“Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya
Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
MENTERI
Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyentil pers yang “mingkem”, tidak berani melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritik itu disampaikan Purbaya dalam acara yang digelar Forum Pemimpin Redaksi di Jakarta, Minggu 16 November 2025.
Kritik Purbaya ini menarik dan mengandung separuh kebenaran. PK Ojong punya pandangan yang senada.
Pers
dibuat bukan untuk menjilat kekuasaan. Kritik pers memang dibutuhkan karena kekuasaan itu cenderung korup. Pada saat ini, kritik pers justru amat dibutuhkan ketika bangsa sedang mengalami krisis representasi.
DPR mengalami apa yang disebut Carl Schmitt sebagai telah kehilangan dasar moral dan spiritualnya. Itu ditulis Schmitt dalam buku
The Crisis of Parliamentary Democracy
, 1923. Selain pers yang “mingkem”, DPR, DPD, ormas pun sebenarnya “mingkem” melihat praktik politik penuh ketidakadilan. Dalam bahasa pemikir kebhinekaan, Sukidi, bangsa sedang dibangun dalam situasi republik ketakutan (
republic of fear
).
Gejala pers yang “mingkem” sudah ditengarai Daniel Dhakidae dalam disertasinya di Cornel tahun 1991. Dalam disertasi
The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry
, Daniel memprediksi sistem pers Orde Baru dengan kontrol kertas di tangan pemerintah akan menciptakan situasi menjadi akhir dari jurnalisme politik (
the end of political journalism
).
Kritik Purbaya disebut sebagai separuh kebenaran karena sebenarnya ada juga pers, katakan Tempo, yang berani mengkritik pemerintahan secara lugas dan tegas terhadap tata kelola pemerintahan. Namun kini, Tempo tengah menghadapi gugatan ganti rugi Rp 200 miliar oleh Menteri Pertanian. Bisa saja pandangan Purbaya adalah pandangan pribadi seorang menteri berbeda dengan menteri yang lain.
Dalam praktik selama ini, dalam lingkungan komunitas pers, tertangkap suasana kebatinan bahwa pemerintah lebih suka dengan berita-berita positif, terlebih pujian. Dalam beberapa kejadian selalu ada upaya tangan tak kelihatan untuk mengendalikan pers bebas yang memang sedang dalam tahapan
survival mode
. “Padahal, pujian adalah
silent killer
,” kata Sukidi, dalam sebuah pernyataan di Forum Warga Negara.
Ini berbeda misalnya dengan pandangan Ali Sadikin. Ali Sadikin dalam satu wawancara pernah mengatakan, “… wartawan itu karyawan pemerintah yang tidak dibayar negara. Tugasnya justru mengkritik kebijakan pemerintah….,” kata Ali Sadikin.
Tapi apakah pejabat kita seterbuka Ali Sadikin menerima kritik dari
media
sebagaimana disampaikan Purbaya.
Sejak lama, media disebut sebagai pilar keempat demokrasi—
the fourth estate
—setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media dimandatkan untuk mengawasi kekuasaan, menyediakan informasi publik, dan menjadi forum deliberasi bagi warga negara.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism menulis: “Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran, dan kesetiaan pertamanya adalah kepada warga.”
Namun kini, secara umum posisi media itu goyah. Bukan karena hilangnya idealisme, tetapi karena dua tekanan besar: krisis ekonomi di dalam industri media, dan dominasi algoritma di luar ruang redaksi. Media berdiri di persimpangan: antara bisnis dan etika, antara klik dan kebenaran.
Industri media kini menghadapi guncangan struktural yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pendapatan iklan berpindah ke platform digital seperti Google, Meta, dan TikTok. Ruang redaksi kehilangan kemandirian ekonomi, sementara pemilik modal semakin berkuasa menentukan arah pemberitaan. Robert McChesney menyebut fenomena ini sebagai
market censorship
— sensor pasar—di mana bukan negara yang menekan
kebebasan pers
, tetapi logika bisnis yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
Konsentrasi kepemilikan membuat media kerap kehilangan keberanian moral. Liputan investigative berkurang. Isu publik tergantikan oleh sensasi politik. Kecenderungan media menjadi pelapor fakta. Namun, tentunya masih ada media yang mencoba menjalankan jurnalisme advokatif.
Selain krisis ekonomi, kita juga menghadapi krisis suara. Manuel Castells, dalam
Communication Power
, mengatakan: “Kekuasaan di era informasi adalah kekuasaan untuk memprogram arus komunikasi.”
Buzzer politik, influencer, dan mesin algoritma kini bertindak sebagai “editor baru” ruang publik. Mereka menentukan apa yang trending, bukan apa yang penting. Mereka menyebarkan emosi, bukan pengetahuan. Kita hidup dalam demokrasi simulatif: terlihat ramai, tapi kehilangan kedalaman. Setiap warga seolah punya suara, tapi suara-suara itu dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlihat— oleh mesin, oleh modal, oleh kepentingan politik. Buzzer telah menjadi industri. Tapi apakah itu kebenaran? Belum tentu.
Saat Revisi UU KPK (2019) terjadi, bagaimana
cyber troops
dikerahkan untuk mendelegitimasi KPK dengan narasi “KPK sarang Taliban” dan narasi lain untuk menggolkan agenda politik revisi UU KPK dan kemudian berhasil. KPK berhasil dilumpuhkan melalui operasi kartel partai politik dalam lima hari.
Krisis media juga merupakan krisis relasi kekuasaan. Media tidak lagi di luar kekuasaan, tetapi menjadi bagian dari arena kekuasaan itu sendiri. Kita menyaksikan munculnya oligarki informasi— di mana konglomerasi media dan politik menyatu dalam kepentingan yang sama.
Hasilnya: ruang redaksi kehilangan otonomi, dan kebebasan pers berubah menjadi kebebasan bagi pemilik modal. McChesney pernah mengingatkan: “Kebebasan pers tanpa kebebasan ekonomi redaksi adalah kebebasan semu.”
Inilah paradoks media hari ini: secara hukum bebas, tetapi secara struktural terpenjara. Ketika kekuatan politik, kekuatan ormas, kekuatan media berada dalam satu tangan, bukankah itu merupakan tanda-tanda awal dari totalitarianisme?
Namun, krisis ini bukan akhir. Ia bisa menjadi awal kebangkitan baru bagi media— jika media berani kembali pada akarnya: etika, empati, dan keberpihakan serta dukungan publik.
Apakah publik mendukung jurnalisme yang sehat? Jurnalisme bukanlah propaganda. Jurnalisme yang membuka ruang perdebatan publik. Esensi jurnalisme adalah mengingatkan yang mapan (
polite watch dog
), menghibur yang papa. Namun itu juga sepenuhnya tergantung pengurus negara.
Ada empat langkah yang harus ditempuh.
Media harus kembali pada misi moralnya: berpihak pada publik, bukan kekuasaan. Mengutip Budayawan/Rohaniawan GP Sindhunata: bagaimana menjaga agar “danyang” jurnalisme tidak
oncat
atau mencelat dari ruang jurnalisme. “Danyang” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang cenderung ada unsur mistis dan magis. Tapi “danyang” bisa diartikan sebagai roh yang menggerakan jurnalisme, nilai yang diperjuangkan dalam jurnalisme. Apakah “danyang” jurnalisme masih ada? Ada untuk beberapa media.
Bill Kovach menulis, “Verifikasi lebih penting daripada viralitas.” Kecepatan bukan ukuran profesionalisme; integritaslah yang utama.
Kemandirian ekonomi adalah syarat mutlak bagi independensi redaksi. Model
membership journalism
atau
public funding
bisa menjadi jalan keluar. Kita bisa belajar dari The Guardian, ProPublica, atau di Indonesia— Tempo Investigasi, Project Multatuli. Itu sekadar contoh. Tapi intinya, perkembangan media membutuhkan dukungan publik dan pemerintah. Perjuangan Forum Pemred memperjuangkan
No Tax For Knowledge
perlu dipertimbangkan Purbaya. Industri media yang sejatinya adalah industri pengetahuan masih dibebani begitu banyak pajak-pajak yang memberatkan.
Kebenaran adalah hasil kerja kolektif. Ekosistem kolaboratif—antara redaksi, universitas, dan NGO— akan memperkuat
fact checking
dan literasi publik. Dukungan pelanggan amat sangat menentukan.
Negara harus hadir bukan untuk membungkam, tetapi melindungi jurnalisme dari tirani algoritma. Transparansi konten politik berbayar dan keadilan algoritmik adalah prasyarat demokrasi digital yang sehat.
Media boleh lemah secara industri, tetapi jika ia teguh pada moralitas kebenaran, ia tetap akan menjadi penjaga rasionalitas bangsa. Justice Hugo Black pernah berkata: “
Freedom of the press is not for the press itself, but for the people to know
.”
“Kebenaran adalah pekerjaan rumah harian demokrasi.”
Tugas media bukan hanya menyampaikan berita, tetapi menjaga nurani bangsa agar tetap waras dan mengerakkan semangat berbela rasa, mengingatkan yang mapan dan menghibur yang papa, di tengah kebisingan digital. Di era suara sintesis, media sejati bukan yang paling keras, tetapi yang paling jujur. Namun itu semua membutuhkan dukungan publik.
Kritik Purbaya harus diterima. Namun, Purbaya perlu mengambill langkah melonggarkan beban pajak yang melilit industri pers.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: DPD
-
/data/photo/2025/11/16/6919d393c0c70.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
HUT ke-11, PSI Tegaskan Selalu Pro Jokowi
HUT ke-11, PSI Tegaskan Selalu Pro Jokowi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menegaskan kembali komitmennya untuk tetap berada di garis politik mendukung Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Penegasan itu disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina PSI,
Grace Natalie
, dalam acara syukuran Hari Ulang Tahun ke-11 PSI di Kantor DPP PSI, Jakarta Pusat, Minggu (16/11/2025) malam.
“PSI selalu Pro Jokowi. PSI selalu komitmen penuh untuk mengawal Prabowo-Gibran sampai tuntas,” kata Grace dalam kata sambutannya, Minggu malam.
Dalam sambutannya, Grace mengatakan bahwa perjalanan PSI selama 11 tahun telah melalui sejumlah titik penting, termasuk penyelenggaraan pemilihan ketua umum pertama partai dengan mekanisme
one man, one vote
yang terbuka dan diaudit oleh pihak ketiga yang independen.
“Di usianya 11, PSI sudah berhasil menyelenggarakan pemilihan ketua umum pertama, saya pikir, di Republik ini, yang
one man, one vote
, terbuka sistemnya,” ujar Grace.
“Bahkan diaudit oleh pihak ketiga yang independen, yang saya pikir belum pernah ada di Republik ini,” lanjutnya.
Ia menegaskan, konsep “partai super terbuka” yang diusung PSI bukan hanya slogan, melainkan praktik yang ditunjukkan melalui proses internal yang benar-benar melibatkan anggota.
Grace juga menyampaikan keyakinannya bahwa PSI berada pada jalur yang tepat menuju status sebagai partai besar.
Ia mengaku merasakan perubahan besar dalam psikologi politik internal PSI, terutama menyangkut kepercayaan diri menghadapi pemilu.
“Kalau dulu, setiap mau pemilu, ya baru dua kali ya, dulu sebelumnya kita itu, kalau mau pemilu, deg-degan. Kalau ada yang tanya, berapa nih targetnya? Itu pertanyaan paling dilematis. Karena kalau mau dijawab, sekian gitu ya, apalagi kalau tanya tinggi-tinggi,” ujar dia.
“Kita sendiri pun kayak, agak-agak enggak percaya diri untuk menyebut angka. Tapi sekarang ini kita sudah tidak bicara lagi soal ikut pemilu untuk lolos
threshold
. Tapi saya pikir dalam situasi hari ini, juga berdasarkan survei yang terakhir, soal angkanya, biar Mas Ketum aja menyampaikan kalau dia berkenan, kita sudah sangat layak untuk percaya bahwa PSI akan segera menjadi partai besar,” sambungnya.
Grace menutup pidatonya dengan menyampaikan terima kasih khusus kepada Jokowi, yang menurutnya memberikan dukungan penuh pada PSI dalam konferensi partai Juli lalu.
“Pada konferensi PSI yang terakhir di bulan Juli, Pak Jokowi menyatakan dengan sangat gamblang bahwa beliau akan mendukung penuh PSI, beliau siap untuk bekerja keras untuk PSI baik di DPP, DPD, sampai ke desa-desa. Ini ucapannya Pak Jokowi sendiri,” ungkapnya.
Menurut dia, sejak pernyataan tersebut disampaikan, jumlah tokoh dan simpatisan yang tertarik bergabung dengan PSI meningkat signifikan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Daftar Polisi Aktif yang Punya Jabatan di Luar Struktur Polri
Bisnis.com, JAKARTA — Polisi aktif dinilai sudah tidak boleh menduduki jabatan sipil usai adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.114/PUU-XXIII/2025.
Dalam putusan MK itu, telah menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Pasal itu menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujar Hakim MK Ridwan Mansyur dalam sidang,
Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu, Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho memastikan pihaknya bakal menghormati putusan MK itu. Namun, untuk saat ini putusan itu masih dipelajari.
“Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan,” ujar Sandi saat ditemui di PTIK, Kamis (13/11/2025).
Lantas, siapa saja polisi aktif yang menjabat posisi di luar struktur? Berikut daftar yang telah dirangkum Bisnis:
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Suyudi Aryo Seto
Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho
Komisaris di PT Mineral Industri Indonesia atau MIND ID, Komjen Fadil Imran
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Komjen Albertus Rachmad Wibowo
Sekjen Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Komjen M. Iqbal
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Eddy Hartono
Irjen Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Komjen I Ketut Suardana
Sekretaris Utama Lemhanas RI, Komjen R. Z Panca Putra
Sekjen Kemenkumham, Komjen Pol Nico Afinta
Sekjen Kemendagri, Komjen Polisi Tomsi Tohir
Irjen Kementerian UMKM, Irjen Raden Argo Yuwono
Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan, Irjen Pol. Djoko Poerwanto
Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Brigjen Sony Sanjaya
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Imigrasi di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Brigjen Yuldi Yusman
Staf Ahli di Kementerian Kehutanan, Brigjen Rahmadi
Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Brigjen Edi Mardianto
Dirjen Pengawasan Ruang Digital di Komdigi, Brigjen Alexander Sabar,
Tenaga Ahli di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Brigjen Raden Slamet Santoso
Ketua Badan Tim Nasional (BTN) PSSI, Kombes Sumardji
Kementerian Haji dan Umrah, Kombes Jamaludin -
/data/photo/2025/09/05/68babeaac05ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…
Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun memantik kembali perdebatan soal batasan keterlibatan polisi di instansi non-kepolisian.
Menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (
Kompolnas
) Mohammad Choirul Anam atau Cak Anam menegaskan bahwa aturan tetap membuka ruang tertentu bagi anggota Polri aktif untuk mengisi jabatan sipil, dengan syarat yang ketat.
Undang-Undang Kepolisian memang membatasi penempatan
polisi
aktif pada jabatan sipil yang tidak memiliki relevansi dengan tugas pokok Polri.
“Menurut undang-undang kepolisian, itu memang dilarang kalau tidak berkaitan,” ujar Cak Anam kepada
Kompas.com
, Sabtu (15/11/2025).
Namun, ia menegaskan bahwa penempatan berbasis kebutuhan tetap dimungkinkan selama jabatan tersebut berkaitan erat dengan tugas penegakan hukum atau memerlukan keahlian kepolisisian.
“Kalau yang berkaitan memang boleh. Itu ada aturannya dalam undang-undang ASN yang diatur di PP. Jika berkaitan, memang dibolehkan,” kata Cak Anam.
Ia mencontohkan lembaga-lembaga yang dalam praktiknya membutuhkan personel Polri karena karakteristik pekerjaannya.
“Misalnya BNN, BNPT, KPK, atau lembaga lain yang memang erat kaitannya dengan kerja-kerja kepolisian. Khususnya penegakan hukum yang tidak bisa tergantikan,” ujarnya.
Cak Anam merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN sebagai dasar hukum yang memperbolehkan anggota Polri mengisi jabatan tertentu di instansi sipil.
Pasal 19 menyatakan:
1. Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.
2. Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri yang dilaksanakan pada instansi pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai TNI dan Undang-Undang mengenai Polri.
Sementara Pasal 20 mengatur sebaliknya:
Pegawai ASN dapat menduduki jabatan di lingkungan TNI dan Polri sesuai kompetensi yang dibutuhkan.
Hal ini yang menurut Cak Anam membuka ruang bagi anggota Polri untuk mengisi jabatan sipil, selama sifat jabatannya relevan dan dibutuhkan.
Pengamat kepolisian dan mantan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menilai polemik “polisi vs jabatan sipil” muncul karena adanya salah kaprah mengenai kedudukan polisi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Yang saya heran adalah dikotomi polisi dan jabatan sipil. Seolah polisi itu bukan sipil dan ‘memaksakan diri’ duduk di jabatan sipil,” kata Poengky kepada
Kompas.com
, Sabtu.
Ia menegaskan, sejak Reformasi 1998, Polri telah menjadi institusi sipil sepenuhnya.
Hal ini ditegaskan melalui TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Polisi itu sipil, bukan militer, bukan kombatan seperti tentara. Polisi juga tunduk pada peradilan umum. Jadi semakin jelas sipilnya,” tegas Poengky.
Putusan MK menjadi sorotan karena saat ini banyak perwira tinggi Polri aktif yang menduduki jabatan strategis di kementerian dan lembaga negara, termasuk yang tidak berkaitan langsung dengan penegakan hukum.
Mereka juga menjadi pihak yang namanya tercantum dalam permohonan uji materi yang dikabulkan MK.Berikut nama-nama polisi aktif yang menduduki jabatan sipil dan tertuang dalam berkas permohonan ke MK:
1. Komjen Pol Setyo Budiyanto – Ketua KPK
2. Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho – Sekjen Kementerian KKP
3. Komjen Pol Panca Putra Simanjuntak – Lemhannas
4. Komjen Pol Nico Afinta – Sekjen Kementerian Hukum
5. Komjen Pol Suyudi Ario Seto – Kepala BNN
6. Komjen Pol Albertus Rachmad Wibowo – Wakil Kepala BSSN
7. Komjen Pol Eddy Hartono – Kepala BNPT
8. Irjen Pol Mohammad Iqbal – Inspektur Jenderal DPD RI
Polisi aktif lain yang menduduki jabatan sipil:
1. Brigjen Sony Sanjaya – Wakil Kepala Badan Gizi Nasional
2. Brigjen Yuldi Yusman – Plt Dirjen Imigrasi, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
3. Kombes Jamaludin – Kementerian Haji dan Umrah
4. Brigjen Rahmadi – Staf Ahli Kementerian Kehutanan
5. Brigjen Edi Mardianto – Staf Ahli Mendagri
6. Irjen Prabowo Argo Yuwono – Irjen Kementerian UMKM
7. Komjen I Ketut Suardana – Irjen Kementerian Perlindungan Pekerja Migran
Sejumlah jabatan tersebut dinilai tidak seluruhnya memiliki keterkaitan langsung dengan penegakan hukum, sehingga keberadaannya dipertanyakan setelah putusan MK keluar.
Pada Kamis pekan lalu, MK mengabulkan seluruh permohonan uji materi perkara 114/PUU-XXIII/2025 terkait Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Putusan tersebut menegaskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun dari institusi.
“Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo, Kamis.
Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan sipil.
Sementara penambahan frasa dalam penjelasan pasal “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru mengaburkan norma tersebut.
Frasa itu memperluas makna aturan dan menyebabkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil maupun bagi ASN yang bersaing mengisi jabatan serupa.
Menurutnya, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” kata Ridwan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Taman di Jakarta Harus Bebas Dari Prostitusi!
Jakarta –
Dugaan adanya praktik prostitusi di area Taman Daan Mogot, mendapat sorotan tajam dari Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth. Kenneth menilai kasus tersebut merupakan bukti nyata lemahnya pengawasan ruang publik oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khususnya Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) Jakarta, dan aparat terkait.
“Dugaan adanya praktik prostitusi, apa pun bentuknya di ruang publik seperti Taman Daan Mogot adalah tamparan keras bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan seluruh aparat yang bertanggung jawab atas keamanan kota ini,” ujar Hardiyanto Kenneth dalam keterangannya, Sabtu (15/11/2025).
Menurut anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta itu, taman kota seharusnya menjadi ruang aman bagi keluarga, anak-anak, serta warga yang beraktivitas. Namun pemberitaan mengenai adanya praktik kegiatan yang melanggar hukum di kawasan tersebut menunjukkan adanya kelalaian yang serius.
“Taman yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berolahraga dan beristirahat, justru diberitakan dimanfaatkan untuk aktivitas yang melanggar norma dan hukum. Ini tidak boleh dibiarkan,” tegasnya.
Bang Kent, sapaan akrab Hardiyanto Kenneth, menekankan bahwa isu ini bukan perkara orientasi seksual atau identitas kelompok tertentu, melainkan persoalan ketertiban umum dan penegakan hukum yang melemah.
Kent pun mendesak Pemprov DKI, Satpol PP, dan Kepolisian untuk segera melakukan langkah penertiban sekaligus penyelidikan secara menyeluruh. Ia menolak tindakan parsial atau razia sesaat yang tidak menyelesaikan akar masalah.
“Tidak cukup hanya razia simbolik. Kita butuh tindakan konsisten, terukur, dan berbasis data,” ujarnya.
“Saya tidak mau mendengar alasan klasik seperti kekurangan personel, pencahayaan kurang, atau patroli terbatas. Anggaran keamanan dan pengelolaan ruang publik Jakarta tidak kecil. Jika pengawasan taman saja tidak mampu dijalankan, bagaimana warga bisa yakin pemerintah mampu menjaga kota dengan 11 juta penduduk?” kata Kepala BAGUNA DPD PDI Perjuangan Jakarta itu.
Selain menyoroti penanganan saat ini, Kent juga menekankan pentingnya pengawasan berkelanjutan agar kejadian serupa tidak kembali terulang. Ia menilai Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) Jakarta perlu mengubah pola pengawasan dari yang bersifat reaktif menjadi preventif.
“Kita tidak hanya bicara penertiban sesaat. Pengawasan ruang publik harus dilakukan secara konsisten, terstruktur, dan berkelanjutan. Jangan tunggu viral dulu baru bergerak,” ujar Kent.
Menurutnya, salah satu penyebab suburnya aktivitas ilegal di taman adalah kondisi area yang remang-remang dan minim penerangan.
“Taman yang remang-remang itu harus segera dipasangi penerangan tambahan. Jangan ada lagi sudut gelap di ruang publik Jakarta. Penerangan itu bukan sekadar fasilitas, tetapi instrumen keamanan,” tegasnya.
Kent mendesak Pemprov DKI melakukan audit menyeluruh terhadap kondisi penerangan di taman-taman kota, terutama yang berada di kawasan rawan.
“Kalau lampu taman banyak yang mati atau pencahayaan tidak memadai, itu tanggung jawab pemerintah. Segera evaluasi, perbaiki, dan pastikan taman-taman kita terang dan aman. Dengan begitu, potensi pelanggaran hukum bisa ditekan sejak awal,” ujarnya.
Ia juga meminta agar sistem pengawasan ditingkatkan, mulai dari patroli rutin, pemasangan CCTV, hingga koordinasi teknis antara dinas terkait, Satpol PP, dan aparat kepolisian.
“Intinya jelas, jangan hanya menindak, tetapi harus mencegah. Jangan hanya reaktif, tetapi antisipatif. Warga harus merasa aman ketika menggunakan fasilitas publik yang dibiayai dari uang rakyat,” tuturnya.
Menurutnya, publik bukan tempat transaksi gelap. Taman bukan tempat kegiatan ilegal. Warga Jakarta berhak atas ruang yang aman, bersih, dan bermartabat-bukan ruang yang setiap tahun menghadirkan persoalan yang sama tetapi tidak pernah ada penyelesaiannya.
“Ini bukan kejadian baru, bukan kejadian langka, ini kejadian yang terus berulang, dan faktanya hingga hari ini pemerintah belum mampu menghadirkan solusi yang nyata,” bebernya.
Kent pun melihat pola penanganan pemerintah hanya bersifat reaktif dan seremonial. Razia dilakukan, tapi masalah kembali muncul. Pengawasan lemah. Koordinasi minim. Tindakan tidak konsisten.
“Selama pola ini tidak berubah, kejadian seperti ini akan terus berulang tanpa akhir. Tingkatkan patroli rutin, perbaiki penerangan, pasang CCTV, dan tindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi. Tidak boleh ada toleransi terhadap aktivitas ilegal apa pun di ruang publik. Jakarta tidak boleh dibiarkan dikelola dengan pola yang gagal berulang kali,” pungkasnya.
Perlu diketahui sebelumnya, aktivitas prostitusi pria sesama jenis dilaporkan kian merebak di area pertamanan Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat (Jakbar). Warga resah atas aktivitas tersebut.
Seorang pedagang kaki lima (PKL), Acong, mengatakan aktivitas prostitusi itu kerap terjadi menjelang tengah malam.
“Iya (prostitusi sesama jenis pria), orang-orang pada berhenti aja. Pada berhenti di situ motornya. (Aktivitas prostitusi dilakukan) di area yang gelap di sana. Itu benar (ada prostitusi sesama jenis pria),” kata Acong.
Para pelaku prostitusi itu mulai berdatangan pukul 22.00 WIB. Aktivitas tersebut disebut terjadi hampir setiap malam. Prostitusi di ruang publik itu bahkan diklaim telah berlangsung lama. Namun sampai saat ini belum ada penertiban dari pihak berwajib.
Acong meyakini pria-pria yang datang ke area taman dan terlibat aktivitas prostitusi tersebut bukan warga setempat. Selain membawa motor, ada juga pelaku yang datang menggunakan mobil ke lokasi tersebut.
(mpr/ega)
-

Golkar DKI bagikan sembako atas pemberian gelar pahlawan Soeharto
Jakarta (ANTARA) – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar DKI Jakarta membagikan 6.100 paket sembako murah kepada masyarakat di sepuluh titik daerah pemilihan (dapil) se-Jakarta, Sabtu.
Kegiatan sosial itu diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-61 Partai Golkar dan sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Ahmed Zaki Iskandar menjelaskan kegiatan itu menjadi momen rasa syukur partainya atas penetapan Gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto.
Menurut dia, penetapan gelar tersebut memiliki makna penting bagi kader Golkar mengingat sejarah pembentukan partai tidak terlepas dari peran Soeharto.
“Terlepas dari kekurangan sebagai manusia, dari seluruh aspek, Soeharto memang layak diberikan gelar Pahlawan Nasional. Mari kita sama-sama bukan saja melihat kekurangannya, tapi bagaimana manfaat Pak Harto kepada Negara Republik Indonesia,” ujar Zaki dalam keterangannya di Jakarta.
Tak hanya itu, sambung dia, kegiatan tersebut juga merupakan implementasi dari instruksi Ketua Umum DPP Golkar Bahlil Lahadalia yang mengamanatkan agar kader partai selalu berada di tengah-tengah masyarakat.
“Kader Golkar diminta untuk selalu membantu perekonomian melalui kegiatan-kegiatan sosial maupun juga kegiatan keagamaan,” tutur Zaki.
Lebih lanjut, mantan Bupati Tangerang dua periode itu menegaskan pembagian sembako tersebut upaya aktivasi seluruh kader Golkar di Jakarta untuk bergerak dan dirasakan keberadaannya oleh masyarakat.
“Kami berharap dalam setiap event, masyarakat selalu merasakan kegiatan-kegiatan dan manfaat dari Partai Golkar yang berada di tengah-tengah masyarakat,” harap Zaki.
Sementara itu, Sekretaris Partai Golkar Jakarta Basri Baco menambahkan pembagian sembako itu merupakan bentuk nyata kepedulian Partai Golkar terhadap warga yang membutuhkan.
Dia menilai sejak awal, Golkar menempatkan rakyat sebagai pusat dari seluruh gerak perjuangannya.
“Partai Golkar adalah partai rakyat,” tegas Basri.
Kebijakan dan langkah Golkar, kata dia, selalu diarahkan untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat dari berbagai lapisan. Untuk itu, dia mengajak seluruh kader agar terus terlibat aktif dalam aksi nyata yang membantu meringankan beban warga.
“Prioritas Golkar adalah kesejahteraan rakyat, dan itu harus diwujudkan dalam tindakan,” pungkas Wakil Ketua DPRD Jakarta itu.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Rr. Cornea Khairany
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Ketua DPD dan pakar global bahas transportasi perkotaan di forum UNEP Brasil
Jakarta (ANTARA) – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Baktiar Najamudin bersama sejumlah pakar global membahas transportasi perkotaan dalam forum United Nations Environment Programme (UNEP) di Belem, Brasil pada Rabu (12/11).
Hadir juga pembicara lainnya dalam diskusi panel tersebut, antara lain: Hala Omar, Manajer Keberlanjutan di Dar, Gabriel Feriancic, Manajer Negara (Country Manager) TYLin untuk Brasil, Marcel Martin, Manajer Umum ICCT untuk Brasil, Ricardo Assumpção, Kepala Keberlanjutan (Chief Sustainability Officer) dan Pimpinan Bidang Keberlanjutan untuk Amerika Latin, Gabriela Elizondo Azuela, Manajer Praktik di ESMAP, Bank Dunia, Luciane Ferreira Monteiro Machado, Wakil Direktur Pelaksana Bidang Persiapan Proyek serta Luke Upchurch, Direktur Pelaksana Komunikasi di C40 Cities.
Dalam forum itu Sultan menyebutkan ketidakseimbangan komposisi kendaraan serta minimnya transportasi publik telah menyebabkan pemborosan bahan bakar 79,2 juta kiloliter per tahun dan memicu polusi udara 30,49 juta ton serta emisi gas rumah kaca 295,12 juta ton CO₂e setiap tahun.
“Kondisi itu menjadi lonceng bahaya bagi kota-kota besar,” ujar Sultan, seperti dikutip dari keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Dia menyoroti kualitas udara Jakarta yang hampir seluruh parameter pencemarnya telah melampaui standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan standar nasional.
Akibat polusi tersebut, warga Jakarta harus menanggung biaya kesehatan hingga Rp51,2 triliun per tahun, terutama untuk penyakit pernapasan seperti asma dan ISPA.
Menurut Sultan, emisi sektor transportasi tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga memperburuk intensitas bencana global akibat fenomena El Niño dan La Niña, seperti banjir, longsor, badai, serta meningkatnya suhu ekstrem yang memicu urban heat island atau pulau panas perkotaan.
Meski upaya pengendalian emisi telah berjalan sejak Protokol Kyoto hingga agenda pembangunan berkelanjutan, dirinya menilai tantangan urbanisasi, pertumbuhan penduduk, dan industrialisasi membuat kebijakan reduksi karbon di kawasan perkotaan menjadi semakin mendesak.
Ia juga menyoroti kebijakan mobilitas DKI Jakarta melalui strategi Avoid–Shift–Improve, termasuk pembatasan kendaraan pribadi, peralihan ke kendaraan listrik dan transportasi umum, serta penerapan kebijakan baru seperti tarif parkir progresif, jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing, dan pajak berbasis emisi.
“Kebijakan itu telah memberi efek berantai dan mulai direplikasi kota-kota lain di Indonesia hingga Asia Pasifik,” tuturnya.
Integrasi Bus Raya Terpadu (BRT), Lintas Rel Terpadu (LRT), Moda Raya Terpadu (MRT), elektrifikasi bus pengumpan, serta layanan first-last mile dinilai menjadi landasan sistem mobilitas rendah karbon.
Di sisi lain, dia menekankan pembangunan fisik harus dibarengi perubahan gaya hidup masyarakat. Digitalisasi transportasi, termasuk ride-sharing (berbagi tumpangan) dan ride-hailing (jasa transportasi daring), disebut menjadi pendorong efisiensi dan inklusivitas mobilitas perkotaan.
Dikatakan bahwa Indonesia telah memulai langkah konkret menuju pembangunan kota yang tangguh dan berkelanjutan. Transformasi tersebut tidak hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan perilaku menuju gerakan karbon nol bersih atau net-zero carbon.
Sultan menutup pidatonya dengan menyerukan kolaborasi lintas negara dan lintas sektor.
“Mari kita terus bergerak bersama membangun kota yang lebih tangguh bagi generasi mendatang,” ucap Sultan.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

RI Nggak Cuma Ngomong Iklim, Eksekutif-Legislatif Bergerak
Belem –
Indonesia dalam mengatasi krisis iklim tidak hanya sekadar bicara. DPR dan pemerintah bersama-sama bergerak tangani perubahan iklim.
“Jadi kita tidak hanya ngomong, Indonesia tidak hanya ngomong, eksekutifnya bergerak, legislatifnya juga bergerak,” kata Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin, usai mengisi sesi di Paviliun Indonesia di COP30 Brasil, Jumat (14/11).
Baktiar mengatakan, hingga COP30 ini, nyatanya emisi semakin tinggi. Ia sebut, negara lain banyak yang belum bergerak.
“Nah, negara lain banyak kadang-kadang ngomong tentang isu perubahan iklim ini itu, ini itu, sementara, ini COP ke-30 yang kita harus kritik juga bahwa ternyata, ternyata emisi makin tinggi kok ya, emisi makin tinggi, belum terkontrol, tapi bukan kita,” lanjut Baktiar.
“Kalau kita we are on the track, saya pastikan bahwa negara kita oke. Tapi negara lain, jangan hanya memanfaatkan isu ini aja dong, bergerak juga,” tambahnya.
Menurutnya, RUU itu sangat berhubungan dengan penduduk lokal yang paling depan merasakan dampak perubahan iklim.
“Makanya mereka harus diprotek juga dari sisi regulasi, dari sisi negara, bahkan dari sisi benefit ekonomi, itu juga nanti bisa dimaksimalkan peran indigenous people,” jelas Baktiar.
(isa/isa)
-

4 Demo Kepung Jakarta Hari Ini, Dimana Saja?
Jakarta: Sejumlah aksi unjuk rasa berlangsung di beberapa lokasi strategis di Jakarta hari ini.
Kepolisian pun menyiapkan pengamanan ketat dengan mengerahkan lebih dari seribu personel untuk memastikan situasi tetap kondusif.
Empat titik demo
Menurut, Molecool, layanan real time live CCTV dalam cuitan diakun resminya pada Jumat, 14 November 2025 menyebutkan setidaknya ada empat titik aksi demo di Jakarta hari ini.Pertama, di Kawasan Gambir tepatnya di Silang Selatan Monas terdapat aksi dari Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI).
Kedua, di Jalan Medan Merdeka Barat, sekitar Gedung MK. Aliansi Pemuda Mahasiswa Pemerhati Bangsa menuntut sejumlah isu kebangsaan.
Ketiga, di Kantor PSSI. Aksi tersebut dilakukan oleh massa Ultras Garuda Indonesia. Sedangkan titik keempat adalah Kantor Komnas HAM. Aksi yang digelar leh DPD Front Persaudaraan Islam menyuarakan isu hak asasi manusia.
Keempat titik tersebut diketahui rawan memicu kepadatan lalu lintas sehingga masyarakat diimbau mengatur perjalanan.
Bagi sobat Medcom.id yang ingin melakukan perjalanan sebaiknya menghindari jalan-jalan yang menjadi titik aksi massa.
Jakarta: Sejumlah aksi unjuk rasa berlangsung di beberapa lokasi strategis di Jakarta hari ini.
Kepolisian pun menyiapkan pengamanan ketat dengan mengerahkan lebih dari seribu personel untuk memastikan situasi tetap kondusif.
Empat titik demo
Menurut, Molecool, layanan real time live CCTV dalam cuitan diakun resminya pada Jumat, 14 November 2025 menyebutkan setidaknya ada empat titik aksi demo di Jakarta hari ini.
Pertama, di Kawasan Gambir tepatnya di Silang Selatan Monas terdapat aksi dari Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI).
Kedua, di Jalan Medan Merdeka Barat, sekitar Gedung MK. Aliansi Pemuda Mahasiswa Pemerhati Bangsa menuntut sejumlah isu kebangsaan.
Ketiga, di Kantor PSSI. Aksi tersebut dilakukan oleh massa Ultras Garuda Indonesia. Sedangkan titik keempat adalah Kantor Komnas HAM. Aksi yang digelar leh DPD Front Persaudaraan Islam menyuarakan isu hak asasi manusia.Keempat titik tersebut diketahui rawan memicu kepadatan lalu lintas sehingga masyarakat diimbau mengatur perjalanan.
Bagi sobat Medcom.id yang ingin melakukan perjalanan sebaiknya menghindari jalan-jalan yang menjadi titik aksi massa.
Cek Berita dan Artikel yang lain diGoogle News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(ANN)
/data/photo/2020/05/27/5ece622536c64.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
