Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • 4,4 Juta Wajib Pajak Sudah Lapor SPT Tahunan, yang Belum Jangan Lupa!

    4,4 Juta Wajib Pajak Sudah Lapor SPT Tahunan, yang Belum Jangan Lupa!

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat 4,4 juta wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) per 19 Februari 2024. Bagi yang belum lapor diimbau untuk melakukannya lebih awal agar lebih nyaman dan tenang.

    “Hingga saat ini sudah 4,4 juta SPT Tahunan disampaikan. Terima kasih atas partisipasi #KawanPajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan!” tulis pengumuman di Instagram resmi @ditjenpajakri, Jumat (21/2/2025).

    Dari 4,4 juta wajib pajak yang sudah lapor SPT Tahunan, 4,27 juta orang di antaranya berasal dari wajib pajak orang pribadi dan sisanya 130,5 ribu orang merupakan wajib pajak badan.

    Jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan melalui saluran elektronik di e-Filing djponline.pajak.go.id yaitu sebesar 4,31 juta. Kemudian sebanyak 97,8 ribu dilakukan secara manual.

    Menurutnya, setiap pelaporan SPT Tahunan adalah bentuk kontribusi nyata untuk pembangunan. Oleh karena itu bagi yang belum diimbau agar lapor pajak hari ini di https://djponline.pajak.go.id.

    “Bagi yang belum lapor, segera lakukan pelaporan SPT Tahunan melalui e-Filing di djponline.pajak.go.id agar lebih nyaman dan tenang,” ucapnya.

    Untuk diketahui, SPT Tahunan 2024 sudah dapat dilaporkan mulai 1 Januari 2025. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengatur batas akhir penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak alias dalam hal ini 31 Maret 2025, kemudian untuk SPT Tahunan wajib pajak badan paling lambat 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau 30 April 2025.

    (aid/ara)

  • Penerapan Coretax Butuh Waktu Transisi agar Berjalan Lancar

    Penerapan Coretax Butuh Waktu Transisi agar Berjalan Lancar

    Jakarta, Beritasatu.com – Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai, penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Core Tax Administration System (Coretax) akan meningkatkan transparansi basis data perpajakan dan berujung pada peningkatan pendapatan negara.

    Namun, implementasi sistem ini harus dibarengi dengan sosialisasi yang masif agar wajib pajak tidak mengalami kesulitan dalam mengaksesnya.

    Sekretaris Umum IKPI Edy Gunawan menjelaskan, keterbukaan data serta penerapan sistem pengumpulan pajak secara digital merupakan langkah positif bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam meningkatkan penerimaan negara.

    Namun, mengingat sistem ini mengintegrasikan 21 proses bisnis, diperlukan waktu transisi agar dapat menyesuaikan dengan sistem yang sudah ada sebelumnya.

    “Tantangannya saat ini adalah bagaimana mengenalkan sistem baru ini, yang menggabungkan banyak sistem terpisah menjadi satu kesatuan. Ini bukan hal yang sulit, tetapi pasti memerlukan waktu dan upaya. Mungkin itu yang bisa kami sampaikan secara garis besar,” ujar Edy dalam acara Partnership Gathering di Royal Kuningan Hotel, Rabu (19/2/2025).

    Menurutnya, perkembangan teknologi adalah suatu keniscayaan yang harus dihadapi oleh semua pihak, baik pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat. Oleh karena itu, IKPI terus melakukan edukasi kepada asosiasi profesi dan asosiasi pengusaha agar memiliki pemahaman yang sama bahwa digitalisasi perpajakan dengan Coretax bertujuan untuk mempermudah, bukan mempersulit.

    “Apa saja yang dipermudah? Dalam hal pelayanan, informasi, dan akses data,” tambahnya.

    Sementara itu, Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menegaskan, Coretax merupakan instrumen yang diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi petugas pajak maupun wajib pajak dalam administrasi perpajakan. Jika sistem ini berjalan optimal, dampak positifnya juga akan terlihat pada peningkatan rasio perpajakan (tax ratio).

    “Kita harus memastikan bahwa sistem ini dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan kesulitan bagi para pengusaha. Jika tidak dikelola dengan baik, justru bisa menjadi bumerang. Kami berharap semua pihak dapat saling mendukung dan memetakan peran masing-masing agar sistem ini dapat berjalan lancar. Dengan demikian, tax ratio yang diharapkan bisa tercapai,” jelas Vaudy.

    Ketua Departemen Hubungan Masyarakat IKPI Jemmi Sutiono menambahkan, pihaknya terus memberikan laporan kepada DJP mengenai hambatan-hambatan yang terjadi di lapangan dalam penerapan Coretax. Hal ini bertujuan agar DJP dapat segera menangani kendala yang muncul.

    “Bisa dikatakan bahwa informasi merupakan bagian terpenting dalam pengelolaan data wajib pajak. Kami berharap seluruh proses ini dapat berjalan secara optimal,” tegasnya dalam menanggapi Coretax.

  • BNI Dukung Transformasi Pajak Digital lewat Kolaborasi dengan Dirjen Pajak

    BNI Dukung Transformasi Pajak Digital lewat Kolaborasi dengan Dirjen Pajak

    Jakarta, Beritasatu.com – PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mencermati implementasi Core Tax Administration System (CTAS) sebagai fondasi penting dalam transformasi perpajakan digital di Indonesia. Transformasi ini dinilai menjadi langkah strategis untuk menciptakan ekosistem pembayaran pajak yang lebih efisien, terintegrasi, dan aman.

    Hal ini menjadi salah satu benang merah dari kegiatan digital workshop bertema “Siap Transformasi Pajak: Pajak Digital, Bisnis Optimal melalui Implementasi CTAS”. Workshop ini merupakan hasil kerja sama antara BNI dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dilakukan pada Jumat (17/1/2025).

    Dalam diskusi tersebut hadir sebagai pembicara Director of Tax Dissemination, Service and Public Relations, Directorate General of Taxation Ministry of Finance of the Republic of Indonesia Dwi Astuti, Cash Management Digital Channel Department Head BNI Auzaiy dan Cash Management and Remittance Department Head BNI Eko Kristianto.

    Secara terpisah, Direktur Digital dan Integrated Transaction Banking BNI Hussein Paolo Kartadjoemena mengatakan workshop ini mendukung terwujudnya transformasi pajak digital.

    “Implementasi CTAS ini akan menciptakan ekosistem pembayaran pajak yang lebih efisien dan terintegrasi,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (24/1/2025).

    Sebagai mitra strategis, Paolo mengatakan, BNI berkomitmen untuk terus menyediakan solusi inovatif, seperti BNIdirect, untuk mempermudah perusahaan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara real-time dan seamless.

    “Kami berharap melalui digital workshop ini, nasabah dapat memahami manfaat transformasi pajak digital untuk mendukung pertumbuhan bisnis mereka,” ujarnya.

    Paolo juga menjelaskan, workshop kali ini merupakan rangkaian lanjutan dari kegiatan Wholesale Digital Workshop yang digelar pada Desember 2024.

    “Workshop sebelumnya fokus pada upaya mempersiapkan para pelaku bisnis menghadapi tantangan ekonomi digital serta menjaga keamanan siber melalui platform BNIdirect,” paparnya.

    Lebih jauh, dalam mendukung implementasi CTAS, Paolo mengatakan pihak BNI menghadirkan solusi yang terintegrasi melalui BNIdirect untuk memastikan proses pembayaran pajak menjadi lebih sederhana, mudah, dan efisien.

    “BNI, sebagai salah satu bank pertama di Indonesia yang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak dalam pengembangan layanan elektronik, senantiasa berinovasi untuk memberikan berbagai kemudahan bertransaksi untuk nasabah,” katanya.

    Pada sesi workshop, Dwi Astuti mengatakan implementasi CTAS ini merupakan fondasi penting dalam transformasi perpajakan di Indonesia. Ia percaya kolaborasi strategis yang dilakukan antara DJP dan mitra seperti BNI ini bisa memberikan kemudahan dan kepastian dalam proses pembayaran pajak.

    “Workshop ini adalah kesempatan untuk memperkuat sinergi antara pemerintah, sektor perbankan, dan wajib pajak dalam mewujudkan ekosistem pajak digital yang optimal dan berdaya saing. Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran BNI, sebagai salah satu stakeholder utama kami, atas dukungan dan kerja sama yang sangat baik dalam mendukung Direktorat Jenderal Pajak,” tuturnya.

    Terkait dengan implementasi CTAS ini, pihak BNI meyakini akan bisa memberikan kemudahan kepada pelaku bisnis, terutama dalam memastikan praktik bisnis dapat berjalan secara lancar. Sementara sebagai sistem administrasi layanan DJP, Dwi mengatakan, proses transformasi CTAS ini akan memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Sistem ini dapat meningkatkan otomatisasi dan digitalisasi layanan administrasi perpajakan.

    “Coretax ini mengintegrasikan berbagai layanan yang selama ini telah disediakan DJP seperti layanan pada DJP Online, e-Nofa, pembayaran, Exchange of Information (EoI), dan lainnya dengan menyatukan layanan tersebut ke dalam menu dan submenu pada Portal Wajib Pajak. Dalam Coretax ini terdapat dua tampilan yaitu untuk petugas pajak dan wajib pajak yang disajikan dalam dua bahasa, Bahasa Inggris dan Indonesia,” tuturnya.

    Paolo meyakini usaha ini akan menyederhanakan proses administrasi pajak, meningkatkan kepatuhan, sekaligus mengoptimalkan bisnis.

    Untuk itu, BNI menghadirkan BNIdirect cash, yang dirancang untuk mempermudah nasabah dalam melakukan operasional dan mendukung pertumbuhan perusahaan, sehingga dapat menjaga daya saing di bisnis era modern ini.

    “BNI sebagai Authorized Billing Channel (ABC) dan juga sebagai Collecting Agent (CA) sekaligus mitra dari Dirjen Pajak Kementerian Keuangan memberikan juga beberapa layanan perpajakan melalui BNIdirect cash, dengan beragam kemudahan. Di antaranya bisa digunakan untuk pembuatan billing pajak, pembayaran penerimaan negara di mana salah satunya kategori pajak, dan interoperabilitas sistem perpajakan,” paparnya.

  • Luhut Minta Prabowo Audit Coretax, Cari Tahu Kekurangan Sistem Pengembangan DJP

    Luhut Minta Prabowo Audit Coretax, Cari Tahu Kekurangan Sistem Pengembangan DJP

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Pandjaitan meminta Presiden Prabowo Subianto lakukan audit terhadap sistem Coretax yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menurutnya, sistem inti perpajakan ini sudah bertahun-tahun dikembangkan, namun masih menghadapi berbagai kendala dalam implementasinya.

    Dalam salah satu acara yang digelar di Jakarta, Luhut menegaskan bahwa audit diperlukan untuk meninjau kekurangan dalam sistem Coretax. Ia juga menyoroti bahwa sistem tersebut kini kembali menggunakan sistem lama karena berbagai permasalahan teknis yang belum terselesaikan.

    “Ini perlu dilihat. Makanya, Presiden lakukan audit saja, kan boleh lihat di mana kurang lebihnya. Apalagi sekarang Coretax dikembalikan lagi pada sistem yang lama,” tuturnya menjelaskan, mengutip Antara.

    Tingkat Rasio Pajak Masih Rendah

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Pandjaitan menilai rasio pajak di Indonesia masih rendah selain menyinggung permasalahan sistem perpajakan.

    Selain permasalahan sistem perpajakan, Luhut juga menyinggung rendahnya rasio pajak di Indonesia yang masih berada di angka 10 persen. Ia menekankan bahwa kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius agar dapat ditemukan solusi yang tepat.

    “Kita harus mencari tahu mengapa tax ratio kita tetap stagnan di angka 10 persen. Jika dilakukan audit menyeluruh, kita bisa mengetahui akar permasalahannya dan mencari solusinya dengan lebih efektif,” kata Luhut.

    DJP dan DPR Sepakati Sistem Paralel

    Seiring dengan kendala yang masih dihadapi, DJP bersama DPR telah sepakat untuk menjalankan sistem Coretax secara paralel dengan sistem perpajakan lama. Langkah ini bertujuan untuk menghindari gangguan terhadap penerimaan pajak negara.

    Skenario yang disiapkan mencakup beberapa fitur layanan yang sudah berjalan, seperti pelaporan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2025 melalui e-Filing di laman resmi pajak.go.id. Selain itu, aplikasi e-Faktur Desktop tetap digunakan oleh wajib pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak.

    Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyatakan sistem Coretax masih dalam tahap penyempurnaan. Oleh karena itu, implementasinya harus diantisipasi dengan baik agar tidak mengganggu target penerimaan pajak.

    Sebagai bagian dari upaya perbaikan, DJP diberikan kesempatan untuk menyempurnakan sistem Coretax hingga akhir masa pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). “Kami mendukung DJP untuk terus melakukan perbaikan sehingga sistem ini dapat berjalan optimal tanpa menghambat penerimaan negara,” ungkap Misbakhun.

    Dengan adanya audit dan evaluasi mendalam, diharapkan sistem Coretax tidak lagi banyak dikeluhkan masyarakat karena acap kali eror serta dapat mendukung peningkatan rasio pajak Indonesia di masa mendatang.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Coretax Masih Bermasalah, DPD: Penerimaan Negara Terancam Meleset – Page 3

    Coretax Masih Bermasalah, DPD: Penerimaan Negara Terancam Meleset – Page 3

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, sistem Coretax sebetulnya sangat bagus untuk diterapkan.

    Hanya saja, sistem administrasi pajak tersebut kerap mengalami kendala teknis pada masa implementasi awal. Sehingga turut mempengaruhi operasional perusahaan.

    “Cuma prosesnya kemarin itu agak cepat ya, jadi banyak pelaku enggak siap dan juga banyak yang enggak bisa mengeluarkan faktur. Sehingga mempengaruhi dari segi operasional perusahaan,” kata Shinta di Four Seasons Hotel, Jakarta, Senin (10/5/2025).

    Menurut dia, kelompok pengusaha terus berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan agar bisa menjalankan skema pelaporan pajak ini. Shinta pun berharap berbagai kendala yang dialami Coretax tidak sampai mempengaruhi jumlah penerimaan negara dari pajak.

    “Semoga tidak. Saya cuma bisa jawab semoga tidak,” ujar dia.

    Ungkapan senada juga sempat disampaikan Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar. Ia menilai, meskipun DJP telah memulai penerapan sistem Coretax dengan baik, tapi ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Terutama dalam hal sosialisasi dan persiapan yang matang.

    “Jadi, saya rasa DJP memulai ini sudah cukup baik, namun persiapan dan sosialisasinya ini harus lebih ditekankan lah,” kata Sanny saat ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.

    Menurut dia, meskipun sistem ini menawarkan banyak potensi untuk memperbaiki sistem perpajakan dan memperluas basis wajib pajak, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait dengan penerbitan faktur dan prosedur perpajakan lainnya.

  • Pemerintah Catat Penerimaan Pajak Digital hingga Januari 2025 Tembus Rp33,39 Triliun

    Pemerintah Catat Penerimaan Pajak Digital hingga Januari 2025 Tembus Rp33,39 Triliun

    JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat hingga 31 Januari 2025, pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp33,39 triliun.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti menyampaikan jumlah tersebut berasal dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp26,12 triliun, pajak kripto sebesar Rp1,19 triliun, pajak fintech (P2P lending) sebesar Rp3,17 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) sebesar Rp2,9 triliun.

    Sementara itu, sampai dengan Januari 2025 pemerintah telah menunjuk 211 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

    Dwi menyampaikan pada bulan Januari 2025, tidak terdapat penunjukan, pembetulan/perubahan data pemungut, maupun pencabutan pemungut.

    Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 181 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE sebesar Rp26,12 triliun.

    “Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp6,76 triliun setoran tahun 2023, Rp8,44 triliun setoran tahun 2024 dan Rp774,8 miliar setoran tahun 2025,” katanya dalam keterangannya, Senin, 17 Februari.

    Penerimaan pajak kripto telah terkumpul sebesar Rp1,19 triliun sampai dengan Januari 2025. Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, Rp620,4 miliar penerimaan 2024, dan Rp107,11 miliar penerimaan 2025. Penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp560,55 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp634,24 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger.

    Dwi menyampaikan Pajak fintech (P2P lending) juga telah menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp3,17 triliun sampai dengan Januari 2025.

    Sementara itu, penerimaan dari pajak fintech berasal dari Rp446,39 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, Rp1,48 triliun penerimaan tahun 2024, dan Rp140 miliar penerimaan tahun 2025.

    Dwi menyampaikan pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp830,54 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp720,74 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp1,62 triliun.

    Menurutnya lenerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP dan hingga Januari 2025, penerimaan dari pajak SIPP sebesar Rp2,90 triliun.

    Dwi menjelaskan penerimaan dari pajak SIPP tersebut berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp1,12 triliun penerimaan tahun 2023, Rp1,33 triliun penerimaan tahun 2024, dan Rp53,77 miliar penerimaan tahun 2025.

    Selain itu, Dwi menyampaikan penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp195,54 miliar dan PPN sebesar Rp2,71 triliun.

    “Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ujar Dwi.

    Dwi juga menambahkan pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.

  • RI Kantongi Rp 33,39 T dari Pajak Kripto hingga Pinjol

    RI Kantongi Rp 33,39 T dari Pajak Kripto hingga Pinjol

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat hingga 31 Januari 2025, penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp 33,39 triliun. Jumlah tersebut berasal dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dan Pajak fintech (P2P lending).

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti merincikan PPN PMSE Rp 26,12 triliun, pajak kripto Rp 1,19 triliun, pajak fintech (P2P lending) Rp 3,17 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) Rp 2,9 triliun.

    Sementara itu, sampai dengan Januari 2025 pemerintah telah menunjuk 211 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada Januari 2025, tidak terdapat penunjukan, pembetulan/perubahan data pemungut, maupun pencabutan pemungut.

    Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 181 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE sebesar Rp 26, 12 triliun.

    “Jumlah tersebut berasal dari Rp 731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp 3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp 5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp 6,76 triliun setoran tahun 2023, Rp 8,44 triliun setoran tahun 2024 dan Rp 774,8 miliar setoran tahun 2025,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (17/2/2025).

    Dwi menambahkan, penerimaan pajak kripto telah terkumpul Rp 1,19 triliun sampai dengan Januari 2025. Penerimaan tersebut berasal dari Rp 246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp 220,83 miliar penerimaan tahun 2023, Rp 620,4 miliar penerimaan 2024, dan Rp 107,11 miliar penerimaan 2025.

    Kemudian penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp 560,55 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp 634,24 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger.

    Pajak fintech (P2P lending) juga telah menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp 3,17 triliun sampai dengan Januari 2025. Penerimaan dari pajak fintech berasal dari Rp 446,39 miliar penerimaan tahun 2022, Rp 1,11 triliun penerimaan tahun 2023, Rp 1,48 triliun penerimaan tahun 2024, dan Rp 140 miliar penerimaan tahun 2025.

    Pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp 830,54 miliar, PPh 26atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp 720,74 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun. Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP. Hingga Januari 2025, penerimaan dari pajak SIPP sebesar Rp 2,90 triliun.

    Penerimaan dari pajak SIPP tersebut berasal dari Rp 402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp 1,12 triliun penerimaan tahun 2023, Rp 1,33 triliun penerimaan tahun 2024, dan Rp 53,77 miliar penerimaan tahun 2025. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp 195,54 miliar dan PPN sebesar Rp 2,71 triliun.

    “Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ujar Dwi.

    Dwi juga menambahkan pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.

    (ara/ara)

  • Karyawan Bergaji hingga Rp 10 Juta Resmi Bebas Pajak, Ini Kriterianya

    Karyawan Bergaji hingga Rp 10 Juta Resmi Bebas Pajak, Ini Kriterianya

    Jakarta

    Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah (DTP) dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025 yang mulai berlaku sejak tanggal 4 Februari 2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti menjelaskan dalam PMK tersebut terdapat industri padat karya yang tidak perlu untuk membayarkan pajak penghasilan (PPh) pasal 21.

    Karyawan atau pegawai di industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit mendapat insentif PPh 21 DTP mulai masa pajak Januari 2025 atau masa pajak bulan pertama bekerja 2025.

    Ia menyampaikan aturan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu.

    “Latar belakang penerbitan PMK ini adalah sebagai upaya mempertahankan daya beli masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan menjaga stabilitas perekonomian masional,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (17/2/2025).

    Dwi menambahkan, PMK Nomor 10 Tahun 2025 mengatur insentif ini diberikan kepada pegawai dengan penghasilan bruto yang diterima tidak lebih dari Rp 10.000.000 per bulan atau Rp 500.000 per hari dan pemberi kerja harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK ini.

    Ketentuan lebih lengkap mengenai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025 dapat diakses dan diunduh pada laman landas pajak.go.id.

    Saksikan juga Sosok: Mice, Kritik Menggelitik Lewat Kartun

    (ara/ara)

  • Karyawan Bergaji di Bawah Rp10 Juta Dapat Intensif Pajak, Bagaimana Dampaknya? – Halaman all

    Karyawan Bergaji di Bawah Rp10 Juta Dapat Intensif Pajak, Bagaimana Dampaknya? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah Indonesia memberlakukan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi karyawan dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan. Kebijakan ini berdampak signifikan bagi pemilik bisnis dan karyawan, seperti apa?.

    Berdasarkan ketentuan itu, insentif akan berdampak khususnya di sektor industri alas kaki, tekstil, pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan produk turunannya. Kebijakan yang mulai berlaku pada 04 Februari 2025 ini, membebaskan karyawan dari kewajiban membayar pajak penghasilan.

    Sehingga mereka dapat menerima gaji penuh tanpa potongan dan mendukung kelangsungan usaha, hingga mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Dirilisnya aturan baru ini membawa banyak dampak positif baik bagi penyedia lapangan kerja maupun pekerja.

    Bagi karyawan dengan subsidi potongan pajak penghasilan, membantu meningkatkan kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Insentif ini, dinilai memberikan rasa aman finansial, terutama bagi pekerja di sektor padat karya yang kerap menghadapi tantangan ekonomi.

    “Diberlakukannya peraturan baru ini, perusahaan mendapatkan kelonggaran pada beban operasional mereka,” ujar Head of Business Mekari Talenta, Stevens Jethefer di Jakarta, Jumat (14/2/2025).

    Perusahaan di sektor padat karya dapat mengalokasikan anggaran yang sebelumnya untuk pemotongan pajak ke area lain yang lebih strategis. Lalu, pemilik bisnis harus memastikan infrastruktur dan sistem administrasi kepegawaian yang memadai untuk mendukung kelancaran proses ini.

    Dengan daya beli karyawan yang meningkat, bisnis dapat merasakan dampak positif peningkatan konsumsi yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, implementasi kebijakan ini membawa tantangan baru bagi pelaku usaha.

    Perusahaan diharuskan memenuhi berbagai syarat administrasi, termasuk pelaporan berkala kepada DJP mengenai pemanfaatan insentif ini. Selain itu, mereka harus memastikan bahwa sistem penggajian dan pajak tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku, serta infrastruktur dan sistem administrasi kepegawaian yang memadai untuk mendukung kelancaran implementasi kebijakan ini.

    “Perusahaan diharuskan untuk memenuhi berbagai syarat administrasi, termasuk pelaporan penggunaan insentif secara berkala kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain itu, pengusaha perlu memastikan bahwa sistem pengelolaan payroll dan pajak mereka tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku,” kata Stevens.

    Perusahaan dinilai perlu segera menyesuaikan sistem payroll untuk mengakomodasi kebijakan ini sehingga dapat mengurangi risiko kesalahan perhitungan manual.

    “Pengusaha wajib memastikan bahwa sistem kepegawaian saat ini telah diperbarui sesuai dengan regulasi terbaru, dan memastikan karyawan yang menerima insentif ini telah memenuhi persyaratan,” sambungnya.

  • Direktur PT ACM Madiun Diduga Tak Lapor SPT dan Tak Bayar Pajak pada 2019

    Direktur PT ACM Madiun Diduga Tak Lapor SPT dan Tak Bayar Pajak pada 2019

    Madiun (beritajatim.com) – Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun resmi menahan Direktur PT ACM berinisial HE dalam kasus dugaan tindak pidana perpajakan. HE ditahan setelah menjalani pemeriksaan intensif selama 4,5 jam oleh Tim Penyidik Kejari Madiun pada Kamis (13/02/2025).

    Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Madiun, Inal Sainal Saeful, menjelaskan bahwa HE diduga dengan sengaja tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan tidak membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2019. Akibat perbuatannya, negara mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah. “HE ditahan di Lapas Kelas I Madiun di tahap penuntutan selama 20 hari ke depan,” ujar Inal.

    Kasus ini merupakan limpahan dari Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur, yang sebelumnya telah melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran perpajakan yang dilakukan oleh tersangka. “Tindakan yang dilakukan tersangka telah menimbulkan kerugian pendapatan negara, hingga ratusan juta rupiah,” imbuh Inal.

    Saat ini, Kejari Madiun tengah menyusun berkas perkara untuk segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun. HE dijerat dengan Pasal 39 ayat 1 huruf c dan i UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah diubah melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Ancaman hukuman yang dihadapi HE bisa mencapai lebih dari lima tahun penjara.

    “Setelah berkasnya nanti beres, segera dan secepat mungkin tersangka kita limpahkan ke Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun,” tandas Inal.

    Kasus ini menjadi pengingat bagi dunia usaha akan pentingnya kepatuhan terhadap aturan perpajakan. Pihak Kejari Madiun menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses hukum dan menindak tegas pelanggaran yang merugikan keuangan negara. [fiq/kun]