Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • Coretax Berpotensi Tambah Penerimaan Rp 1.500 T, Luhut: Biarkan Jalan Dulu, Kritiknya Nanti – Halaman all

    Coretax Berpotensi Tambah Penerimaan Rp 1.500 T, Luhut: Biarkan Jalan Dulu, Kritiknya Nanti – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Ekonomi Nasional (DEN) memproyeksikan adanya penambahan penerimaan negara sekira 6,4 persen dari Produk Domestik Bruto atau Rp 1.500 triliun dengan diterapkannya sistem Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax.

    CTAS merupakan bagian dari reformasi pajak yang bertujuan untuk meningkatkan sistem yang ada saat ini. Dengan sistem ini, wajib pajak akan dimudahkan karena kewajiban perpajakan akan otomatis dan digital.

    Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan berujar, potensi pertambahan peneriaan negara tersebut didapat usah melangsungkan pertemuan dengan World Bank atau Bank Dunia. Luhut berujar, Indonesia dikritik lantaran tingkat kepatuhan pajaknya rendah.

    Bahkan, Indonesia disamakan dengan Nigeria, negara dengan rasio penerimaan pajak terhadap PDB terendah di dunia. Luhut melihat Coretax bisa meningkatkan kepatuhan masyarakat Indonesia mengenai pajak. Karena itu, dia meminta kepada seluruh pihak turut mendukung penerapan Coretax.

    “Jangan berkelahi, tidak usah terus kritik-kritik dulu. Biarkan jalan dulu. Nanti kritik, berikan kritik membangun, karena ini banyak masalah yang harus diselesaikan,” ujar Luhut di Kantor DEN, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2025).

    Luhut mengakui pelaksanaannya menghadapi banyak tantangan. Namun, di sisi lain program ini disebutnya penting untuk meningkatkan penerimaan pajak.

    “Saya hanya mohon semua kita, pejabat-pejabat, pengamat-pengamat, ayo kita ramai-ramai dukung ini. Karena ini untuk kepentingan Republik,” tambahnya.

    Luhut mengungkap pemerintah juga akan melihat penerapannya di India dalam proses implementasi digitalisasi ke depannya.

    “Kami sudah diskusi dengan India, tim akan ke sana. Kita akan belajar dari India untuk mengurangi kesalahan,” terang Luhut.

    Diketahui, Coretax adalah sistem teknologi informasi terbaru yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengintegrasikan seluruh layanan administrasi perpajakan di Indonesia.

    Kebijakan mengenai sistem Coretax tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang ditetapkan Sri Mulyani Indrawati pada 14 Oktober 2024. Coretax resmi diluncurkan oleh pemerintah pada 1 Januari 2025.

  • Membangun Ketahanan UMKM

    Membangun Ketahanan UMKM

    Jakarta

    Komitmen pemerintah baru dalam memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) makin terlihat nyata. Setelah mengesahkan regulasi pemutihan tagihan kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) UMKM, pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi 2025 melalui konferensi pers pada 16 Desember 2024 silam.

    Dalam paket kebijakan tersebut, pemerintah menyiapkan dua insentif untuk mendorong performa UMKM. Pertama, perpanjangan masa berlaku tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% hingga akhir 2025. Kedua, pembebasan PPh untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun. Kedua insentif ini dinilai tetap vital bagi UMKM yang masih merasakan ‘efek luka memar’ (scarring effect) dari pagebluk COVID-19.

    Pemerintah juga merancang stimulus untuk memproteksi daya beli rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah. Tren penurunan kesejahteraan masyarakat melatarbelakangi introduksi program insentif ini. Dalam lima tahun terakhir (2019–2024), jumlah penduduk miskin dan rentan miskin naik 15,12 juta orang, sementara 9,48 juta penduduk kelas menengah turun kasta.

    Proporsi pengeluaran tertinggi dari tiga kelompok masyarakat tersebut adalah untuk makanan (42%–64%), perumahan (22%–29%), dan kendaraan (3%–6%). Dengan begitu, alokasi subsidi disalurkan pada tiga jenis pengeluaran ini. Misalnya, untuk mendukung rumah tangga berpenghasilan rendah, pemerintah menyiapkan bantuan pangan 10 kilogram per bulan dan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang kebutuhan pokok seperti minyak goreng, tepung, dan gula rafinasi. Produk properti dan otomotif tertentu juga diberikan insentif PPN untuk menyokong warga kelas menengah.

    Paket kebijakan stimulus ini bisa dibilang tepat sasaran lantaran tertuju pada segmen penting perekonomian. UMKM menyumbang 61% output nasional dan menyerap 97% tenaga kerja, sementara belanja konsumsi kaum medioker dan akar rumput mencakup 81,49% total konsumsi rumah tangga. Artinya, relaksasi perpajakan dan bantuan sosial yang dirancang berpotensi mendongkrak penawaran dan permintaan agregat. Walhasil, titik ekuilibrium baru yang lebih baik di pasar domestik dapat tercipta.


    Pemanfaatan Insentif

    Sampai di sini, bauran kebijakan yang baru saja dirilis berperan sebagai kompensasi atas kenaikan tarif PPN 12%. Perusahaan dan konsumen dapat lebih optimis menghadapi tantangan ekonomi ke depan. Optimisme ini menjadi modal awal bagi mereka untuk mengakselerasi pemulihan pasca melewati masa-masa sulit. Oleh karena itu, UMKM harus menyambut secara proaktif support system yang telah dibangun.

    Nyatanya, pemanfaatan insentif, khususnya tarif PPh final 0,5%, masih kurang optimal. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkan, dari target penyerapan insentif sebesar Rp 1,08 triliun, baru 62,03% atau sekitar Rp 670 miliar yang terealisasi. Artinya, banyak UMKM yang belum mengikuti program insentif ini. Minimnya kesadaran wajib pajak akan peraturan yang berlaku dan rumitnya birokrasi menjadi penyebab utama permasalahan tersebut. Hal ini patut menjadi perhatian karena literatur menilai insentif pajak sebagai dukungan finansial terbaik pemerintah untuk menjaga aktivitas bisnis UMKM (Deyganto, 2022).

    Di titik ini, fungsi stabilisasi pemerintah sejatinya telah berperan meski perlu sejumlah pembenahan agar pemanfaatan insentif dapat lebih optimal. Langkah berikutnya yang lebih substantif adalah bagaimana agar UMKM tidak lagi rentan dan lebih tahan terhadap guncangan.


    ESG sebagai Inovasi

    Permasalahan yang harus diselesaikan dengan demikian tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau disingkat ESG. Sayangnya, aspek keberlanjutan ini sering luput dari sasaran kebijakan terkait pengembangan UMKM. Artinya, dalam membangun ketahanan bisnis, pelaku UMKM tidak bisa sekadar mengandalkan bantuan pemerintah. Para manajer perlu mentransformasikan manfaat finansial yang diperoleh dari kebijakan insentif ke dalam strategi inovatif mereka.

    Bukti empiris yang dilaporkan Prianto Budi Saptono dan kawan-kawan dalam makalah bertajuk Flourishing MSMEs: The Role of Innovation, Creative Compliance, and Tax Incentives memvalidasi argumen di atas. Dengan menggunakan 360 unit UMKM sebagai sampel, studi ini mengungkapkan bahwa pemanfaatan insentif pajak tak serta merta membuat bisnis bertahan dari pandemi. Berkenaan dengan hal ini, kegiatan inovasi berperan sentral dalam meningkatkan efek positif insentif pajak terhadap ketahanan bisnis UMKM.

    Inovasi yang dimaksud dapat dilakukan salah satunya melalui penerapan prinsip ESG. Bagi kebanyakan UMKM, menjalankan bisnis dengan berlandaskan aspek keberlanjutan ini merupakan hal baru. Ini karena mereka masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan konsep ESG ke dalam proses produksi. Tantangan paling mendasar adalah kendala finansial. Dari sini, rentetan masalah turunan muncul.

    Mengadopsi prinsip ESG melibatkan investasi yang tidak murah. Karena keterbatasan dana, pemilik UMKM cenderung menghindari kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan profitabilitas perusahaan. Hal ini menghalangi mereka untuk bertransformasi menuju bisnis yang lebih berkelanjutan.

    Dengan adanya resistensi terhadap perubahan, UMKM merasa tidak perlu merekrut tenaga kerja yang lebih berkualitas. Hal ini mengarah pada masalah internal seperti rendahnya keahlian dalam pengelolaan bisnis. Akibatnya, ketersediaan informasi yang diperlukan untuk mendukung penerapan prinsip ESG secara efektif, seperti data yang terverifikasi terkait profil perusahaan dan rantai pasok, menjadi tidak memadai.

    Padahal, informasi tersebut juga dibutuhkan pemerintah untuk menjangkau dan membantu pelaku UMKM dalam mengimplementasikan prinsip ESG. Dengan begitu, regulasi terkait penerapan ESG yang tidak memberatkan UMKM menjadi sulit untuk diformulasikan. Belum adanya regulasi semacam itu sampai sekarang dengan sendirinya menjadi justifikasi yang valid.


    Mempromosikan Penerapan ESG

    Berangkat dari permasalahan di atas, beberapa upaya perlu dilakukan guna mempromosikan penerapan ESG pada UMKM. Pertama, kebijakan insentif untuk UMKM yang bergulir pada 2025, seperti penghapusan NPL dan perpanjangan insentif pajak, perlu dioptimalkan. Dukungan finansial ini dapat mengurangi beban UMKM dalam berinvestasi pada praktik bisnis berkelanjutan. Oleh karena itu, birokrasi dan persyaratan administratif yang rumit harus dipangkas. Sosialisasi melalui seminar atau kampanye juga mesti digalakkan agar lebih banyak UMKM yang mengetahui dan memanfaatkan program ini.

    Kedua, penerapan ESG harus segera dimulai dengan menyesuaikan kapasitas UMKM. Misalnya, dari aspek lingkungan, UMKM dapat mengurangi limbah dengan menggunakan bahan baku yang tidak menghasilkan banyak sampah, mendaur ulang bahan baku yang digunakan, atau menggunakan teknologi hemat energi. Dari sisi sosial, UMKM dapat melibatkan komunitas sekitar dengan mempekerjakan tenaga kerja lokal dan bekerja sama dengan pemasok dari daerah tersebut. Pada aspek tata kelola, UMKM dapat memperbaiki pengelolaan keuangan dengan mencatat transaksi secara teratur, menetapkan prosedur pembukuan yang rapi, dan mengawasi pengeluaran untuk memastikan transparansi.

    Ketiga, pemerintah perlu melakukan pendataan langsung ke UMKM untuk menyusun kebijakan yang sesuai. Dengan mendata secara mendalam, pemerintah dapat merumuskan regulasi yang tidak memberatkan UMKM. Selain itu, pemerintah perlu mulai mempertimbangkan aturan kewajiban penerapan dan pelaporan ESG secara bertahap, misalnya, berdasarkan tingkatan omzet.

    Keempat, sivitas akademika memiliki peran penting dalam memberikan pelatihan dan pendampingan terkait penerapan ESG di tingkat UMKM melalui program pengabdian masyarakat. Mereka dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya ESG, serta cara praktis mengintegrasikannya ke dalam proses bisnis.

    Poin-poin di atas semestinya dipandang sebagai bagian integral dari upaya peningkatan ketahanan UMKM dalam negeri. Dengan begitu, UMKM tidak sekadar menjadi penyangga ekonomi, tetapi juga bagian dari industri modern dan berkelanjutan.

    Gustofan Mahmud dosen Institut Bisnis dan Komunikasi Swadaya

    (mmu/mmu)

  • Coretax Bermasalah, Dirjen Pajak Sebut Akibat Volume Tinggi dan Diakses Secara Bersamaan – Halaman all

    Coretax Bermasalah, Dirjen Pajak Sebut Akibat Volume Tinggi dan Diakses Secara Bersamaan – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Coretax Administration System yang menjadi sistem perpajakan baru di Indonesia dikeluhkan karena bermasalah.

    Kendala ini terutama disebabkan oleh tingginya volume pengguna dan akses yang dilakukan secara bersamaan.

    Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan bahwa masalah ini timbul karena Coretax merupakan sistem yang baru dan banyak diakses oleh berbagai pihak untuk melakukan transaksi sekaligus.

    “Kendala utamanya karena memang volumenya tinggi, barang baru, kemudian diakses seluruh pihak, dan pada waktu mengakses bukan hanya mencoba, tapi juga bertransaksi. Ini situasi yang kami betul-betul hadapi,” katanya dalam konferensi pers APBN 2024 di Jakarta, Senin (6/1/2025).

    Menurut Suryo, akibat terlalu banyaknya akses yang dilakukan secara bersamaan, sistem Coretax menjadi terpengaruh. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa gangguan teknis.

    Ia mengatakan Direktorat Jenderal Pajak terus melalukan fine tuning selama 24 jam.

    Suryo juga mengungkapkan bahwa sistem ini tidak bisa berdiri sendiri karena terhubung dengan sistem lain seperti penyedia jaringan telekomunikasi.

    “Dalam 7 hari terus berjalan, mereka berjalan mengumpulkan permasalahan troubleshooting yang ada, termasuk kendala mengenai infrastruktur karena sistem tidak bisa berdiri sendiri karena kita terkait dengan sistem dari pihak lain. Contoh kata misalnya vendor penyedia jaringan telekomunikasi,” ujar Suryo.

    Direktorat Jenderal Pajak pun telah memperlebar kapasitas bandwidth dan mengoptimalkan sistem untuk mengatasi lonjakan beban akses.

    Suryo juga menegaskan bahwa masyarakat wajib pajak tidak perlu khawatir jika terjadi keterlambatan dalam pelaporan atau penerbitan faktur karena masalah pada sistem Coretax.

    “Masyarakat wajib pajak tidak perlu khawatir apabila dalam implementasi ini mungkin ada keterlambatan penerbitan faktur atau pelaporan,” ucap Suryo.

    “Nanti kami pikirkan supaya tidak ada beban tambahan kepada masyarakat pada waktu menggunakan sistem yang baru,” lanjutnya.

    Ia memastikan Direktorat Jenderal Pajak terus mengikuti dan memantau keluhan dari masyarakat, baik wajib pajak maupun pemangku kepentingan lain.

    Sebagaimana diketahui, dikutip dari Kontan, sistem pajak canggih yang dikenal dengan Coretax System menuai berbagai keluhan dari wajib pajak sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2025.

    Mulai dari kendala sertifikat digital, pembuatan faktur pajak, hingga gangguan teknis pada server dan antarmuka pengguna, semua menjadi keluhan dari Wajib Pajak di berbagai media sosial.

    Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rachmat menilai bahwa peluncuran Coretax tampak tergesa-gesa demi memenuhi target timeline.

    “Agaknya pemerintah dalam hal ini DJP memang terkesan memaksakan diri untuk memenuhi target timeline peluncuran pada 1 Januari 2025,” ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Minggu (5/1).

    Secara prosedural, Ariawan bilang, sebelum mulai meluncurkan aplikasi secara publik, seharusnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalukan uji coba menyeluruh. 

    Meski uji coba pengguna telah dilakukan pada akhir 2024, agaknya feedback dari pengguna belum dijadikan landasan untuk penyempurnaan lebih lanjut sebelum peluncuran Coretax.

    Ariawan menjelaskan bahwa idealnya, sebuah sistem digital seperti Coretax memerlukan tahapan pengujian yang matang. Ini termasuk pengujian kapasitas, responsivitas, dan sinkronisasi data yang tampaknya belum dilakukan secara optimal.

    Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul di awal peluncuran ini mengindikasikan bahwa Coretax masih jauh dari kata sempurna.

    “Ke depan saya yakin masih banyak tantangan dan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan DJP. Entah itu dari sisi kapasitas server, user interface ataupun user experience, bahkan keamanan sistem,” katanya.

    Ia menyarankan agar DJP Kemenkeu lebih membuka diri terhadap masukan dari pengguna serta meminta feedback yang luas untuk membantu mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan sistem.

    “Kasus-kasus yang ada di lapangan dijadikan data awal untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang dilakukan,” imbuhnya.

    Apa Itu Coretax?

    Dikutip dari situs pajak.go.id, Coretax merupakan sistem admnistrasi layanan Direktorat Jenderal Pajak yang memberikan kemudahan bagi pengguna.

    Pembangunan Coretax merupakan bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018.

    Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) merupakan proyek rancang ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pembangunan sistem informasi yang berbasis COTS (Commercial Off-the-Shelf) disertai dengan pembenahan basis data perpajakan.

    Tujuan utama dari pembangunan Coretax adalah untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang ada saat ini.

    Coretax mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak. 

  • Terlanjur Kena PPN 12 Persen, Ditjen Pajak Terbitkan Aturan Baru, Pembeli Bisa Minta Kelebihannya – Halaman all

    Terlanjur Kena PPN 12 Persen, Ditjen Pajak Terbitkan Aturan Baru, Pembeli Bisa Minta Kelebihannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah telah memutuskan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen hanya berlaku untuk kategori barang dan jasa mewah.

    Selain kategori mewah, maka yang sebelumnya kena PPN 11 persen  akan tetap tanpa ada kenaikan.

    Namun, bagi masyarakat yang sudah terlanjur dikenakan PPN 12 persen oleh penjual maka bisa meminta kelebihan bayarnya.

    Hal ini berdasarkan kebijakan baru yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menangani kasus pemungutan PPN akibat kesalahan pemungutan tarif.

    Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025. Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    Merujuk Bab II Pasal 4 tentang Ketentuan Faktur Pajak dalam Masa Transisi, dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen dari yang seharusnya 11% namun terlanjur dipungut sebesar 12%, maka berlaku ketentuan sebagai berikut.

    Pertama, pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual.

    Kedua, atas permintaan pengembalian PPN tersebut, Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual melakukan penggantian Faktur Pajak.

    Sebelumnya, Direktur Jendral Pajak Suryo Utomo juga menjamin kepada Wajib Pajak terkait pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut.

    “Ini yang lagi kita atur transisinya seperti apa. Referensinya kalau sudah kelebihan di pungut ya dikembalikan. Ya dengan caranya memang bisa macam-macam, dikembalikan kepada yang bersangkutan bisa, kalau tidak membetulkan faktur pajak nanti dilaporkan juga bisa. Enggak ada masalah,” ujar Suryo dikutip dari Kontan, Senin (6/1/2025).

    Artikel ini sudah tayang di Kontan dengan judul Aturan Terbit! Pembeli Berhak Minta Pengembalian Kelebihan PPN 12%

  • Pelaku Usaha Ditenggat hingga Maret untuk Sesuaikan Penerbitan Faktur Pajak Terkait PPN

    Pelaku Usaha Ditenggat hingga Maret untuk Sesuaikan Penerbitan Faktur Pajak Terkait PPN

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 pada 3 Januari 2025. Regulasi ini  menjadi upaya DJP untuk menjalankan  masukan masyarakat, khususnya pelaku usaha yang menginginkan kelancaran dalam menerbitkan faktur pajak seiring perubahan ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan, dengan adanya regulasi ini diharapkan menjadi pedoman sistem administrasi penerbitan faktur pajak dan mekanisme pengembalian PPN yang berlaku sejak 1 Januari 2025.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan, yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025,” ucap Dwi dalam keterangan resmi yang diterima, Minggu (5/1/2025).

    Tiga hal yang yang perlu diperhatikan adalah pertama, pelaku usaha diberi kesempatan menyesuaikan sistem administrasi wajib pajak dalam menerbitkan faktur pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Kedua, penyesuaian PPN yang dikenakan untuk penyerahan barang selain barang mewah, terdapat penyesuaian terkait nilai PPN yang terutang dengan perhitungan sebagai berikut:

    ·       PPN sebesar 11% yang dihitung dengan rumus 12% x 11/12 x harga jual, atau

    ·       PPN sebesar 12% yang dihitung dengan rumus 12% x 11/12 x harga jual, keduanya dianggap benar dan tidak akan dikenakan sanksi.

    Ketiga, terkait kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% yang terjadi akibat penerapan tarif 12% pada transaksi yang seharusnya menggunakan tarif 11%.

    “Pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual. Penjual sebagai PKP (pengusaha kena pajak) akan melakukan penggantian faktur pajak untuk mengakomodasi pengembalian tersebut,” tutur Dwi. 

  • Pembeli Terlanjur Kena PPN 12% Bisa Minta Kembalian, Ini Aturannya

    Pembeli Terlanjur Kena PPN 12% Bisa Minta Kembalian, Ini Aturannya

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan para pembeli barang atau jasa nonmewah yang sudah terlanjur kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% bisa minta dikembalikan. Hal ini seiring penetapan PPN 12% yang hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan kelebihan pemungutan PPN yang timbul akibat penerapan PPN 12% bisa diminta oleh pembeli kepada penjual. Atas permintaan tersebut, pengusaha kena pajak (PKP) penjual melakukan pergantian faktur pajak.

    “Dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% namun telanjur dipungut sebesar 12%, pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual. Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, PKP penjual melakukan penggantian Faktur Pajak,” kata Dwi Astuti dalam keterangan tertulis, Minggu (5/1/2025).

    Pada jauh-jauh hari pemerintah menyatakan PPN 12% tetap berlaku mulai 1 Januari 2025. Hanya saja pada 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah dan jasa mewah yang selama ini sudah menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    Untuk BKP/JKP nonmewah, tarif PPN yang berlaku tetap 12%, hanya saja DPP yang digunakan dalam menghitung PPN atas BKP/JKP tidak mewah adalah DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual atau penggantian. Dengan demikian tarif efektif PPN atas BKP/JKP tidak mewah yang ditanggung masyarakat tetap sebesar 11%.

    DJP telah menerbitkan petunjuk teknis pembuatan Faktur Pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang menjadi landasan bagi pemerintah untuk membatasi pemberlakuan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah dan jasa mewah. Petunjuk teknis tersebut tertuang dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025.

    Dwi Astuti menyebut aturan itu ditetapkan guna memenuhi kebutuhan pelaku usaha yang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan sistem administrasi penerbitan Faktur Pajak.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025,” kata Dwi Astuti.

    (kil/kil)

  • Pengusaha yang Terlanjur Kenakan PPN 12 Persen Diminta Kembalikan Lebih Bayar – Page 3

    Pengusaha yang Terlanjur Kenakan PPN 12 Persen Diminta Kembalikan Lebih Bayar – Page 3

    Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan terkait petunjuk teknis penerbitan faktur pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti menuturkan, berdasarkan aspirasi dan masukan dari masyarakat, pemerintah menyadari terdapat kebutuhan dari pelaku usaha untuk dapat melaksanakan ketentuan sesuai diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Hal ini antara lain terkait dengan penyesuaian sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak dan cara pengembalian pajak jika PPN sebesar 12% telanjur dipungut yang seharusnya sebesar 11%.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025,” ujar Dwi dikutip dalam keterangan resmi, Sabtu (4/1/2025).

    Ia menuturkan, ketentuan itu memberikan masa transisi selama tiga bulan yakni sejak 1 Januari 2025-31 Maret 2025. Pengaturannya antara lain:

    1.Pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan faktur pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    2.Faktur pajak yang diterbitkan atas penyerahan selalin barang mewah dengan mencantumkan nilai PPN terutang sebesar:

    a.11% dikali dengan harga jual (seharusnya 12% x 11/12 x harga jual), atau

    b.12% dikali dengan harga jual (seharusnya 12% x 11/12 x harga jual), dianggap benar dan tidak dikenakan sanksi.

    Dwi mengatakan, dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% tetapi telanjur dipungut sebesar 12% diberikan pengaturan. Hal itu antara lain:

    a.Pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual.

    b.Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, PKP penjual melakukan penggantian faktur pajak.

  • Dirjen Pajak Rilis Aturan Pengembalian Lebih Bayar PPN 12 Persen

    Dirjen Pajak Rilis Aturan Pengembalian Lebih Bayar PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis aturan mengenai pengembalian kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025.

    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo pada 3 Januari.

    Beleid ini berisi mengenai pemberian masa transisi selama tiga bulan dari 3 Januari sampai 31 Maret 2025 bagi pelaku usaha yang terlanjur dipungut PPN 12 persen dari seharusnya tetap 11 persen.

    Untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran PPN, pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Faktur Pajak setidaknya berisi mengenai data nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dan identitas pembeli Barang Kena Pajak.

    Mengutip Bab II Pasal 4 ayat 2 Perdirjen tersebut, atas kelebihan pemungutan PPN, maka ada dua langkah yang harus dilakukan. Pertama, pembeli meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen kepada penjual.

    Kedua, berdasarkan permintaan pengembalian pembeli, maka Pengusaha Kena Pajak penjual melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak atau dokumen.

    Sebelumnya, viral di media sosial beberapa pihak mengaku tetap dipungut PPM 12 persen saat berbelanja di sejumlah toko ritel per 1 Januari 2025.

    Padahal, Presiden Prabowo Subianto sudah membatalkan kenaikan pajak tersebut. Ia menegaskan tarif baru itu hanya berlaku untuk barang-barang mewah, seperti jet pribadi hingga yacht.

    Ditjen Pajak mengaku sudah bertemu para pengusaha ritel dan menerima penjelasan bahwa kenaikan PPN 12 persen itu sudah diatur dalam sistem toko, sehingga dibuat aturan Perdirjen ini.

    Dirjen Pajak Suryo Utomo mengaku sudah melakukan negosiasi dengan peritel yang telah mengubah sistem PPN menjadi 12 persen. Padahal, untuk barang yang tidak masuk kelompok mewah hanya dikenakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari tarif 12 persen.

    Suryo menegaskan pihaknya tetap harus menjalankan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) soal tarif 12 persen per 1 Januari 2025.

    Di sisi lain, pemerintah memutuskan tak mengerek PPN untuk barang-barang tidak mewah, sehingga perlu penetapan DPP lain dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    “Kami lagi duduk, diskusi, kira-kira tiga bulan cukup enggak sistem mereka diubah? Itu yang kami coba nanti dudukkan, kira-kira ya transisi tiga bulan lah bagi (peritel) menyesuaikan sistemnya (kembali ke PPN 11 persen),” ungkap Suryo.

    (ldy/pta)

  • DJP Terbitkan Aturan soal Masa Transisi & Lebih Bayar PPN 12%

    DJP Terbitkan Aturan soal Masa Transisi & Lebih Bayar PPN 12%

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menerbitkan petunjuk teknis pembuatan Faktur Pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Petunjuk teknis tersebut tertuang dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan aturan tersebut ditetapkan guna memenuhi kebutuhan pelaku usaha yang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan sistem administrasi penerbitan faktur pajak dan tata cara pengembalian pajak jika PPN 12% telanjur dipungut dari yang seharusnya adalah 11%.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025,” kata Dwi Astuti dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (5/1/2025).

    Sepanjang 1 Januari-31 Maret 2025, faktur pajak atas penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak (BKP/JKP) tidak mewah yang dibuat dengan mencantumkan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa nilai impor, harga jual atau penggantian secara penuh, serta menggunakan tarif 12% atau 11% dianggap sebagai faktur pajak yang benar, lengkap dan jelas.

    Adapun kelebihan pemungutan PPN yang timbul akibat penerapan PPN 12% tanpa menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual atau penggantian, bisa diminta oleh pembeli kepada pengusaha kena pajak (PKP) penjual. Atas permintaan tersebut, PKP penjual melakukan pergantian faktur pajak.

    “Dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% namun telanjur dipungut sebesar 12%, pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual. Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, PKP penjual melakukan penggantian Faktur Pajak,” jelasnya.

    Sebagai informasi, PMK Nomor 131 Tahun 2024 menjadi landasan bagi pemerintah untuk membatasi pemberlakuan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah dan jasa mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang selama ini sudah menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    Untuk BKP/JKP nonmewah, tarif PPN yang berlaku tetap 12%, hanya saja DPP yang digunakan dalam menghitung PPN atas BKP/JKP tidak mewah adalah DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual atau penggantian. Dengan demikian tarif efektif PPN atas BKP/JKP tidak mewah yang ditanggung masyarakat tetap sebesar 11%.

    (kil/kil)

  • Gabungan Asosiasi Pengusaha Sambut Positif Keputusan Pemerintah Tentang PPN 12 Persen untuk Barang Mewah

    Gabungan Asosiasi Pengusaha Sambut Positif Keputusan Pemerintah Tentang PPN 12 Persen untuk Barang Mewah

    Jakarta, Beritasatu.com – Gabungan pengusaha memberikan apresiasi terhadap keputusan Pemerintah mengenai penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang hanya diberlakukan pada barang-barang mewah.

    Gabungan asosiasi ini mencakup Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bersama sejumlah asosiasi sektoral, seperti Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo), serta Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo).

    Selain itu, terdapat juga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

    “Kami menghargai kebijakan ini karena menunjukkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kepentingan masyarakat serta pelaku usaha,” ujar Handaka Santosa, Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri Apindo sekaligus Ketua Umum Apregindo dikutip dari Antara, Sabtu (4/1/2025).

    Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, Pemerintah memutuskan bahwa kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya berlaku pada barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh kalangan masyarakat kelas atas.

    Kebijakan ini dipandang sebagai langkah bijaksana yang tidak hanya mempertahankan daya beli masyarakat, tetapi juga memberikan kepastian dan keadilan bagi sektor usaha.

    “Kebijakan yang terukur ini berfungsi untuk mendorong daya beli masyarakat serta mendukung pertumbuhan industri meskipun ada tantangan dari ekonomi global,” tambahnya.

    Selain itu, adanya periode transisi tiga bulan yang diberikan pemerintah dianggap sebagai langkah cerdas untuk memberikan waktu bagi pelaku usaha mempersiapkan implementasi kebijakan ini dengan maksimal.

    Sosialisasi teknis yang akan dilakukan pemerintah bersama asosiasi sektoral diharapkan dapat memastikan kebijakan ini dapat diterapkan dengan lancar.

    APINDO dan asosiasi sektoral lainnya berkomitmen mendukung penerapan kebijakan ini dan percaya bahwa komunikasi yang baik antara pemerintah dan dunia usaha akan menciptakan iklim usaha yang positif, memperkuat daya saing industri, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional.

    Sebagai tanggapan atas PMK 131/2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 pada 3 Januari 2025.

    Dalam peraturan tersebut, pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi wajib pajak dalam penerbitan faktur pajak selama periode tiga bulan, mulai 1 Januari hingga 31 Maret 2025.

    Selama masa transisi ini, faktur pajak atas penyerahan barang selain barang mewah yang mencantumkan nilai PPN sebesar 11 persen atau 12 persen dianggap sah tanpa dikenakan sanksi.

    Jika terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen, misalnya pada barang non-mewah yang seharusnya dikenakan PPN 11 persen tetapi dipungut 12 persen, pembeli dapat meminta pengembalian kepada penjual. Pengusaha kena pajak (PKP) kemudian diwajibkan mengganti faktur pajak untuk memproses permintaan pengembalian lebih bayar tersebut.