolisian. Dengan adanya audit ini, publik akan mendapatkan gambaran jelas tentang penggunaan sumber daya Polri dan menjamin keadilan dalam penugasan.
Keempat, membangun mekanisme transisi yang memungkinkan jabatan-jabatan yang ditinggalkan diisi oleh unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat sipil lain. Ketersediaan layanan publik tidak boleh terganggu selama masa transisi ini.
Mekanisme yang baik akan memastikan kelangsungan pelayanan masyarakat tanpa menyalahi ketentuan hukum.
Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk upaya untuk mencegah erosi terhadap prinsip profesionalitas dan netralitas Polri.
Dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum, pemerintah dapat memperkuat legitimasi institusinya di hadapan publik, serta menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga negara
Pelanggaran terhadap konstitusi tidak selalu terjadi secara frontal. Sering kali ia berlangsung lewat regulasi teknis, keputusan administratif, atau penafsiran yang memelintir makna putusan peradilan.
Dalam kasus ini, Perpol 10/2025 menjadi contoh bagaimana aturan internal dapat menggeser batas-batas konstitusional secara perlahan, tapi signifikan.
Ketika MK telah mengeluarkan putusan final, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan panjang, melainkan kepatuhan. Mengabaikannya berarti membiarkan marwah negara hukum terkikis sedikit demi sedikit.
Polri membutuhkan kepercayaan publik untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan itu hanya dapat bertahan jika institusi kepolisian menunjukkan komitmen terhadap prinsip dasar negara hukum.
Indonesia bukan negara polisi. Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, langkah apa pun yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat harus dihentikan.
Tugas negara hari ini bukan hanya memperkuat supremasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada lembaga yang berdiri di atas konstitusi.
Dalam setiap langkah kita menuju keadilan, sangat jelas bahwa hukum harus menjadi penuntun, bukan sekadar aturan yang bisa diabaikan.
Ketika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan putusan hukum, kita bukan hanya menghadapi ancaman terhadap integritas institusi, tetapi juga mengorbankan kepercayaan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah.
Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bijaksana, serta aparat yang mampu menjaga netralitasnya dalam setiap keputusan.
Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menantang setiap bentuk pembangkangan hukum yang merusak fondasi konstitusi.
Marilah kita bergerak bersama, mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk kembali pada prinsip-prinsip yang mendasar, demi masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Polisi kembalilah mengayomi bukan menguasai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2402782/original/073499800_1541610817-AWAN_HUJAN_2-Muhamad_Ridlo.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cuaca Hari Ini Sabtu 13 Desember 2025: Jabodetabek Diprediksi Berawan
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi cuaca ekstrem yang dipicu oleh angin monsun Asia dan siklon tropis akan terus berlangsung di berbagai wilayah Indonesia hingga awal Januari 2026. Fenomena ini berpotensi memicu gelombang pasang, cuaca panas ekstrem, angin puting beliung, badai, serta hujan deras yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Merespons hal itu, Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya, meminta peringatan dari BMKG harus ditanggapi dengan serius. Terlebih, ancaman bencana hidrometeorologi bertepatan dengan puncak mobilitas masyarakat selama liburan Natal dan Tahun Baru.
“Artinya mobilitas warga tinggi. Kami dari Komisi VIII DPR RI meminta masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, untuk meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi secara maksimal,” kata Atalia seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (10/12/2025).
Berdasarkan data historis BMKG dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Atalia mencatat, bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung menyumbang lebih dari 80% kejadian bencana di Indonesia setiap tahunnya.
“Pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, peningkatan intensitas hujan dan kejadian cuaca ekstrem kerap tercatat, mengakibatkan kerugian materiil dan korban jiwa,” tutur Atalia.
Atalia mengungkap, ancaman bencana hidrometeorologi telah terbukti menjadi tantangan besar sepanjang tahun 2025. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 4 Desember 2025 mencatat total 2.997 kejadian bencana alam di Indonesia.
“Banjir menjadi jenis bencana dengan frekuensi tertinggi, yaitu 1.503 kejadian, disusul oleh cuaca ekstrem (644 kejadian) dan tanah longsor (218 kejadian). Data ini menunjukkan betapa rentannya wilayah kita terhadap bencana yang dipicu oleh faktor cuaca,” wanti dia.
“Mitigasi bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat. Langkah sederhana seperti membersihkan saluran air, memantau informasi BMKG secara berkala, tidak membuang sampah dan menebang pohon sembarangan, merupakan bagian dari mitigasi bencana,” tambah dia.

