Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • Pemkot Jakut edukasi UMKM tentang keuangan digital

    Pemkot Jakut edukasi UMKM tentang keuangan digital

    Jakarta (ANTARA) –

    Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Utara mengedukasi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tentang keuangan digital melalui pelatihan yang melibatkan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Utara dan Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie.

    “Saya berharap kegiatan ini bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga memberikan keterampilan praktis bagi pelaku UMKM,” kata Wali Kota Jakarta Utara Hendra Hidayat saat membuka kegiatan “Literasi Digital Pelatihan UMKM” di Jakarta, Kamis.

    Ia mengajak agar seluruh pihak menjadikan kegiatan ini sebagai momen bersama membangun ekosistem digital yang memperkuat ekonomi lokal Jakarta Utara.

    Sementara itu, Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Jakarta Utara Sonny Agustinus mengatakan puluhan pelaku UMKM Jakarta Utara dibekali dengan berbagai pengetahuan seputar pemasaran digital, literasi keuangan, dan aktivasi akun coretax DJP.

    “Hari ini, kita melaksanakan pelatihan UMKM agar UMKM itu bisa tumbuh bersama. Bukan hanya sekedar menjual produk tapi juga bisa menyenangkan pembeli,” katanya.

    Ia mengatakan kegiatan yang mengusung tema “Go Digital, Grow Together” menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kolaborasi pemerintah, kampus, dan UMKM menuju kemandirian ekonomi.

    Dirinya berharap pelatihan ini dapat berjalan dengan baik dan para peserta bisa meningkatkan keahlian, pengetahuan, dan pengalaman. “Kami mengucapkan terima kasih untuk sinergi dan kolaborasi,” kata Sonny.

    Salah satu pelaku UMKM, Sarah menilai pelatihan ini dapat menambah wawasan baik itu dari bidang pemasaran produk, mengelola keuangan, pajak, dan lainnya.

    “Ternyata semua itu berkaitan dan ini akan menjadi bekal bagi kami yang sedang berjuang untuk memajukan usaha,” katanya.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mereka Ketakutan Sembunyikan Apa Tuh?

    Mereka Ketakutan Sembunyikan Apa Tuh?

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menginstruksikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk mengecek secara acak jalur hijau impor. Pemeriksaan dilakukan secara selektif sehingga dipastikan tidak mengganggu kelancaran arus barang.

    “Saya random sampling. Paling satu hari berapa biji, tapi jangan main-main, gitu aja, kalau ketahuan awas! Desain tidak mengganggu kelancaran barang-barang di sana,” kata Purbaya di kantin Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Rabu (1/10/2025).

    “Makanya saya random sample, nggak akan terus-terusan banyak,” tambahnya.

    Selama ini jalur hijau ditujukan bagi barang impor berisiko rendah dan pada prinsipnya tidak dilakukan pemeriksaan fisik. Meski demikian, Purbaya meminta DJBC meningkatkan pengawasan dengan memeriksa barang-barang yang diduga tidak memenuhi ketentuan berdasarkan sistem manajemen risiko atau nota intelijen dari otoritas luar negeri.

    Jika pengusaha importir keberatan dengan kebijakan ini, Purbaya pun curiga ada sesuatu yang disembunyikan. “Mereka ketakutan sembunyikan apa tuh?” imbuhnya.

    Sebelumnya, Purbaya menekankan akan meningkatkan penegakan hukum dan kepatuhan sejalan dengan naiknya target penerimaan negara baik pajak maupun kepabeanan dan cukai. Di bidang kepabeanan, otoritas akan memeriksa secara random jalur hijau bea cukai yang sebelumnya tidak pernah tersentuh pemeriksaan fisik.

    Tujuan pemeriksaan jalur hijau secara acak juga untuk mencegah masuknya rokok ilegal. “Kalau kita impor, ada jalur hijau ya. Jalur hijau biasanya nggak diperiksa tuh. Nggak tahu rokok ilegalnya masuk lewat situ apa enggak. Saya akan random check, walaupun jalur hijau, saya akan random check,” tutur Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTA

    Purbaya tidak akan pandang bulu untuk menindak tegas pihak yang terlibat jika ditemukan barang ilegal lolos dari jalur hijau. Termasuk jika pihak itu berasal dari internal DJBC.

    “Mungkin dalam waktu dekat akan dapat banyak orang di situ, yang terlibat akan kita sikat, termasuk orang Bea Cukai maupun departemen keuangan,” tegasnya.

    (kil/kil)

  • Potret Purbaya Makan Ayam Sambel Ijo di Warung Kaki Lima Usai Rapat

    Potret Purbaya Makan Ayam Sambel Ijo di Warung Kaki Lima Usai Rapat

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa makan siang di warung kaki lima yang terletak di Jl. Widya Chandra Barat, Jakarta. Lokasi warung itu tepat berada di samping gedung Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

    Purbaya makan siang bersama Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan Rahayu Puspasari, serta beberapa stafnya. Aksinya itu menjadi pusat perhatian sekitar.

    Terlihat Purbaya menyantap hidangan ayam sambal hijau dengan menggunakan tangan. Tampak juga menu lain berupa satai di meja makannya.

    Makan siang di kaki lima terjadi usai Purbaya menghadiri rapat koordinasi terbatas (Rakortas) di Wisma Danantara, yang berada di sebelah gedung DJP. Rapat itu membahas Paket Kebijakan dan Stimulus Ekonomi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

    Purbaya mengatakan rapat itu membahas mengenai sinkronisasi Kebijakan-kebijakan baru yang diarahkan Presiden Prabowo Subianto. Dalam rapat itu dibahas mengenai waktu pelaksanaan hingga mekanisme pendanaannya.

    “Hanya menentukan kapan pelaksanaannya, pendanaannya seperti apa, apa yang bisa dijalankan, apa yang enggak tahun ini dan apa yang bisa dijalankan tahun depan,” tutur Purbaya kepada wartawan, Rabu (1/10/2025).

    “Sudah lebih jelas sekarang dibanding sebelum-sebelumnya kelihatannya. Jadi aman lah,” tambahnya.

    Simak juga Video ‘Purbaya soal Cukai Rokok Tak Naik: Masyarakat Butuh Penghidupan’:

    (kil/kil)

  • DJP: Timeline Penerapan Pajak Minimum Global hingga 2028

    DJP: Timeline Penerapan Pajak Minimum Global hingga 2028

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan lini masa penerapan atau timeline penerapan pajak minimum global 15% yang akan mulai berlaku secara bertahap pada 2025 hingga 2028.

    Lini masa itu terungkap dalam paparan Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama dalam acara 15th Tax Intercollegiate Forum pada Rabu (24/9/2025).

    Adapun, Indonesia sudah resmi menerapkan pajak minimum global sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. Dalam beleid itu dijelaskan bahwa Indonesia telah menerapkan skema Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT) dan Income Inclusion Rules (IIR) sejak 1 Januari 2025, sementara Undertaxed Payment Rule (UTPR) akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2026.

    Dalam paparan Mekar dijelaskan bahwa tahun fiskal pertama yang terutang adalah periode Januari–Desember 2025. Selanjutnya, pembayaran top-up tax akan jatuh tempo pada 31 Desember 2026.

    Sementara itu, kewajiban pelaporan mencakup GloBE Information Return (GIR), notifikasi, serta Annual Income Tax Return untuk skema GloBE, DMTT, dan UTPR. Tenggat pelaporan tersebut dijadwalkan pada 30 April 2027, dengan opsi perpanjangan hingga 30 Juni 2027.

    “UPE dan/atau constituent entity bisa memperpanjang periode penyampaian annual income tax return selama dua bulan,” demikian tertulis dalam paparan tersebut.

    Adapun untuk periode fiskal 2026, jatuh tempo pembayaran top-up tax ditetapkan 31 Desember 2027. Kewajiban pelaporan GIR dan notifikasi dilakukan pada 31 Maret 2028, disusul pelaporan Annual Income Tax Return GloBE/DMTT/UTPR paling lambat 30 April 2028.

    “Nah itu dari ketentuan kita pelaporannya itu nanti di tahun 2027. Jadi itu masih cukup waktu,” ujar Mekar saat ditemui Bisnis usai acara Policy Dialogue The PRAKARSA & Indef di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

    Sebagai informasi, pajak minimum global mengharuskan penerapan pajak sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan global tahunan di atas 750 juta euro. Dengan demikian, persaingan antarnegara untuk menetapkan tarif pajak rendah (race to the bottom) demi menarik investasi bisa ditekan. 

    Pajak minimum global 15% termasuk dalam Pilar 2 Pajak Global yang diinisiasi Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Belakangan, sudah ada puluhan negara yang menerapkan pajak minimum global dalam peraturan perpajakannya.

  • Menjawab tantangan kredibilitas perpajakan melalui pembentukan BPN

    Menjawab tantangan kredibilitas perpajakan melalui pembentukan BPN

    Dalam konteks yang lebih luas, pembentukan BPN tidak boleh dilihat semata sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen transformatif untuk menutup jurang antara potensi dan realisasi penerimaan negara.

    Jakarta (ANTARA) – Keputusan pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025 menandai langkah besar dalam reformasi pengelolaan fiskal Indonesia.

    Program ini dikategorikan sebagai salah satu Program Hasil Terbaik Cepat yang ditujukan untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai target ambisius sebesar 23 persen.

    Kehadiran BPN tidak hanya dipandang sebagai kebijakan teknokratis, melainkan juga sebagai jawaban atas tantangan kredibilitas perpajakan yang selama ini menjadi sorotan, baik di ranah akademis, praktisi, maupun dalam ruang publik.

    Kritik yang belakangan ini ramai, termasuk dari Dewan Energi Nasional (DEN), menyebut bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sering dianggap “hanya berburu di kebun binatang”. Istilah ini menggambarkan kecenderungan aparat pajak mengejar wajib pajak yang sudah patuh dan berada dalam lingkaran formal, alih-alih memperluas basis pajak dengan menjangkau sektor informal dan potensi baru.

    Kritik ini menohok legitimasi DJP sebagai lembaga yang seharusnya menjadi tulang punggung penerimaan negara. Maka, pembentukan BPN hadir sebagai bentuk koreksi struktural dan institusional untuk mengubah paradigma lama tersebut.

    Dalam konteks inilah, gagasan pembentukan BPN menemukan relevansinya. Pemerintah berupaya keluar dari jebakan “perburuan di kebun binatang” dengan membangun satu institusi baru yang tidak hanya mengintegrasikan penerimaan pajak, bea-cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tetapi juga memperkuat basis data, sistem informasi, serta strategi intelijen fiskal.

    Esensi dari langkah ini adalah memperluas jangkauan penerimaan negara dengan instrumen kelembagaan yang lebih modern, terintegrasi, dan kredibel.

    Langkah besar reformasi fiskal

    Narasi pemerintah tentang BPN tidak bisa dilepaskan dari realitas penerimaan negara tahun berjalan. Data fiskal menunjukkan adanya shortfall penerimaan di beberapa kuartal 2025, sementara realisasi pajak hingga pertengahan tahun belum mampu menembus separuh target. Situasi ini membuat pemerintah terdesak untuk mencari solusi struktural.

    Sejak lama tax ratio Indonesia bergerak di kisaran 9 – 11 persen dari PDB, jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD yang berada di atas 20 persen. Meski sempat membaik setelah pandemi, angka itu kembali bergejolak pada 2025, sehingga target ambisius 23 persen membutuhkan instrumen kelembagaan baru yang diyakini lebih mampu mendongkrak kinerja.

    Secara historis, tax ratio Indonesia sempat berada di kisaran 9,11 persen pada tahun 2020, kemudian naik perlahan menjadi 10,33 persen pada tahun 2023 dan diproyeksikan mencapai 11,1 persen pada akhir 2025. Namun, proyeksi ini masih jauh dari rata-rata negara berkembang di Asia yang sudah menembus 15–18 persen.

    Di sinilah BPN diharapkan memberikan dorongan signifikan melalui optimalisasi penerimaan, harmonisasi pajak dan bea cukai, serta integrasi dengan sektor penerimaan non-pajak.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perbaiki Coretax 1 Bulan, Purbaya Cari Orang Jago IT dari Luar

    Perbaiki Coretax 1 Bulan, Purbaya Cari Orang Jago IT dari Luar

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjanjikan akan memperbaiki Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax yang saat ini belum optimal. Perbaikan ditargetkan akan rampung dalam satu bulan.

    Purbaya mengatakan perbaikan akan dilakukan dalam waktu satu bulan, dengan melibatkan tenaga ahli teknologi informasi (IT) dari luar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.

    “Saya akan lihat Coretax seperti apa, keterlambatan di Coretax, akan kita perbaiki secepatnya. Dalam satu bulan harusnya bisa. Itu IT, nanti saya bawa jago-jago IT dari luar yang bisa memperbaiki itu dengan cepat,” ujar Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTA di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto membenarkan sempat terjadi downtime dalam operasi Coretax. Menurutnya, hal ini merupakan salah satu bentuk downtime yang terencana untuk pemeliharaan sistem.

    “Kita sekarang dalam tahap stabilisasi dan perbaikan bertahap untuk jangka panjang lebih andal dan akhir 2025 bisa smooth kita harap,” kata Bimo.

    Purbaya Cek Coretax

    Sebelumnya, Purbaya sempat melakukan inspeksi mendadak terhadap operasional pelayanan publik DJP. Dirinya melakukan panggilan ke sistem contact center Kring Pajak di 1500200.

    Purbaya mengatakan ingin merasakan pelayanan DJP setelah mendapat laporan yang bagus-bagus dari anak buahnya. Ia tidak ingin termakan budaya ‘Asal Bapak Senang’ atau ABS.

    “Kalau kata orang pajak, itu (Coretax) bagus, katanya sudah stabil, walaupun kalau kata teman-teman yang bayar itu ‘masih lama bang’ katanya, nanti saya yang cek. Ya kalau orang ditanya bos pasti gitu kan, namanya ABS,” ucap Purbaya kepada wartawan di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (19/9).

    Dalam unggahan video di TikTok @ditjenpajakri, Purbaya menelepon layanan Kring Pajak layaknya masyarakat umum dan menanyakan terkait sistem perpajakan Indonesia. Dalam kesempatan itu, ia mengaku belum mengetahui Coretax dan meminta petugas untuk menjelaskan kepadanya terkait Coretax.

    (kil/kil)

  • Menjawab tantangan kredibilitas perpajakan melalui pembentukan BPN

    Purbaya janji tuntaskan masalah Coretax dalam sebulan

    Saya akan lihat Coretax seperti apa. Keterlambatan dari Coretax akan kami perbaiki secepatnya dalam satu bulan

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berjanji menyelesaikan masalah sistem Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam kurun waktu sebulan.

    “Saya akan lihat Coretax seperti apa. Keterlambatan dari Coretax akan kami perbaiki secepatnya dalam satu bulan,” kata Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025 di Jakarta, Senin.

    Untuk mengatasi itu, dia berencana untuk memanggil spesialis teknologi eksternal yang memiliki kapasitas untuk memperbaiki sistem Coretax.

    “Nanti saya bawa jago-jago IT dari luar yang akan memperbaiki dengan cepat,” tambahnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menambahkan, pihaknya saat ini secara aktif memperbaiki sistem Coretax, salah satunya melalui downtime terencana pada akhir pekan lalu.

    Cara itu dilakukan untuk menyempurnakan dan menstabilkan sistem perpajakan tersebut.

    “Coretax ini sengat besar sekali sistemnya, jangkauannya sangat luas, sehingga sekarang kami yakinkan bahwa kami sedang dalam tahap stabilisasi dan makin sempurna,” jelas Bimo.

    Dia menggarisbawahi perbaikan Coretax dilakukan secara bertahap untuk memastikan keandalan sistem dalam jangka panjang. Meski begitu, Bimo menargetkan sistem akan bisa bekerja lebih stabil saat pergantian tahun pajak dari 2025 ke 2026 nanti.

    Dalam kesempatan terpisah, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan Coretax akan menjadi salah satu strategi pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Dengan begitu, pemerintah tak akan menambah beban pajak baru bagi rakyat.

    Adapun penerimaan perpajakan tercatat turun sebesar 3,6 persen dengan nilai realisasi Rp1.330,4 triliun atau 55,7 persen dari outlook per 31 Agustus 2025.

    Rinciannya, penerimaan dari pajak terkoreksi sebesar 5,1 persen dengan nilai realisasi Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook.

    Namun, dukungan positif terlihat dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 6,4 persen dengan realisasi Rp194,9 triliun yang setara 62,8 persen dari outlook.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Keterlambatan di Coretax Akan Kita Perbaiki Dalam 1 Bulan

    Keterlambatan di Coretax Akan Kita Perbaiki Dalam 1 Bulan

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti performa Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax yang hingga saat ini belum optimal. Proses perbaikan Coretax akan segera dilakukan dan ditargetkan rampung dalam 1 bulan.

    Purbaya mulanya menyoroti tentang kabar terbaru dari Coretax yang tidak masuk pembahasan Konferensi Pers APBN KiTa. Padahal, ia mengaku telah meminta Ditjen Pajak untuk memasukkan pembahasan tersebut.

    “Kemudian Coretax, tadi saya minta Ditjen Pajak untuk tulis, di sini nggak ada Coretax. Kenapa nggak ditulis?,” kata Purbaya dalam Konferensi Pers APBN KiTa di Kemenkeu, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).

    Ia mengakui bahwa hingga saat ini Coretax belum berjalan dengan optimal. Purbaya berjanji, perbaikan Coretax akan dilakukan selama satu bulan ke depan.

    “Jadi pada dasarnya, saya akan lihat Coretax seperti apa, keterlambatan di Coretax, akan kita perbaiki secepatnya. Dalam 1 bulan harusnya bisa. Itu IT, nanti saya bawa jago-jago IT dari luar yang bisa memperbaiki itu dengan cepat,” ujar dia.

    Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto membenarkan sempat terjadi downtime operasi Coretax. Menurutnya, hal ini merupakan salah satu bentuk downtime yang terencana untuk pemeliharaan sistem.

    “Kita sekarang dalam tahap stabilisasi dan perbaikan bertahap untuk jangka panjang lebih andal dan akhir 2025 bisa smooth kita harap,” kata Bimo.

    Purbaya Cek Coretax

    Sebagai informasi, Purbaya sebelumnya sempat melakukan inspeksi mendadak terhadap operasional pelayanan publik Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam kesempatan itu dirinya melakukan panggilan ke sistem contact center Kring Pajak.

    Purbaya mengatakan ingin merasakan pelayanan DJP setelah mendapat laporan yang bagus-bagus dari anak buahnya. Ia merasa telah dibohongi karena sebetulnya masih ada wajib pajak yang mengeluhkan.

    “Dirjen Pajak (Bimo Wijayanto) sedang pergi ke luar negeri, saya cuma tanya kesiapannya seperti apa di dalam. Jadi mereka mengibuli saya juga kayaknya,” kata Purbaya kepada wartawan di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025).

    Dalam unggahan video di TikTok @ditjenpajakri, Purbaya menelepon layanan Kring Pajak layaknya masyarakat umum dan menanyakan terkait sistem perpajakan Indonesia. Dalam kesempatan itu, ia mengaku belum mengetahui Coretax dan meminta petugas untuk menjelaskan kepadanya terkait Coretax.

    Menurut Purbaya, dirinya sebenarnya belum sidak betul terkait Coretax dan akan cek lagi nanti. Ia tidak ingin mendapat laporan yang baik-baik saja dari anak buah, yang menurutnya ‘Asal Bapak Senang’ atau ABS.

    Halaman 2 dari 2

    (shc/ara)

  • Badan Penerimaan Negara, Kunci Solusi Fiskal Pemerintah

    Badan Penerimaan Negara, Kunci Solusi Fiskal Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) kini memasuki fase krusial. Setelah bertahun-tahun menjadi wacana sejak era Presiden Joko Widodo, pemerintah Presiden Prabowo Subianto melalui pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 dalam Perpres No. 79/2025 secara eksplisit memasukkan agenda pendirian BPN.

    Momentum ini menjadi titik eksekusi nyata reformasi perpajakan dari sekadar optimalisasi teknis menjadi langkah kelembagaan yang lebih radikal. BPN diproyeksikan sebagai lembaga yang memisahkan fungsi penghimpunan penerimaan negara dari Kementerian Keuangan, memberi keleluasaan manajerial untuk merespons dinamika ekonomi dengan cepat.

    Namun, langkah ini memantik perdebatan internal. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku belum menerima arahan langsung dari Presiden Prabowo terkait pembentukan BPN.

    “Itu [Badan Penerimaan Negara] belum, itu belum saya sentuh.” (Bisnis.com, 16 September 2025). Ia bahkan menekankan bahwa di banyak negara, otoritas penerimaan tetap berada dalam struktur kementerian. “Kalau kita buat kita sendirian, nanti aneh lagi. Jadi kita akan optimalkan sistem yang ada.” (Kontan.co.id, 8 September 2025).

    Meskipun demikian, argumen ini tidak sepenuhnya tepat. Beberapa negara, seperti Peru dengan lembaga SUNAT (Superintendencia Nacional de Aduanas y de Administración Tributaria), berhasil meningkatkan tax ratio setelah membentuk otoritas yang relatif independen.

    Konteks di balik urgensi BPN adalah krisis penerimaan negara yang nyata. Data awal 2025 menunjukkan penerimaan pajak turun hingga 30,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

    Penurunan ini menegaskan rapuhnya sistem perpajakan Indonesia, yang terlalu bergantung pada sektor komoditas unggulan seperti batu bara dan minyak sawit. Begitu harga global turun, fiskal negara langsung terguncang.

    Selain itu, basis pajak yang sempit, kepatuhan yang rendah, dan digitalisasi yang gagal melalui Core Tax System menambah beban. Alih-alih menjadi solusi, sistem ini menghadapi masalah integrasi data, gangguan teknis, dan minimnya kesiapan infrastruktur sehingga sebagian proses justru kembali ke mekanisme lama.

    Sejumlah analisis sebelumnya menyinggung akar persoalan ini. Perluasan basis pajak memang menjadi agenda utama, tetapi keterbatasan struktural dari dominasi sektor informal hingga lemahnya kepatuhan membatasi efektivitas reformasi.

    Strategi yang sama terus dipertahankan, namun data menegaskan bahwa ketergantungan pada model lama semakin mem-perlebar kesenjangan fiskal dan ekonomi.

    Salah satu akar masalah adalah kelembagaan. Selama ini, otoritas pajak dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) di bawah Kementerian Keuangan.

    Struktur ini mengekang fleksibilitas birokrasi. DJP sulit merancang organisasi, merekrut SDM, atau mengatur anggaran sendiri.

    BPN ditawarkan sebagai solusi. Lembaga ini bukan sekadar struktur tambahan, tetapi memberi keleluasaan manajerial agar sistem perpajakan bisa beradaptasi cepat dengan dinamika ekonomi. Namun, otonomi tidak otomatis menjamin efektivitas.

    Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme check and balance, BPN berisiko hanya menjadi birokrasi baru dengan biaya tinggi.

    NEGARA LAIN

    Pengalaman internasio-nal menunjukkan variasi model yang patut dicermati. Australia tetap mempertahankan Australian Taxation Office (ATO) di bawah Kementerian Keuangan, tetapi dengan keleluasaan penuh dalam anggaran dan manaje-men.

    Korea Selatan melalui National Tax Service (NTS) juga relatif independen, dengan fleksibilitas tinggi dalam SDM dan kebijakan. Kenya bahkan membentuk Semi Autonomous Revenue Authority (SARA) yang lebih otonom.

    India sebaliknya masih menempatkan lembaga pajaknya dalam struktur birokrasi, sehingga kurang responsif terhadap perubahan. Tidak ada satu model yang sempurna. Peru dengan SUNAT-nya berhasil memperbaiki tax ratio, tetapi beberapa negara lain justru menemukan tantangan koordinasi setelah pemisahan.

    Jika Indonesia ingin mengubah krisis penerimaan menjadi momentum reformasi, langkahnya tidak bisa setengah hati. Reformasi pajak hanya akan nyata jika Indonesia mampu mengubah krisis penerimaan menja-di momentum perbaikan menyeluruh.

    Upaya perlu dimulai dengan memperluas basis pajak dan mengurangi ketergantungan pada komoditas, sekaligus menggarap potensi dari sektor digital, UMKM, hingga kepemilikan aset besar.

    Di sisi lain, digitalisasi harus diperkuat dengan memastikan Core Tax System berjalan stabil, ditopang oleh infrastruktur yang mumpuni, integrasi data lintas lembaga, serta edukasi wajib pajak yang berkesinambungan.

    Reformasi juga menuntut otonomi kelembagaan yang lebih memadai melalui BPN, agar manajemen perpajakan lebih lincah tanpa terjebak birokrasi yang berbelit. Penyederhanaan sistem pajak menjadi langkah berikutnya, karena kompleksitas hanya membuka celah bagi praktik penghindaran.

    Seluruh proses ini perlu ditu-tup dengan pembangunan transparansi dan akuntabilitas, melalui mekanisme pengawasan kolektif yang melibatkan DPR dan masyarakat sipil, sehingga kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan dapat terus diperkuat.

    Pembentukan BPN bisa menjadi tonggak sejarah reformasi perpajakan Indonesia. Namun, jika hanya menambah lapisan birokrasi tanpa menyelesaikan akar masalah, risiko kegagalan tetap tinggi.

    Reformasi pajak adalah mimpi besar yang menuntut keseriusan politik, keberanian kelembagaan, dan kesiapan teknis. Tanpa kombinasi ketiganya, BPN hanyalah nama baru dari masalah lama.

  • Menkeu Purbaya punya “PR” meyakinkan investor, atasi tantangan pajak

    Menkeu Purbaya punya “PR” meyakinkan investor, atasi tantangan pajak

    Kebijakan perpajakan belakangan ini menurut saya masih memberatkan masyarakat, di mana masih ada opsi yang lebih bijak terkait penerimaan negara.

    Jakarta (ANTARA) – Pengamat pajak Gabriel Kurniawan berpendapat Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memiliki pekerjaan rumah untuk meyakinkan investor global sekaligus mengatasi tantangan penerimaan pajak.

    Dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa, Gabriel mengatakan mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati memiliki rekam jejak yang mumpuni sebagai ekonom maupun Direktur Pelaksana Bank Dunia, yang membuat investor menaruh kepercayaan ke Indonesia.

    Kini, Purbaya yang menggantikan posisi Sri Mulyani, perlu melanjutkan kepercayaan itu.

    “Jadi, Pak Purbaya sebagai Menteri Keuangan yang baru perlu membuktikan dan menjaga iklim usaha tetap positif, termasuk meyakinkan atau membangun kembali dari awal kepercayaan publik dan investor global,” ujar Gabriel.

    Di sisi lain, Purbaya menerima jabatan Menkeu ketika penerimaan negara dalam kondisi yang cukup menantang.

    Purbaya sebelumnya telah menyatakan tidak akan merombak kebijakan fiskal Sri Mulyani dan berfokus mengoptimalkan mesin-mesin perekonomian yang ada.

    Namun, menurut Gabriela, kebijakan perpajakan perlu dievaluasi.

    “Kebijakan perpajakan belakangan ini menurut saya masih memberatkan masyarakat, di mana masih ada opsi yang lebih bijak terkait penerimaan negara,” kata dia lagi.

    Sebagai contoh, pemerintah bisa menaikkan batas pengusaha kena pajak (PKP) dibandingkan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

    Opsi lainnya, pemerintah dapat menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dan menambah basis wajib pajak agar iklim investasi lebih bersaing.

    Dia berharap kebijakan fiskal yang akan diambil oleh Purbaya nantinya dapat mewakili kebutuhan masyarakat.

    “Kiranya di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan yang baru, Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) khususnya bisa lebih transparan dan lebih adil untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terikat kepentingan politik tertentu,” ujar Gabriel.

    Sebelumnya, Purbaya menyampaikan keyakinannya bahwa dia memiliki kapasitas yang memadai untuk menjabat sebagai Menkeu.

    Terkait tanggapan pasar, Purbaya mengatakan dirinya memiliki rekam jejak panjang di pasar modal, sehingga optimistis kepercayaan investor akan segera kembali.

    “Mungkin pasar enggak tahu saya orang pasar. Saya di pasar sejak tahun 2000, 15 tahun lebih,” katanya.

    Sementara mengenai pajak, ia berencana mendongkrak rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang dia lihat bergerak konstan, atau tidak mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

    “Tax ratio kan konstan, tax per PDB (produk domestik bruto). Kalau tidak bisa berubah dalam waktu dekat, untuk meningkatkan pajaknya, ya kita percepat pertumbuhan ekonominya,” ujar dia lagi.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.