Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • Kapan PPN 12 Persen Berlaku dan Apa yang Kena?

    Kapan PPN 12 Persen Berlaku dan Apa yang Kena?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan.

    Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Sesuai uu tersebut, kenaikan berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Banyak pihak meminta pemerintah tak melaksanakan kebijakan itu meski sudah diperintahkan uu. Tapi, pemerintah tetap saja bersikukuh melaksanakannya.

    Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12).

    “Sesuai dengan amanah undang-undang tentang harmoni peraturan perpajakan, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari. Namun, barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat ini PPN-nya diberikan fasilitas atau 0 persen,” ujar Airlangga.

    Lantas, apa saja barang dan jasa yang dikenai PPN 12 persen?

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tarif PPN 12 persen di 2025 berlaku untuk seluruh barang dan jasa.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti dalam rilis resmi, Minggu (21/12).

    Dwi menegaskan hanya ada 3 barang pokok yang tak terdampak kenaikan tarif PPN mulai 1 Januari 2025 yakni minyak goreng curah pemerintah dengan merek Minyakita, tepung terigu, serta gula industri. Ketiganya tetap dengan tarif lama 11 persen.

    “Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1 persen akan ditanggung oleh pemerintah (DTP). Sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut,” tegasnya.

    Meski begitu, ada sejumlah kebutuhan pokok lain yang mendapatkan fasilitas bebas PPN. DJP Kementerian Keuangan menyebut barang dan jasa tersebut tidak akan dipungut pajak pertambahan nilai alias tarifnya 0 persen.

    Barang dan jasa yang mendapatkan fasilitas bebas PPN di 2025 terbagi ke dalam tiga kelompok, yakni sebagai berikut:

    1. Kebutuhan pokok

    Ada beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

    2. Sejumlah jasa

    Jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan. Kemudian, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja, serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum.

    3. Barang lain

    Ini mencakup buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rumah susun sederhana milik (rusunami), listrik, dan air minum.

    Pemerintah sebelumnya menyatakan PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa yang tergolong premium atau mewah. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan hal ini termasuk sektor pelayanan kesehatan hingga pendidikan di segmen premium.

    “Sesuai dengan masukan dari berbagai pihak, termasuk DPR, agar azas gotong royong di mana PPN 12 persen dikenakan bagi barang yang dikategorikan mewah, maka kita juga akan menyisir untuk kelompok harga untuk barang-barang dan jasa yang merupakan barang jasa kategori premium,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12) lalu.

    (lau/agt)

  • Kenaikan PPN diiringi insentif untuk jaga daya beli

    Kenaikan PPN diiringi insentif untuk jaga daya beli

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Mayarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Dwi Astuti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (23/12/2024). (ANTARA/Imamatul Silfia)

    Anggota DPR: Kenaikan PPN diiringi insentif untuk jaga daya beli
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Selasa, 24 Desember 2024 – 10:33 WIB

    Elshinta.com – Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mengatakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang mewah, diiringi dengan peningkatan program-program pro rakyat dan insentif, sehingga dapat menjaga daya beli masyarakat dan perekonomian.

    Herman dalam pernyataan di Jakarta, Selasa mengatakan dirinya sepakat dengan kebijakan kenaikan PPN dibatasi utamanya untuk barang mewah yang merupakan konsumsi masyarakat kalangan atas, serta dalam waktu bersamaan pemerintah menyiapkan berbagai insentif untuk kalangan masyarakat lainnya.

    “Pada saat yang sama pemerintah juga menetapkan kebijakan afirmatif pajak nol persen untuk sembako dan sejenisnya yang menjadi konsumsi kalangan masyarakat lainnya,” kata dia.

    Menurutnya, terkait dengan kekhawatiran berbagai kalangan terhadap dampak yang ditimbulkan dari kenaikan barang dan jasa lainnya setelah PPN 12 persen diterapkan, dirinya percaya pemerintah sudah mempertimbangkan dan mempersiapkan mitigasi.

    Ia mengatakan dengan berbagai insentif yang akan diluncurkan, kebijakan kenaikan PPN ini bukan saja bisa diminimalkan dampak jangka pendek yang ditimbulkan, tetapi bisa memberi peningkatan terhadap kemampuan fiskal pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan nasional yang akan membawa kemajuan ekonomi bagi rakyat dan negara.

    Lebih lanjut, ia menjelaskan kenaikan PPN sebesar 1 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 tersebut merupakan produk pemerintahan dan DPR sebelumnya yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

    Oleh karena itu, pemerintahan Presiden Prabowo saat ini memiliki kewajiban untuk menjalankannya.

    “Saya yakin pemerintahan Pak Prabowo tidak mudah mengambil keputusan terkait dengan amanah UU untuk menaikkan pajak ini, sehingga harus dicarikan kebijakan yang tepat dalam implementasinya,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Ketua Badan Anggaran DPR Minta Pemerintah Mitigasi Dampak Kenaikan PPN 12 Persen – Page 3

    Ketua Badan Anggaran DPR Minta Pemerintah Mitigasi Dampak Kenaikan PPN 12 Persen – Page 3

    Pemerintah akan menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Di pasar modal, kebijakan ini berpotensi mempengaruhi biaya transaksi.

    Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Samsul Hidayat mengatakan pihaknya belum bisa memastikan penerapan kebijakan tersebut sehubungan dengan layanan KSEI. Hal senada sebelumnya juga pernah diungkapkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), yang masih menunggu aturan pelaksanaan dari aturan tersebut.

    “Kami saat ini sedang berkomunikasi secara intensif dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga melakukan kajian bersama, koordinasi bersama konsultan pajak kami. Jadi apakah berdampak dengan biaya pelayanan, so far kami belum melihat dampak tersebut,” kata Samsul dalam media Luncheon di kawasan Jakarta Selatan, dikutip Selasa (24/12/2024).

    PPN 12 persen akan dikenakan khusus pada barang dan jasa premium yang dinikmati oleh kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Barang premium tersebut meliputi makanan, layanan pendidikan, hingga listrik untuk rumah tangga kelas atas.

    Beberapa contoh barang premium yang dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, ikan dan seafood premium, buah-buahan premium, layanan pendidikan premium, pelayanan kesehatan VIP, hingga listrik daya besar 3500-6600 VA.

    “Jadi nanti pasti akan diberi notifikasi apabila ada (penerapan PPN 12%). Jadi untuk sementara ini kami masih dalam posisi menunggu juklak atau petunjuk teknis lebih lanjut dari otoritas,” imbuh Samsul.

  • Gaji PNS Naik Tahun Depan? Ini Kata Menteri PANRB

    Gaji PNS Naik Tahun Depan? Ini Kata Menteri PANRB

    Jakarta

    Gaji para Pegawai Negeri Sipil (PNS) sempat diisukan akan naik di tahun 2025. Bahkan, kenaikannya masuk ke dalam dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 yang menyebut akan ada penyesuaian upah aparatur sipil negara (ASN).

    Lalu apakah gaji ASN jadi naik tahun depan?

    Dikonfirmasi lebih lanjut terkait hal tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini tidak berbicara banyak. Menurutnya hal ini perlu dikonfirmasi langsung ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

    “Gaji PNS itu sama Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani),” kata Rini, ditemui di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta Selatan, Rabu (24/12/2024).

    Saat ditanya apakah sudah ada pembahasan lebih lanjut bersama Sri Mulyani soal wacana kenaikan gaji di tahun depan, ia juga belum dapat memastikannya.

    “Nanti kita cek lagi dengan Menteri Keuangan,” ujarnya.

    Begitu pula dengan rencana penerapan skema single salary. Menurut Rini, belum banyak pembahasan terkait skema ini. Saat ini, Kementerian PANRB masih dalam proses menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang nantinya akam memuat skema tersebut.

    “RPP lagi kita siapkan. Kan kita RPP Manajemen ASNsaja belum selesai,” kata dia.

    Sebagai informasi, wacana kenaikan gaji ASN di 2025 tercantum dalam KEM-PPKF 2025. Dalam dokumen tersebut, pemerintah menyebut arah kebijakan belanja pegawai pada tahun depan akan difokuskan kepada empat aspek, salah satu di antaranya adalah gaji PNS.

    Suharso Monoarfa yang dulu menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pernah menjelaskan bahwa kenaikan gaji ASN akan dilakukan secara bertahap. Pemerintah akan memprioritaskan peningkatan kesejahteraan bagi ASN, khususnya guru, dosen, tenaga kesehatan (nakes), penyuluh, serta anggota TNI dan Polri.

    “Kenaikan gaji aparatur sipil negara terutama guru, dosen, tenaga kesehatan, penyuluh, serta TNI dan Polri akan dilakukan secara bertahap,” ujar Suharso dalam konferensi pers di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (16/8).

    Program kenaikan gaji ini merupakan bagian dari delapan program unggulan Prabowo-Gibran yang sudah dimasukkan dalam postur RAPBN 2025. Fokus utama pemerintah adalah memastikan bahwa kenaikan gaji ini akan meningkatkan kesejahteraan para ASN, khususnya di sektor-sektor penting yang berdampak langsung pada masyarakat.

    Di kesempatan berbeda, saat masih di Kabinet Indonesia Maju, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyampaikan, gaji PNS akan naik atau tidak akan diumumkan langsung oleh Prabowo yang nantinya akan menjalankan pemerintahan berikutnya.

    “Nanti Presiden terpilih akan menyampaikan ya,” beber Sri Mulyani ketika dikonfirmasi langsung di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (5/8/) silam.

    Lihat juga Video: Daftar Presiden yang Menaikan Gaji PNS Paling Banyak

    (acd/acd)

  • KSEI Kaji Dampak PPN 12% pada 2025 ke Biaya Layanannya

    KSEI Kaji Dampak PPN 12% pada 2025 ke Biaya Layanannya

    Direktur Keuangan dan Administrasi KSEI, Imelda Sebayang, mengatakan KSEI sedang berkoordinasi intensif dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) soal peningkatan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per Januari 2025, khususnya mengenai petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kebijakan itu.

    Lebih lanjut, KSEI terus berdiskusi dengan konsultan pajak mereka untuk mengkaji hal itu secara lebih mendalam.

    “Sejauh ini, kami belum melihat dampak [naiknya PPN] tersebut,” katanya. “Nanti apabila ada, sudah pasti sebagai tanggung jawab kami, pasti akan diberi notifikasi jika ada. Untuk sementara ini kami masih dalam posisi menunggu juklak dan juknis lebih lanjut.”

    Biaya yang berpotensi terkena imbas kenaikan PPN pada jaringan KSEI adalah biaya jasa penyimpanan dan jasa penyelesaian. Namun, belum ada perincian lebih lanjut mengenai berapa besar pengaruh kebijakan tersebut terhadap biaya-biaya itu.

    Saat ditanya mengenai data historis besaran kenaikan biaya layanan KSEI itu ketika PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, KSEI belum dapat memberikan detailnya karena harus mengonfirmasi persentasenya lebih dulu.

    “Kami akan cek dulu datanya, lalu kami konfirmasi kembali,” kata Direktur Penyelesaian, Kustodian, dan Pengawasan KSEI, Eqy Essiqy, kepada Fortune Indonesia pada kesempatan yang sama.

    Pemerintah telah meresmikan perincian barang dan layanan yang terdampak PPN 12 Persen pada 2025. Barang umum yang masyarakat konsumsi, layaknya alat rumah tangga, pakaian, sampai kosmetik akan terkena PPN 12 persen. Selain itu, biaya layanan/jasa pun akan terdampak, termasuk platform seperti Netflix, Spotify, hingga Google.

    Biaya administrasi pada transaksi elektronik akan dikenai PPN 12 persen. Misal, saat Anda mengisi ulang saldo dompet digital dan terdapat biaya administrasi, maka itu akan disertai dengan PPN 12 persen.

  • PPN 12% Berlaku per 1 Januari 2025, Daya Beli Warga RI Aman?

    PPN 12% Berlaku per 1 Januari 2025, Daya Beli Warga RI Aman?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% menjadi 12% dinilai tidak akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Hal ini didasari oleh dampak inflasi yang terbilang rendah atas kenaikan PPN menjadi 12% mulai awal tahun depan.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan berdasarkan hitungan Pemerintah, inflasi saat ini rendah di angka 1,6%.

    “Dampak kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%,” papar Dwi dalam pernyataan resminya, dikutip Selasa (24/12/2024).

    “Dengan demikian, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan,” tegasnya.

    Dia pun mengungkapkan, melihat kembali kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat.

    “Berkaca pada periode kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, dampak terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan,” ungkapnya.

    Adapun, pada tahun 2022, tingkat inflasinya adalah 5,51%, namun terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19. Sepanjang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%.

    Namun, bertolak belakang dari pemerintah pengusaha dan bankir masih melihat PPN 12% akan berpengaruh pada daya beli masyarakat.

    Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) Efdinal Alamsyah mengatakan dari sisi konsumen, kenaikan PPN bakal meningkatkan harga barang dan jasa, lantas menekan daya beli masyarakat. Ini kemudian bisa mengurangi permintaan kredit konsumer.

    “Hal ini berpotensi mengurangi permintaan kredit konsumer, seperti KPR (Kredit Pemilikan Rumah), KKB (Kredit Kendaraan Bermotor), atau pinjaman lainnya,” ujar Efdinal saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (19/12/2024).

    Sementara itu Executive Vice President Consumer Loan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), Welly Yandoko menilai kenaikan PPN bakal jadi tantangan khususnya bagi penjualan property primary di tahun 2025.

    “Tantangan ini diperkirakan terjadi dari 2 sisi, di sisi developer akan adanya kenaikan harga property karena bahan bangunan, di sisi lain kondisi ekonomi dalam ketidakpastian, yang tentunya berdampak pada daya beli masyarakat,” tuturnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (19/12/2024).

    Meskipun begitu, bank swasta terbesar RI itu optimis bahwa akan masih bisa bertumbuh dengan baik. Tentunya, kata Welly, dengan strategi kolaborasi antara BCA dan semua channel penjualan, baik dari kantor cabang BCA, para pengembang, sekaligus juga broker property.

    Co-Founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami, mengakui bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

    “Kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara yang nantinya disalurkan kembali ke sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan program pemerintah lainnya,” ujar Benny.

    Meski memiliki tujuan positif, menurut Benny, pemerintah perlu melihat situasi saat ini dengan sangat hati-hati melalui pemantauan daya beli masyarakat khususnya di kalangan menengah bawah. Sebab hal ini sangat menentukan pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu dijaga pada angka 5% dimana jika melihat pertumbuhan ekonomi pada 2024 ada indikasi mengalami tren penurunan. Untuk itu, Benny melihat bahwa masyarakat perlu menyiapkan diri dalam menghadapi dampak optimalisasi PPN ini.

    “Tantangan terbesar ada di tiga bulan pertama sebagai masa transisi, di mana harga barang cenderung naik. Stimulus pemerintah di periode ini justru menjadi sangat penting,” katanya.

    (haa/haa)

  • Top Up e-Money Rp 1 Juta Kena PPN 12% Rp 180, Ini Hitungannya!

    Top Up e-Money Rp 1 Juta Kena PPN 12% Rp 180, Ini Hitungannya!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan soal transaksi uang elektronik dan dompet digital yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan PPN sudah dikenakan sejak lama terhadap uang elektronik atau e-money dan dompet digital atau e-wallet. Hal ini sesuai dengan aturan PMK 69 Tahun 2022 tentang PPh dan PPN atas penyelenggara teknologi finansial.

    “Jadi selama ini jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital sudah kena PPN yaitu di PMK No. 69/2022,” ungkap Dwi dalam konferensi pers, dikutip Selasa (24/12/2024).

    “Saya paham diskusi di masyarakat QRIS setiap transaksi kena dong, e-money setiap transaksi kena dong. Ini saya klarifikasi ya kenanya sudah lama bukan baru berdasarkan PMK No. 69 Tahun 2022,” ungkapnya.

    Namun, dia menjelaskan PPN 12% dikenakan terhadap biaya admin dalam transaksi elektronik dan dompet digital. Dalam hal ini bukan pada nilai uang yang diisi (top up), nilai saldo atau nilai transaksi jual beli.

    Dwi pun memberikan contoh, misalnya, Slamet melakukan top up e-money atau e-wallet sebesar Rp 1 juta dan biaya admin Rp 1.500. Maka PPN yang dikenakan sebesar Rp 180, yang didapat dari 12% x Rp 1.500.

    “Jadi jasa yang dikenakan PPN itu, 1.500-nya atas jasanya. Jadi Rp 1.500 yang disebut biaya admin itu jasa,” papar Dwi.

    Biasanya, lanjut Dwi, provide sudah memperhitungkan PPN di dalamnya. Lalu dia juga mencontohkan PPN dalam e-wallet ketika dipakai untuk belanja. Misalnya, dompet digital di-top-up sebesar Rp 500.000 dan biaya adminnya Rp 1.500. Itu sudah diperhitungkan pajaknya oleh provide dan ketika pengguna membeli makanan sebesar Rp 100.000 dan membeli pulsa Rp 50.000, maka tidak dikenakan PPN lagi.

    “Pas nge-tap tol juga tidak dikenakan PPN-nya. Gak ada PPN di situ (e-wallet/e-money),” tegas Dwi.

    (haa/haa)

  • Kapan PPN 12 Persen Berlaku dan Apa yang Kena?

    Menyibak Alasan Prabowo Enggan Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah ngotot menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen mulai 1 Januari 2025. Padahal, gelombang penolakan kenaikan PPN terus menggema.

    Petisi berisi penolakan kenaikan PPN menjadi 12 persen bahkan menembus 171 ribu tanda tangan per Senin (23/12) pagi pukul 07.40 WIB.

    Pembuat petisi menganggap PPN 12 persen menyulitkan rakyat. Dia mengingatkan daya beli masyarakat sedang buruk.

    “Rencana menaikkan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik. Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik,” tulis Bareng Warga, inisiator petisi tersebut.

    Kenaikan PPN tak heran membuat masyarakat marah. Pasalnya, harga barang dan jasa yang selama ini dikonsumsi sehari-hari akan ikut terkerek.

    Awalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim kebijakan kenaikan PPN ini bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.

    Sejumlah barang mewah yang ia maksud di antaranya beras premium; buah-buahan premium; daging premium (wagyu, daging kobe); ikan mahal (salmon premium, tuna premium); udang dan crustacea premium (king crab); jasa pendidikan premium; jasa pelayanan kesehatan medis premium; dan listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA.

    Namun, kenyataannya PPN 12 persen tak hanya menyasar barang-barang mewah. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif PPN 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen.

    Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat mulai dari sabun mandi, pulsa, hingga langganan video streaming seperti Netflix.

    Lantas apa yang membuat pemerintah seolah menutup telinga terhadap protes kenaikan PPN 12 persen?

    Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan peluang kenaikan PPN ditunda atau dibatalkan sebenarnya terbuka. Pasalnya, dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 Ayat (3) pada Bab IV disebutkan tarif PPN bisa diubah dalam rentang 5 hingga 15 persen.

    Namun, langkah ini akan memakan waktu lama karena perlu kesepakatan antara pemerintah dan DPR.

    Media mengatakan sebenarnya ada jalan pintas untuk membatalkan kenaikan PPN yakni dengan Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengubah kebijakan kenaikan PPN 12 persen pada 2025.

    Namun sayangnya, Prabowo tak mengambil langkah itu hingga saat ini.

    “Akan jadi heroik sekali Pak Prabowo kalau menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan tarif PPN 12 persen karena memang membebani masyarakat menengah ke bawah. Jadi akan dianggap sebagai presiden yang baik di mata masyarakat,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (23/12).

    Media menilai pemerintah tak kunjung membatalkan kenaikan PPN lantaran sudah kebakaran jenggot saat ini. Menurutnya, perencanaan kebijakan PPN 12 persen sudah salah sejak awal karena tidak diputuskan dengan matang.

    Hal itu setidaknya terlihat dari pernyataan pemerintah yang berubah-ubah di mana yang awalnya mereka menyebut PPN 12 persen hanya untuk barang mewah. Namun, kemudian pemerintah menjelaskan PPN 12 persen berlaku untuk semua barang dan jasa yang dikenakan PPN 11 persen selama ini.

    Selain itu, pemerintah katanya sepertinya tidak mengira bahwa kritik masyarakat akan sangat tajam terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    “Jadi sekarang (pemerintah) udah kayak kebakaran jenggot. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sekarang diminta sebagai garda depan untuk berbicara kepada publik. Jadi seakan-akan ya sudah ini tanggung jawab Kemenkeu. Padahal Kemenkeu juga sudah bingung karena ini adalah kesepakatan antara pemerintah dan DPR,” katanya.

    “Jadi pemerintah khususnya Prabowo takut malu seandainya membatalkan kenaikan PPN, sehingga mereka enggan membatalkan sekarang. Jadi udah heboh di publik, sekarang kalau ditarik lagi kebijakannya seakan menjilat ludah sendiri,” katanya.

    Sementara, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan alasan pasti pemerintah tetap menaikkan PPN ke 12 persen bukan lah hanya demi menjalankan UU HPP seperti yang selama ini disampaikan Airlangga cs. Pasalnya beleid itu memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan tarif PPN.

    Menurutnya, alasan paling utama PPN tetap dinaikkan adalah karena pemerintah butuh uang untuk pembiayaan program andalan Prabowo-Gibran.

    “Mereka butuh uang banyak, yang mereka ambil dari masyarakat dalam bentuk pajak. PPN merupakan instrumen termudah dan mengikat bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Porsi PPN juga relatif besar, daripada effort lebih untuk ekstensifikasi pajak melalui pencarian objek pajak baru atau pematuhan subjek pajak,” katanya.

    Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat pemerintah kekeh menaikkan PPN menjadi 12 persen lantaran pemerintah butuh uang untuk program baru yang siap dieksekusi di tahun depan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Di saat yang bersamaan, pemerintahan Prabowo juga butuh uang untuk melanjutkan beberapa program yang sudah diinisiasi oleh pemerintahan Jokowi seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

    Alasan lainnya adalah pemerintah akan dihadapkan pada kondisi utang jatuh tempo dalam lima tahun ke depan. Makan mau tak mau, pemerintah harus mencari cara untuk mencari tambahan sumber pendanaan.

    [Gambas:Photo CNN]

    “Terkait dengan sumber pendanaan sebenarnya pemerintah bisa mencari melalui pos lain seperti misalnya pajak windfall dan batubara, yang secara spesifik bisa dijalankan ketika sebuah komoditas dalam hal ini misalnya batubara tengah mengalami kenaikan harga di sebabkan oleh beberapa faktor,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, pemerintah juga masih bisa menjalankan pajak karbon yang sebenarnya ketentuannya sudah diatur bersamaan dengan UU HPP.

    Yusuf pun mengaku bingung kenapa pemerintah begitu percaya diri mengerek tarif PPN di tengah kondisi ekonomi saat ini. Pasalnya, saat ini sudah terlihat jelas jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat tertekan. Kondisi itu sudah menjadi indikasi yang jelas bahwa kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja.

    Namun, sayangnya pemerintah hanya melihat ekonomi yang tumbuh di kisaran 5 persen, tanpa melihat masalah yang sebenarnya terjadi di dalamnya.

    “Pandangan inilah yang saya kira menjadikan pemerintah tetap menaikkan tarif PPN karena menganggap pertumbuhan ekonomi yang terjadi merupakan indikator satu-satunya yang menggambarkan kondisi perekonomian saat ini. Padahal pemerintah seharusnya melihat lebih jauh terkait kondisi perekonomian kita saat ini terutama ketika mempertimbangkan akan menjalankan kebijakan tarif baru PPN ini,” katanya.

  • Kapan PPN 12 Persen Berlaku dan Apa yang Kena?

    Bagaimana Cara Menghitung PPN 12 Persen saat Belanja?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah memastikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

    Tarif PPN 12 persen tidak hanya berlaku untuk barang mewah seperti yang sebelumnya disampaikan pemerintah.

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen.

    Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat mulai dari sabun mandi, makanan siap saji di restoran, pulsa telepon, tiket konser, hingga layanan video streaming seperti Netflix.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti dalam rilis resminya Minggu (22/12) menegaskan bahwa hanya ada 3 barang pokok yang tak terdampak kenaikan tarif PPN mulai 1 Januari 2025 yakni minyak goreng curah pemerintah dengan merek Minyakita, tepung terigu, serta gula industri. Ketiganya tetap dengan tarif lama 11 persen.

    “Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1 persen akan ditanggung oleh pemerintah (DTP). Sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut,” ujarnya.

    Lantas bagaimana cara menghitung harga barang dan jasa yang dikenakan PPN 12 persen?

    DJP menjelaskan rumus untuk menghitung PPN adalah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dikali tarif PPN. Adapun DPP adalah harga barang atau jasa yang diserahkan penjual kepada konsumen.

    Misalnya, Anda ingin membeli barang seharga Rp5 juta dan tarif PPN yang berlaku sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp550 ribu. Angka itu didapat dari 11 persen dikali Rp5 juta.

    Dengan demikian, total harga yang harus dibayarkan konsumen menjadi Rp5,550 juta.

    Jika PPN naik menjadi 12 persen, maka PPN yang perlu dibayar untuk harga barang Rp5 juta adalah sebesar Rp600 ribu. Angka itu didapat dari 12 persen dikalikan Rp5 juta sehingga total harga yang dibayar menjadi Rp5,6 juta.

    (fby/sfr)

  • DJP Pastikan PPN 12 Persen Atas Transaksi QRIS Tak Ditanggung Konsumen

    DJP Pastikan PPN 12 Persen Atas Transaksi QRIS Tak Ditanggung Konsumen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen atas transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) tidak akan dibebankan kepada konsumen.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan PPN akan dikenakan pada Merchant Discount Rate (MDR) yakni biaya jasa yang dikenakan ke merchant atau penjual kepada Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) atau provider.

    “Jadi sebenarnya yang menjadi dasar untuk dilakukannya pembayaran QRIS itu adalah MDR. Jadi sebenarnya provider itu menyediakan aplikasi ini, kemudian nanti ada mekanisme antara provider dan merchantnya, nanti merchantnya yang bayar PPN berapa jasanya. Bisa jadi 0,1 atau 0,2 (persen) dari transaksi. Dan itu sebenarnya merchantnya yang bertanggung jawab dengan provider,” katanya dalam konferensi pers, Senin (23/12).

    Karena PPN atas transaksi QRIS tidak dibebankan kepada konsumen, sambung Dwi, nominal pembayaran menggunakan QRIS ataupun secara fisik akan sama.

    Namun, PPN akan tetap dibebankan kepada masyarakat jika membeli barang yang tergolong kena PPN, terlepas pembayarannya dilakukan menggunakan QRIS atau secara fisik.

    Misalnya Anda membeli TV seharga Rp 5 juta, maka akan dikenakan PPN sebesar Rp550 ribu. Pasalnya, barang elektronik tidak termasuk jenis barang bebas PPN.

    Dengan demikian, total harga yang dibayarkan sebesar Rp5.550.000 baik membayar dengan QRIS maupun fisik.

    “Kita mau bayar pakai QRIS, maupun pakai cash ya sama bayarnya Rp5.550.000,” kata Dwi.

    Dalam kesempatan sama, Dwi juga menjelaskan soal transaksi uang elektronik dan dompet digital yang dikenakan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025. PPN katanya dikenakan atas biaya administrasi dalam transaksi elektronik dan dompet digital.

    Misalnya, A melakukan top-up e-money atau e-wallet sebesar Rp1 juta dengan biaya admin Rp1.500. Maka PPN yang dikenakan sebesar Rp180 yang didapat dari 12 persen dikali Rp1.500.

    “Jadi yang dikenakan PPN itu yang Rp1.500 atas jasanya. Jadi Rp1.500 itu disebutnya biaya admin. Itu dalam istilah pajak namanya jasa,” katanya.

    Ia mengatakan biasanya biaya admin yang selama ini dikenakan sebesar Rp1.500 sudah termasuk PPN. Namun masyarakat cenderung tidak menyadari hal tersebut.

    “Mungkin selama ini kenapa kalau isi e-wallet atau e-money tetap aja biayanya Rp1.500, tidak ada keterangan PPN. Nah bisa jadi biaya jasanya itu dari providernya sudah memperhitungkan PPN-nya di situ makanya biayanya tetap Rp1.500,” katanya.

    Dengan PPN yang sudah masuk dalam biaya admin, maka nominal top-up dengan yang diterima akan sama. Misalnya seperti A yang top-up Rp1 juta maka tetap akan menerima saldo Rp1 juta.

    Dwi pun menjelaskan ketika bertransaksi menggunakan e-wallet tidak dikenakan PPN, termasuk saat membayar jalan tol. Ia menegaskan yang dikenakan PPN hanya saat top-up yang sudah masuk dalam biaya admin.

    “Ya setiap ngisi ya Rp1.500 (biaya admin dan PPN), tapi sekali itu saja. Ketika saya tap tol kan enggak kena (PPN). Enggak ada PPN di situ,” katanya.

    Ketika ditanya kemungkinan biaya admin yang saat ini Rp1.500 naik ketika PPN naik ke 12 persen, Dwi mengatakan hal itu bukan ranah pemerintah.

    “Kalau itu yang tarif Rp1.500 kan di luar kewenangan kami. Itu kan provider,” katanya.

    (fby/sfr)