Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • Transaksi QRIS Kena PPN 12%, Harga Barang Naik? – Page 3

    Transaksi QRIS Kena PPN 12%, Harga Barang Naik? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Kenaikan tarif PPN ini akan berlaku juga untuk transaksi yang menggunakan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS).

    Namun, PPN 12% yang diberlakukan untuk biaya transaksi ini akan dibebankan kepada merchant atau penjual, bukan langsung kepada konsumen yang melakukan pembayaran melalui QRIS.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa meskipun transaksi menggunakan QRIS akan dikenakan PPN, dasar pengenaan pajaknya mengacu pada Merchant Discount Rate (MDR).

    Sebagai informasi, MDR adalah biaya yang dipungut oleh penyelenggara jasa pembayaran kepada merchant atau pemilik toko. Dengan demikian, merchant yang menggunakan layanan QRIS akan bertanggung jawab untuk membayar PPN yang terutang, bukan konsumen.

    “Jadi, sebenarnya yang menjadi dasar untuk dilakukannya pembayaran QRIS termasuk keuangan itu MDR, sebenarnya provider itu menyediakan aplikasi ini, kemudian nanti ada mekanisme antara provider dan merchant-nya. Nanti merchant-nya yang bayar PPN berapa jasanya? Bisa jadi 0,1 atau 0,2 dari transaksi dan itu sebenarnya merchant-nya yang bertanggung jawab dengan provider. Kita bayar ya sama-sama aja,” kata Dwi dalam Media Briefing tentang PPN atas Jasa Layanan Transaksi Uang Elektronik dan Digital, di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (23/12/2024).

    Perempuan yang akrab disapa Ewie ini menjelaskan, bahwa transaksi menggunakan QRIS maupun tunai, pada dasarnya memiliki prinsip yang sama, yaitu tidak ada perbedaan harga yang signifikan.

    Misalnya, ketika Anda membeli air mineral seharga Rp 6.000 di Gelora Bung Karno (GBK) dan pembayarannya menggunakan QRIS. Harganya akan tetap sama meskipun membayarnya secara tunai. Harganya juga tetap sama Rp 6.000.

    Untuk contoh lainnya, ketika Anda membeli barang dengan harga Rp 5.000.000 di toko elektronik menggunakan QRIS, PPN 11 persen yang dikenakan adalah atas jasa transaksi, bukan harga barang itu sendiri. Artinya, baik Anda membayar dengan QRIS atau tunai, harga yang dibayar tetap sama, yaitu Rp 5.550.000 (harga barang ditambah PPN). Begitupun untuk tahun 2025 nanti dimana PPN menjadi 12 persen.

    Kendati demikian, DJP tidak dapat memberikan jaminan bahwa harga barang yang dijual oleh merchant tidak akan naik setelah tarif PPN 12 persen diberlakukan pada Januari 2025. Kenaikan harga, jika terjadi, sepenuhnya tergantung pada keputusan merchant masing-masing.

    “Apa ada jaminan (harga barang tak naik)? Ya nggak bisa jamin,” pungkasnya.

  • Biaya Transaksi Qris Sebesar 12 Persen Bakal Dibebankan Kepada Penjual  – Halaman all

    Biaya Transaksi Qris Sebesar 12 Persen Bakal Dibebankan Kepada Penjual  – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, pengenaan biaya transaksi melalui Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) sebesar 12 persen akan dibebankan pada penjual atau gerai-gerai pelaku usaha.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Mayarakat DJP, Dwi Astuti mengatakan, kebijakan itu sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. 

    Menurutnya, melalui PMK tersebut pengenaan PPN hanya Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant.

    “Jadi selama ini, jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital sudah dikenakan PPN. Jadi itu di PMK 69/2022,” kata Dwi dalam Konferensi Pers di Kantornya, Senin (23/12/2024).

    Sayangnya, Dwi enggan menjelaskan lebih rinci presentase kenaikan biaya transaksi untuk sekali pakai menggunakan Qris. Dia hanya menekankan bahwa pengenaan pajak 12 persen itu untuk MDR.

    “Nanti ada mekanisme lah antara provider dengan merchantnya nanti merchantnya yang bayar PPN berapa dasarnya? bisa jadi Rp 1.000, bisa jadi persentase,” ucap dia.

    “Bisa jadi 0,1 dari transaksi bisa jadi 0,2 dan itu sebenarnya merchantnya yang bertanggung jawab dengan provider, kita mau bayarnya sama-sama saja,” imbuhnya.

    Meski begitu, Direktorat Jenderal Pajak enggan menjamin bahwa nantinya akan ada kenaikan harga barang usai pengenaan PPN 12 persen kepada merchant.

    “Ya enggak bisa jamin,” tegas Dwi.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Mayarakat DJP, Dwi Astuti dalam acara Konferensi Pers di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Senin (23/12/2024).

    Hitungan PPN 12 persen menurut DJP 

    Ilustrasi pengenaan PPN 12 persen pada jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital.

    (1) Zain mengisi ulang (top up) uang elektronik sebesar Rp 1.000.000. Biaya top up misalnya Rp 1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:

    11 persen x Rp 1.500 = Rp 165.

    Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut:

    12% x Rp 1.500 = Rp180.

    Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp 15.

    (2) Slamet mengisi dompet digital atau e-wallet sebesar Rp 500.000. Biaya pengisian dompet digital atau e-wallet misalnya Rp 1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:

    11% x Rp1.500 = Rp165.

    Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut:

    12% x Rp1.500 = Rp180.

    “Artinya, berapapun jumlah nominal transaksi sepanjang jasa layanan yang dibebankan oleh provider tidak mengalami perubahan, maka jumlah PPN yang dibayar akan tetap sama,” ujar Dwi.

  • Ingat Pembayaran Pakai QRIS Tak Kena PPN

    Ingat Pembayaran Pakai QRIS Tak Kena PPN

    JABAR EKSPRES – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pembayaran menggunakan sistem Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) tidak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

    Penjelasan ini disampaikan dalam acara peluncuran EPIC SALE di Alfamart Drive Thru Alam Sutera pada Minggu, 22 Desember 2024.

    Baca juga : Viral Seruan Boikot Pajak Imbas PPN 12%, Masyarakat Diajak Belanja ke UMKM

    QRIS dan Sistem Pembayaran Lain Bebas atau Tak Kena PPN

    Menurut Airlangga, pembayaran melalui QRIS diperlakukan sama seperti transaksi menggunakan kartu debit atau metode pembayaran elektronik lainnya yang tidak dikenakan PPN.

    PPN hanya berlaku pada barang atau jasa yang dibeli, bukan pada sistem pembayaran itu sendiri.

    “QRIS tidak kena PPN, seperti halnya debit card. Kami selalu memantau perkembangan di masyarakat untuk memastikan informasi yang beredar akurat,” jelasnya.

    Selain itu, Airlangga juga menegaskan bahwa bahan pokok penting, termasuk turunannya seperti tepung, gula, dan minyak, tetap bebas dari PPN.

    Hal yang sama berlaku untuk sektor transportasi, pendidikan, dan kesehatan, kecuali pada layanan tertentu yang bersifat khusus.

    Isu PPN pada Uang Elektronik

    Sebelumnya, beredar isu bahwa transaksi uang elektronik akan dikenakan PPN sebesar 12% mulai 1 Januari 2025.

    Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa pengenaan PPN pada jasa uang elektronik bukan merupakan objek pajak baru.

    “Pengenaan PPN ini sudah berlaku sejak 1 Juli 1984 berdasarkan UU PPN Nomor 8 Tahun 1983. Artinya, ini bukan hal baru,” ungkap Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP.

    Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021, layanan uang elektronik tidak termasuk dalam daftar objek yang dibebaskan dari PPN.

    Jadi, ketika tarif PPN meningkat menjadi 12%, jasa layanan uang elektronik juga akan mengikuti tarif tersebut.

    Namun, Dwi menjelaskan bahwa dasar pengenaan PPN bukan berasal dari nominal uang yang di-top-up, melainkan dari biaya jasa layanan top-up itu sendiri.

    Misalnya, jika biaya top-up adalah Rp 1.500, maka PPN dihitung dari jumlah tersebut.

    Contoh Perhitungan PPN Uang Elektronik

    Top-up sebesar Rp 1.000.000 dengan biaya jasa Rp 1.500:

  • Airlangga sebut transaksi elektronik tak dikenakan PPN 12 persen

    Airlangga sebut transaksi elektronik tak dikenakan PPN 12 persen

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan transaksi pembayaran virtual melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan e-Money seperti e-toll tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. (ANTARA/HO-Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian)

    Airlangga sebut transaksi elektronik tak dikenakan PPN 12 persen
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Minggu, 22 Desember 2024 – 21:49 WIB

    Elshinta.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan transaksi pembayaran virtual melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan e-Money seperti e-toll tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.

    PPN 12 persen hanya akan dikenakan pada nilai barangnya, bukan pada sistem transaksinya.

    “Hari ini ramai QRIS. Itu juga tidak dikenakan PPN. Jadi QRIS tidak ada PPN. Sama seperti debit card transaksi yang lain,” ujar Airlangga di Kota Tangerang, Banten, Minggu.

    Diketahui, PPN resmi naik dari 11 menjadi 12 persen yang mulai berlaku efektif 1 Januari 2025 mendatang.

    Airlangga menjelaskan, QRIS sudah digunakan di berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Ia mengatakan, jika masyarakat bertransaksi menggunakan QRIS di Indonesia atau di negara yang sudah menggunakan sistem pembayaran virtual tersebut, tidak akan dikenakan PPN 12 persen.

    “Kalau ke sana pun (negara Asia lain) juga pakai QRIS dan tidak ada PPN. Jadi ini kami klarifikasi bahwa payment system tidak dikenakan PPN, karena ini kan transaksi, yang PPN adalah barang,” ujar Menko Airlangga.

    Hal yang sama juga berlaku untuk penggunaan e-toll.

    “Transportasi itu tanpa PPN. Jadi yang namanya tol dan kawan-kawannya, e-toll juga tidak ada PPN,” kata Airlangga menegaskan.

    Lebih lanjut selain sistem pembayaran, Airlangga menyampaikan bahwa PPN juga tidak diberlakukan untuk bahan pokok. Ia menyebut, bahan makanan seperti tepung terigu, minyak goreng Minyakita, dan gula industri bebas dari dampak kenaikan PPN.

    Ia menyebut, tarif PPN 12 persen juga tidak dikenakan untuk tarif tol, sektor kesehatan, dan pendidikan, kecuali barang dan jasa khusus.

    “Kecuali yang khusus. Yang khusus nanti yang ditentukan,” tegasnya.

    Airlangga mengaku kenaikan PPN bukan 12 persen, melainkan hanya 1 persen dari sebelumnya 11 menjadi 12 persen. Ia mengakui memang akan ada dampak terhadap inflasi, namun, hal itu tidak terlalu besar dan berpengaruh terhadap perekonomian nasional.

    “PPN naik itu 1 persen, dari 11 ke 12, bukan dari nol ke 12. Jadi dari segi kenaikan ini pengaruh inflasi ada, tapi relatif tidak terlalu tinggi,” tuturnya.

    Sebelumnya, beredar isu transaksi uang elektronik bakal menjadi objek pajak yang dikenakan tarif PPN 12 persen mulai 1 Januari mendatang.

    Adapun Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menyebut pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983.

    “Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, Jumat.

    UU PPN telah diperbarui dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk objek yang dibebaskan dari PPN. Artinya, ketika PPN naik menjadi 12 persen nanti, tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik.

    Aturan rinci mengenai pengenaan PPN terhadap transaksi uang elektronik, atau layanan teknologi finansial (fintech) secara umum, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022.

    Layanan yang dikenakan PPN di antaranya uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.

    PPN berlaku untuk biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara. Misalnya, biaya layanan registrasi, pengisian ulang saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai untuk uang elektronik.

    Hal yang sama berlaku pada layanan dompet elektronik, termasuk biaya pembayaran tagihan dan layanan paylater. PPN juga dikenakan pada biaya merchant discount rate (MDR).

    Sementara nilai uang elektronik itu sendiri, termasuk saldo, bonus point, reward point, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.

    Sebagai contoh, ketika pengguna melakukan top-up saldo uang elektronik dan dikenakan biaya administrasi, maka biaya administrasi tersebut yang dikenakan PPN.

    Jika biaya administrasi top-up adalah Rp1.000 dan tarif PPN yang berlaku saat ini sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp110, sehingga total biaya menjadi Rp1.110.

    Bila PPN naik menjadi 12 persen nantinya, maka PPN yang perlu dibayar sebesar Rp120, sehingga total biaya menjadi Rp1.120.

    Sedangkan ketika pengguna hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo

    Sumber : Antara

  • Begini Penjelasan Kemenkeu soal Rincian Barang dan Jasa Premium PPN 12%

    Begini Penjelasan Kemenkeu soal Rincian Barang dan Jasa Premium PPN 12%

    Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka suara soal rincian barang dan jasa premium yang akan menjadi objek pajak yang dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
     
    Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menyatakan Kemenkeu tengah mengkaji kriteria atau batasan barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait.
     
    “Agar pengenaan PPN atas barang/jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu,” kata Dwi di Jakarta, dikutip dari Antara, Minggu, 22 Desember 2024.
     
    Hingga rincian tersebut dirilis, maka seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa yang menerima fasilitas pembebasan PPN sebagaimana yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak akan dikenakan PPN.
     
    “Atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait,” ujar Dwi.
     
    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah.
     
    Dari konferensi pers Senin (16/12), pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.
     
    Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen. Terkait barang mewah, pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.
     

     

    Konsep barang mewah
     
    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang terdiri atas dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non kendaraan bermotor.
     
    Untuk non kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.
     
    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu-atau yang disebut oleh Menkeu Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.
     
    Mengacu pada definisi di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut seharusnya mendapat fasilitas pembebasan PPN. Namun, karena sifatnya yang premium, pemerintah bakal menarik PPN 12 persen terhadap barang dan jasa tersebut.
     
    Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen.
     
    Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen.
     
    Untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP, menjadi contoh jasa yang dianggap premium. Sementara listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen.
     
    Adapun untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Transaksi Uang Elektronik-QRIS Kena PPN 12 Persen, Begini Penjelasan DJP

    Transaksi Uang Elektronik-QRIS Kena PPN 12 Persen, Begini Penjelasan DJP

    Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merespons soal transaksi pembayaran melalui uang elektronik hingga Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang ikut kena penaikan PPN jadi 12 persen.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti menjelaskan, jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

    “Artinya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru. Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Dwi Astuti dalam keterangannya, Sabtu, 21 Desember 2024.
    Contoh Perhitungan Pengenaan PPN Uang Elektronik
    Sebagai contoh, ketika pengguna melakukan top-up saldo uang elektronik dan dikenakan biaya administrasi, maka biaya administrasi tersebut yang dikenakan PPN. Jika biaya administrasi top-up adalah Rp1.000 dan tarif PPN yang berlaku saat ini sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp110, sehingga total biaya menjadi Rp1.110.
     
    Bila PPN naik menjadi 12 persen nantinya, maka PPN yang perlu dibayar sebesar Rp120, sehingga total biaya menjadi Rp1.120. Sedangkan ketika pengguna hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo tanpa biaya tambahan, maka tidak ada PPN yang dikenakan.
     

     

    Perhitungan Pengenaan PPN Saat Bertransaksi Pakai QRIS
    Dwi memberikan contoh pengenaan PPN 12 persen transaksi pakai QRIS. Ia menggunakan ilustrasi masyarakat yang membeli TV pada Desember 2024 seharga Rp5 juta, maka atas pembelian tersebut, terutang PPN sebesar Rp550 ribu, sehingga total harga yang harus dibayarkan oleh masyarakat adalah sebesar Rp5.550.000.
     
    “Atas pembelian TV tersebut, jumlah pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat tidak berbeda baik ketika menggunakan QRIS maupun menggunakan cara pembayaran lainnya. Artinya, jasa sistem pembayaran melalui QRIS bukan merupakan objek pajak baru,” ujar dia.
     

    Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merespons soal transaksi pembayaran melalui uang elektronik hingga Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang ikut kena penaikan PPN jadi 12 persen.
     
    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti menjelaskan, jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
     
    “Artinya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru. Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Dwi Astuti dalam keterangannya, Sabtu, 21 Desember 2024.
    Contoh Perhitungan Pengenaan PPN Uang Elektronik
    Sebagai contoh, ketika pengguna melakukan top-up saldo uang elektronik dan dikenakan biaya administrasi, maka biaya administrasi tersebut yang dikenakan PPN. Jika biaya administrasi top-up adalah Rp1.000 dan tarif PPN yang berlaku saat ini sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp110, sehingga total biaya menjadi Rp1.110.
     
    Bila PPN naik menjadi 12 persen nantinya, maka PPN yang perlu dibayar sebesar Rp120, sehingga total biaya menjadi Rp1.120. Sedangkan ketika pengguna hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo tanpa biaya tambahan, maka tidak ada PPN yang dikenakan.
     

     

    Perhitungan Pengenaan PPN Saat Bertransaksi Pakai QRIS
    Dwi memberikan contoh pengenaan PPN 12 persen transaksi pakai QRIS. Ia menggunakan ilustrasi masyarakat yang membeli TV pada Desember 2024 seharga Rp5 juta, maka atas pembelian tersebut, terutang PPN sebesar Rp550 ribu, sehingga total harga yang harus dibayarkan oleh masyarakat adalah sebesar Rp5.550.000.
     
    “Atas pembelian TV tersebut, jumlah pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat tidak berbeda baik ketika menggunakan QRIS maupun menggunakan cara pembayaran lainnya. Artinya, jasa sistem pembayaran melalui QRIS bukan merupakan objek pajak baru,” ujar dia.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (RUL)

  • Kemenkeu buka suara soal rincian barang dan jasa premium PPN 12 persen

    Kemenkeu buka suara soal rincian barang dan jasa premium PPN 12 persen

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti saat media briefing di Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/12/2024). (ANTARA/Imamatul Silfia)

    Kemenkeu buka suara soal rincian barang dan jasa premium PPN 12 persen
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Minggu, 22 Desember 2024 – 16:10 WIB

    Elshinta.com – Kementerian Keuangan buka suara soal rincian barang dan jasa premium yang akan menjadi objek pajak yang dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menyatakan Kemenkeu tengah mengkaji kriteria atau batasan barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait.

    “Agar pengenaan PPN atas barang/jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu,” kata Dwi, dikutip di Jakarta, Minggu.

    Hingga rincian tersebut dirilis, maka seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa yang menerima fasilitas pembebasan PPN sebagaimana yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak akan dikenakan PPN.

    “Atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada tanggal 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait,” ujar Dwi.

    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah. Dari konferensi pers Senin (16/12), Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.

    Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen. Terkait barang mewah, pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.

    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), yang terdiri atas dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non kendaraan bermotor.

    Untuk non kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.

    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu–atau yang disebut oleh Menkeu Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.

    Mengacu pada definisi di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut seharusnya mendapat fasilitas pembebasan PPN. Namun, karena sifatnya yang premium, pemerintah bakal menarik PPN 12 persen terhadap barang dan jasa tersebut. Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen.

    Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen. Adapun untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP menjadi contoh jasa yang dianggap premium.

    Listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen. Untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.

    Sumber : Antara

  • Kemenkeu Buka Suara soal Perincian Barang dan Jasa yang Kena PPN 12 Persen

    Kemenkeu Buka Suara soal Perincian Barang dan Jasa yang Kena PPN 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka suara soal perincian barang dan jasa premium yang akan dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.

    Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menyatakan, Kemenkeu tengah mengkaji kriteria atau batasan barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait.

    “Tujuannya agar pengenaan PPN 12 persen atas barang/jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu,” kata Dwi, dikutip di Jakarta, Minggu (22/12/2024) dilansir Antara.

    Adapun seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait.

    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah.

    Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, tetapi dengan fasilitas pembebasan barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas. Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen.

    Terkait barang mewah, pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.

    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM), yang terdiri atas dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan nonkendaraan bermotor.

    Untuk nonkendaraan bermotor, perinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.

    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu atau yang disebut oleh Menkeu Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.

    Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen.

    Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN. Namun, salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen.

    Adapun untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP menjadi contoh jasa yang dianggap premium. Listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen.

    Untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan dalam waktu dekar, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.

  • Airlangga Tegaskan Tidak Ada PPN untuk E-Tol dan QRIS

    Airlangga Tegaskan Tidak Ada PPN untuk E-Tol dan QRIS

    Tangerang, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, pemerintah tidak akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk transaksi elektronik, seperti e-tol atau Quick Response Indonesian Standard (QRIS).

    Hal ini disampaikan Airlangga Hartarto saat menghadiri peluncuran “Every Price is Cheap Sale (EPIC Sale)” yang diadakan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) berkolaborasi dengan Kementerian Perdagangan di Tangerang.

    “Jadi transportasi itu tanpa PPN. Jadi yang namanya (transaksi) e-tol dan kawan-kawannya tidak ada PPN, jadi jangan diolah-olah (goreng),” kata Airlangga Hartarto di lokasi acara, Minggu (22/12/2024).

    Dia menipis isu yang berkembang transaksi pembiayaan dengan sistem elektronik, seperti QRIS akan ikut terkena penyesuain PPN pada awal Januari 2025. “Hari ini ramai QRIS. Itu juga tidak dikenakan PPN. Jadi QRIS tidak ada PPN, sama seperti debit card transaksi yang lain,” kata dia.

    Selain itu, dia menyampaikan untuk pembelian kendaraan listrik, tidak ada kenaikan PPN dan masih tetap sebesar 11%. Bahkan, bagi masyarakat yang menggunakan daya listrik di bawah 2.200 watt akan diberikan subsidi atau diskon oleh pemerintah sebesar 50% pada Januari sampai Februari 2025.

    Kemudian untuk pembelian perumahan seharga Rp 2 milar, PPN ditanggung pemerintah. Sedangkan untuk pembelian rumah seharga Rp 5 milar, mendapat potongan Rp 1 miliar. “Itu bukti pemerintah memperhatikan apa yang dibeli masyarakat,” tandas Airlangga.

    Sebelumnya beredar kabar transaksi uang elektronik menjadi objek pajak yang dikenakan tarif PPN 12% mulai 1 Januari 2025. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun memberikan klarifikasi. 

    “Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti dikutip dari Antara, Jumat (20/12/2024).

    UU PPN telah diperbarui dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk objek yang dibebaskan dari PPN. Artinya, ketika PPN naik menjadi 12% nanti, tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik.

  • Cara Hitung PPN 12 Persen Ala Ditjen Pajak

    Cara Hitung PPN 12 Persen Ala Ditjen Pajak

    Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan ilustrasi sederhana mengenai cara menghitung pajak pertambahan nilai (PPN) dengan tarif baru sebesar 12 persen, yang akan berlaku mulai 2025.
     
    Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, kenaikan tarif ini hanya akan menambah harga barang atau jasa sebesar 0,9 persen.
     
    Dwi menjelaskan, jika seseorang membeli barang dengan harga pokok Rp5 juta dan tarif PPN yang berlaku adalah 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp550 ribu. Dengan demikian, total harga yang dibayar konsumen adalah Rp5,550 juta.
    Namun, jika tarif PPN naik menjadi 12 persen, maka PPN yang perlu dibayarkan untuk barang dengan harga pokok Rp5 juta menjadi Rp600 ribu. Total harga yang dibayarkan konsumen pun meningkat menjadi Rp5,6 juta.
     
    Baca juga: Kenaikan PPN 12%, Bukan Naik 1% Tapi 9%? Begini Penjelasan Jerome Polin
     
    “Selisih harga dari Rp5,550 juta menjadi Rp5,6 juta itu menunjukkan kenaikan hanya 0,9 persen akibat perubahan tarif PPN,” jelas Dwi dalam keterangan resminya, Sabtu 21 Desember 2024.

    Dampak pada Konsumen Minimal

    DJP memastikan bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak akan berdampak besar pada daya beli masyarakat. Berdasarkan hitungan pemerintah, dampak kenaikan PPN terhadap inflasi hanya sebesar 0,2 persen.
     
    Dwi juga menekankan bahwa penyesuaian tarif ini merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat penerimaan negara. Kenaikan tarif ini akan memberikan tambahan penerimaan PPN sekitar Rp75,29 triliun, yang akan digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional.
     
    “Potensi penerimaan PPN (PPN DN dan PPN Impor) dari penyesuaian tarif 11 persen menjadi 12 persen ini mencapai Rp75,29 triliun,” ujar Dwi.
     
    DJP berharap masyarakat dapat lebih memahami bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tidak akan membebani konsumen secara signifikan. Negara pun mendapat tambahan pendapatan puluhan triliun rupiah.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)