Kementrian Lembaga: DPD

  • Amankan sidang Hasto, 916 personel disiagakan di PN Jakpus

    Amankan sidang Hasto, 916 personel disiagakan di PN Jakpus

    Jakarta (ANTARA) – Polres Metro Jakarta Pusat menyiagakan 916 personel untuk mengawal jalannya sidang Hasto Kristiyanto di Pengadilan Negeri daerah itu agar berjalan dengan kondusif.

    Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro di Jakarta, Kamis, menjelaskan total 916 personel itu gabungan dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek jajaran untuk mengamankan jalannya sidang serta aksi unjuk rasa.

    “Orator baik yang pro maupun kontra, kami imbau agar tidak memprovokasi massa,” kata Susatyo.

    Ia juga meminta agar pengunjuk rasa tidak berbuat anarkis, tidak merusak fasilitas umum, agar tertib selama jalannya sidang, tidak melawan petugas pengamanan dan tidak membakar ban bekas.

    Susatyo menekankan, agar seluruh pihak menghargai himbauan petugas kepolisian demi kenyamanan bersama.

    “Hargai juga pengguna jalan raya lainnya yang sedang beraktivitas dan bagi pengunjung sidang agar tertib, tidak mengganggu jalannya sidang, sehingga sidang dapat berjalan lancar,” ujarnya.

    Kapolres mengingatkan kepada seluruh peserta aksi dan pengunjung sidang untuk saling menjaga ketertiban. Kehadiran petugas untuk mengamankan dan melayani masyarakat, bukan untuk menakut-nakuti.

    “Sampaikan pendapat dengan damai, kami akan mengawal dengan hati,” kata dia.

    Kapolres menambahkan, petugas pengamanan tidak dibekali senjata api dan melaksanakan pengamanan secara humanis dan profesional.

    Untuk arus lalu lintas di depan PN Jakarta Pusat, ia menyebut, situasional dan mengimbau warga agar mencari jalan alternatif selama jalannya persidangan.

    Sidang berlangsung di Ruang Prof. Dr. M. Hatta Ali, lantai 1 PN Jakarta Pusat, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Rios Rahmanto dan dihadiri sekitar 100 orang.

    Di luar pengadilan, massa Dewan Pimpinan Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (DPD REPDEM) DKI Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di sisi kanan depan PN Jakarta Pusat.

    Massa berjumlah sekitar 150 orang membawa isu nasional, mendesak penghentian persidangan karena dinilai bermuatan politis.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sosiolog UGM: Pemilu terpisah harus diikuti reformasi partai

    Sosiolog UGM: Pemilu terpisah harus diikuti reformasi partai

    Yang harus diperbaiki sekarang ini adalah cara partai membangun komunikasi politik. Reformasi partai harus dikerjakan, kalau enggak ya percuma

    Yogyakarta (ANTARA) – Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu nasional dan lokal harus diikuti dengan reformasi partai politik.

    “Yang harus diperbaiki sekarang ini adalah cara partai membangun komunikasi politik. Reformasi partai harus dikerjakan, kalau enggak ya percuma,” kata Arie saat ditemui di Kampus UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu.

    Menurut Arie, masalah demokrasi di Indonesia tidak akan selesai hanya dengan memisahkan pemilu nasional dan lokal karena persoalan utamanya justru terletak pada struktur dan perilaku partai politik yang masih stagnan.

    “Partai ini kan belum banyak berubah,” ujar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM ini.

    Arie menyebut sistem partai yang sentralistis tidak kompatibel dengan model pemilu terpisah yang menuntut konsolidasi lintas tingkatan.

    Karena itu, apabila tidak diiringi perubahan di internal parpol, pemisahan justru bisa menimbulkan ketimpangan representasi antara pusat dan daerah.

    “Anda bisa bayangkan, partai itu sentralistis, sementara pemilu kalau dipilah, penyelenggaraannya jadi terpisah. Ini bukan pekerjaan yang mudah,” kata dia.

    Ia memandang keputusan MK sebagai bentuk eksperimen politik yang bisa menambah kompleksitas jika partai tidak siap menghadapi perubahan.

    “Keputusan MK itu belum tentu nanti langsung memudahkan mereka mengkonsolidasi antara yang dikerjakan di daerah maupun di pusat,” ucapnya.

    Arie juga mengkritisi asumsi bahwa pemisahan waktu pemilu bakal efektif mendongkrak partisipasi pemilih.

    Menurut dia, partisipasi tidak ditentukan oleh desain pemilu, akan tetapi oleh kekuatan hubungan antara pemilih dan para kontestan.

    “Tidak ada korelasi positif pemisahan penyelenggaraan pemilu di daerah sama pusat itu akan mendongkrak partisipasi atau tidak. Tergantung kontestannya, tergantung pendirian politiknya,” katanya.

    Ia menambahkan, pemilih tidak akan tertarik hanya karena sistem berubah karena yang lebih penting adalah sejauh mana partai mampu menjalin kedekatan dan komunikasi dengan masyarakat.

    MK, Kamis (26/6), mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).

    Menurut MK dalam pertimbangan hukum, desain penyelenggaraan pemilu selama ini mengakibatkan impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan tahapan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.

    Dengan adanya perimpitan itu, tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu menjadi tak terelakkan. Dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah menilai, kondisi yang demikian berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.

    Hal lain yang disoroti MK dalam pertimbangan hukum, yaitu pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.

    Sementara itu, dari segi rakyat pemilih, MK menilai pemilu beruntun dalam tahun yang sama berpotensi membuat pemilih menjadi jenuh dan tidak fokus.

    MK turut menyinggung masalah pelemahan pelembagaan partai jika pemilu nasional terus digelar berdekatan dengan pemilu lokal. Partai politik menjadi tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kadernya sehingga mudah terjebak dalam pragmatisme.

    Pewarta: Luqman Hakim
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Adeksi Respons Positif  Putusan MK Pisah Pemilu Nasional-Lokal

    Adeksi Respons Positif Putusan MK Pisah Pemilu Nasional-Lokal

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan jadwal keserentakan pemilu nasional dan lokal.

    Ketua Umum Adeksi, Dance Ishak Palit berpandangan putusan MK tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki desain tata kelola pemilu supaya lebih efisien, demokratis, dan akuntabel.

    “Putusan ini merupakan langkah penting untuk menghadirkan tata kelola pemilu yang tidak membebani pemilih, penyelenggara, maupun kontestan. Kami melihat ada peluang besar untuk memperkuat peran DPRD dan meningkatkan kualitas demokrasi lokal,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (2/7/2025).

    Lebih lanjut, Dance mendorong DPR RI sebagai pembentuk undang-undang agar menjadikan putusan MK tersebut sebagai acuan dalam merevisi Undang-Undang Pemilu.

    “Penataan waktu dan mekanisme pemilu daerah harus memberi ruang bagi penguatan peran DPRD dan efektivitas pemerintahan daerah,” ucapnya.

    Sebab itu, dia menyatakan bahwa ADEKSI siap untuk berkontribusi aktif dalam proses penyusunan regulasi turunan agar pelaksanaan pemilu daerah ke depannya dapat berjalan lebih baik, adil, dan efisien.

    Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengubah skema waktu pelaksanaan Pemilu menjadi dua tahap: Pertama, Pemilu Serentak Nasional yaitu Presiden, DPR, dan DPD tetap dilaksanakan pada tahun 2029.  

    Kedua, Pemilu Daerah Pilkada dan Pemilihan Anggota DPRD digeser dua tahun kemudian pada tahun 2031, dan disatukan pelaksanaannya.

  • Kemendagri bentuk tim pencepat serapan anggaran untuk tiga DOB Papua

    Kemendagri bentuk tim pencepat serapan anggaran untuk tiga DOB Papua

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menggandeng Kementerian Keuangan untuk membentuk tim khusus guna mengakselerasi penyerapan anggaran di daerah otonomi baru (DOB), yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

    Mendagri mengatakan Provinsi Papua Tengah berhasil menyerap anggaran hingga 48 persen, sedangkan tiga provinsi lainnya baru bisa menyerap anggaran di bawah 18 persen.

    “Kami sudah diskusikan dengan Wakil Menteri Keuangan, kami akan bentuk tim dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk datangi daerah-daerah ini. Tiga ini yang rendah penyerapannya sampai 27 Juni ini ya, harusnya 40 persen ke atas,” kata Tito di Gedung DPR/MPR/DPD RI, Jakarta, Rabu.

    Tito mengatakan pihaknya menggandeng Kementerian Keuangan karena kendala yang dihadapi tiga provinsi baru di Papua tersebut berkaitan dengan persyaratan untuk penyaluran anggaran yang merupakan bidang yang ditangani Kemenkeu.

    “Padahal, mereka dananya dari pusat. Nah kenapa? Karena syarat salurnya yang disyaratkan Kementerian Keuangan belum dipenuhi. Nah ini menyangkut masalah teknis, oleh karena itu, ya mungkin masalah kompetensi yang menanganinya ya,” ujarnya.

    Tim khusus tersebut juga akan memberikan bimbingan teknis kepada tiga jajaran pemerintahan provinsi tersebut sehingga realisasi anggaran yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat tersebut bisa segera diwujudkan.

    “Kami akan berikan bimbingan tenis kepada mereka supaya penyalurannya lebih mudah dan gampang,” tuturnya.

    Kemendagri bersama Kementerian Keuangan pada Rabu ini menggelar rapat evaluasi dengan Komisi II DPR RI soal Panitia Kerja Evaluasi Daerah Otonomi Baru (DOB) Empat Provinsi di Tanah Papua. Empat provinsi tersebut yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

    Rapat Panitia Kerja Evaluasi DOB Empat Provinsi di Papua ini membahas transfer dana otonomi khusus hingga anggaran infrastruktur, sarana dan prasarana di Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

    Rapat evaluasi tersebut dilakukan setelah tahun ketiga atau tahun terakhir bagi pemerintah pusat melakukan pembinaan dan fasilitasi guna mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan daerah empat provinsi tersebut sejak diresmikan, sebagaimana ketentuan dalam undang-undang pembentukan keempat provinsi tersebut.

    Rapat tersebut turut dihadiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti, dan perwakilan Kementerian PPN/Bappenas.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 7
                    
                        Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan
                        Nasional

    7 Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan Nasional

    Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas)
    Yusril Ihza Mahendra
    mengatakan, ada potensi
    pelanggaran konstitusi
    yang bisa terjadi jika
    putusan Mahkamah Konstitusi
    yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan lokal diterapkan.
    Salah satunya adalah jeda waktu 2-2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal.
    Jeda ini akan memberikan makna pemilihan DPRD tidak lagi dipilih lima tahun sekali dan tidak sesuai dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    “Kalau kita baca Pasal 22E UUD 45 kan tegas dikatakan pemilu dilaksanakan sekali 5 tahun, enggak bisa ada tafsir lain itu, dan pemilu itu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden,” kata Yusril, saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
    Oleh sebab itu, dia mempertanyakan bagaimana bisa pemilihan lokal ditunda selama 2-2,5 tahun, sedangkan Pasal 22E
    UUD 1945
    tegas mengatakan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
    Adapun pasal yang disebutkan Yusril terdapat pada Pasal 22E Ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
    (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
    (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
    Atas aturan konstitusi tersebut, Yusril mengatakan perlu ada pemikiran serius dari pembentuk undang-undang untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
    “Jadi, mesti ada satu pemikiran yang agak serius dari segi ketatanegaraan mengenai persoalan ini,” kata dia.
    Selain itu, Yusril juga mempertanyakan bagaimana langkah yang tepat untuk menyikapi persoalan yang timbul akibat
    putusan MK
    , seperti masa jabatan DPRD.
    Hal ini menjadi masalah baru yang masih belum ada solusi dan juga berpotensi melanggar undang-undang.
    “Apakah bisa anggota DPRD itu diperpanjang? Apakah ini tidak
    against
    (melawan) konstitusi sendiri, karena memang anggota DPRD itu harus dipilih oleh rakyat? Atas dasar kuasa apa kita memperpanjang mereka itu untuk 2-2,5 tahun? Apakah dibentuk DPRD sementara atau bagaimana? Itu juga masalah-masalah yang masih perlu kita diskusikan supaya kita tidak nabrak konstitusi,” ucap dia.
    Putusan MK
    terkait
    pemisahan pemilu
    nasional dan daerah itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
    Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan bahwa keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    MK juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Soal Peluang Bentuk Pansus Pasca Putusan MK soal Pemilu Terpisah

    DPR Soal Peluang Bentuk Pansus Pasca Putusan MK soal Pemilu Terpisah

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Daerah (DPR) masih mendengarkan masukan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal keserentakan pemilu.

    Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan bahwa sampai sejauh ini belum ada rencana membentuk panita khusus (pansus) untuk merevisi UU Pemilu.

    “Belum diambil keputusan [pembentukan pansus] karena kemarin baru mendengarkan masukan dari pemerintah,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

    Puan melanjutkan, pada Senin kemarin ada rapat pertemuan antara pimpinan DPR, Mendagri, Mensesneg, hingga Perludem untuk berdiskusi mengenai hasil keputusan MK. Dalam pertemuan ini, katanya, DPR baru mendengarkan masukan saja.

    “Dan kemudian nantinya dari DPR sesuai dengan mekanismenya tentu saja akan mengambil langkah-langkah atau mencermati hal tersebut untuk mencari langkah yang terbaik, tentu saja untuk partai politik,” katanya.

    Meski demikian, eks Menko PMK ini tak memungkiri adanya efek putusan MK terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

    “Tentu saja itu akan ada efeknya ke undang-undang pemilu, tapi undang-undang pemilunya juga belum kita bahas, karenanya DPR dan pemerintah akan mencermati keputusan dari MK tersebut,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengubah skema waktu pelaksanaan Pemilu menjadi dua tahap: Pertama, Pemilu Serentak Nasional yaitu Presiden, DPR, dan DPD tetap dilaksanakan pada tahun 2029.  

    Kedua, Pemilu Daerah Pilkada dan Pemilihan Anggota DPRD digeser dua tahun kemudian pada tahun 2031, dan disatukan pelaksanaannya.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua
    Komisi II
    DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan, putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 akan memicu banyak revisi undang-undang.
    Ia mengatakan, yang sudah pasti akan terkena revisi adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (Pilkada).
    Selain dua undang-undang itu, Dede mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua juga akan berubah.
    “Ada berapa Undang-Undang yang akhirnya akan terpaksa diubah? Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23. Karena dalam UU Nomor 23 itu menentukan soal Pemerintahan Daerah, di dalamnya ada DPRD. Berarti kan harus direvisi juga, harus diulang,” kata Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Adapun UU Otsus Papua diubah karena di dalamnya mengatur pemilihan anggota DPRD yang dilaksanakan lima tahun sekali.
    Sedangkan dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK mengusulkan agar pemilihan DPRD dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada paling singkat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden.
    “Itu undang-undang, loh, enggak mungkin kita hanya menambah dua tahun tanpa merevisi UU,” ucap Dede.
    Komisi II bersama alat kelengkapan dewan (AKD) lain disebutnya akan melakukan kajian terlebih dahulu ihwal putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu.
    “Kalau dari Komisi II, kita harus memberikan kajian terlebih dahulu dari sudut pandang Komisi II. Nah, dari berbagai kajian-kajian itu nanti kita sampaikan kepada pimpinan DPR dalam rapat konsultasi berikutnya,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menilai, putusan MK terkait pemisahan pelaksanaan
    pemilu nasional dan daerah
    berpotensi mendorong revisi
    UU Pemilu
    dengan mekanisme
    omnibus law
    .
    Pasalnya, putusan itu membuat DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang harus mengubah total aturan pelaksanaan kepemiluan di Indonesia.
    “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk merubah merevisi UU ini secara omnibus law,” kata Doli dalam diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
    Doli menuturkan, putusan MK yang terbaru makin menambah deretan panjang putusan-putusan sebelumnya terkait topik keserentakan Pemilu.
    Setidaknya kata Doli, ada sejumlah UU yang perlu diubah karena putusan tersebut. Termasuk UU Pemilu,
    UU Pilkada
    , hingga UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
    Lebih lanjut, Doli sendiri mengaku setuju dengan putusan MK terbaru. Menurutnya, Pemilu serentak menimbulkan sejumlah konsekuensi, di antaranya adalah kerumitan dalam penyelenggaraan, terutama bagi penyelenggara.
    Tahun lalu misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengurus ketentuan Pemilihan Presiden (Pilpres) hingga Pemilihan Legislatif (Pileg). Belum selesai sepenuhnya, penyelenggara harus kembali mengurusi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
    “Mereka terpilih 2022 ya kemarin. Jadi dalam waktu dua tahun, harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tiga jenis Pemilu, nasional dan daerah. Tentu itu mengalami kerumitan,” tandas Doli.
    Diketahui, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) kembali disorot
    DPR
    setelah memutuskan untuk memisah pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah mulai 2029.
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Putusan ini disorot DPR karena MK terkesan melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi atau
    guardian of constitution
    .
    Pasalnya, pemisahan pemilu nasional dan daerah akan berdampak terhadap sejumlah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
    Pemilu
    , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    Namun sebelum putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK sudah beberapa kali melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk dan disahkan oleh DPR.
    Banyak dari produk politik DPR yang berkaitan dengan sistem kepemiluan di Indonesia “direvisi” oleh MK. Apa saja koreksi MK terhadap produk politik buatan DPR terkait kepemiluan? Berikut daftarnya
    Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam
    UU Pemilu
    .
    Pemohon gugatan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
    Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
    Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
    Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
    “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat itu.
    Diketahui, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi gerbang masuk Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo subianto pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
    MK kemudian mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold
    (PT) sebesar 4 persen yang dimuat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
    Perkara yang terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ketua Pengurus Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
    Dalam putusannya, MK menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu atau ambang batas parlemen 4 persen tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilihan anggota DPR pada 2024.
    Selanjutnya,, MK menyatakan aturan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilihan DPR pada 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan berpedoman pada beberapa syarat yang sudah ditentukan.
    Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas 4 persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
    “Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2023).
    Setelah itu, mengatur ulang besaran ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
    MK lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan inkonstitusional Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang mengatur hanya partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mencalonkan kepala daerah.
    Dengan adanya putusan itu, partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah bisa mengajukan calon kepala daerah tanpa harus mendapatkan kursi di DPRD.
    Kemudian, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
    Setelah mengubah parliamentary threshold sebesar 4 persen, MK juga menghapus ambang batas pencalonan presiden atau
    presidential threshold
    sebesar 20 persen.
    Penghapusan presidential threshold ini diputuskan dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
    Diketahui, UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
    MK menilai,
    presidential threshold
    sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta hak politik dan kedaulatan rakyat.
    “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
    Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang
    presidential threshold
    dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
    Terutama, partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
    MK berpandangan, penerapan angka ambang batas minimal persentase tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
    Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
    Terbaru, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.
    Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
    “Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK,” ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.
    Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.
    Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.
    MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi.
    “Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan MK berpotensi buat sistem ketatanegaraan porak-poranda

    Putusan MK berpotensi buat sistem ketatanegaraan porak-poranda

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    NasDem: Putusan MK berpotensi buat sistem ketatanegaraan porak-poranda
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 01 Juli 2025 – 21:55 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua Umum Partai NasDem sekaligus Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa mengemukakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal berpotensi membuat sistem ketatanegaraan menjadi porak-poranda karena bertentangan dengan konstitusi.

    “Itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda,” kata Saan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

    Untuk itu, Saan mengatakan Partai NasDem menghendaki agar MK konsisten dengan putusan-putusannya terdahulu terkait desain sistem pemilu di Indonesia sebab putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding).

    “Mereka kan sudah memutuskan tahun 2019 yang mengatur keserentakan pemilu, di mana presiden, wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, kabupaten dan kota dengan lima kotak. Itu kan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri,” ujarnya.

    “Bahkan ketika itu digugat lagi, Mahkamah Konstitusi juga tidak mengabulkan, malah memberikan opsi. Termasuk, di dalamnya opsi keserentakan pemilu yang dilakukan di 2019. Kami ingin konsistensi terkait dengan soal itu,” katanya menambahkan.

    Saan menegaskan kembali sikap DPP Partai NasDem terhadap putusan MK yang disampaikan ke publik pada Senin (30/6) malam, bahwa putusan MK apabila dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.

    Dia menjelaskan Pasal 22-E Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kemudian, dijelaskan pemilu diselenggarakan untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.

    Dengan demikian, ketika setelah lima tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.

    “Jadi, kalau misalnya MK mau memisahkan (pemilu nasional dan lokal) ya, dia harus mengubah Undang-Undang Dasar itu tadi. Nah, kalau dia tidak mendasar pada itu, apa yang dikatakan NasDem itu sesuatu yang inkonstitusional dan NasDem berkomitmen untuk menjaga Undang-Undang Dasar,” ucapnya.

    Sebelumnya, pada Kamis (26/6), Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Sumber : Antara

  • Sikap Demokrat Soal Putusan MK Pisah Jadwal Pemilu

    Sikap Demokrat Soal Putusan MK Pisah Jadwal Pemilu

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Demokrat, Dede Yusuf menyampaikan partainya sampai saat ini siap dengan segala opsi yang ada untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan jadwal pemilu.

    Meski begitu, Dede mengaku dirinya masih belum boleh membeberkan opsi-opsi apa saja yang dirinya maksud karena ini berkaitan dengan strategi partainya.

    “Kalau Partai Demokrat sampai saat ini, kita harus siap dengan segala opsi. Jadi jika opsi ini memang harus dijalankan, maka langkah yang harus dilakukan adalah plan 1, 2, 3-nya sudah ada,” bebernya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

    Namun demikian, lanjutnya, partainya juga masih membuka peluang opsi lainnya. Terlebih, saat ini Demokrat masih menunggu pertemuan antar partai di DPR, yang juga sudah dikonfirmasi oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani.

    “Jadi kita dalam posisi bukan soal menolak atau tidak menolak, tapi sekarang kita adalah, jika ini, maka kita dilakukan. Itu jika kita bicara Partai Demokrat,” tegasnya.

    Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan semua partai politik akan berkumpul untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal keserentakan pemilu.

    Puan menuturkan bahwa seluruh partai politik di DPR perlu mencermati putusan MK tersebut. Pasalnya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan pemilu itu digelar atau dilaksanakan dalam 5 tahun sekali.

    “Jadi kita semua partai akan berkumpul setelah kemarin mendengarkan masukan dari pemerintah dan wakil dari masyarakat, dan nanti DPR yang mewakili dari partai politik melalui fraksi-fraksinya tentu saja sikap dari partainya sendiri menjadi satu hal, menjadi suara dari kami partai politik,” katanya.

    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengubah skema waktu pelaksanaan Pemilu menjadi dua tahap: Pertama, Pemilu Serentak Nasional yaitu Presiden, DPR, dan DPD tetap dilaksanakan pada tahun 2029.  

    Kedua, Pemilu Daerah Pilkada dan Pemilihan Anggota DPRD digeser dua tahun kemudian pada tahun 2031, dan disatukan pelaksanaannya.