Kementrian Lembaga: DPR RI

  • 2
                    
                        Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
                        Nasional

    2 Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif Nasional

    Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Erga omnes
    , istilah yang kerap dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki arti berlaku terhadap semua.
    Erga omnes
    adalah bahasa latin yang memberikan pengertian bahwa putusan MK adalah putusan yang memberlakukan norma untuk semua warga negara di Indonesia atas sengketa undang-undang yang diuji.
    Putusan
    MK
    juga bersifat
    final and binding
    , yang memiliki arti
    putusan MK
    langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya.
    Penjelasan terkait
    final and binding
    ini juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
    Mahkamah Konstitusi
    .
    Namun seiring berjalannya waktu, putusan MK yang bersifat mengikat ini tak lantas dipatuhi, termasuk oleh para pejabat penyelenggara negara.
    Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti saat ditemui di Harris Hotel, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/11/2025).
    Dia langsung memberikan contoh putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam proses pembentukannya.
    “Itu kan (putusan) nggak dilaksanakan, yang dilaksanakan (pemerintah dan DPR) itu hanya mengubah undang-undang nomor 12 tahun 2011 untuk memasukkan metode omnibus,” katanya.
    Padahal sangat jelas, MK meminta agar ada pembahasan ulang. Pemerintah juga bermanuver dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
    Susi juga menyebut, pembangkangan terhadap putusan MK juga terlihat dari putusan yang meminta agar wakil menteri dilarang merangkap jabatan.
    “Nah seperti itu kan wakil menteri sudah enggak boleh,” katanya.
    Untuk diketahui, MK menyatakan wakil menteri dilarang rangkap jabatan melalui putusan 128/PUU-XXIII/2025.
    Namun dalam putusan itu, MK kembali menegaskan, aturan tersebut sebenarnya sudah lama diputuskan MK, yakni saat pembacaan putusan 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan 11 Agustus 2020.
    MK dalam pertimbangannya menyatakan:

    Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo yang mempersoalkan larangan rangkap jabatan wakil menteri, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri.

    Secara yuridis, pertimbangan hukum putusan sebelumnya memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional bersifat final.
    Sebab, putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan, bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
    MK kemudian memberikan waktu 2 tahun kepada pemerintah untuk menarik para wakil menterinya dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN.
    Namun yang terjadi justru sebaliknya, ada lebih banyak wakil menteri yang merangkap jabatan.
    Salah satunya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo yang diangkat menjadi Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, dan Komisaris Utama PT Telkom.
    Dalam penjelasannya, Angga Raka mengaku posisi yang dia rangkap adalah penugasan, dan tidak mendapat fasilitas tambahan atas rangkap jabatannya tersebut.
    “Sesuai yang diketahui, saya ditugaskan oleh Presiden untuk memimpin Badan Komunikasi Pemerintah. Saya jelaskan dulu bahwa seperti peraturan yang berlaku, ini sifatnya penugasan. Yang namanya penugasan tidak berarti pendapatan dan fasilitas juga
    double
    , tetap satu sesuai ketentuan, tanggung jawabnya yang bertambah. Ini praktik umum untuk penguatan fungsi tertentu dan sejalan dengan arahan Presiden agar kita efektif dan efisien,” ujar Angga Raka kepada
    Kompas.com
    , Jumat (19/9/2025) lalu.
    Angga Raka menyampaikan bahwa tugas-tugas tersebut diberikan karena Presiden Prabowo melihat ada kesinambungan antara posisinya sebagai Wamen Komdigi, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, serta Komut PT Telkom. Menurutnya, substansi dan bidang dari semua tugasnya itu sama.
    “Ini penting, karena kita ingin segera mewujudkan instruksi Presiden untuk mengakselerasi penguatan komunikasi pemerintah sesegera mungkin,” tegasnya.
    Maka dari itu, dengan penugasan ini, Angga Raka merasa fungsi kedua instansi pemerintah tersebut makin kuat. Dia pun jadi bisa membuat sisi regulasi dan eksekusi selaras, serta langsung melakukan aksi.
    “Sehingga publik akan mendapatkan informasi yang jernih dan tidak tumpang tindih dari seluruh lembaga pemerintah,” imbuh Angga Raka.
    Pembangkangan terhadap putusan MK juga dilakukan oleh lembaga politik seperti Partai Politik saat diucapkan putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemilihan umum lokal dan nasional dipisah dengan jeda waktu dua tahun.
    MK menetapkan, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden.
    Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Reaksi pembangkangan paling keras datang dari Partai Nasdem yang menyebut MK mencuri kedaulatan rakyat.
    “Putusan MK ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” ujar anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, dalam pembacaan sikap resmi DPP Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025) malam.
    Lewat pernyataan sikap yang dibacakan Lestari, Nasdem menyampaikan sepuluh poin keberatannya terhadap putusan tersebut. Salah satunya, Nasdem menilai MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.
    Menurut Nasdem, hal itu bertentangan dengan prinsip
    open legal policy
    yang dimiliki lembaga legislatif.
    “MK telah menjadi
    negative legislator
    sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis,” kata Lestari.
    Sementara itu, Golkar melalui Wakil Ketua Umum Adies Kadir menilai, putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum.
    Menurut Adies, Pasal 22E dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.
    Selain itu, pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai bertentangan dengan semangat keserentakan yang justru pernah diputuskan MK sendiri melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    “Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies.
    Sikap tegas juga disampaikan Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal yang menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah.
    “Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun.
    Pemerintah juga saat itu menilai putusan MK justru berpotensi melanggar konstitusi.
    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali.
    Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    MK secara langsung pernah menjawab bentuk pembangkangan ini dalam putusan 98/PUU-XVI/2018.
    Ketika itu, terbit putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung (MA) yang berkebalikan dengan putusan MK mengenai syarat pengunduran diri calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari partai politik.
    Akibat hal itu, terjadi ketidakpastian hukum yang membelit KPU karena ada dua putusan berbeda yang tersedia, namun KPU akhirnya memilih manut putusan MK.
    Majelis hakim konstitusi tidak setuju jika situasi pada tahun 2018 itu disebut sebagai ketidakpastian hukum, karena putusan MK seharusnya final dan mengikat untuk semua (
    erga omnes
    ).
    “Sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu, melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945,” bunyi putusan tersebut.
    “Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tulis putusan tersebut.
    Namun terlepas dari penegasan MK tersebut, Guru Besar FH Unpad Susi Dwi Harijanti menilai, fenomena pembangkangan ini sebagai bukti bahwa cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang yang paling lemah.

    “Memang itu menunjukkan bahwa cabang kekuasaan kehakiman itu adalah cabang kekuasaan yang paling lemah di antara legislatif dan eksekutif,” ucapnya.
    Dia mengutip pandangan alam buku
    The Federalist Papers
    karya Alexander Hamilton, John Jay, dan James Madison, bahwa kekuasaan kehakiman hanya punya palu untuk memutus.
    Berbeda dengan kekuasaan eksekutif memiliki pedang untuk mengeksekusi, sedangkan legislatif punya kekuasaan untuk mengatur anggaran.
    Sebab itu, Susi menilai sudah saatnya Indonesia mulai memikirkan aturan yang lebih rigit untuk kekuasaan yudikatif sebagai upaya independensi dan akuntabilitas prinsip negara hukum.
    Negara harus mengatur agar
    contempt of court
    atau penghinaan dan tindakan yang merendahkan pengadilan bisa juga mendapat hukuman yang jelas, termasuk membangkang dari perintah pengadilan.
    “Sekarang persoalannya, ketika mereka tidak memenuhi apa yang diminta oleh Mahkamah, apa yang bisa dilakukan? Ini yang saya lagi berpikir, bisa nggak dia terkena
    contempt of court
    ? Sayangnya di Indonesia belum ada undang-undang
    contempt of court
    ,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Minim Ahli Gizi, Cucun Dorong Lulusan SMA Dilatih dan Bekali Sertifikat untuk SPPG

    Minim Ahli Gizi, Cucun Dorong Lulusan SMA Dilatih dan Bekali Sertifikat untuk SPPG

    Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal meminta semua elemen masyarakat mengawasi program Makan Bergizi Gratiz (MBG) yang disediakan oleh dapur Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG). Pengawasan itu guna mencegah adanya permainan dari pihak-pihak terkait serta problematika makanan bergizi untuk anak-anak sekolah.

    Hal itu dikatakan Cucun saat Rapat Konsolidasi SPPG Kabupaten Bandung Dalam rangka Pengawalan Program Makan Bergizi Gratis, Soreang, Kabupaten Bandung, Minggu (16/11/2025).

    Salah satu problematika yang kini terjadi adalah kurangnya ahli gizi untuk dapur SPPG. Bahkan dia berencana akan menghapus diksi ahli gizi menjadi tenaga yang menangani gizi.

    “Saya enggak mau dengar orang-orang sombong mengatakan ‘karena saya ahli gizi’. Nanti tinggal ibu Kadinkes melatih orang, bila perlu anak-anak SMA cerdas fresh graduate dilatih tiga bulan kasih sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi),” jelas Cucun.

    Dia kembali mengingatkan bahwa program MBG untuk anak-anak sekolah didanai menggunakan APBN. Cucun menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawasi program tersebut bersama pihak terkait.

    “Kita sampaikan kepada para mengingatkan kepada semuanya, karena yang digunakan ini APBN. Saya tadi ingatkan, di ujung akan ada pos audit kepada mitra, KSPPG, kepada tenaga yang mengawasi gizi. Ya, mohon maaf, tenaganya mengawasi gizi tadi. Jadi, fungsi pengawasan saya ini harus berjalan. Jangan sampai tadi ada problematika,” kata Cucun.

    Cucun mengimbau kepada seluruh SPPG agar mengikuti aturan yang telah diatur dari mulai dapur hingga kualitas makanan. Dia juga berharap seluruh elemen masyarakat mengawasi program tersebut apabila menemukan adanya kejanggalan.

    “Jangan sekarang terima insentif banyak tetapi kondisi dapur tidak sesuai SOP. Kemudian juga pelayanannya, tidak boleh terjadi lagi mengganggu uang yang hak anak-anak bangsa kita yang Rp 10.000. Kalau terjadi kedemikian, semua teman-teman media, publik, ya, siapapun juga berhak mengawasi, laporkan ke kami,” ucap dia.

  • Komisi III DPR Terima 7 Calon Anggota Komisi Yudisial, Berikut Daftarnya!

    Komisi III DPR Terima 7 Calon Anggota Komisi Yudisial, Berikut Daftarnya!

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Yudisial (KY) Dhahana Putra melimpahkan 7 nama calon anggota Komisi Yudisial ke Komisi III DPR RI.

    Penyerahan nama dilakukan dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara panitia seleksi dengan Komisi III DPR, Senin (17/11/2025), berdasarkan Hasil pemilihan panitia seleksi melalui surat nomor B-61/PANSEL-KY/10/2025 tanggal 2 Oktober 2025.

    Dhahana mengatakan nama-nama yang diajukan telah diseleksi secara objektif dan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

    “Telah menyampaikan kepada presiden hasil surat tahapan seleksi yang dilaksanakan secara objektif, transparan dan akuntabel, berdasarkan hasil tersebut, panitia seleksi menetapkan 7 calon anggota KY yang dinyatakan lulus dan memenuhi kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan,” kata Dhahana, Senin (17/11/2025).

    Menurutnya, para calon anggota telah memenuhi syarat seleksi mulai dari tahapan, pengumuman dan pendaftaran, seleksi administrasi, seleksi kualitas, profile asesment, rekam jejak, tanggapan masyarakat, tes wawancara, dan terakhir tes kesehatan.

    Dhahana menyampaikan 7 calon anggota KY terpilih untuk mengikuti fit and proper test bersama Komisi III DPR, setelah Pansel menguji 236 peserta.

    Ketua Komisi III Habiburokhman menjelaskan fit and proper test calon anggota KY akan dilaksanakan pada hari ini, Senin (17/11/2025), sekaligus pengundian nomor urut dan pembuatan makalah.

    Berikut daftar calon anggota KY yang menjalani fit and proper test

    1. F. Williem Saija – unsur mantan hakim
    2. Setyawan Hartono – unsur mantan hakim
    3. Anita kadir – unsur praktiksi hukum
    4. Desmihardi – unsur praktiksi hukum
    5. Andi Muhammad Asrun – unsur akademisi hukum
    6. Abdul Chair Ramadhan – unsur akademisi hukum
    7. Abhan – unsur tokoh masyarakat

  • Arsul Sani Dilaporkan terkait Dugaan Ijazah Palsu, Bambang Pacul: Secara Asas Legitimasi Clear

    Arsul Sani Dilaporkan terkait Dugaan Ijazah Palsu, Bambang Pacul: Secara Asas Legitimasi Clear

    GELORA.CO  – Mantan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto, buka suara soal tudingan ijazah palsu yang menyasar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani.

    Bambang Pacul, sapaan akrab Bambang Wuryanto, merupakan Ketua Komisi III DPR RI periode 2019-2024, yang ikut melakukan uji kelayakan dan kepaturan terhadap Arsul Sani, sebagai calon hakim MK usulan DPR.

    Bambang Pacul menegaskan secara asas legitimasi tidak ada permasalahan.

    “Secara asas legitimasi clear. Jelas. Asas legalitas ya clear. Memenuhi syarat. Tetapi tentu tidak pakai forensik, enggak ada,” kata Bambang kepada wartawan, Senin (17/11/2025).

    Asas legitimasi adalah prinsip dalam hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan pemerintah atau pejabat publik harus memiliki dasar hukum yang sah.

    Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang, tetapi harus selalu berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

     

    Bambang mengungkapkan, Arsul sudah menunjukkan ijazah, saat mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR.

    Namun dia mengatakan Komisi III DPR tidak memiliki kemampuan forensik untuk mengecek ijazah tersebut.

    “Legalisasinya sudah ada. Menunjukkan ijazah asli, legalisasi. Itu udah clear di Komisi III. Tapi tentu kita tidak punya ahli forensik,” ujarnya.

    Bambang menilai seharusnya hal tersebut bisa dibawa ke mekanisme yang ada di MKMK terlebih dahulu.

    “Supaya enggak bikin kegaduhan,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi melaporkan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani ke Bareskrim Polri terkait terkait dugaan ijazah palsu.

    Pelaporan itu dilakukan pada Jumat (14/11/2025).

    Pengadu mengeklaim memiliki bukti-bukti berkenaan ijazah program doktor Arsul Sani yang diduga palsu.

    MKMK Lakukan Pendalaman

    Sementara itu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tengah melakukan pendalaman isu terkait ijazah hakim konstitusi Arsul Sani.

    Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna mengatakan hingga saat ini pihaknya masih melakukan pendalaman berkenaan adanya tudingan ijazah palsu Arsul Sani itu.

    Pendalaman itu dimulai sejak kemunculan pertama berita yang menyoal isu tersebut dimuat oleh sebuah media sosial sekira satu bulan yang lalu.

    “MKMK telah mendalaminya hingga saat ini,” kata Palguna, kepada Tribunnews.com, Minggu (16/11/2025).

    “Dengan segala keterbatasan yang ada pada kami (MKMK), kami berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan perihal ada tidaknya persoalan isu dan/atau pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi Yang Mulia Arsul Sani,” tambahnya.

    Palguna mengatakan hasil pendalaman MKMK belum bisa disampaikan saat ini. 

    Sebab Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) mengatur hal itu harus dilakukan secara tertutup.

    Selain itu, MKMK juga perlu menjaga harkat, martabat, dan kehormatan Arsul Sani dari sesuatu yang sama sekali belum jelas kebenarannya.

    Mantan hakim konstitusi itu menyebut hasil pendalaman akan diumumkan ke publik nantinya.

    “Pasti akan dirilis ke publik. Itu wajib. Tetapi belum bisa kami sampaikan sekarang. Selain karena PMK-nya menyatakan harus tertutup, jika belum apa-apa sudah diberitakan, khawatirnya yang bersangkutan telah dihakimi untuk sesuatu yang sama sekali belum jelas. Padahal kami harus menjaga harkat, martabat, dan kehormatannya,” tuturnya.

    Sosok Arsul Sani

    Arsul Sani diangkat jadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia sejak 18 Januari 2024.

    Sebelumnya Arsul Sani dikenal sebagai politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Wakil Ketua MPR RI.

    Pemilik nama lengkap Dr. H. Arsul H. Arsul Sani, SH, M.Si., Pr.M ini lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 8 Januari 1964.

    Karier politik:

    Sekjen DPP PPP (2016–2021)

    Anggota DPR RI (2014–2024)

    Wakil Ketua MPR RI (2019–2024)

    Ijazah doktor yang disorot

    Arsul Sani menempuh pendidikan hukum di Universitas Indonesia (UI) dan melanjutkan studi di berbagai negara, termasuk Australia, Jepang, Inggris, Skotlandia, dan Polandia.

    Ia juga disebut sebagai lulusan University of Cambridge. Namun gelar doktor yang diklaimnya kini dipersoalkan.

    Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi melaporkan Arsul ke Bareskrim Polri pada 14 November 2025.

    Dengan dugaan ijazah doktor yang diduga palsu, terutama terkait universitas di Polandia

  • Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?

    Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?

    Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pembahsaan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membuahkan sebuah ketentuan baru, yakni pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana.
    Komisi III DPR dan pemerintah telah sepakat bahwa pelaku dengan
    disabilitas mental
    tidak dipidana, melainkan akan dilakukan
    rehabilitasi
    atau perawatan.
    “Poin ini merupakan usulan dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Mereka mengusulkan adanya pengaturan tambahan untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan,” oleh perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi
    RUU KUHAP
    , David, dalam rapat panitia kerja Komisi III dan pemerintah di Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).
    Dalam draf RUU KUHAP yang dibacakan David, usulan itu dituangkan dalam Pasal 137A.
    Ayat (1) berbunyi, “Terhadap pelaku tindak
    pidana
    yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.” Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
    Ayat (3) menegaskan bahwa penetapan tindakan bukan merupakan putusan pemidanaan.
    Adapun tata cara pelaksanaannya akan diatur melalui peraturan pemerintah (ayat 4).
    Tim perumus menekankan bahwa ketentuan tidak adanya pertanggungjawaban pidana bagi penyandang disabilitas mental telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang bakal berlaku efektif pada 2 Januari 2026.
    “Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental mendapat rehabilitasi, bukan pemidanaan. Termasuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam KUHP,” kata David.
    Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyatakan, pemerintah sependapat dengan usulan tersebut karena sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru.
    “Mohon maaf, Pak Ketua. Jadi, dalam KUHP itu Pasal 38 dan 39 tentang pertanggungjawaban pidana memang menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas mental, mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab,” ujar Edward.
    “Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini,” ucap dia.
    Sependapat dengan Eddy, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan aspek
    mens rea
    atau niat jahat sebagai faktor kunci.
    Oleh sebab itu, Komisi III menilai, penyandang disabilitas mental tidak memiliki niat jahat ketika melakukan tindak pidana.
    Namun, tidak semua pihak sependapat dengan kesepakatan DPR dan pemerintah tersebut.
    Misalnya, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), organisasi advokasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas mental (PDM) di Indonesia.
    Kepada
    Kompas.com
    , Koordinator Advokasi PJS Nena Hutahaean menilai rumusan
    revisi KUHAP
    yang menyebut penyandang disabilitas mental atau intelektual berat “tidak dapat dipidana” adalah keliru dan justru memperkuat stigma.
    “Saya menolak rumusan RKUHAP yang menyatakan penyandang disabilitas mental ‘tidak bisa dipidana’ karena formulasi tersebut menyuburkan stigma bahwa kami tidak mampu bertanggung jawab, tidak memahami salah dan benar, dan pada akhirnya dianggap layak dicabut kapasitas hukumnya,” kata Nena.
    Nena menegaskan bahwa prinsip tersebut bertentangan dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), konvensi internasional tentang hak-hak penyandang disabilitas yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 2006.
    Indonesia sudah meratifikasi CRPD melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
    “Ini bertentangan dengan Pasal 12 CRPD yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum yang sama dengan non-disabilitas dan tidak boleh dicabut dalam kondisi apa pun, termasuk dalam bahaya dan konteks pemidanaan,” ujar dia.
    Menurut Nena, pemerintah juga keliru merujuk Pasal 38 dan 39 KUHP baru.
    Dia menekankan bahwa dua pasal yang dijadikan acuan dalam rumusan Pasal 137A RUU KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bahwa penyandang disabilitas mental tidak bisa dipidana.
    “Bahkan Pasal 38 dan 39 KUHP baru, yang dijadikan dasar usulan Pasal 137A, tidak pernah menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental tidak dapat dipidana. Kedua pasal tersebut hanya mengatur bahwa dalam kondisi kekambuhan akut dengan gambaran psikotik, pidana dapat dikurangi dan/atau diganti dengan tindakan, yang berarti kemampuan pertanggungjawaban pidananya tetap diakui,” kata Nena.
    Dalam kesempatan ini, Nena pun menegaskan bahwa kondisi disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen.
    “Kekambuhan pada disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen, sehingga tidak dapat dijadikan dasar seseorang tidak dapat dipidana,” kata dia.
    Yang penting, kata dia, adalah menilai hubungan antara kondisi mental dan tindak pidananya.
    “Yang harus dipastikan adalah apakah tindakan dilakukan karena gambaran psikotik (adanya halusinasi atau waham) atau dalam kondisi stabil dan sadar penuh. Hal ini krusial karena menentukan ada tidaknya
    mens rea
    . Tanpa penilaian ini, pemidanaan berisiko salah sasaran dan melanggar prinsip keadilan,” ujar Nena.
    Di sisi lain, pakar hukum pidana Albert Aries menjelaskan bahwa konsep putusan berupa tindakan (
    measure
    ) harus dipahami dalam konteks
    double track system
    yang diperkenalkan KUHP baru.
    Hal ini dapat berlaku kepada penyandang disabilitas mental yang terjerat tindak pidana.
    “Putusan berupa tindakan (
    measure
    ) adalah konsekuensi dari sistem dua jalur (
    double track system
    ) yang diperkenalkan dalam KUHP Baru. Jadi selain sanksi pidana (
    punishment
    ) ada pula tindakan (
    measure
    ),” ujar Albert.
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menegaskan bahwa KUHP baru membedakan kondisi “tidak mampu” dan “kurang mampu” bertanggung jawab.
    “KUHP Baru sudah membedakan antara tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 KUHP Baru,” katanya.
    Dalam kondisi akut dengan gejala psikotik tertentu, kata Albert, pidana tidak dapat dijatuhkan kepada penyandang disabilitas.
    “Maka terhadap yang bersangkutan tidak dijatuhi sanksi pidana apa pun, tapi dapat dikenai tindakan misalnya berupa perawatan di lembaga tertentu atau menjalani pemulihan secara terpadu agar bisa melaksanakan fungsi sosial bermasyarakat sebagai perwujudan dari keadilan rehabilitatif,” kata dia.
    Albert menekankan bahwa untuk kondisi “kurang mampu bertanggung jawab”, pemidanaan tetap dimungkinkan dilakukan terhadap penyandang disabilitas.
    “Sedangkan bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual yang pada saat melakukan tindak pidana kondisinya kurang mampu bertanggung jawab, maka terhadap yang bersangkutan sanksi pidananya bisa dikurangi namun dikenai tindakan pula,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Politik, dari Istri Wiranto meninggal hingga Museum Kartini

    Politik, dari Istri Wiranto meninggal hingga Museum Kartini

    Jakarta (ANTARA) – Beberapa peristiwa yang berkaitan dengan isu politik terjadi di sepanjang Minggu (16/11). Dari mulai istri dari eks Panglima TNI dan Menko Polhukam Wiranto hingga Museum Kartini.

    Berikut rangkaian berita politik pilihan ANTARA

    1. Istri dari mantan Panglima TNI Wiranto tutup usia

    Jakarta (ANTARA) – Istri dari mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto, Rugaiya Usman Wiranto, meninggal dunia pada Minggu ini, berdasarkan informasi yang diterima dari Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayor Jenderal (Mar) Freddy Ardianzah.

    Freddy mengatakan bahwa Rugaiya dikabarkan menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 15.55 WIB di Bandung, Jawa Barat. Dia menyampaikan bahwa TNI pun menyampaikan duka cita yang mendalam atas wafatnya almarhumah.

    Baca di sini

    2. Anggota DPR: Negara maju bukan soal kaya SDA tapi kaya talenta digital

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini mengatakan bahwa untuk menuju sebuah negara maju, Indonesia harus tak hanya mengandalkan kekayaan sumber daya alam, tetapi juga mendorong terciptanya banyak talenta digital.

    Menurut dia, penguasaan teknologi digital bagi generasi muda merupakan hal penting agar Indonesia mampu bersaing di tengah perubahan global yang bergerak sangat cepat.

    Baca di sini

    3. Komunitas 98 peduli sosial bagikan ribuan sembako di Jakarta dan Medan

    Jakarta (ANTARA) – Komunitas 98 Resolution Network membagikan ribuan sembako kepada masyarakat yang masih rentan secara ekonomi di Jakarta dan Medan, Sabtu (15/11) melalui gerakan sosial #WargaPeduliWarga jilid 8.

    “Hari ini, pemerintah sedang berjuang untuk merealisasikan program strategis nasional. Bukan perkara mudah untuk itu semua, di tengah kondisi global yang sedang bergejolak di mana-mana,” kata Koordinator Panitia Gerakan #WargaPeduliWarga Eli Salomo Sinaga dalam keterangan diterima di Jakarta, Minggu.

    Baca di sini

    4. Mendagri dorong kepala daerah fokus kinerja demi kepercayaan publik

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mendorong kepala daerah dan pemerintah daerah (pemda) berlomba-lomba meningkatkan kinerja demi meraih kepercayaan publik.

    Tito menilai capaian kinerja yang positif akan membuka peluang suatu daerah berhasil meraih penghargaan, yang bisa menjadi pendongkrak popularitas dan elektabilitas kepala daerah. Ujung-ujungnya, bisa menjadi modal penting memenangkan kembali pemilihan kepala daerah (pilkada).

    Baca di sini

    5. Wakil Ketua MPR: Museum Kartini wujud kolaborasi kuat semua pihak

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan bahwa hadirnya Museum Kartini merupakan wujud hasil dari kolaborasi kuat antara semua pihak untuk mengakselerasi upaya penguatan sektor kebudayaan nasional.

    Adapun Museum Kartini itu berlokasi di Jepara, Jawa Tengah. Bangunan museum tersebut merupakan alih fungsi bagunan dari rumah dinas Bupati Jepara yang sudah tak lagi dipakai.

    Baca di sini

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memberikan putusan progresif dalam sidang uji materi beberapa undang-undang.
    Putusan terbaru itu diucapkan pada 13 November 2025, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025) terhadap Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ).
    Putusan itu menegaskan, anggota Polri tak bisa lagi merangkap jabatan, sebagai penegak hukum sekaligus menduduki jabatan sipil seperti yang sering dilakukan belakangan ini.
    Putusan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu menegaskan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak jika anggota Polri mau cawe-cawe duduk pada jabatan sipil.
    Rumusan tersebut adalah rumusan norma yang
    expressis verbis
    yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain.
    Sementara itu, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud.
    Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.
    Menurut hakim konstitusi Ridwan mansyur, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian; dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” jelas Ridwan.

    Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti mengatakan, putusan
    progresif
    ini menjadi hal yang menggembirakan masyarakat secara luas.
    Dia melihat putusan-putusan ini semakin terlihat progresivitasnya dan tak terlepas dari titik nadir MK saat mengeluarkan putusan 90/2023 yang mengubah batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
    “Akibat putusan 90 MK itu berada di titik nadir, dan dengan putusan-putusan progresif ini mereka berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik,” kata Susi saat ditemui di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
    Saat ini yang perlu dilakukan MK adalah bagaimana progresivitas ini bisa tetap dipertahankan.
    Salah satu caranya adalah tenaga ahli di MK yang sangat bagus dan memberikan perspektif terkait jalan lurus yang pernah dicetak MK.
    Hakim memang memiliki independensi, tetapi hakim juga bisa berdiskusi terkait dengan diskursus yang sedang digugat di MK.
    “Jadi di MK sendiri harus dibangun sebuah lingkungan yang memastikan progresivitas itu tetap terpelihara,” katanya.
    “Dan jangan lupa bahwa mereka itu dinilai loh oleh masyarakat. Progresifitas itu tetap diharapkan gitu. Nanti kalau Anda nggak progresif lagi, di ini lagi sama masyarakat,” tuturnya.
    Masyarakat juga berperan penting agar para hakim bisa tetap mempertahankan putusan yang progresif.
    Catatan
    Kompas.com
    ,
    putusan MK
    yang melarang anggota Polri aktif duduk di jabatan sipil bukan satu-satunya putusan progresif yang diputus sepanjang tahun 2025.
    Berikut beberapa putusan progresif yang diputus MK:
    Putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Juni 2025 itu menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    Putusan MK ini juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Putusan tersebut disambut gembira oleh para penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merasakan lelahnya pemilu serentak lokal dan nasional.
    Tetapi berbeda sikap dengan elit partai politik yang merasa keberatan atas putusan tersebut, karena biaya logistik yang bisa lebih besar setelah pemisahan pemilu tersebut.
    Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra bahkan menyebut putusan MK berpotensi melanggar konstitusi.
    Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali. Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    Putusan lainnya adalah putusan nomor 96/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
    MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya yang dibacakan pada 29 September 2025.
    Pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat itu menyebut, Tapera menimbulkan persoalan khususnya untuk para pekerja.
    Pasalnya, beleid itu diikuti dengan unsur pemaksaan dengan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera, sehingga secara konseptual, tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak yang bebas.
    Padahal Tapera bukan termasuk dalam kategori pungutan lain yang bersifat memaksa layaknya pajak dan pungutan resmi lainnya.
    “Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan Pemohon,” kata Saldi.
    Putusan ini juga memberikan kesempatan kepada BP Tapera untuk mengatur uang nasabah yang sudah terlanjur menyetor, seperti para aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri.
    Putusan lainnya yakni perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang berkaitan dengan rangkap jabatan wakil menteri khususnya sebagai komisioner di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
    Hakim MK Enny Nurbaningsih menyebutkan, dalil pemohon yang meminta agar para wakil menteri fokus mengurus kementerian dinilai sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
    Atas hal tersebut, MK menilai perlu agar para wakil menteri dilarang merangkap jabatan agar fokus mengurus kementerian.
    “Dalam batas penalaran yang wajar, peraturan perundang-undangan dimaksud salah satunya adalah UU 39/2008. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar Putusan
    a quo
    mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian,” kata Enny.
    Putusan yang dibacakan pada 28 Agustus 2025 itu menyebut wakil menteri juga memerlukan konsentrasi waktu untuk menjalankan jabatannya sebagai komisaris.
    “Terlebih, pengaturan larangan rangkap jabatan karena berkaitan pula dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari konflik kepentingan, serta pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Enny.
    Atas dasar hal tersebut, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dan melarang wamen rangkap jabatan.
    Putusan yang tak kalah progresif adalah perhatian MK terhadap komposisi perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    Putusan nomor 169/PUU-XXII/2024 ini dibacakan pada Kamis, 30 Oktober 2025 dengan penggugat adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini
    Dalam putusan ini, MK menyatakan agar setiap (AKD) mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan setiap pimpinan alat kelengkapan dewan harus memiliki keterwakilan perempuan.
    Dalam putusan tersebut, MK menilai kebijakan afirmatif untuk kelompok perempuan menjadi kesepakatan nasional untuk memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia yang lebih komperhensif.
    Karena faktanya, meskipun perbandingan jumlah penduduk antara perempuan dan laki-laki relatif berimbang, namun perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-laki pada hampir semua penyelenggara negara.
    Fakta tersebut membuat negara harus memberikan perlakuan khusus untuk kelompok perempuan. Dasar tersebut menjadi alasan, jumlah perempuan yang berimbang pada sistem politik juga harus tercermin pada semua alat kelengkapan anggota lembaga perwakilan, termasuk AKD.
    Dua putusan lainnya adalah putusan terkait dengan hak atas tanah dalam gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) nomor perkara 181/PUU-XXII/2024, dan Hak Atas Tanah (HAT) di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim) melalui putusan perkara 185/PUU-XXII/2024.
    Pada perkara 181, MK mengabulkan agar masyarakat tak perlu izin pemerintah untuk menggarap lahan hutan untuk berkebun.
    Dalam pertimbangan hukumnya, putusan yang dibacakan pada 17 Oktober 2025 itu menyebut larangan setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat dikecualikan bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
    Terakhir terkait dengan hak atas tanah di IKN lewat putusan 185. Ketentuan soal Hak Atas Tanah (HAT) di IKN diatur dalam Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahu 2023 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
    Putusan ini mengatur, agar HAT tak lagi bisa diperpanjang menjadi 190 tahun.
    Artinya, batasan waktu HGB paling lama kini mencapai 80 tahun, yang dapat diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan selama memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim

    Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim

    Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dua dekade lalu, lahir sebuah lembaga sebagai kehendak politik yang dituangkan dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
    Lembaga ini termasuk dalam cita-cita
    reformasi
    sebagai orientasi
    checks and balances
    dalam sistem kekuatan kehakiman.
    Lembaga itu dinamakan
    Komisi Yudisial
    .
    Dalam buku Risalah KY yang diterbitkan oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia tahun 2013, KY digambarkan sebagai wujud pemikiran kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol sebagai wujud akuntabilitas.
    Independensi dan akuntabilitas menjadi dua sisi mata uang.
    Dalam konteks kebebasan
    hakim
    , harus ada perimbangan dengan pasangannya, yakni akuntabilitas.
    KY berada dalam latar belakang tersebut.
    Namun, setelah 20 tahun berdiri, apakah makna tersebut telah bergeser?
    Di mana peran KY dan bagaimana lembaga yang prematur ini bertahan dari gempuran dinamika politik di era reformasi?
    Ketua Komisi Yudisial RI, Amzulian Rifai, mengatakan bahwa refleksi dua dekade menjaga integritas hakim penuh dengan tantangan, salah satu tantangannya adalah
    kepercayaan publik
    .
    “Salah satu kekuatan negara-negara maju, di Australia misalnya, itu adalah
    trust
    publik. Itu bisa direfleksikan, antara lain, kalau dunia peradilan, adalah berapa banyak suatu kasus itu misalnya yang dikasasikan, berapa banyak tunggakan perkara,” kata Amzulian dalam acara Sinergitas KY dan Media Massa, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
    Dia memberikan contoh bahwa Australia telah sukses menggelar perkara sampai hampir nol.
    Pada survei pertengahan tahun 2025, yang mempertanyakan kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga negara, jika kita perhatikan, lembaga negara Mahkamah Agung berada di urutan kelima, jika saya tidak salah, di bawah lembaga TNI, Presiden, dan antara lain, Kejaksaan Agung serta KPK.
    Hal ini cukup miris, karena Indonesia digembar-gemborkan sebagai negara hukum.
    Seharusnya, kata Amzulian, Mahkamah Agung berada di posisi pertama.
    “Tapi faktanya tidak demikian,” ucapnya.
    Di sini KY mengambil peran untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan secara keseluruhan.
    KY memiliki tugas mengawasi perilaku hakim, menyeleksi calon hakim agung, hingga memberikan rekomendasi jika terbukti ada hakim yang melanggar etik.
    Amzulian pun mengakui lembaga yang ia pimpin masih banyak kekurangan, terutama di mata publik.
    “Saya cukup banyak, bukan hanya membaca media, tetapi juga berkeliling di banyak tempat di perguruan tinggi, itu umumnya mereka masih agak kecewa dengan eksistensi Komisi Yudisial. Walaupun sebenarnya kekecewaan itu hampir kepada seluruh lembaga negara,” tutur dia.
    Kendati demikian, Amzulian mengungkapkan ada banyak tugas yang KY kerjakan untuk memperbaiki wajah penegakan peradilan di Indonesia selama dua dekade berdirinya lembaga tersebut.
    Misalnya, hampir semua laporan masyarakat ditindaklanjuti oleh KY.
    Setiap minggu diadakan sidang pleno untuk memutuskan satu laporan masyarakat.
    Memang, sebagian besar laporan masyarakat harus berakhir tanpa ditindaklanjuti dengan alasan bukti yang lemah, teknis yudisial, dan bukan
    kewenangan KY
    , tetapi ada beberapa juga yang berlanjut.
    “Salah satunya memandang hakim itu tidak adil karena berbicara kepada salah satu pihak. Itu lebih keras, sedangkan kepada pihak lain itu lemah-lembut. Dinilainya itu memihak salah satu pihak. Bagaimana kami menindaklanjuti?” imbuh dia.
    Selain tindak lanjut pemeriksaan etik hakim dari laporan masyarakat dan pemberitaan media massa, KY juga mengerjakan mandatnya sebagai lembaga yang menyeleksi calon hakim agung secara ketat.
    Amzulian menjamin, langkah seleksi ini bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
    Meskipun konsekuensinya, hasil seleksi mereka kadang seluruhnya ditolak saat fit and proper test di DPR-RI.
    “Jadi itulah tugas-tugas konstitusional kami, walaupun tentu saja tidak akan pernah puas masyarakat dengan apa yang kami lakukan. Dan ternyata, masyarakat ada yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh KY,” ujar Amzulian.
    Meski terkesan tak bertaji saat ini, KY sesungguhnya pernah sakti saat awal pendiriannya, bisa memberikan pengawasan tak hanya untuk hakim tingkat rendah, tetapi juga sampai ke level Hakim Konstitusi.
    Mereka juga punya kewenangan menjadi panitia seleksi untuk calon hakim tingkat pertama, seperti hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, hingga hakim pengadilan tata usaha negara.
    KY juga pernah memiliki kewenangan untuk memiliki perwakilan pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
    Namun, kewenangan itu seiring waktu dipreteli lewat putusan MK.
    Kewenangan yang pertama dicabut adalah pengawasan terhadap hakim MK dan hakim agung.
    Pengkebirian ini dilakukan lewat putusan MK nomor 005/PUU-IV/2006 yang diucapkan pada 16 Agustus 2006 oleh Jimly Asshiddiqie selaku ketua MK pada saat itu.
    Putusan itu menyebut, hakim MK tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY, sedangkan pengawasan hakim agung dikembalikan kembali kepada Mahkamah Agung.
    Kemudian, dalam putusan I/PUU-XII/2014, MK kembali mengkebiri pengawasan KY.
    Putusan ini menyebutkan KY tidak lagi bisa menempatkan orang sebagai organ pelengkap dalam Majelis Kehormatan MK (MKMK).
    Terakhir, pada putusan 43/PUU-XIII/2025, MK mencabut kewenangan KY terkait seleksi calon hakim tingkat pertama.
    MK mendalilkan, KY tak memiliki mandat tersebut dalam UUD 1945 dan sistem peradilan satu atap adalah kewenangan dari Mahkamah Agung.
    Namun, setelah dua dekade KY berdiri, wajah peradilan di Indonesia tak sepenuhnya mendapat kepercayaan publik.
    Oleh sebab itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, menilai KY harus memiliki peran yang lebih besar.
    KY tak boleh lagi hanya diberikan wewenang yang prematur, mengawasi dan memberikan rekomendasi sanksi, atau sekadar jadi pansel calon hakim agung.
    Susi kemudian mengutip ucapan dari Presiden Latvia, Egils Levits, dalam acara 10 tahun Judicial Council di negara tersebut.
    Egils menyebut KY Latvia harus memainkan peran lebih besar dan memberikan fokus pemecahan masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh siapapun selain lembaga peradilan itu sendiri.
    Dengan cara itu, KY Latvia bisa menjadi instrumen kepercayaan publik untuk melihat kembali lembaga peradilan yang bersih dan bisa dipercaya.

    It does also become a trust instrument
    , jadi KY itu akan menjadi instrumen kepercayaan,” imbuh dia.
    Susi mengatakan, harapan Presiden Latvia ini juga senada dengan kepercayaan mayoritas masyarakat di Indonesia.
    Sebab itu, DPR juga harus memikirkan bagaimana KY bisa lagi menjadi sakti dan bertaji, salah satu caranya dengan merevisi undang-undang KY.
    Saat ini, kata Susi, ada proses revisi UU Jabatan Hakim yang menjadi prioritas pembahasan DPR.
    Menurut dia, sudah selayaknya pembahasan terkait UU tersebut juga berlangsung secara paralel dengan UU KY.
    “Harusnya pembahasannya itu adalah paralel, karena pasti itu ada kaitan antara Jabatan Hakim dan KY, termasuk juga penegakan kehormatan dan integritas hakim,” kata Susi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR: Negara maju bukan soal kaya SDA tapi kaya talenta digital

    Anggota DPR: Negara maju bukan soal kaya SDA tapi kaya talenta digital

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini mengatakan bahwa untuk menuju sebuah negara maju, Indonesia harus tak hanya mengandalkan kekayaan sumber daya alam, tetapi juga mendorong terciptanya banyak talenta digital.

    Menurut dia, penguasaan teknologi digital bagi generasi muda merupakan hal penting agar Indonesia mampu bersaing di tengah perubahan global yang bergerak sangat cepat.

    “Indonesia punya bonus demografi, dan anak muda adalah penentu apakah bonus ini menjadi berkah atau beban,” kata Novita dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu.

    Dia menyampaikan hal itu dalam Pelatihan GenMetic (Generasi Melek Teknologi) oleh Kementerian Ekonomi Kreatif RI di Trenggalek, Jawa Timur. Menurut dia, penguasaan teknologi bukan lagi pilihan, tetapi keharusan strategis.

    Dia pun menyoroti pentingnya transformasi pola pikir generasi muda, dari sekadar pengguna media sosial menjadi pencipta dan pelaku ekonomi digital. Dia ingin generasi muda diajarkan membuat konten, membangun audiens, memahami algoritma, memonetisasi karya, hingga menjadi affiliator, digital marketer, atau technopreneur.

    Sebagai anggota Komisi VII yang bermitra dengan Kementerian Ekonomi Kreatif RI dirinya menyebut ada tiga kompetensi yang wajib dimiliki generasi muda hari ini, yakni literasi digital, kreativitas-inovasi, dan jiwa kewirausahaan.

    “Satu konten saja bisa mengangkat produk UMKM atau desa wisata ke level nasional,” katanya.

    Ia pun berpesan agar generasi muda berani mencoba, terus belajar, dan tidak takut memulai dari nol. Pasalnya, masa depan dimiliki mereka yang paling cepat beradaptasi.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

    “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

    “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    MENTERI
    Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyentil pers yang “mingkem”, tidak berani melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritik itu disampaikan Purbaya dalam acara yang digelar Forum Pemimpin Redaksi di Jakarta, Minggu 16 November 2025.
    Kritik Purbaya ini menarik dan mengandung separuh kebenaran.  PK Ojong punya pandangan yang senada.
    Pers
    dibuat bukan untuk menjilat kekuasaan.  Kritik pers memang dibutuhkan karena kekuasaan itu  cenderung korup. Pada saat ini, kritik pers justru amat dibutuhkan ketika bangsa sedang mengalami krisis representasi.  
    DPR mengalami apa yang disebut Carl Schmitt sebagai telah kehilangan dasar moral dan spiritualnya. Itu ditulis Schmitt dalam buku
    The Crisis of Parliamentary Democracy
    , 1923. Selain pers yang “mingkem”, DPR, DPD, ormas pun sebenarnya “mingkem” melihat praktik politik penuh ketidakadilan. Dalam bahasa pemikir kebhinekaan, Sukidi, bangsa sedang dibangun dalam situasi republik ketakutan (
    republic of fear
    ).
    Gejala pers yang “mingkem” sudah ditengarai Daniel Dhakidae dalam disertasinya di Cornel tahun 1991. Dalam disertasi
    The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry
    , Daniel memprediksi sistem pers Orde Baru dengan kontrol kertas di tangan pemerintah akan menciptakan situasi menjadi akhir dari jurnalisme politik (
    the end of political journalism
    ).
    Kritik Purbaya disebut sebagai separuh kebenaran karena sebenarnya ada juga pers, katakan Tempo, yang berani mengkritik pemerintahan secara lugas dan tegas terhadap tata kelola pemerintahan. Namun kini, Tempo tengah menghadapi gugatan ganti rugi Rp 200 miliar oleh Menteri Pertanian. Bisa saja pandangan Purbaya adalah pandangan pribadi seorang menteri berbeda dengan menteri yang lain.
    Dalam praktik selama ini, dalam lingkungan komunitas pers, tertangkap suasana kebatinan bahwa pemerintah lebih suka dengan berita-berita positif, terlebih  pujian. Dalam beberapa kejadian selalu ada upaya tangan tak kelihatan untuk mengendalikan pers bebas yang memang sedang dalam tahapan
    survival mode
    . “Padahal, pujian adalah
    silent killer
    ,” kata Sukidi, dalam sebuah pernyataan di Forum Warga Negara.
    Ini berbeda misalnya dengan pandangan Ali Sadikin. Ali Sadikin dalam satu wawancara pernah mengatakan, “… wartawan itu karyawan pemerintah yang tidak dibayar negara. Tugasnya justru mengkritik kebijakan pemerintah….,” kata Ali Sadikin.
    Tapi apakah pejabat kita seterbuka Ali Sadikin menerima kritik dari
    media
    sebagaimana disampaikan Purbaya.
    Sejak lama, media disebut sebagai pilar keempat demokrasi—
    the fourth estate
    —setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media dimandatkan untuk mengawasi kekuasaan, menyediakan informasi publik, dan menjadi forum deliberasi bagi warga negara.
    Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism menulis: “Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran, dan kesetiaan pertamanya adalah kepada warga.”
     Namun kini, secara umum posisi media itu goyah. Bukan karena hilangnya idealisme, tetapi karena dua tekanan besar: krisis ekonomi di dalam industri media, dan dominasi algoritma di luar ruang redaksi. Media berdiri di persimpangan: antara bisnis dan etika, antara klik dan kebenaran.
    Industri media kini menghadapi guncangan struktural yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pendapatan iklan berpindah ke platform digital seperti Google, Meta, dan TikTok. Ruang redaksi kehilangan kemandirian ekonomi, sementara pemilik modal semakin berkuasa menentukan arah pemberitaan. Robert McChesney menyebut fenomena ini sebagai
    market censorship
    — sensor pasar—di mana bukan negara yang menekan
    kebebasan pers
    , tetapi logika bisnis yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
    Konsentrasi kepemilikan membuat media kerap kehilangan keberanian moral. Liputan investigative berkurang.  Isu publik tergantikan oleh sensasi politik. Kecenderungan media menjadi pelapor fakta. Namun, tentunya masih ada media yang mencoba menjalankan jurnalisme advokatif.
    Selain krisis ekonomi, kita juga menghadapi krisis suara. Manuel Castells, dalam
    Communication Power
    , mengatakan: “Kekuasaan di era informasi adalah kekuasaan untuk memprogram arus komunikasi.”
    Buzzer politik, influencer, dan mesin algoritma kini bertindak sebagai “editor baru” ruang publik. Mereka menentukan apa yang trending, bukan apa yang penting. Mereka menyebarkan emosi, bukan pengetahuan. Kita hidup dalam demokrasi simulatif: terlihat ramai, tapi kehilangan kedalaman. Setiap warga seolah punya suara, tapi suara-suara itu dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlihat— oleh mesin, oleh modal, oleh kepentingan politik. Buzzer telah menjadi industri. Tapi apakah itu kebenaran? Belum tentu.
    Saat Revisi UU KPK (2019) terjadi, bagaimana
    cyber troops
    dikerahkan untuk mendelegitimasi KPK dengan narasi “KPK sarang Taliban” dan narasi lain untuk menggolkan agenda politik revisi UU KPK dan kemudian berhasil. KPK berhasil dilumpuhkan melalui operasi kartel partai politik dalam lima hari.
    Krisis media juga merupakan krisis relasi kekuasaan. Media tidak lagi di luar kekuasaan, tetapi menjadi bagian dari arena kekuasaan itu sendiri. Kita menyaksikan munculnya oligarki informasi— di mana konglomerasi media dan politik menyatu dalam kepentingan yang sama.
    Hasilnya: ruang redaksi kehilangan otonomi, dan kebebasan pers berubah menjadi kebebasan bagi pemilik modal. McChesney pernah mengingatkan: “Kebebasan pers tanpa kebebasan ekonomi redaksi adalah kebebasan semu.”
    Inilah paradoks media hari ini: secara hukum bebas, tetapi secara struktural terpenjara. Ketika kekuatan politik, kekuatan ormas, kekuatan media berada dalam satu tangan, bukankah  itu merupakan tanda-tanda awal dari totalitarianisme?
    Namun, krisis ini bukan akhir. Ia bisa menjadi awal kebangkitan baru bagi media— jika media berani kembali pada akarnya: etika, empati, dan keberpihakan serta dukungan publik.
    Apakah publik mendukung jurnalisme yang sehat? Jurnalisme bukanlah propaganda. Jurnalisme yang membuka ruang perdebatan publik.  Esensi jurnalisme adalah mengingatkan yang mapan (
    polite watch dog
    ), menghibur yang papa. Namun itu juga sepenuhnya tergantung pengurus negara. 
    Ada empat langkah yang harus ditempuh.
    Media harus kembali pada misi moralnya: berpihak pada publik, bukan kekuasaan. Mengutip Budayawan/Rohaniawan GP Sindhunata: bagaimana menjaga agar “danyang” jurnalisme tidak
    oncat
    atau mencelat dari ruang jurnalisme. “Danyang” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang cenderung ada unsur mistis dan magis. Tapi “danyang” bisa diartikan sebagai roh yang menggerakan jurnalisme, nilai yang diperjuangkan dalam jurnalisme. Apakah “danyang” jurnalisme masih ada? Ada untuk beberapa media.
    Bill Kovach menulis, “Verifikasi lebih penting daripada viralitas.” Kecepatan bukan ukuran profesionalisme; integritaslah yang utama.
    Kemandirian ekonomi adalah syarat mutlak bagi independensi redaksi. Model
    membership journalism
    atau
    public funding
    bisa menjadi jalan keluar. Kita bisa belajar dari The Guardian, ProPublica, atau di Indonesia— Tempo Investigasi, Project Multatuli. Itu sekadar contoh. Tapi intinya, perkembangan media membutuhkan dukungan publik dan  pemerintah. Perjuangan Forum Pemred memperjuangkan
    No Tax For Knowledge
    perlu dipertimbangkan Purbaya. Industri media yang sejatinya adalah industri pengetahuan masih dibebani begitu banyak pajak-pajak yang memberatkan.
    Kebenaran adalah hasil kerja kolektif. Ekosistem kolaboratif—antara redaksi, universitas, dan NGO— akan memperkuat
    fact checking
    dan literasi publik. Dukungan pelanggan amat sangat menentukan. 
    Negara harus hadir bukan untuk membungkam, tetapi melindungi jurnalisme dari tirani algoritma. Transparansi konten politik berbayar dan keadilan algoritmik adalah prasyarat demokrasi digital yang sehat.
    Media boleh lemah secara industri, tetapi jika ia teguh pada moralitas kebenaran, ia tetap akan menjadi penjaga rasionalitas bangsa. Justice Hugo Black pernah berkata: “
    Freedom of the press is not for the press itself, but for the people to know
    .”
    “Kebenaran adalah pekerjaan rumah harian demokrasi.”
    Tugas media bukan hanya menyampaikan berita, tetapi menjaga nurani bangsa agar tetap waras dan  mengerakkan semangat berbela rasa, mengingatkan yang mapan dan menghibur yang papa, di tengah kebisingan digital. Di era suara sintesis, media sejati bukan yang paling keras, tetapi yang paling jujur. Namun itu semua membutuhkan dukungan publik.
    Kritik Purbaya harus diterima. Namun, Purbaya perlu mengambill  langkah  melonggarkan beban pajak yang melilit industri pers. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.