Kementrian Lembaga: DPR RI

  • Contoh Perbedaan Tak Harus Pecah

    Contoh Perbedaan Tak Harus Pecah

    Jakarta

    PAN mendukung ide para mantan Presiden dan Presiden Prabowo Subianto bisa berkumpul bersama. PAN menilai berkumpulnya para tokoh ini memberikan contoh yang baik bagi kehidupan berdemokrasi.

    “Saya rasa wacana yang disampaikan Mbak Puan soal kemungkinan para mantan Presiden berkumpul dalam satu forum atau pertemuan, seperti yang terjadi di acara ulang tahun Mas Didit, adalah ide yang sangat baik,” kata Sekjen PAN Eko Hendro Purnomo kepada wartawan, Selasa (25/3/2025).

    “PAN memandang pertemuan seperti itu bukan hanya positif secara simbolik, tapi juga bisa membawa dampak yang konkret bagi kehidupan kebangsaan kita,” tambah pria akrab disapa Eko Patrio ini.

    Bila pertemuan tersebut dapat terwujud, Eko menilai masyarakat akan melihat contoh sikap negarawan yang tetap bisa kumpul meski pernah ada perbedaan politik. Menurutnya, tidak perlu ada perpecahan meski ada perbedaan politik.

    “Kalau para mantan Presiden bisa duduk bersama dalam suasana yang hangat dan terbuka, itu akan menunjukkan kepada masyarakat bahwa semangat kebersamaan dan persatuan masih sangat kuat, meskipun mereka pernah berada di jalur politik yang berbeda,” katanya.

    “Ini penting untuk menjaga iklim demokrasi kita tetap sehat, sekaligus memberikan contoh bahwa perbedaan pandangan politik tidak harus berujung pada perpecahan,” imbuh Eko.

    “Kalau mereka bisa saling bertukar pikiran dan memberikan masukan kepada Presiden Prabowo dan pemerintahan yang sedang berjalan sekarang, tentu itu akan menjadi kontribusi yang sangat berharga. Masukan itu bisa soal kebijakan, soal pendekatan dalam memimpin, atau hal-hal strategis lainnya,” ucap Eko.

    Bila forum pertemuan mantan Presiden bisa rutin dilakukan, Eko menilai bisa saja berkembang jadi ruang diskusi kebangsaan yang lebih besar. Mempertemukan pengalaman masa lalu dengan kebutuhan masa depan.

    Ketua DPR yang juga Ketua DPP PDIP Puan Maharani sebelumnya menanggapi momen pertemuan dari anak hingga mantu mantan Presiden di ulang tahun Didit Hediprasetyo. Puan menyebut bukan tidak mungkin juga ada pertemuan mantan-mantan Presiden.

    “Insyaallah, tidak ada yang tidak mungkin. Silaturahmi itu selalu akan bisa dilakukan,” kata Puan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/3). Ia menjawab peluang Presiden terdahulu untuk bertemu.

    Puan menyebut pertemuan mantan Presiden mungkin tak terjadi sekarang. Namun, ia meyakini akan ada momen yang tepat terkait pertemuan itu.

    “Jadi mungkin tidak sekarang tapi Insyaallah akan terjadi,” katanya.

    (rfs/jbr)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kapuspen sebut generasi muda TNI tidak mau dwifungsi, tapi profesional

    Kapuspen sebut generasi muda TNI tidak mau dwifungsi, tapi profesional

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigadir Jenderal TNI Kristomei Sianturi mengatakan bahwa generasi muda TNI pada saat ini tidak mau dwifungsi terjadi, tetapi ingin menjadi tentara yang profesional.

    “Ingat, saat ini, generasi muda TNI berapa persen sih yang pernah merasakan nikmatnya dwifungsi ABRI? Saya saja, seorang Kapuspen TNI. Saya lulusan Akademi Militer tahun 1997, pangkat bintang satu saat ini, tidak pernah saya merasakan nikmatnya dwifungsi ABRI,” kata Kristomei dalam webinar yang disaksikan dari Jakarta, Selasa (25/3).

    Ia melanjutkan, “Ngapain tetap dwifungsi ABRI? Justru kami pengin sebagai tentara yang profesional untuk ke depan sesuai dengan jati-jati TNI tadi, yakni sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, tentara profesional.”

    Ia lantas mengatakan bahwa generasi muda TNI seperti dirinya tidak ingin kembali merasakan dwifungsi TNI seperti pada masa lalu.

    Selain itu, dia mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tidak berusaha mengaktifkan kembali dwifungsi.

    “Jadi, perubahan-perubahan di Pasal 7 dalam tugas-tugas TNI, Pasal 47 (penempatan prajurit di jabatan sipil, red.), tidak ada bahwa kami ingin untuk kembali mengaktifkan dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI,” ujarnya.

    Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa kerisauan mengenai pengaktifan dwifungsi TNI tidak beralasan.

    Sementara itu, untuk mewujudkan tentara yang profesional, dia mengatakan bahwa perlunya penyediaan alat utama sistem senjata (alutsista), sehingga prajurit dapat berlatih dan bertugas dengan baik.

    Pada kesempatan sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI Ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 pada Kamis (20/3) menyetujui RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang.

    “Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” kata Ketua DPR RI Puan Maharani yang dijawab setuju oleh para peserta rapat.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Junaydi Suswanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • DPR dorong pemerintah perkuat regulasi dan pengawasan ormas

    DPR dorong pemerintah perkuat regulasi dan pengawasan ormas

    Pemerintah mestinya bertindak atas fenomena tahunan ini, karena peristiwa ini berulang setiap tahun tetapi tidak ada penyelesaian secara tuntas

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mendorong pemerintah memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap ormas yang meresahkan dunia usaha dan permintaan tunjangan hari raya (THR) menjelang Lebaran ke instansi pemerintah dan swasta dengan memegang prinsip kebebasan berserikat warga.

    “Pemerintah mestinya bertindak atas fenomena tahunan ini, karena peristiwa ini berulang setiap tahun tetapi tidak ada penyelesaian secara tuntas,” kata Khozin dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Wakil rakyat yang memiliki tugas di bidang dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur menilai peran ormas seharusnya berorientasi pada kontribusi positif bagi masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

    Oleh karena itu, pengawasan dan regulasi yang lebih ketat dapat menjadi solusi agar keberadaan ormas tetap selaras dengan tujuan awalnya, yakni meningkatkan kesejahteraan sosial dan memperkuat solidaritas komunitas.

    Fenomena tersebut bertentangan dengan esensi keberadaan ormas yang berfungsi sebagai ruang artikulasi dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 dan 6 UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

    Lebih lanjut, dalam UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Ormas disebutkan sejumlah larangan terhadap ormas di antaranya terdapat di Pasal 59 ayat (3) huruf c yakni larangan ormas melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman, dan atau ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial.

    Menurutnya, pendekatan berbasis hukum yang adil dan terukur menjadi kunci dalam menangani kasus-kasus seperti ini.

    “Menanggapi fenomena ormas menjelang lebaran ini dapat didekati dengan Pasal 59 ayat (3) huruf c UU No 16 Tahun 2017 tentang Ormas, karena tindakan tersebut mengganggu ketentraman dan ketertiban umum,” ujarnya.

    Kemudian, penjatuhan sanksi administratif kepada ormas berupa pencabutan izin terdaftar atau sanksi pidana usai terbitnya lebih praktis melalui pencabutan surat keterangan terdaftar ormas.

    “Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas atau sanksi pidana dapat ditempuh oleh pemerintah bila ada ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dalam Pasal 59 ayat (3) UU No 16 Tahun 2017 tentang Ormas,” jelas Khozin.

    Ia menekankan bahwa pengawasan terhadap ormas harus dilakukan secara berkelanjutan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

    Proses pendaftaran ormas juga harus lebih teliti agar organisasi yang terbentuk benar-benar berorientasi pada kepentingan sosial dan kebangsaan.

    “Keberadaan ormas sebagai manifestasi dari kebebasan berkumpul harus tetap diatur oleh undang-undang. Bagi ormas yang menebar ketakutan dan mengancam ketentraman harus dilakukan penegakan hukum,” katanya menegaskan.

    Dengan pendekatan yang lebih sistematis, regulasi yang jelas, serta pengawasan yang berkelanjutan, keberadaan ormas di Indonesia dapat semakin kuat dalam menjalankan peran positifnya bagi masyarakat.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Indra Gultom
    Copyright © ANTARA 2025

  • TNI harap Indonesia bisa miliki satelit navigasi usai UU TNI direvisi

    TNI harap Indonesia bisa miliki satelit navigasi usai UU TNI direvisi

    Ya, dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 ini, harapan kami ke sana. Kami juga pengin punya satelit sendiri. Pengin sekali

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigadir Jenderal TNI Kristomei Sianturi berharap Indonesia bisa memiliki satelit navigasi usai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI direvisi.

    “Ya, dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 ini, harapan kami ke sana. Kami juga pengin punya satelit sendiri. Pengin sekali,” kata Kristomei dalam webinar yang disaksikan dari Jakarta, Selasa.

    Ia menyampaikan pernyataan tersebut ketika ditanya kemungkinan Indonesia mempunyai satelit navigasi usai penanggulangan ancaman siber menjadi operasi militer selain perang (OMSP) dalam UU TNI yang baru.

    “Artinya, dengan sudah diamanatkan bahwa TNI bisa membantu dalam mengatasi ancaman siber, ya harapannya tadi, bahwa kami tidak mau tergantung sama negara lain. Justru pengin semuanya mandiri,” jelasnya.

    Walaupun demikian, dia mengatakan bahwa keinginan mempunyai satelit navigasi secara mandiri, atau tidak bergantung pada negara lain, tetap perlu melihat kemampuan negara pada saat ini.

    Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa seiring langkah menuju ke arah kemandirian alat utama sistem senjata (alutsista), maka mengupayakan prajurit TNI yang profesional tetap diperlukan.

    “Ingat, tentara profesional itu harus well trained, terlatih dengan baik. Kemudian, harus well equipped, alutsistanya harus bagus, senjatanya harus baik, perlengkapannya harus baik. Kita harus melengkapi itu,” katanya.

    Selain itu, dia mengatakan bahwa kesejahteraan prajurit TNI perlu diwujudkan seiring dengan mengupayakan tentara yang profesional.

    Menurut dia, bila langkah-langkah tersebut bisa terpenuhi, maka jati diri prajurit TNI sebagai tentara rakyat hingga tentara profesional bisa tercapai.

    “Akan tetapi, kan semua itu tidak hanya pada TNI saja. Itu pada kewenangan tataran pemerintah, yakni bagaimana budgeting, penganggaran pertahanan itu berapa, sehingga bisa dialokasikan buat senjata, satelit, dan sebagainya,” ujarnya.

    Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI Ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 pada Kamis (20/3) menyetujui RUU TNI untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

    “Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” kata Ketua DPR RI Puan Maharani yang dijawab setuju oleh para peserta rapat.

    Membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber menjadi salah satu dari dua OMSP tambahan yang diatur dalam UU TNI yang baru.

    OMSP tambahan bagi TNI lainnya adalah membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara, serta kepentingan nasional di luar negeri.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Indra Gultom
    Copyright © ANTARA 2025

  • Akbar Endra: Dari Jalanan ke Parlemen, Kini Mengawal Demokrasi Lewat Jurnalisme

    Akbar Endra: Dari Jalanan ke Parlemen, Kini Mengawal Demokrasi Lewat Jurnalisme

    Kembali ke Jurnalisme: Menjaga Demokrasi dengan Pena

    Meski menjadi legislator memberinya pengalaman berharga, Akbar menyadari bahwa jiwanya tidak sepenuhnya berada di sana. Ia merasa ada banyak kebenaran yang harus disuarakan, banyak kebijakan yang perlu dikritisi, dan banyak praktik kekuasaan yang harus diawasi. Maka, setelah dua periode di parlemen, ia memilih kembali ke dunia jurnalistik.

    Ia mendirikan Menit Indonesia, sebuah portal berita yang menyoroti politik, ekonomi, dan isu-isu sosial dengan pendekatan investigatif. Tulisan-tulisannya selalu tajam, kritis, dan berbasis data. Tidak jarang, laporan eksklusifnya mengguncang dunia politik dan menjadi perbincangan di kalangan elit maupun masyarakat luas.

    “Jurnalisme adalah benteng terakhir demokrasi. Jika media melemah, yang rugi bukan hanya kita, tapi seluruh rakyat,” katanya dengan nada serius.

    Kini, sehari-hari Akbar menghabiskan waktunya meliput sidang-sidang DPR di Senayan atau nongkrong bersama wartawan di pusat pemberitaan isu korupsi. Ia tetap berbaur dengan para jurnalis nasional tanpa merasa perlu menjaga jarak atau membangun gengsi.

    “Saya tidak peduli apakah saya makan di warteg atau di restoran mewah bersama elite politik. Yang penting, saya tetap punya akses ke informasi, tetap bisa menulis dengan jujur, dan tetap bisa menyuarakan kebenaran,” ujarnya sambil tersenyum.

    Meski terus sibuk dengan pekerjaannya, Akbar tidak sendiri. Di balik langkahnya, ada dukungan dari sang istri, Lina Akbar, yang memahami kompleksitas kehidupannya. “Saya bersyukur masih bisa bergerak bebas di dunia jurnalistik, dan istri saya pun mendukung langkah saya untuk terus maju,” kata Akbar.

  • RUU Polri Lebih Bahaya dari RUU TNI? Ini Deretan Pasal Kontroversial yang Dipermasalahkan

    RUU Polri Lebih Bahaya dari RUU TNI? Ini Deretan Pasal Kontroversial yang Dipermasalahkan

    PIKIRAN RAKYAT – Setelah pengesahan RUU TNI 2025, kini Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) menjadi sorotan publik. RUU ini mengusulkan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Akan tetapi, beberapa pasal dalam draf tersebut menuai polemik karena dianggap memberikan kewenangan berlebihan kepada Polri. Berikut penjelasan lengkapnya.

    DPR Belum Jadwalkan Pembahasan RUU Polri

    Komisi III DPR menyatakan siap membahas revisi UU Polri jika dinilai mendesak, meski saat ini masih memprioritaskan RUU KUHAP. Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa belum ada Surat Presiden (Surpres) yang diterima untuk memulai pembahasan.

    “DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada Senin, 24 Maret 2025.

    Meski begitu, revisi ini sudah masuk dalam daftar rancangan undang-undang inisiatif DPR sejak 2024.

    Isi RUU Polri Terbaru

    Berdasarkan dokumen di laman resmi DPR, revisi UU Polri mencakup perubahan pada pasal-pasal berikut:

    Pasal 1 tentang Ketentuan Umum Pasal 6 tentang Peran dan Fungsi Polri Pasal 7 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pasal 14 tentang Tugas Pokok Anggota Polri Pasal 16 tentang Penyelenggaraan Tugas Polri Pasal 30 tentang Usia Pensiun Maksimum Anggota Polri Pasal 35 tentang Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Dan lainnya…

    Namun, beberapa pasal memicu penolakan dari publik karena dinilai berpotensi mengekang kebebasan sipil dan memperluas kewenangan Polri tanpa pengawasan ketat.

    Deretan Pasal Kontroversial

    Pasal 16 Ayat 1 Huruf Q

    Pasal ini memberikan kewenangan Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, hingga perlambatan akses ruang siber demi keamanan dalam negeri.

    Koalisi Masyarakat Sipil menilai ketentuan ini berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan berisiko tumpang tindih dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

    Pasal 16A dan 16B (Sisipan Baru)

    Pasal 16A menyebutkan bahwa Intelkam Polri bisa melakukan pengawasan intelijen. Ini memicu kekhawatiran soal kewenangan Polri untuk meminta data intelijen dari BIN, BSSN, hingga BAIS.

    Pasal 16B juga mengandung istilah “Kepentingan Nasional” yang tidak didefinisikan secara jelas. Istilah ini dikhawatirkan bisa digunakan Polri untuk mengawasi kegiatan masyarakat dengan alasan menjaga kepentingan nasional.

    Pasal 14 Ayat 1 Huruf G dan O

    Huruf G memberi Polri wewenang melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik PNS, serta bentuk pengamanan swakarsa. Ini dikhawatirkan membuka peluang “bisnis keamanan” dan pelanggaran HAM melalui pengamanan swakarsa.

    Huruf O mengizinkan Polri melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian. PSHK menyoroti bahwa Polri tidak memerlukan izin, berbeda dengan KPK yang harus mendapat persetujuan Dewan Pengawas.

    Pasal 30 Ayat 2

    Pasal ini mengatur usia pensiun:

    58 tahun bagi bintara dan tamtama. 60 tahun bagi perwira. 65 tahun bagi pejabat fungsional.

    Usulan ini dianggap menghambat regenerasi dalam tubuh Polri dan mempertahankan personel yang seharusnya sudah pensiun.

    Reaksi Masyarakat dan Lembaga Sipil

    Ketua YLBHI Muhammad Isnur menegaskan, pihaknya menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR tersebut.

    “Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini!” ucapnya.

    Muhammad Isnur mendesak DPR dan pemerintah memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat.

    Menurut laporan KontraS, dalam periode 2020–2024 tercatat ratusan kasus kekerasan melibatkan anggota Polri. Komnas HAM pun mencatat Polri sebagai lembaga negara dengan laporan pelanggaran HAM tertinggi pada 2023.

    Polri Menuju “Superbody”?

    Revisi UU Polri menuai kritik karena berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kekuasaan luas tanpa pengawasan memadai. Beberapa pasal memperlihatkan kecenderungan ke arah otoritarianisme baru dengan pembatasan kebebasan sipil dan penguatan fungsi intelijen kepolisian.

    Jika RUU ini disahkan tanpa revisi signifikan, Indonesia terancam mundur dari semangat reformasi dan demokrasi. Polri seharusnya berfungsi sebagai alat negara yang profesional dan akuntabel, bukan menjadi lembaga dengan kekuasaan absolut.

    Publik kini menanti apakah DPR akan mendengarkan suara rakyat atau tetap melanjutkan pembahasan RUU ini secara diam-diam. Apakah RUU Polri ini memperbaiki institusi kepolisian atau justru membuka jalan bagi lahirnya negara dalam negara?***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Deretan Pasal Bermasalah, Penanganan Korupsi Makin Lemah?

    Deretan Pasal Bermasalah, Penanganan Korupsi Makin Lemah?

    PIKIRAN RAKYAT – Pada 20 Maret 2025, Komisi III DPR RI menggelar konferensi pers terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam konferensi tersebut, Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI, menegaskan bahwa RUU KUHAP yang sedang dibahas tidak akan mengubah wewenang aparat penegak hukum.

    “RUU ini tetap menjaga kewenangan yang sama seperti KUHAP saat ini,” ujarnya.

    Akan tetapi, setelah ditelaah lebih dalam, sejumlah pasal dalam draf RUU KUHAP justru dinilai bermasalah dan berpotensi melemahkan penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi.

    Pasal-Pasal Kontroversial

    Berikut lima poin kritis yang menjadi sorotan:

    Rekaman CCTV Tidak Wajib dan Dikuasai Penyidik

    Pasal 31 ayat (2) RUU KUHAP menyatakan pemeriksaan tersangka akan direkam dengan CCTV, tetapi rekaman ini bersifat opsional. Hal ini membuka celah terjadinya kekerasan dan penyiksaan.

    Lebih lanjut, Pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa rekaman hanya berada dalam penguasaan penyidik. Ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan karena seharusnya rekaman dikelola oleh lembaga independen agar bisa diakses oleh penuntut umum maupun tersangka.

    Perlindungan Kelompok Rentan Tanpa Mekanisme Jelas

    Bab khusus tentang kelompok rentan di Pasal 137-139 hanya sekadar mencantumkan hak-hak, tanpa mekanisme yang memastikan pemenuhan hak tersebut.

    Tidak ada aturan mengenai siapa yang bertanggung jawab atau sanksi jika hak kelompok rentan dilanggar. Hal ini dikhawatirkan menjadikan perlindungan ini sekadar formalitas di atas kertas.

    Peran Advokat Masih Dibelenggu

    Pasal 33 RUU KUHAP membatasi peran advokat hanya sebagai pendengar dan pencatat dalam pemeriksaan tersangka. Advokat tidak bisa berpartisipasi aktif, bahkan tidak bisa mencatat keberatan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

    Selain itu, Pasal 142 ayat (3) huruf b melarang advokat memberi pendapat di luar pengadilan, yang berpotensi membungkam suara pembelaan.

    “Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri. Larangan seperti ini bertentangan dengan prinsip hukum yang menjunjung tinggi hak pembelaan,” ujar Prof. Dr. Ali Masyhar Mursyid, Dekan Fakultas Hukum UNNES.

    Syarat Penahanan Semakin Karet

    Pasal 93 ayat (5) memperluas alasan penahanan hingga sembilan poin, termasuk “memberikan informasi tidak sesuai fakta” dan “menghambat proses pemeriksaan”. Kedua alasan ini dinilai multitafsir dan berpotensi dimanfaatkan untuk menekan tersangka.

    Padahal, tersangka berhak diam atau menyangkal dakwaan tanpa harus dianggap menghambat proses hukum.

    Restorative Justice (RJ) yang Salah Kaprah

    RUU KUHAP mencampuradukkan konsep Restorative Justice (RJ) dengan Diversi (penghentian perkara di luar sidang). RJ seharusnya bertujuan memulihkan korban, bukan sekadar menghentikan perkara.

    Anehnya, wewenang RJ justru diberikan ke penyidik kepolisian, bukan penuntut umum. Ini membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan pemerasan terhadap korban.

    RUU KUHAP Melemahkan Peran Kejaksaan dalam Kasus Korupsi

    Salah satu sorotan terbesar adalah pengurangan kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan kasus korupsi. Dalam revisi RUU KUHAP, jaksa hanya berwenang menyidik kasus pelanggaran HAM berat, sementara kasus korupsi dihapus dari kewenangan mereka.

    “Kenapa penyidikan kasus HAM berat boleh, tapi kasus korupsi tidak? Justru lebih banyak lembaga yang menyidik akan meminimalisasi potensi abuse of power,” kata Prof. Ali Masyhar.

    Dia juga menegaskan bahwa revisi RUU ini harus melibatkan diskusi mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan. Dia mengusulkan, pembentukan lembaga penyidik independen untuk menangani kasus-kasus khusus guna menghindari tarik ulur kepentingan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Prabowo Minta Menteri Perbaiki Komunikasi ke Publik, Puan: Agar tidak Misleading

    Prabowo Minta Menteri Perbaiki Komunikasi ke Publik, Puan: Agar tidak Misleading

    PIKIRAN RAKYAT – Presiden Prabowo Subianto disebut telah meminta semua jajaran anggota kabinet untuk memperbaiki komunikasi publiknya. Ketua DPR RI Puan Maharani meminta jajaran kementerian dan juru bicara mengikuti instruksi Prabowo.

    Menurut Puan, instruksi tersebut harus dilaksankan agar penyampaian informasi kepada publik tidak misleading.

    “Kami harapkan semua jajaran kementerian dan juga juru bicara kepresidenan mengikuti apa yang diperintahkan oleh presiden,” kata Puan di Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa, 25 Maret 2025.

    “(Agar) bisa memberikan informasi yang baik, yang benar, yang jelas kepada masyarakat terkait dengan program-program pemerintah, sehingga tidak ada misleading atau salah informasi,” ujar Puan.

    Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengungkap pesan Presiden Prabowo Subianto ketika menghadiri rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin sore, 25 Maret 2025. Prabowo, kata Sudaryono, mengingatkan untuk memperbaiki komunikasi kepada publik.

    “Pemerintah tidak antikritik, tetapi bahwa narasi kan juga harus dibangun dengan narasi yang baik. Jangan sampai opini, orang itu berasumsi. Asumsi orang itu tidak bisa kita kontrol. Jangan sampai dia dapat berita sepenggal, kemudian berasumsi negatif kan enggak bagus,” kata Sudaryono dikutip dari Antara.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Legislator soal 2 Oknum TNI Penembak Bos Rental Divonis Bui Seumur Hidup: Adil

    Legislator soal 2 Oknum TNI Penembak Bos Rental Divonis Bui Seumur Hidup: Adil

    Jakarta

    Anggota Komisi I DPR RI, Farah Puteri Nahlia, mengapresiasi proses hukum yang telah dijalankan terhadap dua prajurit TNI AL yang terlibat dalam kasus penembakan bos rental mobil, Ilyas Abdurrahman. Menurutnya vonis penjara seumur hidup kepada Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo dan Sersan Satu Akbar Adli sudah adil.

    “Kami menghormati keputusan Pengadilan Militer yang telah menjalankan proses hukum secara transparan dan adil. Putusan ini menegaskan bahwa setiap pelanggaran hukum, termasuk yang dilakukan oleh anggota militer, akan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Farah kepada wartawan, Selasa (25/3/2025).

    Farah mengatakan, penegakan disiplin dan supremasi hukum di lingkungan TNI sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi pertahanan negara. Ia juga mengapresiasi sikap TNI yang memastikan tidak ada impunitas bagi anggotanya yang melakukan pelanggaran hukum.

    “Kami berharap kejadian ini menjadi yang terakhir. Setiap prajurit TNI harus selalu menjunjung tinggi profesionalisme, disiplin, dan integritas dalam menjalankan tugasnya. Perlu ada peningkatan dalam pengawasan internal serta penguatan nilai-nilai keprajuritan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan,” ungkapnya.

    Farah juga mendorong evaluasi dalam sistem pembinaan personel di lingkungan TNI, termasuk peningkatan pendidikan hukum dan etika militer. Ia menilai setiap prajurit memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai batasan serta tanggung jawab mereka sebagai aparat negara.

    Ia juga menanggapi kasus oknum TNI di Lampung yang baru-baru ini menjadi perhatian publik. Puteri Nahlia menegaskan bahwa ia dan Komisi I DPR RI akan terus mengawal proses hukum yang sedang berjalan.

    Ia meminta agar masyarakat turut aktif dalam mengawasi jalannya persidangan. Farah berharap TNI tetap berkomitmen untuk menindak tegas anggotanya yang melanggar hukum, tanpa pandang bulu.

    “Dengan langkah-langkah ini, diharapkan TNI tetap menjadi institusi yang kuat, profesional, dan selalu melindungi rakyat sesuai dengan amanat konstitusi,” ungkapnya.

    Sidang digelar di Pengadilan Militer Jakarta, Selasa (25/3). Dua terdakwa yang divonis yakni Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo selaku terdakwa 1 dan Sertu Akbar Adli selaku terdakwa 2.

    “Terdakwa 1, pidana pokok penjara seumur hidup. Terdakwa 2, pidana pokok penjara seumur hidup,” ujar hakim.

    (dwr/jbr)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ketua DPR Puan Maharani Minta Teror Kepala Babi Tempo Diselidiki sampai Tuntas

    Ketua DPR Puan Maharani Minta Teror Kepala Babi Tempo Diselidiki sampai Tuntas

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua DPR Puan Maharani ikut menanggapi huru-hara teror pengiriman kepala babi tanpa kuping ke kantor media Tempo. Dia meminta aparat penegak hukum (APH) agar menyelidikinya hingga ke akar.

    Menurut Puan, aksi teror terhadap kantor media massa bisa mengancam kebebasan pers di dalam negeri. Presenden negatif tak dapat dihindarkan jika sudah demikian.

    “Aparat penegak hukum agar menindaklanjutinya dan menyelidikinya dengan sebaik-baiknya,” kata Puan, di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa, 25 Maret 2025.

    Dia menjelaskan, jika ada pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan yang dipublikasikan oleh Tempo, disarankan untuk mengajukan laporan kepada Dewan Pers.

    Dia berpendapat bahwa melaporkan hal tersebut ke Dewan Pers merupakan solusi terbaik dibandingkan menyebarkan teror.

    “Kalau kemudian ada protes ya sampaikan ke Dewan Pers, tidak perlu melakukan hal-hal seperti itu,” kata dia.

    Bagi Puan, segala hal yang sifatnya anarkis termasuk teror merupakan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan.

    Besar harapannya supaya jajaran aparat penegak hukum gegas menyelidiki dan menindak siapa pun pelaku di balik kejadian tersebut.

    Sekilas Kasus Tempo

    Pada Rabu, 19 Maret 2025, Kantor Tempo menerima paket yang berisi kepala babi, dikirim dalam kotak kardus yang dilapisi styrofoam.

    Paket tersebut ditujukan kepada seseorang bernama ‘Cica’, yang dikenal di lingkungan Tempo sebagai julukan bagi Francisca Christy Rosana, seorang wartawan politik sekaligus pembawa acara siniar Bocor Alus Politik.

    Setelah pengiriman kepala babi, dua hari kemudian, kantor Tempo kembali menerima ancaman berupa paket yang berisi enam bangkai tikus yang sudah dipenggal kepalanya.

    Menyusul kejadian tersebut, Bareskrim Polri bekerja sama dengan Polda Metro Jaya untuk menyelidiki laporan mengenai dugaan teror yang dialami oleh Kantor Tempo.

    Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri, mengungkapkan bahwa penyidik telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di Gedung Tempo, Jakarta Selatan, pada Minggu, 23 Maret 2025.

    Proses olah TKP tersebut mencakup pemeriksaan lokasi kejadian, koordinasi, serta pencatatan saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News