Gabungan DPD-DPR RI Desak Rezim Prabowo Hentikan Pendekatan Militer di Papua
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPR-DPD se-Tanah Papua (FOR Papua MPR) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi dan menghentikan
pendekatan militer
dalam menangani konflik di Papua.
Wakil Ketua DPD RI Yorrys Raweyai mengatakan, desakan tersebut disampaikan FOR Papua untuk merespons eskalasi kekerasan yang meningkat dalam beberapa waktu terakhir, khususnya di wilayah Papua Tengah.
Situasi keamanan di Papua saat ini, kata Yorrys, masih sangat dinamis dengan adanya rentetan peristiwa kekerasan yang menelan korban dari berbagai pihak.
“Dalam satu minggu terakhir ini kondisi dan situasi keamanan di Papua, khususnya di Papua Tengah, cukup signifikan, sangat dinamis sekali terhadap kejadian-kejadian yang dari waktu ke waktu beruntun,” ujar Yorrys, saat konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (27/5/2025).
“Penembakan di mana-mana, kemudian ada korban dari pihak TNI dan kepolisian, ada korban dari pihak masyarakat, dan kami mendapat laporan yang cukup banyak,” sambung dia.
Senator asal Papua itu pun menyoroti efektivitas berbagai operasi keamanan yang selama ini dilakukan, yakni Operasi Damai Cartenz maupun Operasi Nemangkawi.
Dia menilai, operasi tersebut belum berhasil menurunkan eskalasi konflik, bahkan cenderung memperburuk keadaan setelah adanya pemekaran wilayah.
“Operasi yang awalnya adalah operasi kemanusiaan, baik itu dengan Nemangkawi kemudian Damai Cartenz, semua sudah berjalan baik. Tetapi, kan eskalasi ini tidak makin hari makin menurun,” ungkap Yorrys.
“Akhir-akhir ini, dengan pemekaran itu sendiri, eskalasinya makin meningkat kemudian dia mengkristal. Nah, ini kami harapkan kiranya pemerintah pusat tentunya bisa mengevaluasi strategi-strategi yang dibangun selama ini,” ujar Yorrys.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Papua, Filep Wamafma, menyatakan, konflik bersenjata yang berkepanjangan di Tanah Papua memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan tidak semata-mata dari sisi keamanan.
“Konflik bersenjata di Tanah Papua yang telah berlangsung sejak lama dan belum juga menunjukkan intensitas yang menurun atau berkurang, bahkan semakin meningkat dan bertambah, membutuhkan respons terukur, rencana, dan komprehensif dari seluruh pihak,” ujar Filep.
Filep mengingatkan bahwa banyaknya korban jiwa, baik dari kalangan aparat maupun warga sipil, serta ribuan pengungsi akibat konflik, harus menjadi alarm bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi pendekatan militer yang selama ini dilakukan.
“Ribuan korban yang mengungsi sejak konflik bersenjata yang berlangsung beberapa bulan belakangan ini harus membuka mata pikiran dan hati pemerintah pusat untuk mengevaluasi kebijakan penanganan konflik di Tanah Papua. Pendekatan keamanan dengan pengarahan aparat TNI Polri di Tanah Papua harus dihentikan,” ujar Filep.
Menurut dia, pendekatan keamanan yang selama ini diambil pemerintah bersama aparat hanya akan melahirkan trauma berkepanjangan.
Bahkan, Filep khawatir jika pemerintah hanya melihat masyarakat Papua sebagai obyek pengamanan.
“Kebijakan tersebut hanya akan terus melahirkan trauma yang berkepanjangan dan semakin memperkuat kesan bahwa masyarakat Papua adalah obyek pengamanan, bukan subyek kemanusiaan,” kata Filep.
Dalam kesempatan itu, Filep pun menuntut janji pemerintah pusat untuk menangani persoalan Papua dengan pendekatan humanis dan berbasis HAM diwujudkan secara nyata.
“Konflik yang terus berulang di Tanah Papua tidak bisa lagi direspon secara retoris oleh pemerintah pusat. Janji pemerintah untuk menangani persoalan Papua dengan pendekatan humanis, rekonsiliasi, dan jalan damai dengan mengedepankan hukum dan HAM harus diimplementasikan pada kesetaraan real disertai dengan kebijakan yang sejalan dengan janji tersebut,” pungkas dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: DPD RI
-
/data/photo/2024/07/15/6694dd53b8ce6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Gabungan DPD-DPR RI Desak Rezim Prabowo Hentikan Pendekatan Militer di Papua Nasional
-

Ketua MPR: Batas usia pensiun naik, ASN kompeten bisa terus mengabdi
Jakarta (ANTARA) – Ketua MPR RI Ahmad Muzani menilai kenaikan batas usia pensiun aparatur sipil negara (ASN) bisa memberikan kesempatan bagi para ASN yang punya kompetensi untuk mengabdi lebih lama.
Muzani menyebut banyak ASN yang masih dalam kondisi prima meski telah memasuki usia pensiun dan cukup banyak juga ASN yang punya kompetensi tinggi harus pensiun karena telah mencapai batas usia pengabdian.
“Dia harus pensiun karena usia 58 atau 60 kalau eselon 1 ya, kalau enggak salah ya. Nah karena itu akan sangat sayang karena sesungguhnya investasi negara, investasi terhadap berbagai macam latihan, pendidikan dari yang bersangkutan sudah begitu banyak,” kata Muzani di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat.
Muzani kemudian menambahkan usulan soal kenaikan batas usia pensiun tersebut harus mempertimbangkan juga manfaat yang akan diperoleh negara atas kebijakan tersebut.
“Maka kalau ada pemikiran untuk memperpanjang usia (pensiun) dia, saya kira lebih banyak di latar belakangnya oleh bagaimana negara mendapatkan nilai manfaat yang lebih maksimal dari seseorang,” ujarnya.
Muzani juga menegaskan kenaikan batas usia pensiun itu harus dibarengi dengan kinerja yang lebih bagus, lebih profesional dan harus memberikan pelayanan yang lebih baik untuk masyarakat.
“Jadi harapannya tentu saja dengan memperpanjang usia pensiun profesionalitas dan mutu pelayanan akan jauh lebih bagus, mestinya begitu,” kata Muzani.
Adapun Korpri telah secara resmi mengusulkan kenaikan batas usia pensiun (BUP) bagi ASN yang disampaikan kepada Presiden, Ketua DPR RI, dan Menteri PANRB.
Korpri mengusulkan agar Pejabat Pimpinan Tinggi atau JPT Utama mencapai usia 65 Tahun; JPT Madya atau Eselon I mencapai BUP 63 Tahun; JPT Pratama atau setingkat Eselon II mencapai BUP 62 Tahun, Eselon III dan IV 60 Tahun, kemudian untuk Jabatan Fungsional Utama 70 tahun.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

DPRA tetapkan draf rancangan revisi UU Pemerintahan Aceh
Banda Aceh (ANTARA) – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui sidang paripurna di Banda Aceh, Rabu, mengesahkan dan menetapkan draf rancangan revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) untuk diserahkan dan dibahas oleh DPR RI.
“Dalam perumusan perubahan UUPA ini, DPRA mengikut sertakan unsur tim Pemerintah Aceh, kolaborasi semuanya telah menghasilkan draf rancangan perubahan UUPA ini, termasuk naskah akademiknya,” kata Ketua DPR Aceh, Zulfadli, di Banda Aceh, Rabu.
Sebagai informasi, rencana perubahan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang UUPA ini sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2024-2029, yang telah disepakati Baleg DPR RI serta Panitia Perancang UU DPD RI.
Pelaksanaan paripurna penetapan draf revisi UUPA ini dilakukan sesuai bunyi Pasal 269 ayat (3) UUPA, yang menyatakan bahwa setiap rencana perubahan harus dikonsultasikan dan mendapatkan pertimbangan dari DPR Aceh.
Zulfadli mengatakan pengkajian draf rancangan revisi UUPA ini juga melibatkan unsur guru besar, akademisi dan praktisi. Serta telah mendapatkan dukungan penuh dari partai politik lokal maupun nasional yang memiliki kursi di DPR Aceh.
“Penyiapan dan pembahasan draf rancangan perubahan UUPA ini didukung sepenuhnya oleh pimpinan partai politik lokal dan partai politik nasional di DPRA,” ujar Zulfadli.
Sementara itu, Ketua Tim Revisi UUPA di DPRA, Tgk Anwar Ramli menyampaikan bahwa terdapat delapan pasal perubahan dan satu penambahan/penyisipan dalam draf rancangan revisi tersebut.
“Terdapat perubahan batang tubuh yang terdiri dari sembilan pasal, yaitu delapan pasal perubahan dan satu penyisipan/penambahan pasal baru,” kata Tgk Anwar Ramli dalam laporannya.
Pasal perubahan
Adapun delapan pasal perubahan tersebut yakni pasal 7 terkait dengan kewenangan Aceh, yaitu penegasan kewenangan pusat agar tidak terjadi paradoks yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran dalam praktik pelaksanaannya.
Kemudian, pasal 11 tentang penegasan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) agar tidak menghalangi kewenangan Aceh.
Pasal 235 tentang evaluasi Qanun APBA dan Fasilitasi Qanun Aceh lainnya. Di sini, juga ada penegasan kedudukan Qanun Aceh sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
Lalu, Pasal 270 yaitu makna dan kedudukan peraturan perundangan, qanun, NSPK, dan peraturan pemerintah dalam penafsiran kewenangan Aceh.
Selanjutnya Pasal 183, terkait dengan pendapatan/fiskal Aceh, yaitu tentang dana otonomi khusus (otsus). Pasal 192 tentang regulasi lanjutan soal kedudukan zakat dalam UUPA.
Berikutnya Pasal 160, meliputi kewenangan minyak dan gas bumi dan sumber daya alam lain termasuk karbon serta pengaturan tentang aset. Serta pasal 165, mengenai kewenangan Aceh dalam bidang perdagangan, pariwisata, dan investasi yang akan dikerjasamakan dengan Pemerintah Pusat.
Sedangkan untuk penambahan baru yakni Pasal 251A, merupakan pasal tambahan yang mengatur tentang pajak dan pendapatan lain non-pajak yang diperlukan guna penyelenggaraan kekhususan Aceh.
Tgk Anwar Ramli menegaskan, pembahasan perubahan UUPA oleh DPR RI ini perlu dikawal bersama, sehingga hasilnya bisa lebih baik dan komprehensif sesuai harapan masyarakat Aceh.
“Pengawalan ini adalah tanggung jawab moral kita bersama, karena perubahan UUPA harus melibatkan pemangku kepentingan di Aceh sesuai pasal 269 ayat (3) UUPA,” demikian Tgk Anwar Ramli.
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Ekonomi Sedang Sulit, Anggota DPD RI Kecam Perayaan Kelulusan dengan Menyewa DJ di Sekolah
FAJAR.CO.ID, JAKARTA– Anggota DPD RI atau senator perwakilan Bali, Arya Wedakarna (AWK), mengecam dan akan melakukan sidak ke SMKN 1 Tejakula Buleleng.
Peringatan ini muncul setelah viralnya video yang diunggah akun Disc Jockey (DJ) di akun media sosial @djdiahkrisna yang memberikan keterangan terkait peristiwa itu.
“Seru banget ni angkatan 14 SMKN 1 Tejakula,” demikian keterangan unggahan Djdiahkrisna.
Dengan viralnya unggahan tersebut, SMKN 1 Tejakula Buleleng dikatakan telah menyewa DJ (Disc Jockey) untuk merayakan kelulusan.
Menanggapi perayaan yang merusak marwah pendidikan, Arya Wedakarna memberikan peringatan dengan tegas, lewat akun Instagram pribadinya @aryawedakarna.
“Temuan SMKN 1 Tejakula Buleleng. Tunggu AWK sidak ke sekolah yg doyan party,” tegas Arya Wedakarna, dikutip Kamis (8/5/2025).
Kata Arya Wedakarna, saat ini Bali sedang prihatin soal ekonomi. Dia lantas merasa tidak habis pikir dengan modelan perpisahan dikemas seperti demikian.
“Bali sedang prihatin sing ada ekonomi mejalan, kok bisa bisanya perpisahan sekolah begini,” ungkapnya.
Tidak hanya peringatan tegas, Arya Wedakarna juga mencolek Disdikpora Provinsi Bali, Presiden dan Wakilnya serta Kejakasaan untuk turut andil menghadapi perilaku yang tidak mencerminkan generasi berpendidikan.
Mirisnya, dalam video yang beredar luas di berbagai platform media sosial, tampak seorang wanita bergoyang mengikuti alunan irama musik.
Aksi bergoyangnya perempuan yang merupakan DJ, juga diikuti oleh siswa yang lain.
Lebih memprihatikan lagi, baik DJ mau pun siswa-siswi kompak memakai baju putih abu-abu. Bahkan ada yang coret-coret seragam mereka serta dilakukan di lingkup sekolah secara terbuka. (Besse Arma/Fajar)
-

Pakar: Perlu kajian terkait usulan pembentukan Provinsi Jawa Selatan
Purwokerto (ANTARA) – Pakar kebijakan publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Slamet Rosyadi menilai perlu adanya kajian, terkait dengan usulan pembentukan provinsi baru di wilayah Jawa Tengah bagian selatan (Jasela), yang sempat diusulkan dengan sebutan Jateng Selatan atau Jawa Selatan.
“Usulan pembentukan provinsi daerah khusus penyangga pangan di wilayah Jasela itu ide yang menarik, tapi itu perlu kajian,” katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Rabu.
Ia mengatakan kajian tersebut untuk mengetahui apakah betul wilayah Jasela layak untuk dijadikan sebagai provinsi daerah khusus penyangga pangan.
Menurut dia, usulan tersebut harus mempunyai logika yang kuat, bukan sekadar bahasa politis yang disampaikan oleh seorang politikus ataupun tokoh daerah.
“Karena tentu ini akan berimplikasi banyak kalau misalkan dilakukan pembentukan provinsi baru. Tapi paling tidak ini akan memberikan beban berat dalam hal pendanaan (pada pemerintah provinsi induk sebelum daerah otonomi baru itu bisa mandiri),” katanya.
Ia mengatakan alangkah baiknya jika berbagai potensi yang ada di wilayah Jasela itu dioptimalkan dengan pengembangan kawasan tanpa harus membentuk daerah otonomi baru.
Dalam hal ini, kata dia, kawasan tersebut dikembangkan di salah satu wilayah provinsi itu, misalnya sebagai penyangga pangan.
“Mungkin itu sifatnya pada fungsinya saja ya, ada penguatan dari pusat. Misalkan di salah satu kabupaten di wilayah Jateng Selatan itu diberikan perhatian yang besar untuk bisa menjadi daerah penyangga pangan, saya kira itu yang rasional,” katanya menjelaskan.
Lebih lanjut, dia mengatakan pengembangan kawasan sebenarnya merupakan kewenangan gubernur agar tidak ada ketimpangan pembangunan antara wilayah utara dan selatan Jateng.
Menurut dia, Gubernur Jateng seharusnya berperan aktif dalam meningkatkan pembangunan di wilayah Jateng Selatan agar tidak tertinggal dari wilayah utara.
“Gubernur harus diingatkan bahwa daerah-daerah yang tertinggal harus mendapatkan perhatian agar tidak ada ketimpangan dengan daerah lain,” kata Slamet.
Usulan pembentukan provinsi baru di wilayah Jasela sebagai daerah khusus penyangga pangan itu disampaikan oleh anggota DPD RI Abdul Kholik yang selama ini menyuarakan pemerataan pembangunan agar tidak ada ketimpangan antara Jateng bagian utara dan Jateng bagian selatan.
Dalam sebuah diskusi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Sabtu (3/5) sore, Abdul Kholik mengatakan dari hasil kerja pengawasan terhadap pembangunan Jawa Tengah selama lima tahun sebagai senator periode 2019-2024, diketahui bahwa provinsi tersebut membutuhkan akselerasi untuk percepatan pertumbuhan ekonomi, penanganan kemiskinan, pengembangan potensi daerah, dan permasalahan regional.
Oleh karena itu, kata dia, opsi terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut berupa pengembangan simpul kawasan utara, selatan, dan timur secara lebih merata.
“Khusus untuk selatan ini, saya menyebutnya adalah Jasela, Jateng Selatan atau Jawa Selatan, ini membutuhkan skema khusus untuk dikembangkan. Idealnya memang harus menjadi provinsi, tapi jalurnya adalah dengan jalur menjadi daerah khusus penyangga pangan nasional,” kata Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI itu.
Menurut dia, hal itu disebabkan wilayah Jasela yang meliputi Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Wonosobo (Barlingmascakebpurwo) memiliki kekuatan berupa sektor pertanian dan maritim yang bisa menjadi penyangga pangan nasional.
Dia mengatakan jika melihat berbagai keterangan pemerintah terutama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian, tidak ada moratorium untuk pembentukan provinsi dengan jalur khusus, baik berupa daerah istimewa maupun daerah khusus.
Oleh karena itu, kata dia, skema pengembangan wilayah Jasela tersebut diharapkan bisa sebagai daerah khusus penyangga pangan.
“Ini tentu masih akan kami komunikasikan dengan pemerintah. Mudah-mudahan akselerasi ini, terobosan yang tadi saya konstruksikan dari semua fakta ini akan sangat menguntungkan untuk daerah, regional, bahkan nasional, mudah-mudahan ini bisa dipahami dan mungkin mudah-mudahan ke depan bisa diwujudkan,” kata Kholik.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025




