Kementrian Lembaga: DPD

  • Tak Ada Lagi Pemilu Serentak, Demokrat: Ini Akhir dari Kekacauan Pemilu!

    Tak Ada Lagi Pemilu Serentak, Demokrat: Ini Akhir dari Kekacauan Pemilu!

    Mulai tahun 2029, pelaksanaan pemilu nasional akan dipisahkan dari pemilu lokal.

    Artinya, pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden (Pemilu Nasional) tidak lagi dilakukan bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah (Pemilu Lokal).

    Putusan ini menghapus skema Pemilu Serentak 5 kotak suara yang selama ini diterapkan.

    Pemisahan waktu penyelenggaraan tersebut, menurut MK, ditujukan untuk menciptakan proses pemilu yang lebih sederhana, mudah dipahami pemilih, dan menghasilkan demokrasi yang berkualitas.

    Keputusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

    Sidang pengucapan putusan digelar pada Kamis, (26/6/2025), di ruang pleno Mahkamah Konstitusi.

    MK juga mengkritisi belum adanya perubahan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, meskipun sejak tahun 2020 Mahkamah telah menyampaikan arah reformasi lewat Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.

    Mahkamah menilai saat ini pembentuk undang-undang tengah mempersiapkan revisi secara menyeluruh terhadap peraturan terkait pemilu.

    Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, menegaskan bahwa model penyelenggaraan pemilu yang sudah berlangsung selama ini tetap sah secara konstitusi.

    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” kata Saldi.

  • Anggota DPR: Putusan MK pisahkan pemilu nasional dan lokal paradoks

    Anggota DPR: Putusan MK pisahkan pemilu nasional dan lokal paradoks

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilu lokal dan pemilu nasional dengan jeda waktu 2,5 tahun, bersifat paradoks.

    Dia mengatakan bahwa sebelumnya MK telah memberi enam opsi model keserentakan pemilu, tetapi putusan yang terbaru justru membatasi pada satu model keserentakan. MK, kata dia, seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu.

    “UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” kata Khozin di Jakarta, Jumat.

    Apalagi dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019, menurut dia, secara tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.

    “Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” katanya.

    Dia pun menyayangkan putusan MK yang bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Menurut dia, dampak putusan ini akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu.

    “Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” katanya.

    Namun demikian, dia memastikan bahwa DPR tentu akan menjadikan putusan terbaru MK menjadi bahan penting dalam perumusan perubahan UU Pemilu yang memang diagendakan segera dibahas di DPR. Dia menuturkan, DPR akan melakukan rekayasa konstitusional dalam desain kepemiluan di Indonesia.

    “Dalam putusan MK sebelumnya meminta badan pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional melalui perubahan UU pemilu ini,” kata dia.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • IHSG ditutup menguat seiring optimisme pemangkasan bunga Fed di 2025

    IHSG ditutup menguat seiring optimisme pemangkasan bunga Fed di 2025

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    IHSG ditutup menguat seiring optimisme pemangkasan bunga Fed di 2025
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 26 Juni 2025 – 18:58 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup menguat seiring optimisme pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed pada tahun ini.

    IHSG ditutup menguat 65,26 poin atau 0,96 persen ke posisi 6.897,40. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 10,32 poin atau 1,36 persen ke posisi 770,58.

    “Pasar keuangan memperkirakan peluang penurunan suku bunga pada pertemuan kebijakan Federal Reserve bulan Juli 2025 sebesar 25 persen, dan melihat 67 persen probabilitas pemangkasan suku bunga pertama tahun ini terjadi di bulan September 2025,” sebut Tim Riset Phillips Sekuritas Indonesia dalam kajiannya di Jakarta, Kamis.

    Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed Jerome Powell memberikan keterangan di hadapan Komite Perbankan (Banking Committee) Senate (DPD) pada hari kedua rapat degan pendapatnya di Kongres (MPR) AS.

    Jerome Powell menegaskan kembali bahwa The Fed berada dalam posisi yang baik, untuk menunggu pemangkasan suku bunga acuan hingga dampak inflasi dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump semakin jelas.

    Dengan kata lain, The Fed masih mempelajari dampak dari kebijakan tarif perdagangan Presiden Trump terhadap kebijakan moneter sebelum memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan.

    Dibuka menguat, IHSG bergerak ke teritori negatif sampai penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua, IHSG masih betah di zona merah hingga penutupan perdagangan saham.

    Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, tujuh sektor menguat yaitu dipimpin sektor barang baku yang naik sebesar 0,89 persen, diikuti oleh sektor keuangan dan sektor infrastruktur yang naik masing- masing sebesar 0,82 persen dan 0,61 persen.

    Sedangkan, empat sektor melemah yaitu sektor transportasi & logistik yang turun paling dalam sebesar 1,49 persen, diikuti oleh sektor teknologi dan sektor industri yang masing- masing turun sebesar 0,30 persen dan 0,04 persen.

    Adapun saham-saham yang mengalami penguatan terbesar yaitu SAFE, INPS, JAST, DATA dan BALI Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni RGAS, BUVA, APEX, ASPI dan NZIA.

    Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.012.938 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 21,11 miliar lembar saham senilai Rp14,81 triliun. Sebanyak 357 saham naik 246 saham menurun, dan 200 tidak bergerak nilainya.

    Bursa saham regional Asia sore ini antara lain Indeks Nikkei menguat 645,93 poin atau 0,31 persen ke 39.588,00, indeks Shanghai melemah 7,52 poin atau 0,22 persen ke 3.448,19, indeks Hang Seng melemah 149,27 poin atau 0,61 persen ke posisi 24.325,31, dan indeks Straits Times menguat 8,92 poin atau 0,24 persen ke 3.935,09.

    Sumber : Antara

  • MK Putuskan Pilkada Digelar Paling Singkat 2 Tahun Usai Pemilu

    MK Putuskan Pilkada Digelar Paling Singkat 2 Tahun Usai Pemilu

    JAKARTA – Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilihan umum (pemilu) lokal atau pilkada diselenggarakan paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan setelah pemilu nasional rampung.

    Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan rampungnya pemilu nasional dapat dihitung dari waktu pelantikan masing-masing jabatan politik yang dipilih dalam pemilu nasional tersebut.

    Adapun pemilu nasional ialah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden, sementara pemilu lokal atau daerah terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.

    Saldi mengatakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu dipertimbangkan dari pengalaman jadwal pemilu anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota tahun 2024 yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah.

    Menurut MK, agenda pemilu nasional dan lokal pada tahun yang sama menyebabkan berbagai permasalahan, termasuk di antaranya pelemahan terhadap pelembagaan partai politik karena kurangnya waktu bagi parpol menyiapkan kader untuk berlaga dalam setiap jenjang pemilu.

    Selain itu, MK juga menilai penyelenggaraan pemilu lokal dan nasional dalam waktu yang berdekatan menyebabkan pemilih jenuh. Fokus pemilih bahkan terpecah di tempat pemungutan suara karena banyaknya surat suara yang harus dicoblos.

    Karena itu, imbuh Saldi, penentuan jarak penyelenggaraan pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan kepala daerah harus didasarkan pada berakhirnya tahapan pemilu DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

    Adapun penghitungan waktu tersebut dimulai sejak waktu pelantikan anggota DPR dan DPD atau pelantikan presiden/wakil presiden. Hal ini karena, menurut MK, pelantikan ketiga jenis jabatan politik itu dapat diposisikan sebagai akhir dari tahapan pemilu.

    “Dengan dasar pertimbangan hukum tersebut, maka pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota,” kata Saldi.

    MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam amar putusannya, MK memutuskan penyelenggaraan pemilu lokal/daerah dipisahkan dari pemilu nasional.

  • Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Juni 2025

    Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu Nasional 26 Juni 2025

    Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau
    Perludem
    menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan gugatannya untuk sebagian, yakni memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal untuk 2029.
    “Perludem mengapresiasi serta menghormati putusan
    MK
    ini dan mendorong agar pembahasan UU Pemilu dn Pilkada segera dilakukan,” tulis pihak Perludem dalam siaran persnya, Kamis (26/6/2026).
    Putusan MK yang terbaru, yang mengakhiri
    pemilu serentak
    , adalah Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    “Segera revisi UU Pemilu dan Pilkada,” jelas pihak Perludem.
    Revisi nantinya harus memperhatikan putusan MK tersebut.
    Nantinya, Pemilu 2029 tidak akan sama serentak seperti Pemilu 2024 atau Pemilu 2019.
    Pemilu selanjutnya bakal terpisah dua, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.
    Pemilu serentak
    nasional terdiri atas pilpres, pileg DPR, dan pileg DPD.
    Pemilu serentak lokal terdiri atas pileg DPRD provinsi dan kabupaten/kota, pilgub, dan pilbup.
    “Dengan jeda waktu minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun (antara nasional ke lokal),” ujar pihak Perludem.
    Maka, UU Pemilu dan UU Pilkada perlu direvisi dalam satu paket pembahasan menggunakan metode kodifikasi agar tidak tumpang tindih regulasi.
    “Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, namun hingga saat ini belum juga dimulai pembahasannya,” ujar Perludem.
    Maka, inilah momentum revisi dua UU itu demi perbaikan pemilu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Begini Ketentuannya

    MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Begini Ketentuannya

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan daerah dipisahkan. Itu sesuai Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

    Di putusan tersebut menyebutkan, Pemilu bisa dihelat dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan, dikutip Antara, Kamis (26/6/2025).

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

    Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

    “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

  • 1
                    
                        Ketua Komisi II Sebut Masa Jabatan DPRD Harus Diperpanjang Imbas Putusan MK
                        Nasional

    1 Ketua Komisi II Sebut Masa Jabatan DPRD Harus Diperpanjang Imbas Putusan MK Nasional

    Ketua Komisi II Sebut Masa Jabatan DPRD Harus Diperpanjang Imbas Putusan MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Komisi II DPR 
    Rifqinizamy Karsayuda
    menyatakan, putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah bakal mengharuskan
    masa jabatan DPRD
    2024-2029 diperpanjang.
    Alasannya,
    putusan MK
    tersebut berpotensi mengakibatkan kekosongan jabatan pada 2029 mendatang karena tidak ada ketentuan yang memungkinkan dilakukannya penunjukan penjabat (Pj) untuk DPRD, tak seperti kepala daerah.
    “Kalau bagi pejabat gubernur, bupati, wali kota kita bisa tujuk penjabat seperti yang kemarin. Tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan,” ujar Rifqinizamy, Kamis (26/6/2025).
    Ia mencontohkan, jika pemilu nasional langsung digelar pada 2029, pemilu daerah baru akan digelar beberapa tahun setelahnya sebagaimana putusan MK.
    Oleh karena itu, Komisi II perlu mengkaji dan menyusun aturan untuk melaksanakan pemilu nasional dan daerah secara daerah, terutama pada masa transisi.
    “Salah satu misalnya, pertanyaan teknisnya adalah bagaimana kita bisa melaksanakan pemilu lokal setelah terlaksananya pemilu nasional tahun 2029, misalnya,” kata Rifqinizamy.
    “Secara asumtif pemilunya baru bisa dilaksanakan pada tahun 2031. Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD, provinsi, kabupaten, kota termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota itu kan harus ada norma transisi,” ujar dia.
    Dalam kesempatan itu, Rifqinizamy menegaskan bahwa putusan MK tersebut juga akan menjadi bahan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.
    “Hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi undang-undang pemilu yang akan datang,” kata politikus Partai Nasdem itu.
    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Hal tersebut tertuang dalam
    Putusan MK
    Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
    Di samping itu, MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra, Kamis.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemilu Nasional dan Daerah Digelar Terpisah Mulai 2029, Ini Pertimbangan MK

    Pemilu Nasional dan Daerah Digelar Terpisah Mulai 2029, Ini Pertimbangan MK

    PIKIRAN RAKYAT – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mulai 2029, pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional seperti pemilihan anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden diselenggarakan secara terpisah dengan Pemilu tingkat daerah atau kota (Pemilu lokal). Keputusan ini mengubah sistem keserentakan Pemilu yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu lima kotak”.

    Yang dimaksud Pemilu lokal adalah pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Putusan tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Putusan ini diucapkan dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis, 26 Juni 2025.

    “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Kamis, 26 Juni 2025.

    Pertimbangan Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

    Dalam pertimbangannya, MK menyatakan waktu penyelenggaraan pemilihan umum presiden/wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat/pemilih menilai kinerja pemerintahan hasil pemilihan umum presiden/wakil presiden dan anggota legislatif. Selain itu, isu pembangunan daerah juga cenderung “tenggelam” oleh hiruk-pikuk isu nasional. 

    “Padahal, menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden,” ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra. 

    MK juga menyoroti beban berat partai politik dalam menyiapkan calon untuk berbagai level pemilihan dalam waktu hampir bersamaan. Menurut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, tahapan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada kemampuan partai politik mempersiapkan kader untuk berkontestasi.

    Akibatnya, lanjut Arief Hidayat, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.

    Partai politik juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden.

    Dengan demikian, agenda yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu parpol menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.

    “Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis,” tutur Arief. 

    “Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” ucapnya menambahkan.

    Penurunan Kualitas Penyelenggaraan

    Tumpukan tahapan pemilu berdampak langsung pada kualitas kerja penyelenggara pemilu. Selain ancaman terhadap kualitas, tumpukan beban kerja penyelenggara yang terpusat pada rentang waktu tertentu karena impitan penyelenggaraan Pemilu dalam tahun yang sama menyebabkan kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara Pemilu.

    “Masa jabatan penyelenggara pemilihan umum menjadi tidak efisien dan tidak efektif karena hanya melaksanakan ‘tugas inti’ penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekitar 2 (dua) tahun,” kata Arief. 

    Dari sisi pemilih, Mahkamah mempertimbangkan bahwa waktu penyelenggaraan Pemilu nasional yang berdekatan dengan waktu pemilihan kepala daerah, juga berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda Pemilu.

    Bahkan, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang menggunakan model lima kotak.

    “Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.

    Menurut MK, pemungutan suara Pemilu daerah dilakukan paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pelantikan Presiden/Wakil Presiden atau anggota DPR dan DPD hasil Pemilu nasional.***

  • 2
                    
                        MK Putuskan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada
                        Nasional

    2 MK Putuskan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada Nasional

    MK Putuskan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan, pemilihan anggota
    DPRD
    tingkat provinsi dan kabupaten kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (
    Pilkada
    ).
    Hal tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
    Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (
    UU Pemilu
    ) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Lanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Di samping itu, Saldi menjelaskan, MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan
    pilkada
    dan
    pileg DPRD
    dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    MK dalam pertimbangannya juga menjelaskan, persoalan daerah cenderung tenggelam jika
    pemilihan DPRD
    provinsi dan kabupaten/kota digabung dengan pemilihan nasional yang memilih presiden-wakil presiden dan DPR.
    Hal ini disebabkan oleh partai politik, kontestasn, hingga pemilih yang lebih fokus terhadap pemilihan presiden dan anggota DPR.
    “Masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden,” ujar Saldi.
    Sedangkan dari sisi pemilih, MK menilai waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah yang berdekatan berpotensi membuat masyarakat jenuh. dan tidak fokus.
    Hal ini disebabkan oleh pemilih yang harus mencoblos lima jenis kertas suara dalam satu waktu, mulai dari presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
    “Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.
    Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.
    “Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden’,” tandas Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
    Sebagai informasi, pemohon dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah Perludem yang mengujikan Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, dan Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Profil 3 Pendaftar Calon Ketua Umum PSI – Page 3

    Profil 3 Pendaftar Calon Ketua Umum PSI – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah menutup pendaftaran sebagai calon ketua umum partai. Pendaftaran ini berakhir pada Senin, 23 Juni 2025.

    Saat ini, sudah ada tiga nama yang mendaftar sebagai calon ketua umum PSI yakni, Kaesang Pangarep, Ronald A Sinaga, serta eks Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Agus Mulyono Herlambang.

    Steering Committee Pemilihan Raya PSI telah mengumumkan nomor urut masing-masing kandidat.

    Nomor urut 1 Ronald Aristone Sinaga didukung oleh 6 DPW dan 36 DPD. Nomor 2 Kaesang Pangarep didukung 10 DPW dan 78 DPD. Nomor urut 3 Agus Mulyono Herlambang, didukung 6 DPW dan 24 DPD.

    Melihat tiga kandidat tersebut, Pengamat Politik Iwan Setiawan melihat, sudah hampir jelas siapa yang akan memimpin PSI.

    “Menurut saya, pemenangnya sudah hampir jelas dan pasti adalah Kaesang Pangarep anaknya mantan Presiden Joko Widodo,” kata Iwan saat dihubungi merdeka.com, Selasa 24 Juni 2025.

    Dia menilai, dua calon lainnya hanya untuk memeriahkan kontestasi pemilihan calon ketua umum. Terlebih, setelah Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi dipastikan tidak mendaftarkan diri.

    “Betul sekali, hanya gimmick saja itu. Apalagi Jokowi sudah dipastikan tidak maju. Termasuk pernyataan PSI jadi partai terbuka itu juga hanya gimmick politik,” ujarnya.

    “Saya sudah sering katakan juga bahwa PSI jadi partai terbuka merupakan respons emosional Jokowi terkait konflik dengan PDIP, ingin menunjukkan anti tesa kepemimpinan partai dari Ibu Megawati yang sedang memimpin PDIP,” sambungnya.

    Pemungutan suara untuk pemilihan ketua umum PSI dijadwalkan berlangsung antara 12 hingga 19 Juli 2025. Hasil Pemilu Raya akan diumumkan bersamaan dengan pelaksanaan Kongres PSI pada 19 Juli 2025 di Solo, Jawa Tengah.