Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • Ditjen Pajak: Pembetulan SPT Tahunan 2024 tetap lewat DJP Online

    Ditjen Pajak: Pembetulan SPT Tahunan 2024 tetap lewat DJP Online

    kalau pembuatan laporan di sistem yang lama, mekanisme pembetulannya masih menggunakan sistem yang lama

    Bandung (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk pajak penghasilan (PPh) tahun 2024 tetap dilakukan melalui laman DJP Online, belum menggunakan Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax.

    Coretax rencananya bakal mulai diimplementasikan pada awal 2025, sehingga transaksi yang terekam dalam sistem merupakan data tahun pajak 2025 yang dilaporkan pada tahun 2026. Sementara untuk tahun pajak 2024, yang bakal dilaporkan pada tahun 2025, masih dilaporkan lewat DJP Online.

    “Kalau pelaporan lewat Coretax, maka pembetulan juga lewat Coretax. Tapi, kalau pembuatan laporan di sistem yang lama, mekanisme pembetulannya masih menggunakan sistem yang lama,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti saat media briefing di Bandung, Jawa Barat, Kamis.

    Meski begitu, Dwi memastikan data SPT Tahunan untuk tahun pajak 2024 dan sebelumnya akan dimigrasikan ke Coretax, sehingga data bisa diakses melalui sistem tersebut.

    Hingga sejauh ini, pengembangan Coretax telah memasuki tahap akhir, yaitu pengujian penerimaan pengguna (User Acceptance Testing/UAT) dan pengujian operasional (Operational Acceptance Test/OAT).

    Sambil menunggu implementasi, DJP memberikan edukasi baik secara internal maupun eksternal. Edukasi internal diberikan kepada pegawai melalui sistem pelatihan. Sementara edukasi eksternal menyasar kelompok wajib pajak.

    DJP pun telah menyediakan berbagai saluran untuk mendukung pembelajaran mandiri, seperti 55 video tutorial Coretax di YouTube, materi salindia, serta simulator interaktif Coretax berbasis internet.

    Dwi juga mengimbau wajib pajak untuk segera melakukan pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Per 3 Desember 2024, masih ada 521 ribu NIK-NPWP yang belum dipadankan.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Faisal Yunianto
    Copyright © ANTARA 2024

  • Tinjau Kanwil Bali, Menkeu sebut APBN bantu pemulihan ekonomi lokal

    Tinjau Kanwil Bali, Menkeu sebut APBN bantu pemulihan ekonomi lokal

    APBN dan transfer ke daerah (TKD) ikut mendukung pemulihan ekonomi daerah

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat meninjau Kantor Kementerian Keuangan Wilayah Bali menyatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah membantu pemulihan ekonomi di wilayah Pulau Dewata.

    “Ekonomi Bali dan sektor pariwisata mulai pulih. APBN dan transfer ke daerah (TKD) ikut mendukung pemulihan ekonomi daerah,” kata Sri Mulyani dalam akun Instagram @smindrawati di Jakarta, Kamis.

    Dalam kunjungannya itu, Sri Mulyani menerima laporan performa empat direktorat jenderal, di antaranya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

    “Menjelang akhir tahun anggaran, seluruh Kanwil Kemenkeu sibuk menjalankan tugas, baik dari sisi penerimaan, belanja, dan pengelolaan kekayaan negara dan lelang,” tutur dia.

    APBN per Oktober 2024 mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun atau 1,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

    Defisit ini masih lebih kecil dari yang ditetapkan bersama DPR pada UU APBN, yakni sebesar 2,29 persen.

    Defisit diperoleh lantaran belanja negara lebih tinggi daripada pendapatan negara. Belanja negara tercatat sebesar Rp2.556,7 triliun atau 76,9 persen dari pagu, tumbuh 14,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara pendapatan negara tercatat sebesar Rp2.247,5 triliun atau 80,2 persen dari target, tumbuh 0,3 persen yoy.

    Secara rinci, realisasi belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) sebesar Rp1.834,5 triliun dan transfer ke daerah (TKD) Rp722,2 triliun.

    Realisasi BPP setara 74,3 persen dari target APBN Rp2.467,5 triliun, tumbuh 16,7 persen. Sementara realisasi TKD setara 84,2 persen APBN Rp857,6 triliun, tumbuh 8 persen.

    Sedangkan penerimaan negara yang berasal dari perpajakan tercatat sebesar Rp1.749,3 triliun (setara 75,7 persen dari target Rp2.309,9 triliun, tumbuh 0,3 persen), terdiri dari penerimaan pajak Rp1.517,5 triliun (76,3 persen dari target Rp1.988,9 triliun, melambat 0,4 persen) dan kepabeanan dan cukai Rp231,7 triliun (72,2 persen dari target Rp321 triliun, tumbuh 4,9 persen).

    Adapun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terealisasi sebesar Rp477,5 triliun, setara 971, persen dari target Rp492 triliun, namun melambat 3,4 persen.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Faisal Yunianto
    Copyright © ANTARA 2024

  • Lapor SPT Pajak 2024 Pakai Sistem Lama, Coretax Gimana?

    Lapor SPT Pajak 2024 Pakai Sistem Lama, Coretax Gimana?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun 2024 yang akan disampaikan di awal 2025 masih akan menggunakan sistem lama melalui DJP Online.

    Padahal, DJP memiliki Coretax Administration System atau sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) akan mulai berlaku per Januari 2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti menjelaskan keputusan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan 2024.

    “Demi kemudahan dan keberlanjutan wajib pajak, jadi SPT Tahunan 2024 untuk wajib pajak orang pribadi atau badan, kita masih menggunakan saluran yang lama,” kata Dwi dikutip dari Detikcom, Kamis (5/12/2024).

    Dwi mengakui bahwa data transaksi wajib pajak pada 2024 belum terekam oleh sistem Coretax. “Secara transaksi kan belum tercatat ya, nanti baru tercatatnya itu di 2025,” ucapnya.

    Kebijakan ini berlaku bagi wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Nantinya, wajib pajak orang pribadi masih akan melaporkan sPT melalui e-filling di DJP Online dan wajib pajak badan atau perusahaan akan menggunakan e-Form DJP Online.

    Dwi menegaskan Coretax baru akan digunakan untuk pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2025, yang pelaporannya dilakukan di 2026.

    “Nanti yang SPT Tahunan PPh Orang Pribadi maupun Badan itu menggunakan Coretax baru 2025, yang akan disampaikan di 2026. Karena kalau kita langsung paksa sekarang, ya pasti belum ada juga karena data transaksinya kan belum masuk,” tegasnya.

    (haa/haa)

  • Jelang implementasi coretax, pemadanan NIK-NPWP hampir rampung

    Jelang implementasi coretax, pemadanan NIK-NPWP hampir rampung

    Jadi, hanya tinggal 0,68 persen lagi atau kurang lebih 521 ribu yang belum dipadankan

    Bandung (ANTARA) – Menjelang implementasi Core Tax Administration System (CTAS) atau coretax, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkan pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sudah hampir rampung.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan pemadanan NIK-NPWP per 3 Desember 2024 telah mencapai 75.939.355 dari total 76.460.637 NIK, atau sebesar 99,32 persen.

    “Jadi, hanya tinggal 0,68 persen lagi atau kurang lebih 521 ribu yang belum dipadankan,” kata Dwi saat media briefing di Bandung, Jawa Barat, Rabu.

    Dia merinci, sebanyak 71,34 juta NIK-NPWP dipadankan oleh sistem dan 4,6 juta NIK-NPWP dipadankan secara mandiri oleh wajib pajak.

    Dia mengimbau wajib pajak untuk segera melakukan pemadanan NIK-NPWP, mengingat sistem coretax rencananya dikejar untuk mulai diimplementasikan pada awal 2025 mendatang.

    Coretax merupakan sistem inti administrasi perpajakan yang disiapkan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam administrasi perpajakan. Sistem ini akan mengotomasi layanan administrasi pajak dan memberikan analisis data berbasis risiko untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

    Sembari menunggu peluncuran coretax, Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

    PMK 81/2024 mencabut 42 peraturan perpajakan yang telah ada sebelumnya. Salah satu perubahan signifikan dari peraturan ini adalah perubahan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang kini diseragamkan. Meski seragam, tak semua jenis pajak memiliki tanggal jatuh tempo yang sama.

    Adapun penjelasan teknis mengenai coretax tercantum pada Pasal 464 hingga 467.

    Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban wajib pajak untuk masa pajak Januari 2025 serta Pajak Bumi dan Bangunan (PPB) tahun pajak 2025 dilakukan secara terpusat menggunakan NPWP.

    Sementara tata cara pembayaran pajak dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) serta penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan imbalan bunga ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Perbendaharaan.

    Untuk tata cara pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak serta Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

    Meski begitu, belum semua ketentuan diatur dalam PMK 81/2024. Sejumlah ketetapan akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak, salah satunya mengenai kriteria wajib pajak yang dibebaskan dari kewajiban melapor Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2024

  • DJP: Lapor SPT Tahunan PPh 2024 belum gunakan coretax

    DJP: Lapor SPT Tahunan PPh 2024 belum gunakan coretax

    Untuk SPT Tahunan PPh orang pribadi maupun badan baru menggunakan coretax pada SPT Tahunan tahun 2025 yang akan disampaikan pada tahun 2026

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan pelaporan Surat Pemberitahunan (SPT) Tahunan untuk pajak penghasilan (PPh) tahun 2024 belum menggunakan sistem coretax.

    Artinya, pada masa pelaporan SPT Tahunan hingga 31 Maret 2025 untuk wajib pajak orang pribadi dan 30 April 2025 untuk wajib pajak badan, masih dilakukan melalui laman DJP Online.

    “Untuk SPT Tahunan PPh orang pribadi maupun badan baru menggunakan coretax pada SPT Tahunan tahun 2025 yang akan disampaikan pada tahun 2026,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti saat media briefing di Bandung, Jawa Barat, Rabu.

    Dwi menjelaskan sistem coretax rencananya baru akan mulai diimplementasikan pada Januari 2025, sehingga data transaksi pajak tahun 2024 belum terekam dalam sistem tersebut.

    Sementara transaksi pajak tahun depan, seiring dengan peluncuran coretax, akan terdata pada sistem coretax.

    Hingga sejauh ini, pengembangan coretax telah memasuki tahap akhir, yaitu pengujian penerimaan pengguna (User Acceptance Testing/UAT) dan pengujian operasional (Operational Acceptance Test/OAT).

    Sambil menunggu implementasi pada 1 Januari mendatang, DJP memberikan edukasi baik secara internal maupun eksternal.

    Edukasi internal diberikan kepada pegawai melalui sistem pelatihan. Sementara edukasi eksternal menyasar kelompok wajib pajak.

    “Yang lainnya masih terus dilakukan oleh unit-unit kantor vertikal kami di seluruh Indonesia. Mudah-mudahan nanti pada saat implementasi, wajib pajak sudah banyak memahami juga,” ujar Dwi.

    DJP pun telah menyediakan berbagai saluran untuk mendukung pembelajaran mandiri, seperti 59 video tutorial coretax di YouTube, materi salindia, serta simulator interaktif coretax berbasis internet.

    Penjelasan rinci terkait implementasi coretax tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81 Tahun 2024. Beleid itu dikeluarkan untuk memastikan penerapan coretax dapat berjalan baik sesuai dengan yang direncanakan.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2024

  • Kanwil DJP: Realisasi penerimaan pajak di Lampung capai Rp7,18 triliun

    Kanwil DJP: Realisasi penerimaan pajak di Lampung capai Rp7,18 triliun

    sudah mencapai jumlah Rp7,18 triliun dari target Rp9,03 triliun atau realisasi sudah mencapai 79,53 persenBandarlampung (ANTARA) – Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Bengkulu dan Lampung menyatakan bahwa realisasi penerimaan pajak di Provinsi Lampung hingga Oktober 2024 mencapai Rp7,18 triliun.

    “Penerimaan pajak sampai dengan 31 Oktober 2024 tumbuh positif sebesar 11,63 persen tahun per tahun, dan sudah mencapai jumlah Rp7,18 triliun dari target Rp9,03 triliun atau realisasi sudah mencapai 79,53 persen,” ujar Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bengkulu dan Lampung Rosmauli di Bandarlampung, Rabu.

    Ia mengatakan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) mengalami pertumbuhan 8,26 persen dengan realisasi Rp3 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah terealisasi Rp3,8 triliun atau tumbuh 15,70 persen, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) realisasinya Rp140,5 miliar mengalami penurunan 12,32 persen, sedangkan pajak lainnya mencapai Rp137,68 miliar atau tumbuh 12,12 persen dari tahun ke tahun.

    Dia menjelaskan pada sektor perpajakan PPN dalam negeri tumbuh 17,94 persen dengan kontribusi penerimaan sebesar 45,85 persen dari total penerimaan karena ada peningkatan aktivitas ekonomi di beberapa sektor.

    “Sedangkan untuk PPh Pasal 21 tumbuh 21,23 persen tahun per tahun dengan kontribusi penerimaan sebesar 18,06 persen dari total penerimaan. PPh Badan terkontraksi sebesar 11,13 persen dengan kontribusi penerimaan sebesar 10,31 persen dari total penerimaan karena ada perlambatan industri pengolahan dan manufaktur,” ucap dia.

    Kemudian sektor perdagangan besar tumbuh sebesar 36,96 persen dari tahun per tahun dengan kontribusi dari total penerimaan sebesar 36,96 persen, karena ada pertumbuhan sebesar 179,14 persen dari perdagangan kopi, teh dan kakao.

    Pewarta: Ruth Intan Sozometa Kanafi
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2024

  • Pernah Naik pada 2022, Ini Alasan Pemerintah Akan Naikkan PPN Jadi 12 Persen

    Pernah Naik pada 2022, Ini Alasan Pemerintah Akan Naikkan PPN Jadi 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah sudah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Sebelumnya, PPN sudah mengalami kenaikan dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022.

    Kenaikan PPN tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat. Sebagian mendukung dan sebagian lainnya mengkritiknya.

    Sebenarnya apa yang melatarbelakangi kenaikan PPN dan apa dampaknya bagi masyarakat? Berikut ini penjelasannya.

    Peraturan Pemerintah Terkait PPN
    Rencana kenaikan PPN dimulai pada 2021 setelah pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 29 Oktober 2021. UU HPP mengubah beberapa UU mengenai Perpajakan seperti UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU PPN, dan UU Cukai.

    Usulan kenaikan PPN berasal dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang saat itu dipimpin oleh Sri Mulyani yang kemudian diajukan kepada Komisi XI DPR. Setelah melewati proses yang panjang, DPR kemudian menerima dan mengesahkan UU HPP. Salah satu aturan yang berlaku setelah pengesahan UU HPP adalah kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan direncanakan kembali naik menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.

    Tujuan Kenaikan PPN
    Kenaikan PPN bertujuan untuk menaikkan jumlah pemasukan negara melalui pajak. Pada 2021, Sri Mulyani menuturkan melalui kenaikan PPN diharapkan penerimaan pajak pada 2022 dapat meningkat. Ketika itu, diproyeksikan penerimaan pajak antara Rp 1.499 triliun hingga Rp 1.528 triliun atau tumbuh sebesar 8,37 persen hingga 8,42 persen.

    Realitanya pada akhir Desember 2022, Kemenkeu mencatat penerimaan pajak tahun tersebut meningkat pesat dan melewati dari target proyeksi awal, yaitu sebanyak Rp 2.034 triliun. Jumlah tersebut tumbuh sebanyak 31,4 persen, jika dibandingkan dengan 2021 yang mendapatkan penerimaan pajak sebanyak Rp 1.547 triliun.

    Dengan adanya rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu memproyeksikan jumlah penerimaan pajak akan sebesar Rp 2.189 triliun pada tahun tersebut. Angka ini tumbuh sekitar 13,9 persen jika dibandingkan dengan outlook penerimaan pajak 2024 sekitar Rp 1.921 triliun.

    Penerapan PPN
    Penerapan PPN diberlakukan pada beberapa objek, seperti:
    – Barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) diserahkan dalam daerah pabean oleh pengusaha kena pajak (PKP).
    – Mengekspor BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh PKP.
    – Mengimpor BKP dan/atau pendayagunaan JKP tak berwujud berasal dari di luar daerah pabean.

    Aktiva yang diserahkan oleh PKP yang pada awal mulanya tidak ditujukan untuk diperjualbelikan, asalkan PPN yang dibayarkan pada proses perolehannya dapat dikreditkan.

    BKP dalam hal ini diartikan sebagai barang-barang yang memiliki wujud dan sifat barang bergerak atau tidak bergerak serta barang tidak berwujud. Barang berwujud, seperti mobil, komputer, dan ponsel, sementara barang tidak berwujud berupa hak paten, aplikasi, dan lisensi.

    JKP tidak berwujud meliputi layanan menonton siaran film atau mendengarkan musik berbasis aplikasi atau web.

    Skema Kenaikan PPN di Indonesia
    Pemerintah Indonesia telah merencanakan kenaikan tarif PPN dalam dua tahap sebagai bagian dari reformasi perpajakan. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021, kenaikan pertama pada 1 April 2022, mengubah tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, dan tahap kedua direncanakan pada 1 Januari 2025, tarif PPN akan meningkat menjadi 12 persen.

    Kebijakan tersebut dirancang secara bertahap untuk memberi waktu kepada masyarakat dan pelaku usaha untuk menyesuaikan harga barang dan sistem pembayaran pajak.

    Sebagai bagian dari implementasi kebijakan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat dan pelaku usaha, termasuk UKM, agar mereka bisa menyesuaikan sistem pelaporan dan pembayaran pajak dengan tarif yang baru.

    Barang dan jasa esensial, seperti sembako, kesehatan, pendidikan, dan jasa keuangan, tetap bebas dari PPN, untuk menjaga daya beli masyarakat. Di samping itu, pemerintah juga menyiapkan bansos dan insentif sektor untuk membantu mengurangi dampak kenaikan tarif PPN pada masyarakat berpendapatan rendah serta sektor usaha yang terdampak, seperti pariwisata dan barang konsumsi.

    Untuk memastikan kebijakan berjalan dengan baik, pemerintah akan melakukan evaluasi dan monitoring secara berkala. Pemantauan ini akan dilakukan untuk menilai dampak sosial dan ekonomi dari kenaikan PPN, serta untuk mengidentifikasi sektor atau kelompok yang mungkin paling terdampak. Pemerintah juga akan memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi pelaporan dan pembayaran PPN.

    Dampak Kenaikan PPN di Indonesia
    1.  Dampak bagi pemerintah
    Kenaikan PPN menjadi 12 persen dapat memberikan tambahan pemasukan bagi pemerintah untuk mendanai berbagai program penting, seperti pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, dan program pengentasan kemiskinan. Dengan pemasukan yang lebih besar dari pajak ini, pemerintah juga bisa lebih mudah mengurangi utang negara dan menjaga keuangan tetap stabil.

    2. Dampak bagi masyarakat
    – Kenaikan PPN bisa memicu inflasi
    Saat PPN naik 1 persen, harga barang dan jasa juga ikut naik, meskipun kenaikannya tidak langsung sebesar itu. Menurut studi Ernst & Young, kenaikan 1 persen PPN biasanya meningkatkan inflasi sedikit di bawah 1 persen. Akibatnya, masyarakat harus membayar lebih untuk barang dan jasa, sehingga daya beli mereka berkurang.

    – Daya beli masyarakat menurun
    Karena harga naik, banyak orang mulai mengurangi belanja mereka. Sebagian besar memilih menabung daripada membeli barang. Ini membuat konsumsi rumah tangga, yang biasanya menjadi pendorong utama ekonomi Indonesia, jadi lebih lambat. Pada 2023, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 53 persen dari total ekonomi, jadi penurunan ini cukup mengkhawatirkan.

    – Pertumbuhan ekonomi melambat
    Jika daya beli turun dan konsumsi rumah tangga melemah, aktivitas ekonomi pun akan berkurang. Hal ini bisa memengaruhi sektor perdagangan dan membuat ekonomi secara keseluruhan berjalan lebih lambat.

    3. Dampak pada dunia usaha
    Pelaku usaha perlu menyesuaikan harga jual atau menyerap sebagian kenaikan biaya agar tetap kompetitif saat PPN 12 persen diterapkan. Sektor jasa konsumsi, elektronik, dan otomotif menjadi yang paling terdampak. Selain itu, perusahaan juga harus lebih kreatif dalam strategi pemasaran untuk menarik konsumen yang semakin selektif.

    Penundaan PPN 12 Persen
    Baru-baru ini Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sinyal pemerintah akan menunda kenaikan PPN 12 persen.

    “Ya, hampir pasti diundur,” ujar Luhut di Jakarta, Rabu (27/11/2024).

    Menurut Luhut, keputusan untuk menunda kenaikan PPN ini diambil karena pemerintah berencana memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat. Stimulus akan diberikan khususnya kepada masyarakat kelas menengah, melalui bantuan sosial (bansos).

    “PPN 12 persen harus diundur karena sebelum itu, pemerintah harus memberikan dahulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya terpuruk,” kata Luhut.

    Luhut menjelaskan bansos yang akan diberikan bukan berupa bantuan langsung tunai (BLT), melainkan subsidi energi ketenagalistrikan.

  • Penerimaan Pajak Kanwil DJP Jakpus Capai Rp78,65 Triliun

    Penerimaan Pajak Kanwil DJP Jakpus Capai Rp78,65 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA —  Penerimaan pajak Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat mencapai Rp78,65 triliun per 31 Oktober 2024. Jumlah itu setara 76,11 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan sebesar Rp103,33 triliun.

    Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat, Eddi Wahyudi mengatakan, berdasarkan jenis pajaknya, capaian Kanwil DJP Jakarta Pusat terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp44,36 triliun atau 74,72 persen dari target, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Rp34,23 triliun atau 78,02 persen dari target, dan Pajak Lainnya Rp57,26 miliar atau 58,45 persen dari target.

    Eddi menjelaskan  kontribusi dominan penerimaan Oktober diperoleh dari sektor Perdagangan sebesar Rp26,27 triliun, sektor Administrasi Pemerintahan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar Rp12,13 triliun, dan sektor Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar Rp6,36 triliun.

    “Meskipun sektor perdagangan memiliki share terbesar 33,59 persen di bulan ini, tetapi mengalami pertumbuhan yang landai sebesar 1,93 persen. Berkebalikan halnya dengan sektor Administrasi Pemerintahan dengan share 15,52 persen (terbesar kedua) namun mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan sebesar 23,35 persen,” ujar Eddi seperti dilansir beritajakarta, (29/11/2024).

    Sementara itu, secara regional, kondisi perekonomian Jakarta triwulan III/2024 tumbuh sebesar 4,93 persen secara tahunan dengan realisasi penerimaan pajak Provinsi Jakarta mencapai sebesar Rp1.072,37 triliun atau 88,87 persen dari target.

    Hal ini disampaikan dalam penyampaian Kinerja APBN Regional DKI Jakarta melalui Konferensi Pers Forum Assets Liabilities Committee (ALCo) Regional Jakarta yang dimpimpin Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan DKI Jakarta, Mei Ling.

    Dia mengatakan ekonomi Jakarta tumbuh solid didukung oleh inflasi yang terkendali, kondisi ketenagakerjaan yang membaik, keyakinan konsumen masih berada dalam zona optimis, dan konsumsi masyarakat yang tetap terjaga.

    Dia menjelaskan kinerja APBN hingga akhir Oktober resilent, dengan defisit masih terkendali disertai belanja yang meningkat dan pendapatan yang membaik. Ia menambahkan, kinerja APBD terus menguat didukung oleh jenis pajak utama yang tumbuh positif dan dukungan TKD untuk pemerataan kesejahteraan.

    “Sinergi yang kuat antara APBN dan APBD terus ditingkatkan guna mendukung pembangungan berkelanjutan dan sebagai shock absorber untuk mengoptimalkan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata di seluruh wilayah,” imbuhnya. 

  • Kanwil DJP Jakbar dan DJKN lelang sejumlah aset hasil penyitaan

    Kanwil DJP Jakbar dan DJKN lelang sejumlah aset hasil penyitaan

    Salah satu mobil yang disita Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat untuk dilelang, Kamis (28/11/2024). ANTARA/HO-Kanwil DJP Jakbar

    Kanwil DJP Jakbar dan DJKN lelang sejumlah aset hasil penyitaan
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 28 November 2024 – 15:05 WIB

    Elshinta.com – Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat bersama Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta melelang aset hasil penyitaan dari penunggak pajak di delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat.

    Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat Farid Bachtiar menyebutkan, pelelangan itu merupakan kegiatan penagihan pajak atas barang sitaan dari penunggak pajak yang digunakan untuk membayar utang pajak.

    “Semoga kegiatan ini beri efek jera (deterrent effect) dan tunjukkan keseriusan DJP kumpulkan penerimaan pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak,” kata Farid saat dikonfirmasi di Jakarta pada Kamis.

    Sebanyak 14 aset dilaksanakan eksekusi lelang pajak tanpa kehadiran peserta lelang dengan cara penawaran melalui situs web lelang.go.id atas barang bergerak dalam kondisi apa adanya. Ke-14 aset tersebut berupa 11 kendaraan roda empat, satu unit rumah toko (ruko) dan dua unit kios di Cengkareng.

    Farid menyebut bahwa informasi lebih rinci terkait masing-masing barang yang dilelang dan langkah-langkah yang harus dilakukan dapat dilihat di tautan https://linktr.ee/LelangSerentakJakartaBarat.

    Penetapan pemenang lelang adalah di hari Rabu tanggal 4 Desember 2024, dimulai dari pukul 10:00 WIB sampai dengan 11.50 WIB sesuai jadwal masing-masing aset lelang, bertempat di Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat, Jalan Tomang Raya Nomor 16-18, Jakarta Barat.

    “Penetapan pemenang lelang dilakukan setelah batas akhir penawaran,” kata Farid.

    Adapun syarat dan ketentuan lelang yang pertama, calon peserta lelang dapat melihat objek lelang sejak diumumkan. Kedua, lelang dilaksanakan dengan cara penawaran lelang melalui aplikasi lelang (open bidding). Ketiga, memiliki akun yang telah terverifikasi pada laman portal.lelang.go.id dan/atau lelang.go.id.

    Berikutnya nominal jaminan harus sudah efektif diterima oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) selambat-lambatnya satu hari kalender sebelum pelaksanaan lelang dan nilai disetorkan ke rekening VA (virtual account) harus sama dengan nominal jaminan yang disyaratkan.

    Segala biaya yang timbul sebagai akibat mekanisme perbankan menjadi beban peserta lelang. Selanjutnya penawaran lelang dimulai dari nilai limit dan dapat diajukan berkali-kali sampai batas akhir penawaran. Terakhir, pemenang lelang harus melunasi pokok lelang dan bea lelang sebesar tiga persen paling lambat lima hari kerja setelah pelaksanaan lelang.

    “Masyarakat yang ingin mengikuti lelang ini, harus memenuhi lima syarat berikut yaitu memiliki KTP, NPWP, alamat email, nomor rekening dan nomor HP,” ungkap Farid.

    Farid juga mengimbau masyarakat untuk berhati-hati atas penipuan bermoduskan lelang yang mengatasnamakan DJP, DJKN, KPKNL dan instansi pemerintah lainnya.

    “Jangan sampai terbujuk dengan tawaran pihak yang tidak bertanggung jawab. Hubungi kantor kami untuk mendapatkan informasi tepercaya,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Top 3: Daftar Barang yang Kena PPN 12% per 1 Januari 2025 – Page 3

    Top 3: Daftar Barang yang Kena PPN 12% per 1 Januari 2025 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU). Artinya, PPN 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Mengutip Pasal 4 Ayat 1 UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai, ada sejumlah objek yang dikenakan PPN.

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan bahwa semua buku, baik cetak maupun digital, dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, pengecualian berlaku untuk buku yang melanggar hukum, seperti yang mengandung unsur diskriminasi, pornografi, atau bertentangan dengan Pancasila.

    Artikel Daftar Barang yang Kena PPN 12% per 1 Januari 2025, Ada Kulkas hingga Pulsa menyita perhatian pembaca di Kanal Bisnis Liputan6.com pada Rabu, 27 November 2024. Ingin tahu artikel terpopuler lainnya di Kanal Bisnis Liputan6.com?

    Berikut tiga artikel terpopuler di Kanal Bisnis Liputan6.com, yang dirangkum pada Kamis (28/11/2024):

    1. Daftar Barang yang Kena PPN 12% per 1 Januari 2025, Ada Kulkas hingga Pulsa

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU). Artinya, PPN 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Diketahui, ketentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Maka, per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen.

    Baca artikel selengkapnya di sini