Kementrian Lembaga: Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

  • Pengumuman! Perusahaan Lapor SPT Pajak Lewat Coretax Mulai Agustus

    Pengumuman! Perusahaan Lapor SPT Pajak Lewat Coretax Mulai Agustus

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengumumkan mulai Agustus 2025 lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak 2025 sudah dilakukan melalui Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax.

    Dalam unggahan di akun resmi X @DitjenPajakRI, Jumat (11/7/2025), kebijakan ini berlaku duluan untuk wajib pajak (WP) Badan dengan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender misalnya Agustus 2024 sampai Juli 2025.

    “Bagi WP Badan dengan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender (misalnya Agustus 2024-Juli 2025), pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025 sudah dilakukan lewat Coretax DJP mulai Agustus 2025,” tulis pengumuman tersebut.

    Selanjutnya untuk WP Badan yang menggunakan tahun buku September 2024 sampai Agustus 2025 dan seterusnya, akan mulai menggunakan Coretax sebagai sarana pelaporan SPT Tahunan PPh mulai September 2025 dan seterusnya.

    Sebelum lapor SPT Tahunan PPh Badan lewat Coretax, pastikan sudah berhasil log in dengan akun WP Badan melalui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Badan, serta NPWP Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai PIC WP Badan.

    “Pastikan akun WP Badan dan PIC sudah aktif, serta Kode Otorisasi DJP (KODJP) telah dibuat dan divalidasi,” jelas DJP.

    Jika ada hal-hal kurang jelas, dapat menghubungi Kring Pajak 1500200 atau datangi Kantor Pajak terdaftar yang terdekat untuk informasi atau pertanyaan lebih lanjut.

    (acd/acd)

  • Ditjen Pajak Jelaskan soal Olahraga Padel Kena Pajak 10%

    Ditjen Pajak Jelaskan soal Olahraga Padel Kena Pajak 10%

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan ikut angkat bicara tentang fasilitas olahraga padel yang kini masuk ke dalam salah satu objek pajak dengan tarif 10%. Fasilitas padel seperti lapangan masuk ke dalam kategori Jasa Kesenian dan Hiburan.

    Melalui akun X @DitjenPajakRI, disebutkan bahwa padel sendiri masuk ke dalam objek pajak daerah. Hal ini berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

    “Main padel kena pajak? Iya, tapi pajak daerah,” tulis akun @DitjenPajakRI, dikutip Jumat (4/7/2025).

    DJP menjelaskan, penyewa lapangan padel dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10%. Pajak ini dipungut oleh penyedia jasa dan disetorkan ke Kas Daerah, sesuai UU HKPD 1/2022.

    Berdasarkan pengelolaannya, pajak sendiri terbagi ke dalam pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat sendiri dikelola oleh DJP di bawah Kementerian Keuangan, merujuk pada pajak yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

    Pajak pusat sendiri terdiri atas:

    Pajak Penghasilan (PPh)
    Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
    Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
    Bea Meterai
    Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) P5L
    Khusus PBB sektor perkebungan, perhutanan, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan mineral atau batubara, dan sektor lainnya.
    Pajak Karbon (akan diimplementasikan).
    Sedangkan untuk pajak daerah sendiri ialah pajak yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Perincian jenis pajaknya sangat banyak. Berikut beberapa contoh pajak yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi sebagai berikut:

    Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
    Pajak Alat Berat (PAB)
    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
    Pajak Air Permukaan (PAP)
    Pajak Rokok
    Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
    Selanjutnya, pajak daerah yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas:

    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
    Pajak Reklame
    Pajak Air Tanah (PAT)
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB)
    Pajak Sarang Burung Walet
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
    Lebih lanjut DJP pun memberikan contoh studi kasus. Untuk pajak pusat misalnya PPh, Wajib Pajak Orang Pribadi Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet sampai dengan Rp500 juta per tahun tidak dikenai PPh.

    Sedangkan studi kasus dari pajak daerah sendiri contohnya seperti Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), termasuk di antaranya pengenaan pajak terhadap fasilitas untuk olahraga padel.

    “Penyewa lapangan padel sebagai konsumen dikenai PBJT sebesar 10% meliputi tiket masuk, sewa lapangan, dan jasa lainnya, dipungut oleh penyedia jasa sewa lapangan, untuk selanjutnya disetorkan ke Kas Daerah, menurut UU HKPD 1/2022,” terang DJP.

    (shc/rrd)

  • DJP siapkan respons hambatan restitusi pajak

    DJP siapkan respons hambatan restitusi pajak

    Untuk konteks batu bara, karena volatilitas harga kami sudah usulkan beberapa alternatif pengukuran

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sedang menyiapkan respons hambatan restitusi atau pengembalian pajak yang menjadi kendala penerimaan pajak pada semester I-2025.

    Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan, pihaknya saat ini sedang mencoba mengawasi permohonan restitusi yang diajukan oleh wajib pajak, termasuk restitusi pendahuluan.

    “Untuk (restitusi) pendahuluan yang begitu masif, kami coba scrutiny (awasi) apakah COGS (Cost of Goods Sold) benar-benar bisa disahkan sebagai COGS pajak masukan, input atau tidak,” kata Bimo usai rapat Badan Anggaran DPR, dikutip di Jakarta, Rabu.

    Di samping itu, DJP juga meningkatkan quality control, review, dan audit sampling agar pengawasan bisa dikelola dengan lebih bijak dan sesuai dengan Undang-Undang (UU).

    Semua itu pun dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kemudahan bagi bisnis.

    Terkait restitusi batu bara, Bimo mengaku berencana mengeluarkan kebijakan khusus.

    “Untuk konteks batu bara, karena volatilitas harga kami sudah usulkan beberapa alternatif pengukuran. Nanti kalau sudah jadi, kami akan beri tahu ke teman-teman,” tambahnya.

    Diberitakan sebelumnya, realisasi penerimaan pajak hingga semester I-2025 tercatat mencapai Rp831,27 triliun secara neto atau 38 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa realisasi tersebut masih menunjukkan tekanan, terutama akibat penurunan tajam penerimaan pada awal tahun.

    Pada Januari 2025, misalnya, penerimaan pajak hanya tercatat sebesar Rp88,9 triliun atau terkontraksi 41,9 persen dibandingkan Januari 2024 yang mencapai Rp152,9 triliun.

    “Neto-nya memang jauh lebih dalam kontraksinya Januari 41,9 persen karena restitusi cukup besar. Sampai Februari masih terasa,” ujar Sri Mulyani.

    Menurut dia, restitusi pajak yang cukup tinggi di awal tahun turut memengaruhi pola penerimaan. Namun, perbaikan mulai terlihat sejak Maret 2025.

    Sri Mulyani menilai pola penerimaan pajak yang naik-turun tersebut relatif konsisten terjadi dari tahun ke tahun. Pihaknya pun optimistis pada semester II-2025 penerimaan negara dapat distabilkan.

    Seiring dengan itu, outlook penerimaan pajak hingga akhir 2025 diproyeksikan mencapai 94,9 persen dari target APBN, atau tumbuh 7,5 persen dibanding tahun sebelumnya.

    Proyeksi ini ditopang oleh membaiknya kondisi ekonomi nasional, pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5 persen, daya beli masyarakat yang cukup kuat, serta peningkatan aktivitas di sektor manufaktur.

    Pemerintah juga mengandalkan pelaksanaan joint program optimalisasi penerimaan negara yang melibatkan Kementerian Keuangan bersama kementerian dan lembaga terkait untuk memperkuat penerimaan pajak ke depan.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Dirjen Pajak yakin penerimaan pajak bakal membaik di paruh kedua 2025

    Dirjen Pajak yakin penerimaan pajak bakal membaik di paruh kedua 2025

    Beberapa quick wins saya juga sudah mulai bekerja, efisiensi pemungutan juga sudah terjadi, dan Coretax sudah mulai membaik

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto yakin kinerja penerimaan pajak bakal membaik pada paruh kedua tahun 2025 seiring dengan peningkatan kemampuan administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

    Pernyataannya itu merespons outlook terbaru penerimaan pajak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025.

    “Beberapa quick wins saya juga sudah mulai bekerja, efisiensi pemungutan juga sudah terjadi, dan Coretax sudah mulai membaik,” kata Bimo usai rapat Badan Anggaran DPR dikutip di Jakarta, Rabu.

    Dia menambahkan DJP dan Kementerian Keuangan terus menjaga keseimbangan antara belanja dan pendapatan negara. Dengan begitu, defisit APBN bisa diamankan agar tetap sesuai target.

    Sebagai catatan, dari hasil laporan semester I, outlook penerimaan pajak diperkirakan hanya mencapai 94,9 persen dari target, yakni sebesar Rp2.076,9 triliun dari target awal Rp2.189,3 triliun.

    Meski melandai dari target awal (shortfall), namun outlook penerimaan itu tumbuh sebesar 7,5 persen dari realisasi periode yang sama tahun lalu senilai Rp1.931,6 triliun.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan penerimaan pajak hingga semester I-2025 masih mengalami tekanan, terutama akibat penurunan tajam penerimaan pada awal tahun.

    Pada Januari 2025 misalnya, penerimaan pajak hanya tercatat sebesar Rp88,9 triliun atau terkontraksi 41,9 persen dibandingkan Januari 2024 yang mencapai Rp152,9 triliun.

    Sementara per Juni 2025, realisasi penerimaan pajak tercatat mencapai Rp831,27 triliun secara neto, atau sekitar 38 persen dari target dalam APBN.

    Menurut dia, restitusi pajak yang cukup tinggi di awal tahun turut memengaruhi pola penerimaan. Namun, perbaikan mulai terlihat sejak bulan Maret.

    Sri Mulyani menilai pola penerimaan pajak yang naik-turun tersebut relatif konsisten terjadi dari tahun ke tahun.

    Pihaknya pun optimistis pada semester II-2025 penerimaan negara dapat distabilkan.

    Terkait outlook penerimaan pajak terbaru, Sri Mulyani menjelaskan proyeksi itu ditopang oleh membaiknya kondisi ekonomi nasional, pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5 persen, daya beli masyarakat yang cukup kuat, serta peningkatan aktivitas di sektor manufaktur.

    Pemerintah juga mengandalkan pelaksanaan joint program optimalisasi penerimaan negara yang melibatkan Kementerian Keuangan bersama kementerian dan lembaga terkait untuk memperkuat penerimaan pajak ke depan.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bayar Pakai QRIS Kena PPN? Ini Faktanya

    Bayar Pakai QRIS Kena PPN? Ini Faktanya

    Jakarta

    Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan salah satu inovasi dalam sistem pembayaran digital di Indonesia. Melalui metode pembayaran ini, masyarakat dan mempercepat proses transaksi dan tak perlu lagi menyiapkan uang tunai.

    Tak hanya mempercepat transaksi, QRIS juga memperluas akses keuangan hingga ke pelosok negeri, dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di desa terpencil hingga restoran di kota besar. Berkat itu masyarakat dapat bertransaksi non-tunai dengan mudah di berbagai wilayah Indonesia.

    Namun, seiring dengan makin luasnya penggunaan QRIS, muncul pertanyaan di tengah masyarakat apakah QRIS dikenai pajak?

    Bayar Pakai QRIS Tak Kena Tambahan Pajak

    Melansir dari situs remsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), QRIS sebagai sarana pembayaran tidak secara langsung dikenai pajak. Namun ada aspek perpajakan yang menyertainya tergantung siapa yang terlibat dan bagaimana transaksinya dilakukan.

    Dijelaskan, pada dasarnya QRIS merupakan alat atau sarana pembayaran dan bukan objek pajak. Dalam hal ini, QRIS hanyalah pengganti uang tunai, kartu debit, atau metode pembayaran lainnya. Oleh karena itu penggunaan QRIS oleh konsumen untuk membeli barang atau jasa tidak serta-merta menciptakan kewajiban pajak tambahan.

    Namun, karena sistem ini melibatkan penyedia layanan teknologi dan transaksi ekonomi, unsur pajak tetap ada di balik layar. Lalu, siapa saja pelaku ekonomi yang dikenai pajak atas pemanfaatan QRIS?

    Mereka yang Dikenakan Pajak Atas Penggunaan QRIS

    1. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP)

    PJSP adalah pihak seperti bank, fintech, atau lembaga keuangan lain yang menyediakan layanan QRIS. Mereka memperoleh penghasilan dari fee, komisi, atau biaya layanan kepada merchant.

    Dari sisi pajak, mereka dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa layanan sistem elektronik (jika dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak atau PKP) dan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan dari fee atau komisi.

    Jadi, ketika penyedia QRIS mengenakan biaya kepada merchant, fee tersebut merupakan objek pajak yang harus dilaporkan.

    2. Merchant (Pedagang atau Penyedia Jasa)

    Merchant yang menerima pembayaran melalui QRIS tetap memiliki kewajiban pajak atas transaksi yang dilakukan, terlepas dari metode pembayarannya. Jika merchant merupakan PKP, ia wajib memungut dan menyetor PPN atas penjualan barang atau jasa kena pajak.

    UMKM dapat dikenai PPh Final UMKM berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022), selama omzet belum melebihi Rp500 juta. QRIS di sini tidak mengubah skema perpajakan. Ia hanya menggantikan media pembayaran, bukan jenis usahanya.

    3. Konsumen

    Dari sisi konsumen, tidak ada kewajiban pajak baru yang timbul karena menggunakan QRIS. Konsumen hanya membayar harga barang atau jasa seperti biasa.

    Jika barang/jasa tersebut memang kena PPN, maka PPN sudah termasuk dalam harga (atau ditambahkan secara terpisah). Artinya, konsumen tidak membayar pajak untuk QRIS secara terpisah.

    QRIS sebagai alat pembayaran tidak dikenai pajak secara langsung. Namun, jasa penyediaan sistem QRIS dan transaksi ekonomi yang terjadi melalui QRIS tetap berada dalam pengawasan sistem perpajakan.

    Biaya yang Berlaku untuk QRIS

    Meskipun transaksi menggunakan QRIS tidak dikenakan PPN, masih ada biaya yang berlaku untuk jual beli dengan QRIS yaitu Merchant Discount Rate (MDR) dan inilah yang akan dikenakan PPN.

    Berdasarkan situs resmi salah satu penyedia jasa QRIS, Gopay, pemberlakuan biaya MDR untuk QRIS sudah diatur dalam PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

    Menurut Pasal 5 ayat (1) huruf b Permenkeu tersebut, PJSP terutang Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Sistem Pembayaran kepada Pedagang, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lain, atau pihak lain.

    Masih berkaitan dengan pasal yang sudah disebutkan, Pasal 6 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa imbalan yang diperoleh PJSP dari pedagang atau PJSP lain bisa berupa MDR, biaya transaksi, biaya administrasi, atau biaya lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

    Besaran Biaya untuk Penggunaan QRIS

    – Usaha Mikro: MDR 0% untuk transaksi Rp 1-Rp 500.000 dan 0,3% untuk transaksi >Rp 500.000
    – Usaha Kecil, Menengah, dan Besar: 0,7%
    – Layanan Pendidikan: 0,6%
    – SPBU, Badan Layanan Umum, dan Public Service Obligation: 0.4%
    – Bansos, pembayaran pajak, dan donasi: 0%

    Lihat juga Video Airlangga soal AS Soroti QRIS: RI Terbuka untuk Mastercard atau Visa

    (igo/fdl)

  • Sri Mulyani akan Pajaki pedagang di Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, hingga Lazada: 0,5 Persen, Ini Kriterianya

    Sri Mulyani akan Pajaki pedagang di Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, hingga Lazada: 0,5 Persen, Ini Kriterianya

    PIKIRAN RAKYAT – Rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk memberlakukan pungutan pajak baru bagi pelapak di berbagai platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, Lazada, dan Bukalapak dipastikan semakin mendekati tahap final.

    Lewat mekanisme PPh Pasal 22, marketplace ditunjuk sebagai pemungut pajak langsung dari pedagang yang berjualan di platform mereka.

    Bukan Pajak Baru, Hanya Perubahan Mekanisme

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli, menegaskan bahwa rencana ini bukanlah skema pungutan pajak yang benar-benar baru.

    “Perlu dipahami bahwa pada prinsipnya, pajak penghasilan dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, termasuk dari hasil penjualan barang dan jasa secara online,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Kamis 26 Juni 2025.

    Rosmauli menjelaskan, yang berbeda hanyalah cara pungutnya: semula pedagang wajib setor pajak secara mandiri, kini mekanisme berubah menjadi pemungutan otomatis oleh pihak platform, seperti Shopee atau Tokopedia, yang resmi ditunjuk pemerintah.

    Berapa Besar Pajaknya?

    Berdasarkan presentasi resmi Ditjen Pajak kepada sejumlah e-commerce yang bocor ke publik, pungutan PPh Pasal 22 ditetapkan 0,5 persen dari omzet penjualan. Namun tidak semua pelapak terkena pungutan.

    Pedagang dengan omzet kurang dari Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenakan pajak. Sementara itu, pajak 0,5 persen akan diberlakukan untuk pelapak dengan omzet tahunan Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.

    Sebagai contoh, bila omzet seorang penjual mencapai Rp1 miliar per tahun, maka PPh yang dipungut adalah Rp5 juta per tahun atau sekitar Rp416.000 per bulan.

    Kenapa Marketplace yang Dipungut?

    Menurut DJP, kebijakan ini memberikan kemudahan bagi para pelapak UMKM daring dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan pungutan langsung di platform, pelapak tidak perlu repot setor pajak mandiri atau berurusan dengan administrasi rumit.

    “Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antar pelaku usaha,” ujar Rosmauli.

    Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan menutup celah shadow economy atau transaksi gelap yang luput dari radar pajak.

    Denda untuk Marketplace yang Lalai

    Pemerintah melalui beleid baru ini tidak hanya menetapkan pungutan, tetapi juga mengatur sanksi bagi marketplace yang gagal menjalankan kewajiban. Platform yang tidak memungut atau terlambat melaporkan pungutan pajak akan dikenakan denda administratif.

    Meski demikian, Rosmauli memastikan beleid ini masih dalam tahap finalisasi di internal pemerintah.

    “Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, kami akan menyampaikannya secara terbuka,” ucapnya.

    Tujuan Utama: Kesetaraan Pajak

    Pengenaan PPh 0,5 persen untuk pedagang online ini bertujuan menyamakan perlakuan antara pedagang di toko daring dan toko fisik.

    “Tujuan utamanya adalah keadilan dan kemudahan. Tidak ada pajak baru, hanya penegakan kewajiban pajak yang seharusnya sudah berlaku,” kata Rosmauli.

    Pernah Dicoba, Pernah Gagal

    Menariknya, Indonesia pernah mengajukan skema serupa pada akhir 2018. Saat itu, seluruh operator marketplace diwajibkan membagikan data penjual dan menarik pajak dari omzet penjualan. Namun, kebijakan tersebut dicabut hanya tiga bulan kemudian karena penolakan keras industri.

    Kini, pemerintah optimistis skema pungutan terbaru bisa berjalan dengan lebih proporsional dan terintegrasi karena sudah didukung sistem teknologi dan basis data yang lebih rapi.

    Kapan Mulai Berlaku?

    Regulasi final diproyeksi terbit bulan depan, setelah melalui proses sinkronisasi di Kementerian Keuangan dan DJP. Jika sesuai rencana, pungutan PPh Pasal 22 oleh marketplace ini akan resmi berlaku mulai kuartal ketiga 2025.***

  • 3 Hal Penting soal Rencana Pajak Pedagang Online: Siapa Kena, Siapa Aman?

    3 Hal Penting soal Rencana Pajak Pedagang Online: Siapa Kena, Siapa Aman?

    Jakarta

    Pengamat Perpajakan yang juga merupakan Eks Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo ikut bicara tentang wacana penerapan kebijakan pungutan pajak penghasilan (PPh) 22 terhadap para pedagang online di e-commerce. Terkait kebijakan ini, setidaknya ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan.

    Prastowo menyebut kebijakan tersebut dengan istilah ‘pajak merchant’. Ia menjabarkan tiga poin penting untuk menggambarkan rencana pengenaan pajak terhadap para pedagang toko online di Tokopedia hingga Shopee itu.

    “Esensi pajak ya gotong royong. Pajak memang beban, tapi dengan cara itulah hidup bersama menjadi mungkin,” ujar Prastowo, dikutip dari unggahan pada akun media sosial X @prastow.

    Poin tersebut antara lain pertama, pedagang atau merchant dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta setahun tetap tidak membayar pajak. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Kedua, merchant dengan omzet di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar setahun, selama ini dikenai pajak hanya 0,5% dari omzet. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

    Lalu yang ketiga, untuk merchant dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar, maka Marketplace akan memungut PPh 0,5% dari transaksi. Jumlah ini boleh dikurangkan dari kewajiban pajak akhir tahun.

    “Ini yang akan diatur. Adil kan? Yang mikro dilindungi. Yang kecil dibantu dengan tarif rendah. Yang menengah difasilitasi dengan pemungutan yang lebih mudah dan tarif rendah,” kata pria yang kini menjadi Stafsus Gubernur DKI Jakarta itu.

    Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sudah melakukan sosialisasi terbatas menyangkut rencana mewajibkan e-commerce seperti Tokopedia hingga Shopee memungut pajak kepada pedagang di platform mereka.

    DJP juga diketahui sedang mempersiapkan aturan yang menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

    (shc/fdl)

  • Eks Stafsus Sri Mulyani Bicara soal Pajak Pedagang di Toko Online

    Eks Stafsus Sri Mulyani Bicara soal Pajak Pedagang di Toko Online

    Jakarta

    Wacana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pungutan pajak penghasilan (PPh) 22 terhadap para pedagang online di e-commerce tengah mendapat sorotan dari masyarakat. Pengamat Perpajakan yang juga merupakan Eks Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo ikut memberikan respons tentang hal ini.

    Prastowo memberikan sejumlah penjelasan untuk memahami kebijakan baru tersebut atau yang ia sebut dengan istilah ‘pajak merchant’. Setidaknya ada tiga poin penjelasan yang ia jabarkan untuk menggambarkan pajak tersebut.

    Pertama, pedagang atau merchant dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta setahun tetap tidak membayar pajak. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Kedua, merchant dengan omzet di atas Rp 500 juta s.d Rp 4,8 miliar setahun, selama ini dikenai pajak hanya 0,5% dari omzet. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

    Lalu yang ketiga, untuk merchant dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar, maka Marketplace akan memungut PPh 0,5% dari transaksi. Jumlah ini boleh dikurangkan dari kewajiban pajak akhir tahun.

    “Ini yang akan diatur. Adil kan? Yang mikro dilindungi. Yang kecil dibantu dengan tarif rendah. Yang menengah difasilitasi dengan pemungutan yang lebih mudah dan tarif rendah,” ujar Prastowo, dikutip dari unggahan pada akun media sosial X @prastow, Jumat (27/6/2025).

    Pria yang kini menjadi Stafsus Gubernur DKI Jakarta ini juga menekankan, esensi pajak itu sendiri ialah nilai gotong royong. Ia juga mengakui bahwa pajak memang beban, namun dengan cara tersebutlah hidup bersama menjadi mungkin berjalan.

    Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sudah melakukan sosialisasi terbatas menyangkut rencana mewajibkan e-commerce seperti Tokopedia hingga Shopee memungut pajak kepada pedagang di platform mereka.

    DJP diketahui sedang mempersiapkan aturan yang menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli mengatakan rencana ini bukanlah pengenaan pajak baru. Ketentuan ini mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.

    “Rencana ketentuan ini bukanlah pengenaan pajak baru. Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk,” jelas Rosmauli dalam keterangan tertulis.

    (shc/rrd)

  • Apindo dukung rencana pengutan pajak terhadap pedagang e-commerce

    Apindo dukung rencana pengutan pajak terhadap pedagang e-commerce

    Arsip tangkapan layar – Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita. (ANTARA/Ade Irma Junida)

    Apindo dukung rencana pengutan pajak terhadap pedagang e-commerce
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 27 Juni 2025 – 14:15 WIB

    Elshinta.com – Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mendukung rencana pungutan pajak penghasilan (PPh) 22 pedagang di niaga elektronik (e-commerce). Menurutnya, kebijakan tersebut bukan penerapan baru, melainkan penyesuaian terhadap perkembangan model bisnis.

    “Kami sebagai pelaku usaha mendukung langkah pemerintah dalam menerapkan kebijakan pengenaan PPh final 0,5 persen bagi pelaku usaha online,” kata Suryadi dalam keterangannya, dikutip di Jakarta, Jumat.

    Sebelumnya, pemerintah telah menerapkan PPh final 0,5 persen yang diatur dalam Pemerintah Nomor 55 tahun 2022, atau dikenal sebagai PPh final UMKM. Untuk rencana kebijakan mendatang, pungutan pajak bagi pedagang daring dilakukan melalui mekanisme pelaksanaan pembayaran yang sederhana, yaitu dipungut oleh lokapasar (marketplace).

    Di era digitalisasi dan implementasi sistem inti perpajakan (Coretax), lanjut dia, transparansi data akan makin meningkat dan pemerintah memiliki akses terhadap informasi pelaku usaha yang belum sepenuhnya patuh. Dia pun mengingatkan pelaku usaha daring yang peredaran bruto usahanya di bawah Rp500 juta per tahun untuk tidak khawatir, karena tidak akan dikenakan PPh final ini.

    “Oleh karena itu, kami mengajak para pelaku usaha online untuk mendukung penuh kebijakan ini. Mari kita bersama menciptakan iklim usaha yang adil, sehat, dan berkelanjutan. Kepatuhan bersama akan memperkuat fondasi ekonomi nasional yang inklusif menuju Indonesia Emas 2045,” tuturnya.

    Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan rencana penunjukan lokapasar (marketplace) sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi merchant di Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting).

    Bila sebelumnya mekanisme pembayaran PPh dilakukan secara mandiri oleh pedagang daring (online), diubah menjadi sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh lokapasar sebagai pihak yang ditunjuk.

    “Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak penghasilan, namun justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan, karena proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli.

    Sumber : Antara

  • Ini Kriteria Penjual di E-Commerce yang Kena Pajak – Page 3

    Ini Kriteria Penjual di E-Commerce yang Kena Pajak – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan regulasi baru yang mewajibkan platform e-commerce untuk memungut dan menyetorkan pajak dari pendapatan para penjual yang bertransaksi di platform mereka.

    Kebijakan ini disebut sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus menciptakan kesetaraan perlakuan antara toko daring (online) atau e-commerce dan toko fisik (offline).

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun buka suara soal rencana pungutan pajak penghasilan (PPh) 22 pedagang di niaga elektronik (e-commerce).

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli dalam keterangannya di Jakarta, Kamis menjelaskan, rencana penunjukan lokapasar (marketplace) sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi merchant di Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting).

    Bila sebelumnya mekanisme pembayaran PPh dilakukan secara mandiri oleh pedagang daring (online), diubah menjadi sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh lokapasar sebagai pihak yang ditunjuk.

    “Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak penghasilan, namun justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan, karena proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan,” kata Rosmauli.

    Lantas siapa saja pedagang online yang bakal dipungut pajak?

    Kriteria Pedagang

    Dia pun menegaskan yang menjadi sasaran aturan baru ini merupakan pedagang daring yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun. Artinya, UMKM di platform lokapasar yang memiliki omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak dikenakan pungutan PPh dalam skema ini, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).